Share

Bab 5

Sudah sebulan sejak Alba tiba di Indonesia dan tinggal bersama Janu, ada banyak kejadian yang terkadang membuat Janu sangat terkejut. Tinggal bersama bocah berusia 4 tahun nyatanya memiliki banyak sekali kejutan. Alba sedikit demi sedikit sudah meninggalkan botol susunya, dia sudah tidak merengek minta botol susu ketika mau tidur, meskipun dalam sebulan itu ada beberapa kali di malam hari Alba tantrum, dia menangis tanpa suara dan membuat Janu kebingungan. Alba bukan tipe anak yang cerewet, dia juga bukan tipe anak kecil pencerita, dia kebanyakan diam dan mengamati sekitar, terkadang Janu khawatir mengenai hal itu. Janu beberapa kali bertanya pada Alba bagaimana kehidupannya bersama nenek, Alba bilang nenek tidak bisa mendengar, pendengaran bibi Millie memang sudah sangat buruk jika tanpa bantuan alat dia sudah tidak bisa mendengar sama sekali. Selama Millie dalam perawatan di Rumah Sakit Alba diasuh oleh neneknya, mungkin itu salah satu alasan kenapa Alba menjadi anak yang jauh lebih pendiam dari anak seusianya, tidak ada yang menemaninya bicara selama ini.

Bahasa Indonesia Alba juga jauh lebih bagus, dia sudah bisa membuat kalimat dari beberapa kata dan Janu begitu senang melihatnya. Dia akan masuk sekolah sebentar lagi, itu merupakan kemajuan meskipun nantinya Alba akan masuk ke TK International setidaknya dia tidak kesusahan mengobrol dengan teman-teman dilingkungannya. Ngomong-ngomong teman satu lingkungan, komplek Janu bukanlah komplek yang memiliki banyak anak seusia Alba, lagipula kebanyakan anak-anak komplek disini jarang sekali keluar. Maka dari itu, Janu sering membawa Alba mampir ke toko bunga milik Yuwa dan disinilah Janu memperkenalkan para paman kepada Alba.

Ketika mau tidur dan Alba menolak ditawarkan untuk membaca cerita, Janu akan menceritakan bagaimana dia bertemu dengan keenam sahabatnya. Yang pertama dia kenalkan pada Alba adalah Yuwa.

Yuwa Sadananda, usianya tahun ini menginjak 34 tahun.

Yuwa berperawakan bagus, tingginya 178cm, bahunya lebar, tubuhnya terlihat kurus namun bisa terlihat di beberapa bagian dia memiliki otot, bibirnya tebal, hidungnya mancung. Wajahnya nampak teduh dengan alis yang nampak tegas. Ketika dia diam banyak orang mengira dia orang yang kalem dan tidak banyak bicara, namun kebalikan dari visualnya, Yuwa adalah orang yang banyak bicara, dia senang bercerita dan juga terkadang memiliki sisi kekanakan yang cukup ekstrim. Dia membuka toko bunga sejak usianya 25 tahun, toko bunga yang hampir bangkrut karena orangtuanya tiada itu dia ambil alih dan teruskan setelah keluar dari pekerjaannya. Dia dulunya adalah seorang dosen muda di sebuah universitas bergengsi, namun merelakan karirnya dia lebih memilih untuk meneruskan usaha keluarganya. Orangnya sedikit melankolis, dia menghargai momen dan juga sesuatu yang mungkin untuk orang lain hanyalah memori baik. Yuwa tidak memiliki saudara kandung, dia hanya memiliki kami sebagai sahabat dan juga keluarganya. Orangtuanya meninggal karena kecelakaan dan hanya dia sendiri, keluarga dari ibu dan ayahnya tidak dia ketahui keberadaannya karena memang pernikahan orangtua Yuwa begitu rumit.

