Share

Bab 6

Janu lagi-lagi melihat jam tangannya, ini hari Minggu pagi, matahari bahkan baru saja terbit dan dia sudah sangat gelisah. Sebenarnya, sudah sejak beberapa hari terakhir Janu gelisah, hal ini dikarenakan Alba mulai bersekolah Senin besok.

Beberapa minggu lalu, Janu sempat mengobrol dengan Yuwa. Dia membawa Alba datang ke toko bunga milik Yuwa, gadis kecilnya sangat suka berada disana, Alba suka dikelilingi banyak bunga-bunga cantik dan juga wangi. Pertama kali Alba datang kesini ketika dia dibawa oleh paman Maga, saat itu Janu sedang ada meeting di akhir pekan. Pengasuh Alba tidak bisa datang, terpaksa Magani yang harus menemani si bocah meskipun dia hanya baru tidur selama 2 jam. Pelanggannya datang semalam, dia mengerjakan tato selama 8 jam penuh. Setelahnya dia membereskan perabotan dan menutup toko, Maga baru bisa tidur menjelang subuh, baru saja terlelap Janu menelepon meminta tolong untuk menemani Alba. Maga mengiyakan, namun dia tidak kuat membuka mata ditambah tubuhnya terasa remuk, sudah sekian lama dia tidak menerima pengerjaan selama 8 jam penuh tanpa istirahat jadi dia pergi ke toko bunga Yuwa. Dia menumpang tidur disana dan Yuwa lah yang pada akhirnya mengasuh Alba hari itu.

Toko bunga milik Yuwa berada tepat di belokan jalan menuju stasiun, warna tokonya di dominasi oleh warna coklat kayu, ada papan bertuliskan nama toko bunga di sebelah pintu luar dekat pot-pot bunga lain yang dia simpan didepan. Dari luar, kita bisa melihat melalui jendela besar transparan seberapa banyak bunga di dalam toko, warnanya banyak sekali sehingga membuat pejalan kaki penasaran, terkadang berakhir masuk hanya untuk melihat-lihat dan mencium wangi bunga disana.

Alba sangat menyukai ketika Yuwa sedang sibuk merangkai bunga, melihatnya dari balik konter memilah, menggunting dan merangkai bunga-bunga itu membuatnya terpesona.

“Paman Yuwa tampan,” Itu yang dia ucapkan ketika Janu sedang menemaninya tidur, Alba bercerita mengenai toko bunga itu semalaman sebelum dia tidur. Bagi Janu sendiri, toko bunga milik Yuwa tida istimewa, dia sudah melihat toko bunga itu sejak SMA dan pemandangan Yuwa merangkai bunga baginya adalah hal biasa, tapi bagi putrinya itu adalah hal yang tidak bisa terlupakan. Maka ketika janu berkata bahwa mereka akan mampir ke toko bunga mirip Yuwa, si kecil alba begitu bersemangat.

“Halo cantik, bagaimana kabarmu?” Tanya Yuwa ketika Alba masuk ke dalam toko, dia membentangkan tangannya dan si kecil berlari merangsek kedalam pelukan pria itu.

“Aku baik.” Jawab Alba dengan mata berbinar.

“Sudah sarapan?” Tanya Yuwa, Alba mengangguk.

“Boleh tidak Alba melihat bunga?” Gadis cilik itu berkata sebelum Yuwa menanyakan pertanyaan basa-basi lainnya, Yuwa hanya tersenyum dan memberikan beberapa potong bunga untuk Alba rangkai sendiri.

Yuwa membuatkan teh hangat untuk Janu dan menyimpannya di atas meja sedangkan Janu sibuk mengambil foto Alba yang tengah fokus merangkai bunga-bunga. Yuwa tersenyum.

“Ada apa kau kemari?” Tanyanya.

“Oh iya, aku kesini ingin membicarakan pendaftaran sekolah Alba kak.”

Yuwa menyesap teh hangat miliknya, “Wah, dia sudah akan bersekolah ternyata..”

