Share

Pilih Kasih?

Malam itu, Rere tidak bisa tidur. Dia terus merapatkan matanya kuat kuat, namun tak juga terlelap. 

Bayangan wajah Zian, dan moment ketika lelaki itu mengucapkan terimakasih terus berputar di kepalanya seperti role film. 

Kesal berguling guling tanpa arah, gadis berambut kastanye itu bangkit dan duduk bersidekap di atas kasur. Di tengok jam dinding yang ada di dekat jendela, pukul 02.05 dini hari. 

Shitt! 

Dia benar benar tidak diberi rasa kantuk sedikit pun. 

Setelah menghela napas panjang berulang kali, Rere akhirnya memutuskan turun dari ranjang, berjalan ke arah dapur untuk membuat susu hangat. 

Katanya, meminum susu membuat orang cepat mengantuk. Dia ingin mencoba metode itu. Barang kali berhasil. 

Setelah menyusuri ruang demi ruang rumah yang gelap, gadis bernama asli Renata itu menyalakan saklar lampu dapur. Ia beringsut membuka kulkas dan mengambil kotak susu UHT berukuran 1 liter. Menuangkannya pada gelas dan memasukannya ke dalam microwave. 

Setelah beberapa saat, hanya sampai susu itu menjadi sedikit hangat, Rere mengambilnya kemudian kembali mematikan saklar lampu. 

Menenteng gelas di tangannya, ia berjalan kembali menuju kamar. Sebelum menaiki anak tangga menuju lantai atas, dia melihat satu ruangan menyala terang dengan pintu yang sedikit terbuka. 

Kalau tidak salah, itu adalah kamar Zian. 

Apa Zian belum tidur? 

Atau dia tidur dengan lampu yang menyala? 

Rere yang sebenarnya tidak terlalu peduli mendadak penasaran tentang sesuatu. 

Mengingat kejadian di lapangan sore tadi, apa sekarang Zian baik baik saja? Mereka tidak bertemu saat makan malam karena bi Asri membawa makanan terpisah untuk Zian ke kamarnya. 

Tidak apa apa jika mengintip sebentar, kan? 

Sedikit berjinjit, Renata melangkah pasti ke arah ruangan dengan pencahayaan paling berbeda itu. 

Pintu yang sedikit terbuka memberinya celah untuk mengintip. Dia menjulurkan kepalanya, menajamkan mata, beradaptasi dengan cahaya terang untuk beberapa saat hingga akhirnya terlihat jelas seluruh isi ruangan di sana. 

Seorang lelaki kurus yang menjadi objek pencariannya berada di sana, tengah berdiri menanggalkan baju di badannya. Dengan hanya tersisa celana jeans yang tidak terlalu ketat, Rere dapat melihat lekukan tubuh Zian yang tersinari lampu terang. 

Matanya berkedip lambat, seolah scene ini di beri efek slow-motion entah oleh siapa. 

Dada kurus yang memiliki sedikit otot serta perut rata yang berpetak tipis bila lelaki itu meregangkan tubuhnya membuat Rere nyaris berhenti bernafas. 

Saat pandangannya terus menyisir ke bawah, di balik celana jeans bernomor 28 itu, sesuatu yang menonjol memiliki bentuk berbeda diantara bagian tubuh lainnya. Renata segara tersadar, dia mundur selangkah dan langsung menggeleng cepat. 

Apa apaan dengan hal yang barusan dia lihat? 

Mesum! 

Tidak tidak

Dia tidak sengaja melihatnya. 

Dia tidak mungkin berpikiran macam macam. 

Sibuk mengusir pikiran ambigu di kepalanya, tiba tiba pintu di depannya berderit terbuka. Cahaya terang dari dalam kamar mengisi sisi gelap di depan pintu itu juga, khususnya menerpa sosok Rere yang memang berdiri di sana. 

Tubuh setengah polos yang tadi diam diam ia amati kini terpampang jelas di depan matanya. 

Kedua pasang mata yang beradu kontan membelalak terkejut. Terutama gadis itu, dia nyaris jatuh kebelakang dan menumpahkan susu di tangannya. 

"Lo ngapain di sini?" Zian menatap tajam Rere saat bertanya. 

Sangat wajar, mengingat ini sudah tengah malam lewat, dan aneh rasanya jika ada seorang gadis berdiri di depan kamar lelaki dengan gelagat mencurigakan. 

"Eng ... Anu," Rere menggaruk bagian belakang kepalanya. Matanya menunduk menghindari cecaran tatapan Zian yang terasa mengintimidasi. Tapi sialnya, pandangan gadis itu justru menjurus kembali ke daerah terlarang yang sangat tidak boleh di pandang. "Gue abis ngambil susu." buru buru dia mengangkat gelas di tangannya dan melempar senyuman kaku.

"Terus?"

"Yaa, gue mau balik ke kamar." 

"Kamar lo ke sebelah sana. Lo nggak sebodoh itu sampe nyasar ke sini." Zian makin menaruh curiga. Lelaki itu memicingkan matanya. "Lo nggak lagi ... Nginβ€”"

"Ah, iya. Gue ngelindur, sorry." Rere pura pura menguap. "Gue balik ke kamar dulu." Dia menguap lagi. Lalu melambaikan tangan senatural mungkin pada Zian meski sebenarnya jantungnya sedang marathon karena rasa malu dan kikuk luar biasa. 