Janu bertemu Yuwa ketika dia masih SMA. Saat itu Yuwa kelas 3 SMA, usia mereka terpaut 2 tahun, secara tidak sengaja Yuwa dan Janu selalu bertemu di perpustakaan sekolah, jika Yuwa adalah seorang perempuan mungkin mereka memiliki kisah cinta anak sekolahan yang epik karena entah mengapa setiap kali Yuwa selesai meminjam sebuah buku, Janu selalu tertarik untuk membacanya juga sampai suatu hari Janu mengembalikan satu buku dan Yuwa membacanya ada catatan dibuku itu yang dibuat Janu dan itu menarik buat Yuwa sehingga dia mencari murid mana yang bernama Janu Krispala Wedanta. Setelahnya, mereka terlibat banyak obrolan dan itu membuat keduanya dekat.

Orang kedua yang Janu perkenalkan pada Alba adalah,

Magani Yasodana, usianya 33 tahun. Maga panggilannya, Maga memiliki perawakan yang terlihat kecil padahal tingginya 174cm, kulitnya seputih susu padahal dia tidak pernah merawatnya. Banyak orang salah mengira kalau Maga adalah orang yang malas karena caranya bicara ataupun karena dia lebih suka rebahan ketimbang pergi keluar, nyatanya dia sangat rajin jika sudah menekuni sesuatu. Maga memiliki senyum yang manis, orang-orang menyebutnya Gummy Smile karena ketika dia tertawa yang pertama kali terlihat adalah gusinya. Maga memiliki cukup banyak tato ditubuhnya, terutama di tangan dan di dada. Maga dan Janu adalah tetangga, ketika usia Maga 12 tahun dia pindah tepat disebelah rumah Janu, ternyata orangtua mereka cocok dan kemudian akrab satu sama lain, karena hal itulah keduanya jadi ikut-ikutan akrab, terutama ketika beranjak remaja mereka memiliki minat yang sama pada musik. Janu dan Maga sama-sama menggandrungi musik hip-hop, sampai keduanya ikut kompetisi Rapper Underground dan mendapatkan penghargaan. Sayangnya, Maga tidak meneruskan minatnya pada musik. Setelah keluar kuliah, Maga lebih memilih seni tato menjadi pekerjaan utamanya selain menjadi seorang freelancer. Sekarang dia memiliki studio tato sendiri dengan 2 tattoo artist lain.

“Aku suka paman Maga,” Alba tiba-tiba menyela cerita Janu. Janu mengerenyitkan dahinya, “Kenapa?” Tanyanya kemudian. “Paman Maga baik.”

Janu terkekeh. Benar, Maga adalah pribadi yang baik, meskipun dia tidak banyak bicara dan nampak acuh nyatanya dia adalah orang paling perhatian di dalam grup pertemanan ini. Dia yang paling bisa membaca situasi dan bisa menebak jika salah satu dari mereka sedang dalam masalah. Maga juga lembut, cara dia marah tidak meledak-ledak seperti Yuwa, tapi dia juga sensitif. Ketika dia sudah berada di batas limit, dia bisa menangis.

Orang ketiga yang Janu ceritakan pada Alba adalah,

Theo. Theo Sadhana. Dia adalah teman sekelas Janu ketika di SMA, usia mereka sama, 32 tahun. Theo tipikal teman berisik dan perhatian, ketimbang Janu dia jauh lebih dewasa tapi juga bisa menjadi kekanakan jika berhadapan dengan Javis atau Yuwa. Theo anak tunggal dalam keluarga, keluarganya begitu bergantung pada Theo untuk meneruskan jejak mereka sebagai seorang Laboran maka minatnya pada musik harus dia kubur dalam-dalam. Theo sama seperti dengan Maga dan Janu, dia juga bagian dari Rapper Underground bertalenta, dia salah satu orang yang sering menerima tawaran banyak agensi musik Indonesia. Tapi, dia lebih memilih untuk tidak mengecewakan orangtuanya, ada masa dimana Theo benci dengan kedua orangtuanya karena memaksakan apa yang dia tidak sukai, sampai dia pergi dari rumah dan hilang kontak dengan para sahabatnya tapi kemudian ketika dia kembali, tiba-tiba dia sudah menjadi seorang Laboran. Sampai hari ini, tidak ada yang tahu apa yang terjadi padanya selama 6 bulan menghilang sampai akhirnya dia memutuskan untuk memenuhi keinginan orangtuanya.

