Share

Tentang Zian

"Rere Sini." Amel memanggil sembari menepuk-nepuk bangku di sebelahnya.

Tepat saat Rere bingung hendak duduk di mana setelah di usir oleh Zian kemarin, gadis tomboy itu memberinya solusi.

"Duduk bareng gue aja." ajaknya.

Rere mendekat lalu duduk di bangku sebelah Amelia dengan hati-hati. "Thanks."

"Kemaren kenapa pulang gitu aja?" Amel bertanya, dia menyatukan tangannya pada meja kemudian membaringkan kepala, menatap pada Rere.

Gadis berambut kastanye itu menggeleng kaku. "Nggak apa apa."

Amel mengangkat alis dan menatap gurat kecanggungan pada wajah Rere, sepertinya dia tidak perlu bertanya lebih jauh soal itu.

"Kebetulan nggak ada yang mau sebangku sama gue, jadi lo duduk di sini aja, ya." Amel mengganti topik. Dia berusaha akrab dengan Rere.

"Em," Rere mangut mangut.

Setelah menaruh tas dan meletakkan buku ke atas meja, Zian terlihat masuk ke dalam kelas bersama antek-anteknya yang mengekor di belakang. Rere mendeliknya sekilas dengan perasaan tak suka kemudian kembali acuh dan memilih membaca materi pelajaran yang akan di bawakan hari ini.

Amelia yang menyaksikan tatapan ketidaksukaan Rere terhadap kakaknya itu tidak bisa tidak bertanya. "Lo sama Zian nggak akur, ya?" bisik Amel setelah mencolek lengan gadis di sampingnya itu.

Rere menatapnya. Kemudian mendesah. "Sedikit."

"Lo tau nggak?" Amel mendekatkan wajahnya. Rere spontan memiringkan kepalanya, untuk mendengar bisikan Amel lebih jelas. "Zian itu aneh."

"Aneh gimana?" Rere bertanya dengan suara sama pelannya dengan Amel.

"Dia nggak pernah ikut pelajaran olahraga, nggak pernah ikut praktek apapun. Tapi, pas pulang sekolah ... Dia suka maen basket sendiri di lapangan."

"Emangnya ..." Rere berpikir sejenak. "Yang begitu aneh, ya?"

Amelia menjauhkan wajahnya kemudian menghela napas. Dia menatap Rere lamat-lamat. "Kalo dia suka basket, kenapa nggak ikut waktu kita praktek main basket?"

Rere menggeleng masygul seraya menggidikan bahu. "Mungkin .. waktu itu dia males?"

Amel ikut geleng-geleng. "Nggak mungkin." dia mengerutkan dahinya seperti orang yang tengah berpikir. "Mungkin lo harus cari alesannya." cetusnya kemudian.

"Hah?" Rere cengo. "Kok gue?"

"Ya, kan lo adeknya."

"Ogah! Lagian juga bukan urusan gue." Rere menengok ke arah papan tulis di depan. "Mau dia aneh atau ajaib sekalipun, gue nggak peduli."

Amelia menghela napas pelan.

Untuk beberapa saat mereka saling diam sampai akhirnya Amel kembali bersuara.

"Tinggal sama sodara tiri itu ... Sulit ya?" 

Rere sontak berbalik menatap teman sebangkunya itu.

Dari mana gadis tomboy ini tahu bahwa dia dan Zian adalah saudara tiri?

"Maksudnya?" Rere bertanya.

"Yaa, sulit." Amel membalas tatapan Rere dengan lamat. "Kalian sodara tiri kan? Zian sama lo umurnya pasti nggak jauh beda. Kalian seangkatan. Lagian, gue juga tau adeknya Zian itu masih kecil, dia juga udah meninggal belum lama ini." tuturnya.

Rere diam. Dia tidak tahu kalau situasinya mudah sekali terbaca oleh orang lain. Bahkan Amelia, gadis yang baru saja di kenalnya kemarin.

"Kemarin kalian bilang kalian itu sedarah. Gue cuma bisa nebak kalo kalian itu sebenarnya sadarah dari ayah aja. Iya kan?" tanyanya lagi.

Dan bingo!

Kali ini, Rere tidak bisa berkilah.

Dia tidak menyangka, kalau gadis tomboy ini benar benar sangat cerdas.

"Lo ... Tau itu dari mana?"

Amelia terkekeh. "Gampang banget ditebaklah, Re." dia membisikan sesuatu ke telinga Rere. "Gue kan suka sama Zian. Gak mungkin gue nggak tau gimana dia."

