Share

My Secretary is My Wife
My Secretary is My Wife
Penulis: Tatya Miranthy

Perselingkuhan di Balik Pintu

Foto pernikahannya di atas nakas jatuh dan pecah setelah tak sengaja tersenggol olehnya, membuat Zeana Arnalitha terkejut. Namun, bukan hanya terkejut saja melainkan ada rasa khawatir yang teramat sangat akan suaminya. Zea, mempercayai jatuhnya foto pernikahan mereka merupakan pertanda buruk. Ia berpikir suaminya dalam bahaya atau terjadi sesuatu.

'Ruan, apakah telah terjadi sesuatu padamu' gumam Zeana menebak akan suaminya dengan rasa kekhawatiran yang berlebih.

Zea meraih ponselnya untuk segera menghubungi suaminya. Namun, hal itu hanyalah sia-sia, tak ada sahutan dari sana. Setelah mencoba beberapa kali yang membuatnya semakin khawatir, akhirnya Zea memutuskan untuk mendatangi saja kantor Ruan.

Tak lagi berbenah diri, hanya melapisi jumpsuit lengan pendeknya dengan cardigan hitam, Zea melesat keluar rumah. Disambarnya tas selempang kecil yang tergeletak di sofa.

Perjalanan lancar dengan menaiki angkutan umum membawa Zea sampai ke kantor suaminya dengan cepat. Berjalan dengan tergesa-gesa dan masih dengan rasa khawatir, Zea menghampiri salah satu karyawan suaminya.

"Selamat pagi, Bu!" ucap karyawan itu menyapa lebih dulu dari bilik kerjanya yang terletak paling pinggir dari beberapa bilik karyawan lain.

"Apa suamiku ada di ruangannya atau telah terjadi sesuatu padanya?" tanya Zea tanpa basa-basi, tentu masih dengan wajah panik.

"Tidak, Bu. Tidak terjadi sesuatu apa pun di sini," sahut karyawan laki-laki itu dengan wajah bingung.

"Ya, aku berpikir telah terjadi sesuatu pada suamiku! Baiklah, aku akan segera menemuinya saja." Zea merasa telah salah bertanya.

Tak ada percakapan lagi, Zea melanjutkan langkahnya menuju ruang kerja Ruan. Meski kepanikan dan rasa khawatirnya menurun dengan dirasanya keadaan di gedung kantor suaminya itu baik-baik saja, tetapi tetap saja Zea ingin memastikan keadaan suami tercintanya.

"Ayolah, Pak, sedikit saja! Mmmph!"

Suara mendayu seorang wanita terdengar dari balik pintu dimana Zea berdiri kini. Detak jantung Zea mulai berdenyut cepat, ia sudah bisa menebak dan berpikir macam-macam akan suara wanita itu. Perlahan tangannya terulur untuk membuka handle pintu.

Gagang pintu mulai bergerak, Zea telah menekannya dan pintu mulai terbuka sedikitnya. Tubuh Zea mulai memasuki ruangan yang dengan cerobohnya pintu itu tak terkunci. Alhasil Zea melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang sedang terjadi di dalam ruangan itu.

Sebuah adegan yang tak seharusnya dilakukan sang sekretaris terhadap pimpinannya. Sementara Ruan, sang CEO yang juga adalah suaminya itu tak melawan, tapi juga tidak menimpali untuk menyentuh wanita sekretarisnya itu. Ia diam saja, membiarkan wajahnya disentuh. Namun, ia terlihat dalam keadaan tak kuasa.

"Ru-ruan!" ucap Zea dengan bibir yang bergetar dan rasa terkejutnya.

Sontak saja Ruan pun kaget akan kedatangan Zea, istrinya. Ia langsung saja mendorong tubuh wanita berpenampilan layaknya sekretaris itu yang sedang beraktivitas tak wajar. Wanita dengan rambut di-blow yang memang sekretaris Ruan, tengah berdiri dengan bagian tubuh depannya sangat dekat.

"Zea!" kagetnya bangkit dari duduknya.

Zea tak sanggup lagi berkata-kata, hanya gelengan kepala dan air mata yang mulai mengalir bebas. Tubuhnya terasa lemas, hatinya hancur, tak ada daya untuk marah, tidak ada kekuatan yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Namun, akhirnya dengan sekuat tenaga Zea berlari meninggalkan ruangan yang baru saja memberinya luka.

Ruan mengejar Zea, meski tubuhnya dalam keadaan kehilangan keseimbangan. Zea tak menoleh lagi ke belakang dan terus berlari. Beberapa karyawannya melihat kebingungan yang teramat sangat dan bertanya-tanya apa kiranya yang terjadi pada bos mereka.