Orang keempat yang harus Alba kenal adalah,

Rainer Adi Wasupati, usianya 31 tahun. Hal paling absurd yang Janu pernah lewati adalah pertemuannya dengan Rainer, bagaimana dia akhirnya bisa berteman sangat akrab bahkan sampai sekarang dan bagaimana Rainer bisa masuk ke dalam lingkup pertemanan mereka. Sama seperti yang lainnya, Rainer adalah murid yang bersekolah di SMA yang sama dengan Janu. Ketika Rainer masuk ke SMA Janu, gosipnya langsung menyebar karena ternyata Rainer cukup terkenal. Sejak usia 5 tahun Rainer sering tampil di televisi sebagai penari cilik, dia juga sering ikut lomba di luar negeri. Rain mengharumkan nama sekolah dengan banyak prestasi nyatanya. Berbanding terbalik dengan Rain, kembarannya yang juga orang kelima yang Janu ingin kenalkan pada Alba, Sadam Raka Palguna tidak memiliki prestasi apapun di sekolah. Tidak ada yang menyangka bahwa Rain dan Sadam adalah anak kembar. Rain memiliki tubuh yang terbilang kecil diantara yang lain, tingginya 174cm, badannya atletis namun tidak besar, Rain bukan tipikal orang yang ramah ketika pertama kali bertemu dengan orang baru, bibirnya lumayan tebal dan kecil, dan matanya sendu. Sedangkan Sadam tingginya 179 cm, matanya bulat, bibirnya lebar, pembawaannya ceria dan berisik. Sadam adalah orang yang ramah, setiap guru mengenal dia bahkan semua pegawai sekolah.

Sadam yang pertama kali masuk ke dalam pertemanan Janu dan kawan-kawan karena dia adalah salah satu fans mereka, Sadam suka hip-hop tapi dia tidak bisa nge-rap. Dia selalu ikut kemanapun Janu dan kawan-kawan pergi, sialnya Rain selalu diminta untuk tahu dimana Sadam berada oleh orangtuanya sehingga dia mau tidak mau ikut terjun juga dalam pertemanan ini. Ada beberapa cerita mengenai Rain dan Sadam yang tidak bisa Janu ceritakan pada Alba. Yang pasti, sama dengan Rain, Sadam juga terjun di dunia Entertainment, bedanya dia menjadi aktor karena ditawari ketika SMP sampai akhirnya merambat ke Opera dan Musik Klasik. Kini dia menjadi aktor berpengaruh di Indonesia, sinetron sampai film yang dia bintangi tak terhitung banyaknya sejak SMP.

Dan yang terakhir,

Javis Nirankara Ishara, usianya 29 tahun. Javis adalah satu-satunya orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan sekolah Janu, dia datang begitu saja. Bukan Janu yang bertemu dengan Javis pertama kali, Maga. Maga yang membawa Javis masuk ke dalam pertemanan mereka. Kala itu usia Javis masih 14 tahun, Maga sudah kuliah. Saat Maga pulang kuliah di malam hari, dia melihat seorang anak yang memakai sweater berwarna kuning cerah di pinggir jalan yang gelap dan sepi, dia menghentikan laju motornya dan mendekati anak itu, dia bertanya darimana anak itu berasal namun anak itu hanya menangis maka dia mengajak anak itu ikut dengannya. Dia kemudian membawa Javis ke rumahnya, orangtua Maga kemudian bertanya dan mencari tahu siapa Javis. Cerita Javis adalah cerita paling sedih yang pernah Janu dengar, kala itu komplek mereka jadi ramai karena kehadiran Javis, tapi orangtua Maga selalu memperkenalkan Javis sebagai ‘anak’ mereka pada tetangga, mengarang cerita kalau anak itu dulunya ikut dengan neneknya dan hal lainnya. Ibu Janu selalu membantu kebohongan itu hingga akhirnya kebohongan itu menjadi kenyataan, Javis diadopsi secara sah oleh keluarga Maga.

