"Cinta memang butuh pengorbanan. Tapi, jika aku saja yang berjuang, sebaiknya akhiri semua. Aku berhak bahagia dan silakan kau pergi sejauh mungkin."
•Aruna Ardhani•
🌺🌺🌺
Arsen diam menatap Aruna bingung. Sungguh, pertanyaan itu seperti buah simalakama untuknya. Bagaimana Aruna bisa tahu? Dan apa yang harus Arsen jawab?
Aruna tersenyum miris, kepalanya menunduk menahan bulir bening yang siap menyeruak ke permukaan. Pada akhirnya, Aruna tahu seperti apa akhir dari cerita ini.
"Aku tahu. Aku tahu semua akan seperti ini, Sen. Perkataanmu tempo hari hanyalah hiburan sesaat untukku, kan? Jadi, sudah jelas semuanya. Kita akhiri saja pernikahan ini," papar Aruna. Gadis itu berbalik dan meninggalkan kamar Arsen.
Sedangkan Arsen hanya diam menatap kepergian Aruna. Dia ingin mengejar istrinya, tapi hatinya terus diliputi kegundahan. Barulah setelah pint
"Jangan pergi! Tetaplah seperti ini, menjadi Aruna yang selalu perduli. Aku mohon."•Arsen Ganendra•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºWaktu sudah menunjukkan angka 01.30. Aruna tersenyum getir sembari menatap jarum jam yang terus berputar. Konyol, kata itu yang pantas diberikan kepada sang gadis.Aruna tahu jika Arsen tidak akan pulang, tapi dia masih nekad menunggu suaminya. Kecewa, sudah pasti. Tetapi, apa yang bisa dia lakukan selain meratapi nasibnya.Keinginan Aruna tak banyak, hanya ingin agar Arsen menghargainya. Walaupun belum ada cinta, apa sulit sekedar menghargai istri sendiri? Aruna rasa tidak.Mata yang masih terjaga itu akhirnya menitikan bulir bening. Sungguh, sakit jika berjuang sendiri dalam sebuah hubungan. Aruna ingin menyerah, benar-benar menyerah.Dia menangis di pagi buta karena cinta yang tak tersambut. Cukup lama, Aruna ingin melepas semua
"Hanya tinggal menghitung hari sebelum pergi. Semoga kau bahagia dan aku pun bisa melepasmu dengan ikhlas."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒº"Kak Wildan?" Tampak kekagetan dari wajah Aruna, tapi tak lama kemudian seulas senyum terbit.Wildan langsung menghampiri Aruna dan Arsen. Dia menatap keduanya secara bergantian."Kalian sedang apa di belakang aula?" tanya Wildan, menyelidik.Baru saja Aruna membuka mulut, Arsen terlebih dahulu bersuara."Bukan urusan lu. Sedang apa lu di sini? Lu bukan warga sekolah ini," ungkap Arsen, kesal.Dada Arsen bergemuruh, hebat. Jelas saja dia tak suka pada Wildan, karena laki-laki itu terang-terangan akan merebut Aruna darinya. Bertambah kesal kala Aruna tampak senang dengan kehadiran
"Semua semakin jelas. Jarak di antara kita pun sudah tak terelakkan. Aku harus ikhlas dan terbiasa. Benar-benar harus ikhlas."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºHara menatap iba pada Aruna yang diam menunduk. Setelah kejadian di kamar mandi, Aruna terpaksa bercerita. Bagaimana tidak? Saat kejadian, Hara ada di kamarnya."Kamu gak apa-apa, 'kan?" tanya Hara sembari mengusap punggung Aruna.Aruna mencoba tersenyum, walau masih ada gurat kesedihan. Namun, dia tidak mungkin membiarkan Hara ikut campur terlalu jauh."Ya, aku gak apa-apa. Udah lupain aja yang tadi. Mendingan kita ngomongin persiapan besok. Gimana?" Aruna sengaja mengalihkan obrolan.Gadis itu berharap, suasana hatinya membaik. Ya, besok hari kelulusan dan hari berangkat menuju puncak. Jadi, karena itulah Hara ada bersama Aruna.Hara berencana menginap hari ini sekalian p