"Susunya buat lo aja, nih." dengan enteng dia menarik tangan Zian dan mengalihkan gelas di tangannya pada lelaki itu. "Gue .. balik tidur, yak." 

Setelah menyerahkan gelas berisi cairan susu, si gadis canggung itu langsung melesat pergi tanpa menunggu lawan bicaranya membalas. 

Zian dibuat tambah bingung. Alisnya masih menukik memikirkan -apa yang sebenarnya terjadi barusan?- 

Dan karena kebetulan ia juga ingin mengambil susu di dapur karena tidak bisa tidur, Rere secara tak langsung sudah memudahkan pekerjaannya. 

Zian tak mau ambil pusing dan kembali masuk ke dalam kamar dengan membawa serta gelas susu ditangannya. Tak lupa mengunci pintu dan juga mematikan lampu. 

....

Keesokan paginya di sekolah, sudah bisa ditebak jika gadis bermanik abu itu benar benar terlihat kacau. Wajahnya lusuh, dan rambutnya agak berantakan karena tidak di sisir dengan benar. Kejadian memalukan tadi malam tambah membuatnya terjaga semalaman. Dan lagi, susu yang harusnya dia minum malah dia berikan pada Zian karena saking gugupnya. 

Amelia, yang kebetulan datang terlambat hari ini cukup terkejut dengan penampilan teman sebangkunya. Selain terlihat lusuh dan urakan, Rere juga tampak stres. Dia terus melamun bahkan hingga tak sadar saat Amel menggoyangkan tangannya di depan wajah gadis itu. 

"Woy!" teriaknya sambil menggebrak meja di depan Rere. 

Sontak Rere terperanjat kaget dan hampir saja melompat mundur dari kursinya. Dia lalu langsung melayangkan tatapan elang pada Amel. Menuntut penjelasan mengapa gadis tomboy itu mengejutkannya. 

"Lo ngelamun terus ... Guru udah datang, tuh." ucapnya. 

Dan secara ajaib seorang pria tinggi dengan setelan dinas rapi benar benar muncul dari balik pintu dan berjalan ke tengah ruangan. 

Tapi, Rere sedang tidak berselera untuk belajar. Dia terlalu mengantuk untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Apalagi, hari ini adalah bagian sejarah. Sangat membosan. 

Guru menerangkan beberapa hal yang tidak bisa Rere dengar dengan baik, namun satu kalimat jelas di akhir berhasil di tangkap indra mendengarannya. 

Semua siswa di suruh pergi ke perpustakaan untuk mencari materi sejarah kerajaan -apa itu Rere tak ingat- dan mengumpulkan laporannya setelah jam istirahat nanti. 

Semua murid secara berkala pergi meninggalkan kelas, begitu pula Zian dan teman temannya. Tinggal bersisakan Rere dan Amel yang tampaknya tidak berniat bergeser sedikitpun dari tempatnya. 

Rere yang tadinya ingin tidur beralaskan tangannya di meja mau tak mau bertanya pada rekan sebangkunya. "Kenapa nggak ke perpus?"

"Males."

Satu kata, singkat, padat dan jelas. 

Rere hanya mangut mangut tak peduli kemudian kembali menunaikan niatnya untuk tidur. 

Tapi, sebelum wajahnya menyentuh permukaan meja, Amel malah balik bertanya. "Lo sendiri?"

"Ngantuk."

"Jangan tidur di sini." Amel memperingati. "Gue udah biasa di hukum kalo ketauan nggak ikut pelajaran. Tapi, lo mending jangan ikut bermasalah kayak gue deh."

"Kan, cuma mau tidur. Nggak kemana mana." baru saja Rere menyelesaikan kalimatnya, guru sejarah yang tadi datang kembali ke kelas dan meneriaki keduanya. 

"Hey, kenapa masih di sini!" 

"Iya, pak. Ini mau ke perpus." Rere yang terkejut buru buru menyahut. 

"Tuh, kan." Amel meledek dengan suara pelan. "Sana, tidur di perpus aja." 

Rere berpaling ke orang di sebelahnya itu. "Terus lo sendiri?" 

"Selow, gue mau ke kantin." ucapnya dengan menggoyangkan alis dan menyeringai dengan santai. 

Rere hanya membuang napasnya dan tak mau ambil pusing soal Amel yang akan di tangkap pihak sekolah tak lama lagi itu. Dia berdiri, membawa buku catatannya kemudian pergi ke arah perpustakaan sekolah. 

....

Saat semua siswa dari kelasnya dan kelas lain sibuk menulis materi dan mencari buku referensi, Rere dengan acuhnya berjalan ke arah lorong paling pojok. Mencari sudut sunyi untuk melanjutkan ritual tidurnya. 

Dan setelah mensurvei beberapa kandidat spot yang cocok, dia menjatuhkan pilihannya pada bagian belakang rak buku paket anatomi manusia. Rak paling terpelosok dan adem yang paling sesuai dengan sanubarinya. 