Lalu, mengapa Javis yang masih berusia 14 tahun berada di jalanan? Dia mencari ibunya, ayahnya meninggal ketika dia berusia 13 tahun dan dia diperlakukan tidak baik oleh saudaranya karena keadaan keluarganya yang kurang mampu, dia tidak tahan karena sering jadi sasaran marah paman dan bibinya maka si kecil Javis mencoba pergi, menaiki satu truk ke truk lain sampai pada akhirnya dia sampai di kota, sayangnya kota sangat keras sehingga dia berkali-kali terkena ciduk satpol PP sampai akhirnya dia bertemu Maga. Sampai saat ini, Javis tidak tahu siapa ibunya, dia juga tidak memiliki foto bahkan namanya, dia hanya pergi begitu saja mencari seseorang sebagai ibunya yang mungkin mengenalinya.

Javis diadopsi keluarga Maga ketika usianya 16 tahun, dia disekolahkan dengan layak, dan tinggal di rumah Maga. Dia selalu ikut kemanapun Maga pergi seperti layaknya seorang adik, Maga juga tidak risih dengan hal itu dia malah selalu memperkenalkan Javis sebagai adiknya kepada teman-temannya. Tentu saja wajah mereka berbeda, dengan tinggi 179cm tubuh Javis jauh lebih besar dan kekar ketimbang Sadam yang tingginya sama dengannya, rahangnya kokoh, namun dia punya mata yang lucu, bulat dan terlihat polos. Hidungnya sangat mancung, bibirnya kecil dan memiliki gigi kelinci. Javis menjadi seorang petinju muda profesional dengan prestasi yang sangat membanggakan, Maga dan orangtuanya selalu menyempatkan diri menghadiri setiap pertandingan Javis.

“Paman Javis seperti paman Maga.” Ucap Alba,

“Oh ya? Mereka mirip?” Tanya Janu.

Alba mengangguk, “Tato,”

“Oh kau benar, paman Javis punya banyak tato di tangan dan tubuhnya ya? Dia meminta paman Maga untuk membuatkannya tato ketika dia pertama kali menang kejuaraan, bagus tidak menurut Alba?”

“Bagus.” Jawab Alba singkat sambil tersenyum.

Kedua orangtua Maga adalah seorang dosen namun mereka tidak membatasi keingininan anak-anaknya, Maga yang memilih menjadi seorang tato artis dan juga Javis yang memilih menjadi seorang petinju di dukung penuh oleh mereka.

Janu jadi tersenyum, kalau di ingat lagi, mereka sudah berteman cukup lama. Masing-masing datang dengan membawa cerita mereka masuk ke dalam pertemanan ini, tapi mereka tidak pergi kemanapun, mereka masih disini satu sama lain, saling menguatkan. Bahkan bisa dibilang sekarang mereka seperti menjadi satu keluarga, karena sering kali bermain bersama mereka tidak canggung kepada orangtua teman masing-masing, seperti Yuwa yang selalu datang ke rumah orangtua mereka untuk sekedar menginap atau diajak jalan. Yuwa hidup sendirian namun orangtua mereka selalu berusaha membuat Yuwa tidak merasa sendiri.

“Dad senang ya?” Tanya Alba lagi, Janu tersadar bahwa selama dia bercerita senyumnya tidak pernah lepas, dia kemudian mengangguk.

“Iya, Dad bersyukur punya teman yang baik, bahkan bisa menjadi paman yang baik untuk Alba. Nanti kalau sudah besar, Dad harap Alba bisa bertemu dengan teman-teman yang baik juga.” Ucap Janu sembari mengelus dan mengecup puncak kepala Alba, gadis kecil itu mengangguk kecil. Janu merapikan selimut Alba dan kemudian mematikan lampu kamar, bersiap tidur.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status