Jelas sekali.

Rere cukup terkejut mendengar pengakuan gadis itu. Rere pikir, orang seperti Amel berbeda dari gadis kebanyakan. Penampilannya yang urakan dan manly membuat orang baru seperti dirinya beranggapan bahwa dia tidak menyukai laki laki. Bahkan mungkin mereka menganggap diri mereka malah sebagai laki laki.

Dan siapa?

Amel menyukai Zian?

Seriusan?

Seorang Zian Nara yang sangat biasa saja dan menyebalkan itu membuat manusia setengah perempuan seperti Amel jatuh hati?

Memangnya, apa yang menarik dari kakak tirinya?

"Jangan bilang siapa siapa, ya." Amel melanjutkan.

Setelah mengatakan itu, wajahnya tampak merona dan tersipu malu. Melihat itu, Rere hampir menahan nafasnya.

Tak tau kenapa situasi ini membuatnya merinding geli. Entah dari Amel yang ternyata menyukai laki laki atau laki laki yang di sukai Amel ternyata adalah Zian. Yang jelas, semuanya terasa sangat absurd dan ambigu.

.....

Bukan karena alasan "Zian aneh" yang Amelia bilang di kelas pagi tadi, tapi karena teman tomboynya itu naksir Zian lah yang membuat Rere penasaran.

Akhirnya, dia sengaja menunggu di kelas bahkan sampai ruangan itu kosong karena bel pulang sekolah telah berbunyi sejam yang lalu.

Untuk apa?

Tentu untuk mengamati seberapa aneh dan menariknya Zian seperti yang di ceritakan Amelia.

Lantunan musik Minefields dari John Legend dan Faouzia mengisi indra pendengarannya. Dengan earphone yang menjuntai sampai ujung ponsel, kepala gadis itu mangut mangut menahan kantuk karena rasa bosan.

Saat hampir saja jatuh terlelap, sayup ia mendengar dribbling-an bola dari arah lapangan yang berada di samping kelasnya.

Rere menggoyangkan kepalanya dengan cepat, berusaha mengusir kantuk yang menggelayuti matanya. Dia kemudian meregangkan tubuh dan berdiri.

Mengintip dari tepi kaca jendela mencari cari sumber suara pantulan bola yang ia dengar belum lama tadi. Dan benar saja, di lapangan sekolah yang sunyi dan hampir nyaris tak ada orang di sekitarnya, Zian bermain basket sendirian.

Rere yang tadinya mengintip dengan satu matanya kini sedikit sedikit menonton permainan Zian dengan penuh minat. Satu ruas kaca jendela hampir penuh oleh keseluruhan wajah dan kedua tangannya yang ikut ia tempelkan di sana.

Meskipun tubuh Zian terbilang kurus, Rere tak menyangka bahwa Zian bisa bermain lincah dan sehebat yang ia saksikan sekarang. Lelaki berkulit putih pias itu mengocek bola, men-dribbling, dan melakukan jumping yang sempurna hingga bola masuk dengan mulus ke dalam ring meski dari jarak yang jauh.

Rere hampir saja bersorak melihatnya.

Dia menikmati permainan tunggal Zian dari balik jendela hingga entah berapa lama waktu berlalu. Sampai tubuh remaja tanggung di lapangan itu dibanjiri keringat sebadan-badan. Napasnya mulai pendek dan tersengal sengal.

Tentu saja permainan itu sangat menguras tenaga, terlebih untuk orang seperti Zian yang fisiknya sedikit berbeda dari remaja kebanyakan.

Baginya, terus bermain basket hingga mencapai titik batas adalah satu kepuasan tersendiri. Dia mungkin tidak akan selincah atlet, namun dia berusaha agar hobi 'ekstrem' nya ini mampu mrmbuatnya mampu menekan resiko penyakit asma yang dideritanya.

Sekali shooting lagi dan dia akan berhasil melampaui pencapaiannya kemarin lalu. Dalam setiap bermain, Zian berusaha mengalahkan rekornya sendiri.

Terakhir kali ia bermain, sebelum ibunya meninggal, rekornya mencapai 25 shoot dalam satu round. Kali ini, meskipun terhitung sudah lama tidak bermain, dia ingin memecahkan rekor terakhirnya.

Dia berjalan dengan terengah ke tengah lapangan sambil mendribble bola di tangan kirinya. Sejujurnya, dia merasa sudah mencapai batasnya pada saat shoot ke-20. Tapi, dia coba bertahan sedikit lebih lama lagi.

Tidak boleh berhenti sebelum pencapaiannya terpenuhi.