“Benar, kata ibu sih sebaiknya dia masuk ke TK nol kecil dulu, sesuai usianya.” Ujar Janu kemudian.

“Lalu apa masalahnya?”

“Aku bingung memilih sekolahnya…”

Yuwa hanya tertawa, Janu mengingatkannya pada orangtua Maga yang bingung memilihkan sekolah untuk Javis dahulu. Kemudian mereka mulai mencari, Janu menunjukkan beberapa sekolah yang menjadi incarannya pada Yuwa dan pria itu mengemukakan pendapatnya. Ada dua International Kindergarten School yang Janu incar, menimbang bahasa Indonesia Alba yang masih terbatas Janu pikir akan lebih baik jika anak itu bersekolah di tempat yang akan memberikannya kenyamanan diawal. Membandingkan sistem pendidikannya dan segala hal yang berhubungan dengan itu akhirnya Janu sepakat dengan Yuwa pada satu International School.

“Sekolah ini bisa mendaftar secara online Nu, tapi nanti akan ada interview sebelum mereka menerima siswanya.” Ucap Yuwa, Janu mendadak tidak percaya diri.

“Kak, mereka interview apa ya kak? Aku jadi deg-degan..”

“Kayaknya mereka bakalan nanya hal dasar seperti kenapa memilih sekolah ini dan lain-lain, Nu.” Yuwa menjelaskan. Semakin Yuwa menjelaskan kemungkinan pertanyaan yang akan keluar nantinya semakin Janu merosot kepercayaan dirinya untuk melakukan interview.

“Aku kayaknya gak bisa kak, aku bisa-bisa mendadak gagap.”

Yuwa hanya menggeleng tidak habis pikir, temannya ini sudah pernah mengobrol langsung dengan presiden, juga menteri-menteri dan para petinggi di Amerika sana ketika dia mendapatkan penghargaan bergengsi. Tapi nyalinya mendadak ciut dan kepercayaan dirinya menguap begitu saja ketika harus mengobrol dengan calon guru anaknya sendiri. Yuwa jadi ingin tertawa.

“Gak usah gugup Nu, aku yakin kamu bisa.”

Janu menelan ludahnya.

“Kak, gimana kalau kakak aja yang interview?”

Dan begitulah, Yuwa hadir di panggilan interview orangtua Alba. Kepala sekolah sedikit terkejut, tapi menggunakan alasan bahwa orangtua Alba sedang berada diluar kota untuk urusan bisnis sekolah akhirnya mengizinkan. Interviewnya berjalan biasa saja, Alba juga diajak keliling sekolah dan mengobrol dengan salah satu guru yang akan jadi wali kelasnya nanti. Sampai di rumah, Janu berterima kasih pada Yuwa karena telah membantunya.

Grup W******p mendadak rame karena Yuwa menyebarkan hal itu, semuanya tertawa melihat bagaimana akhirnya ada momen yang bisa membuat seorang Janu Krispala kikuk setengah mati.

Theo dan Rainer membelikan sepatu dan tas baru untuk Alba, si kecil itu berjingkrak kegirangan ketika menerimanya. Sayangnya, tas dan sepatu barunya tidak bisa dipakai ke sekolah karena sudah ada seragam yang berlaku. Alba sempat bersedih, tapi Sadam mengatakan bahwa Alba bisa memakai tas serta sepatunya untuk pergi ke tempat paman Yuwa.

Semakin mendekati hari sekolah Alba, semakin pula Janu sering mengirimkan pesan random di grup W******p.

Janu : Nervous.

Sadam : Apanya?

Javis : Ngomongin apa sih?

Maga : Gak jelas.

Janu sering mengirimkan kata-kata yang menunjukkan bahwa dia sedang berusaha menenangkan dirinya sendiri, teman-temannya menyadari hal itu tetapi mereka suka menggoda Janu dan membuat pria itu semakin gelisah. Janu sudah mencoba menelepon orangtuanya, menelepon adiknya untuk meminta masukan apa yang harus dia lakukan untuk mempersiapkan hari pertama si kecil Alba bersekolah.