"Kau menghancurkanku berkeping-keping hingga yang tersisa hanya puing kesakitan. Inikah maumu? Kalau begitu, aku mundur."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºLelaki berkacamata dengan tubuh tegapnya tengah menatap tajam pada kedua orang berbeda jenis di depannya. Sesekali dia menghela napas pendek sembari menggelengkan kepala. Tak jarang senyum mengejek diberikan pada anak muda itu."Apa dia termasuk murid yang tercatat di sini?" tanya Wildan pada Arsen yang diam dengan tatapan tak suka."Bukan," jawabnya lugas.Tangan kirinya masih menenteng ransel, sedangkan tangan kanan masih digelayuti oleh Karisa."Lalu, kenapa dia ikut ke sini? Saya mendapat mandat dari guru kalian untuk menjaga kalian semua. Kalau begini, saya tidak bisa izinkan kamu untuk ikut
"Egomu menutupi mata hati, hingga kau keliru dengan kenyataan. Aku masih di sini, menanti kau berbalik dengan sisa-sisa kepercayaanku."•Aruna Ardhani•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºSepoi angin menerpa wajah cantik Aruna yang tampak sendu. Wildan tahu apa yang terjadi. Laki-laki itu mengamati Aruna sedari acara makan dimulai.Waktu baru saja menunjukkan pukul 12.05, tapi hawa sejuk menyelimuti tempat itu. Berbeda sekali dengan di Jakarta. Aruna beberapa kali menarik napas dan mengembuskannya. Dia seolah mencari kelegaan dan ketenangan di sana. Mungkin, melihat pemandangan hamparan hijau di depannya bisa mengurai sesak karena kejadian tadi."Bagaimana, sejuk kan?" tanya Wildan sembari menarik kursi untuk Aruna.Aruna tersenyum kikuk. Bukan karena pertanyaan Wildan, tapi sikap laki-laki itu yang belum perna
"Aku marah. Semua perhatian yang kuharapkan malah tercurah untuk laki-laki lain. Kamu milikku, Aruna. Hanya milikku."•Arsen Ganendra•ðŸŒºðŸŒºðŸŒºArsen mengeratkan genggaman pada punggung kursi. Hati dan pikirannya sudah dipenuhi dengan emosi. Dia tidak terima Aruna berlaku seperti tadi, terlebih di depan teman-temannya.Karisa yang duduk takut pun mencoba mendekati Arsen. Ini kesempatan langka, di mana dia bisa menyaksikan Arsen bertengkar dengan istrinya. Karisa akan gunakan peluang itu untuk menghasut pujaan hatinya."Sayang, tadi itu istrimu, kan?" tanya Karisa, tangannya mengelus pundak Arsen lembut.Arsen tak menjawab, tatapannya tetap tajam ke depan. Kalau dia bersuara, takutnya akan menambah masalah dengan Karisa. Setidaknya, dia masih bisa mengendalikan amarah."Em, aku pikir istrimu perempu
"Apakah kesempurnaan sebuah rasa harus selalu nyata untuk mata? Jika itu benar, maka cinta sejati hanya bualan belaka."~Aruna Ardhani~***"Lu tidur di sofa!" serunya, saat kaki sang gadis melangkah melewatinya.Untuk sesaat, Aruna diam sejenak, memindai datar wajahnya yang tak bersahabat. Dengan cepat, Aruna menggerakkan kepala ke bawah, tanda setuju atas seruan yang gadis itu yakini sebagai sebuah perintah.Dia mendengkus seraya berkacak pinggang, mungkin kesal atau marah mendapati respon Aruna.Aruna berjalan menuju sofa hitam di samping ranjang pengantin mereka. Ya, ranjang yang penuh taburan bunga di atasnya. Tetapi, itu hanya formalitas pelengkap rentetan rencana konyol atas dasar wasiat sang ayah.Di atas kasur, dia mendelik pada Aruna. Seperti ingin ber
"Ada banyak cara orang bertahan hidup. Tapi, hanya sedikit yang siap dengan keadaan terburuk."~Aruna Ardhani~***Suara jam weker menginterupsi Aruna dari alam mimpi. Dari samping, Arsen berdesis lalu samar terlihat tangannya menutup telinga dengan bantal. Masih terdengar umpatan tertahannya."Berisik, matikan jam wekernya!" Suaranya teredam di balik gumpalan bantal.Aruna menghela napas panjang, mencoba untuk bisa bersabar menghadapi laki-laki yang bahkan tak menghargainya. Aruna segera menekan bagian atas jam weker agar berhenti berbunyi.Pukul 03.00 WIB, gadis itu sengaja memasang jam weker di saat sepertiga malam. Bermunajat pada Sang Ilahi, membisikkan doa di bumi. Berharap langit ikut mengamini, hingga ijabah adalah bukti k