"Aagghh." Zian mengaduh sambil menyentuh dadanya yang terasa mulai pengap.

Ini buruk.

Sepertinya, dia terlalu memaksakan diri.

Dengan sedikit tenaga dia memukul dan meremas dadanya yang terasa tidak karuan. Pandangannya mengedar kesekeliling, mulai terasa buram dan berputar putar.

Bola di tangan kirinya jatuh menggelinding begitu saja karena tangannya tak mampu lagi fokus bermain.

Zian mencoba untuk tidak panik. Dia meraup udara sebanyak yang ia bisa meski dadanya terasa semakin sesak. Keringat yang tadinya berasal dari olahraga kini tertimpa lagi oleh keringat dingin yang sangat tidak mengenakan.

Dari jendela kelas, Rere yang masih memperhatikannya mengerutkan alis.

Apa Zian sudah selesai bermain?

Dia menengok jam dinding di kelas untuk melihat berapa lama dia mangamati kakak tirinya itu bermain tadi.

Pukul 17.15.

Matanya membulat.

Serius? Dia menonton Zian lebih dari satu jam?

Kenapa tidak begitu terasa.

Tidak mungkin karena dia terpukau atau kagum dengan permainan lelaki itu. Sangat tidak mungkin.

Rere kembali menatap jendela, tepat ke arah lapangan.

Matanya kembali membulat, kali ini jauh lebih terkejut dari melihat waktu yang di tunjukan jam dinding.

"Eh?!" teriaknya.

Tak membuang waktu lama, gadis itu beringsut meninggalkan kelas dan buru buru berlari ke arah lapangan.

Kenapa?

Kenapa Zian tiba tiba ambrug seperti itu?

Rere hampir tidak bisa berpikir selain merasa ia harus secepatnya pergi ke tengah lapangan.

"Ya, tuhan!" larinya semakin kencang saat melihat secara langsung Zian tak berdaya sendirian di tengah sana.

"Hey," Rere berlutut di sampingnya. "Zian?"

Dengan setengah panik dia memanggil lelaki itu tanpa berani menyentuhnya. Zian tampak tidak bergerak, wajahnya pucat dan berkeringat sangat banyak.

Rere jelas kebingungan dan kalang kabut. Dia tidak tau harus bagaimana. Matanya berkeliling mencari seseorang untuk dimintai tolong. Nihil. Tidak ada seorang pun yang bisa ia temukan. Bahkan penjaga sekolah sekalipun.

"Zian?!" Rere kembali memanggil. Kali ini, dia memberanikan diri untuk menepuk pipi lelaki itu. Pelan, kemudian kencang dan semakin kencang.

Tetap tidak ada respon.

Tangan Rere gemetaran. Dia mencoba mengecek nafas kakak tirinya ini. Dengan perlahan dan penuh rasa takut, dia mendekatkan telunjuknya pada mulut dan lubang hidung Zian.

Mendapati ada hembusan lemah di sana, Rere menghela napas lega.

Apa dia harus memberi nafas buatan seperti di film-film?

Tidak!

Itu terlalu konyol.

Rere mencoba memutar otak, dia pernah belajar tentang memberikan pertolongan pertama waktu mengikuti ekskul PMR di sekolah menengah pertama, tapi kenapa pikirannya tiba tiba blank disaat mendesak seperti ini.

Oh ayolah!

Rere menarik tas selempangnya, mengeluarkan beberapa lebar tissu dan memilih menyeka keringat Zian sembari memikirkan hal apa yang harus ia lakukan.

"Cuma maen basket doang, masa lo mati sih." Rere menggeremat sambil intens menyeka keringat yang membanjiri leher Zian. "Hey!"

Rere menyondongkan wajahnya, menyelipkan rambutnya yang ikut jatuh ke daun telinga, menatap kakaknya lebih dekat sambil mengelap bagian pelipis putihnya. Menggeser kepala kakaknya ke posisi yang nyaman. Lalu menyeka keringatnya lagi.

Jika di lihat-lihat, dari jarak sedekat ini, dan dengan Zian diam tidak menyebalkan seperti sebelumnya. Lelaki itu nyatanya terlihat cukup tampan.

Wajahnya yang kurus dan hidung yang lancip, membuatnya terlihat menawan. Terlebih kulit putihnya yang cenderung pucat bahkan ketika ia marah sekalipun, menambah kesan yang sempurna.

Zian itu seperti aktor dalam drama korea yang sering Rere tonton.

Seriusan.

Setampan itu.