"Zea! Tunggu!" teriak Ruan kencang mengejar Zea. Sang sekretaris memasang wajah cemberut kesal tak bisa menahan perginya sang bos dari dikuasainya tadi.

Bernafas dengan terengah-engah, akhirnya Ruan berhasil mengejar Zea. Ia bahkan kini menangkap dan menggenggam tangan istrinya. Namun, Zea tak ingin melihat wajah Ruan juga ia terus saja berusaha melepas pegangan tangan Ruan.

"Zea, kau salah paham. Itu tidak seperti apa yang kau lihat." Ruan berusaha menjelaskan dengan harapan Zea akan percaya.

"Lalu apa, Ruan? Kau bilang tidak seperti apa yang aku lihat? Itu sudah jelas, Ruan. Kau sudah mengkhianati pernikahan kita, kau sudah mengkhianati cinta kita!" marah Zea, meledak tak terkendali lagi.

"Zea, kau tahu 'kan, aku hanya mencintaimu? Bukankah kau percaya itu?" Ruan meyakinkan Zea.

"Kau tahu, Ruan. Di rumah kita, aku berpikir telah terjadi sesuatu padamu yang membuatku sangat khawatir, tapi ternyata ini yang terjadi! Aku telah salah!" Zea tak menjawab pertanyaan Ruan, ia tidak tahu apakah masih percaya atau tidak.

"Aku rasa dia sudah memberiku suatu obat dalam minumanku atau apa itu, aku tidak tahu." Ruan membela diri, meyakinkan Zea.

"Kau kembali saja pada wanitamu itu!" Zea menghempas tangan Ruan dengan kencang, hingga genggaman tangan Ruan benar-benar terlepas.

Tak menghiraukan Ruan lagi, Zea terus saja menjauh sambil menghapus air matanya yang mulai mengalir deras. Namun, air mata itu mengalir lagi dan lagi. Mengiringi langkahnya yang semakin menjauh.

Ruan terdiam terpaku sambil terus menatap kepergian Zea. Ia gundah, ia tak rela sebenarnya. Ia masih berharap marah Zea hanya saat ini saja. Mengejar pun dirasanya percuma jika dalam keadaan marah seperti itu.

'Zea, istriku. Kuharap kita akan membahas lagi di rumah nanti' gumamnya lirih.

Beruntungnya di jam kerja saat ini, tak banyak orang yang berlalu-lalang. Zea bisa dengan puasnya mengeluarkan seluruh tangisnya, bahkan isaknya mulai terdengar menandakan hatinya begitu sakit dan hancur.

Tangis Zea semakin terdengar memilukan, ia memegang dadanya yang terasa sesak. Air matanya tumpah ruah, terbayang bagaimana perasaan Zea saat ini. Ia sangat mencintai Ruan dan pernikahannya yang sudah menginjak di angka tiga tahun.

Tubuhnya semakin melemas, Zea menjatuhkan lututnya di jalan berlapis aspal yang mulai terasa hangat karena matahari pagi. Zea benar-benar tidak menyangka, suaminya berselingkuh. Padahal tadi pagi saat akan berangkat bekerja, Ruan masih bersikap manis seperti biasanya.

Pernikahan penuh cinta dan romantis, meyakinkannya akan berjalan seumur hidup. Namun, jika melihat perselingkuhan tadi, jangankan seumur hidup sedetik lagi pun tidak bisa diyakinkan bertahan atau tetap berjalan lanjut. Pernikahan itu mungkin hanya akan sepanjang tiga tahun ini saja.

'Ruan, cintamu bahkan terasa begitu nyata. Lalu tadi itu apa, Ruan' lirih Zea lagi begitu pilu.

Zea berpikir manisnya cinta dan segala keromantisan yang diciptakan Ruan, bahkan ia merasakan begitu jelas dan nyata apakah hanya sebuah kepalsuan. Pertanyaan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Menyadari saat ini ia berada di tempat umum yang bisa saja akan banyak orang melihat nantinya, Zea bersegera bangun dari duduk berlutut dan menghapus air matanya. Namun bukan berarti Zea sudah merasa lebih baik. Tidak, bahkan tidak sama sekali. Ia hanya tidak ingin ada orang yang melihatnya.

Berjalan dengan gontai, Zea bermaksud menyebrang jalan. Sebab arah pulang memang berada di seberang jalan sana. Ia harus menaiki angkutan umum dari seberang jalan itu.

Baru saja beberapa langkah untuk ke tengah jalan, sebuah taksi berhenti mengerem dengan tajam. Taksi berwarna biru itu hampir saja menabrak Zea. Sang sopir taksi itu sangat terkejut dan marah kepada Zea. Menurutnya Zea sangat bodoh dengan menyeberang jalan begitu saja tanpa melihat-lihat dahulu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status