“Nu, kamu udah tanya Alba gimana perasaannya mau masuk sekolah?” Tanya ibunya ketika sore itu sudah kali keempat anak sulungnya itu menelepon. Tidak ada jawaban diujung sana, ibunya menghela napas. “Nu, yang mau sekolah disana ‘kan Alba, yang bakalan ketemu orang baru, teman baru, dan lingkungan baru itu Alba. Coba tanya anaknya, gimana perasaannya. Kamu ibu liatin kok malah sibuk sendiri?”

Janu masih terdiam.

“Boleh kok kamu gelisah, takut kalau sampai gak bisa jawab pertanyaan kepala sekolah, takut kalau ada acara atau apapun yang kamu takutkan sekarang gak bisa terpenuhi nantinya buat Alba. Boleh saja, tapi juga jangan lupa pikirin perasaan Alba. Anak itu agak sensitif kalau mau masuk sekolah, ke tempat baru, dulu kamu waktu kecil gitu juga. Ibu sampai harus nungguin di dalam kelas selama seminggu sampai akhirnya perlahan ibu nunggu diluar kelas, bertahap sampai kamu akhirnya mau pergi sendiri menggunakan sepeda.” Ucap ibunya, “Nak, hidup kamu berdua dengan anakmu sekarang, bicaralah, meskipun masih kecil Alba sudah boleh kamu ajak untuk sharing apa yang dia rasakan dan pikirkan.”

Janu kemudian menutup telpon ibunya setelah beberapa saat. Dia menatap Alba yang tengah sibuk mewarnai selama dia menelepon kesana kemari membuang segala kecemasannya. Kemudian dia menaruh ponselnya, duduk disebelah Alba dan bertanya apa yang sedang anak itu kerjakan.

“Alba, takut tidak besok sekolah?” Tanya Janu kemudian. Alba mengangguk.

“Kenapa takut?”

“Dad gak disana.” Jawab Alba. Ketika Yuwa di interview dan diberikan pengarahan serta tata tertib sekolah Alba berada disana, dia jadi tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan termasuk peraturan bahwa orangtua tidak boleh masuk dan menemani anak-anak meskipun di hari pertamanya.

Janu mengelus kepala Alba dan tersenyum.

“’Kan kalau Alba pulang, Dad yang jemput. Tidak lama kok, setelahnya kita bertemu lagi.”

Alba menghentikan aktifitasnya dan menoleh ke arah Janu, menatapnya.

“Dad tidak akan pergi?”

Janu terdiam sesaat dan memeluk putri kecilnya.

“Gak sayang, Dad disini saja untuk Alba. Gak akan kemana-mana.”

Ada rasa perih melesak masuk ke dada Janu. Dia tahu bahwa Alba memiliki trauma mendalam tentang ditinggalkan oleh seseorang, gadis kecil itu sudah melihat bagaimana ibu yang dia cintai direnggut paksa oleh maut, kali ini dia hanya ingin meyakini bahwa tidak satupun orang lagi yang meninggalkannya.

Hari itu akhirnya tiba juga, hari pertama Alba bersekolah.

Janu sudah bangun sejak pagi, dia membantu pengasuh Alba untuk mempersiapkan bekal untuk si kecil. Dia mandi dan berdandan dengan rapi, bersama dengan pengasuh Alba mereka diantar supir menuju sekolah baru Alba. Sekolah yang cukup elite di tempatnya. Pengasuh Alba boleh berada di lingkungan sekolah, sedangkan Janu tidak bisa menunggu Alba disana karena jadwal rapat.

“Alba baik-baik di sekolah ya.” Ucap Janu, dia berjongkok di depan Alba mengelus pipi anak itu.

“Dad, jemput Alba.”

Janu mengangguk, “Iya, nanti Dad jemput Alba. Alba sama bibi Ratna dulu ya.”

Alba menjawab dengan anggukan.

Dari luar pagar sekolah Janu melepas putri kecilnya pergi ke tempat baru. Janu berharap putrinya bisa bertemu dengan teman-teman yang baik seperti dia yang bertemu dengan keenam sahabatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status