Tapi sayang, tampannya akan mem-blur ketika sifat menyebalkannya keluar.

....

Berlarut dalam lamunannya, Rere tidak sadar bahwa Zian tengah menatapnya sekarang. Lelaki itu-entah sejak kapan terbangun-langsung menyecar gadis yang mengelap wajahnya itu dengan tatapan sinis dan penuh kebingungan.

Sadar bahwa Zian tengah menatapnya, Rere langsung menarik tangannya dari wajah remaja itu. Kemudian duduk tegap menjauh dari tubuh Zian.

"Lo ... Ngapain?" Zian bertanya dengan seribu gurat kebingungan di wajahnya.

Serius, dia tidak tau mengapa saat membuka mata Rere ada di hadapannya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Gadis itu seperti ... terkesima.

"Ah ... Tadi .." Rere mendadak menjadi gagap. Padahal dia memang berniat baik untuk menolong Zian yang pingsan setelah bermain basket. Tapi, kenapa setelah dipergoki sedang menatap kakaknya itu secara tidak wajar membuat dia gelagapan.

"Tadi?" ulang Zian.

"Tadi lo ... Tiba-tiba jatoh, gue dateng ... Cuma mau mastiin keadaan lo doang." meski susah payah. Kalimat itu akhirnya bisa Rere utarakan.

"Dengan mandangin gue kayak orang sagne, gitu?"

"Hah?"

Sagne?

Serius barusan Zian mengatainya orang sagne?

"Eh, gue udah baik, ya. Di sini tuh nggak ada orang. Gimana kalo lo mati? Untung ada gue yang buru buru dateng." kesal Rere.

"Gue becanda." Zian menyahut dengan sedikit kekehan. Dia kemudian bangun dan berusaha duduk meski kepalanya masih terasa berat. "Gue cuma tiduran bentar tadi. Lo harusnya nggak seheboh itu."

"Tiduran?" Rere merengut tak percaya. "Tiduran kok kayak orang mati." ledeknya.

"Orang mati itu udah mati, mereka bukan tiduran tapi mati." masih dengan nada dinginnya, Zian menyahut asal.

"Ngomong apa sih lo? Gegar otak, ya?" refleks Rere menyentuh kening Zian dengan punggung tangannya.

Berawal dari hanya ingin mengecek kewarasan kakaknya itu, kini dia harus menghadapi tatapan mata Zian yang menjurus ke arahnya.

Begitu dekat.

Manik coklatnya yang sedikit bergetar membuat Rere berada diambang perasaan yang aneh, entah apa namanya, ia sendiri tak tahu.

Yang jelas, deskripsi tentang keadaannya saat ini adalah ...

Dia sangat malu.

Pipinya sampai merona.

Buru-buru dia tarik tangannya kembali dan menoleh ke arah lain untuk mengurangi perasaan canggung yang aneh yang ia rasakan.

"Lo kenapa belom balik?" Zian tiba tiba bertanya. Sepertinya, lelaki itu tidak merasakan kecanggungan yang gadis di depannya rasakan. Dia tampak biasa saja. Dingin seperti biasanya.

Wajah Rere mengernyit di tanya begitu. Dia harus jawab apa? Nggak mungkin dia bilang kalau dia sengaja ingin menonton Zian main basket karena penasaran tentang cerita Amelia. Holly shitt, itu alasan yang konyol!.

"Mm ... Gue," Rere memutar pandangannya. "Gue tadi udah mau balik. Tapi,..." dia buntu. Tidak bisa menemukan alasan bagus apa agar tidak dianggap freak oleh Zian.

"Apapun itu, makasih ... Gue nggak tau kenapa gue tadi tiba tiba blank out." Zian mulai berdiri. "Thanks, udah mau nungguin gue bangun."

Meskipun masih dengan suara dan nada yang dingin khas Zian Nara yang ia kesali, tapi ucapan terimakasih itu membuat Rere seperti berhenti bernapas.

Zian mengucapkan terimakasih?

Seriusan?

Laki laki itu, sepertinya memang tidak seburuk yang Rere kira.

Perasaan menyebalkan yang kerap kali ia rasakan saat berbicara dengan Zian mungkin karena mereka memang belum saling mengenal satu sama lain.

Wajar saja.

Kesan pertama yang buruk adalah akar kesalahpahaman mereka.

Dan itu lah yang baru Rere sadari.

"Kenapa ngelamun?, ayok balik."

Rere menengok ke samping. Di sana, Zian mengulurkan tangannya, memberi isyarat ingin membantu Rere berdiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status