Rere duduk di atas lantai beralaskan porselen yang dingin, menyandarkan punggungnya ke tembok kemudian menutup wajahnya dengan buku catatan yang dia bawa dari kelas. 

Ide Amel agar ia tidur di perpustakaan memang sangat brilian. Di sini sangat nyaman, sunyi dan tak akan ada siapa pun yang mengusiknya. 

Alunan musik soft dari earphone yang mencocoki telinga membuat gadis itu terlelap dengan mudah. 

....

Zian membolak balik buku paket sejarah di tangannya. Bosan. 

Terlihat Danu dan Riko menguap secara bersamaan untuk yang ke sekian kalinya. Mereka memilih meletakkan buku sebagai alas tidur mengikuti Surya yang sudah dari tadi jatuh ke alam mimpi. 

Dengan rasa malas dan bosan yang menggelayuti, Zian akhirnya mampu menyelesaikan esainya lebih awal dari waktu yang di sediakan oleh guru. 

Dia menutup buku catatannya. Menatap satu persatu temannya yang sudah terlelap tidur kemudian menghela napas panjang. 

Belum waktunya istirahat, dan jika ia ikut tidur seperti yang lainnya, itu akan beresiko. Mereka semua bisa saja bangun terlambat dan ketinggalan kelas nantinya. 

Manik coklat remaja kurus itu mengedar ke sekitar. Perpustakaan memang ramai, tapi cukup hening untuk tolak ukur keramaian biasanya. Selain karena tata tertib sekolah yang ketat, pihak sekolah juga memiliki penjaga perpustakaan yang galak. Jadi, hampir seluruh murid takut dan tidak berani membuat keributan di tempat ini. 

Tapi, kembali lagi. Tempat yang sunyi membuat Zian cepat bosan. Jika ia pergi dari sini untuk mencari suasana menyenangkan, bagaimana dengan teman temannya yang baru saja tertidur. Mereka akan marah jika Zian bangunkan saat ini. 

Tanpa ambil pusing, lelaki kurus itu memilih untuk membaca buku yang ada di sekitarnya. Dia bangkit dari kursi dan menyusuri rak rak penuh buku. Dari mulai buku pelajaran hingga pengetahuan umum dan majalah sekolah. 

Zian bingung ingin membaca buku tentang apa, sebab pelajaran sekolah tidak begitu menarik baginya. Dia suka kegiatan lain selain akademis, yaitu olahraga. Mungkin, akan menarik jika dia bisa menemukan buku olaraga yang memuat teknik-teknik bermain basket. 

Dari susunan rak paling depan, hingga ujung paling belakang, Zian melihat semua buku tentang olahraga yang tersedia. Namun, tidak banyak yang memuat teknik khusus tentang pertandingan basket. Hanya mekanika dasar yang sudah ia kuasai sejak lama. 

Saat anteng memilah paket PJOK untuk kelas 12, bahunya tiba tiba di sentuh seseorang. Zian langsung berbalik badan. Dan di dapatilah junior cantik dengan wajah malu malu bertanya padanya. 

"Kak, buku tentang anatomi dan kimia dasar di sebelah mana ya?" 

Zian mengerutkan dahinya mencoba mengingat-ingat di mana tepatnya buku tersebut di letakkan. Karena, pihak perpustakaan selalu memindah-mindahkan susunan buku setiap bulannya. 

Ingat tentang pelajaran kimia kemarin, remaja itu langsung berjalan menunjukan arah rak yang gadis itu tuju.

"Di sini deh kayaknya." 

Setelah berbelok di beberapa sudut, Zian akhirnya menunjukan rak yang juniornya cari. 

Gadis kecil itu tersenyum kemudian sedikit membungkukan badan. "Makasih, kak." kemudian berlalu mencari buku incarannya. 

Zian membalas senyuman gadis itu sebentar. Lalu hendak kembali mencari buku olahraga yang ia ingini, tapi matanya tiba tiba menangkap sesuatu. 

Zian menyipitkan pandangannya, lalu berjalan pelan ke arah seonggok manusia yang terlelap di pojokan rak paling ujung. Menilik-nilik sepertinya dia mengenal orang itu. 

Zian sampai di hadapannya, tanpa menimbulkan suara. Dia berlutut dan menyondongkan wajah mengintip gadis yang tertidur di balik buku catatannya. 

Renata rupanya. 

Rambut kastanye gadis itu menjuntai hingga hampir menyentuh lantai. Dari earphone yang terpasang di telinganya, Zian dapat mendengar alunan musik barat berputar. 

Ingatannya kembali pada kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana dia sangat marah saat Rere memindahkan barang barang milik mendiang ibunya. 

Setelah mendapat tamparan dari Arga sang ayah, Zian tak lagi ingin melihat wajah gadis ini. Dia bahkan hampir tidak peduli jika Rere merasa sakit hati dengan ucapannya yang menyebut bahwa gadis itu bukanlah anak ayahnya. 

Sampai pada kejadian di lapangan basket kemarin. Zian cukup terkejut melihat Rere dengan wajah khawatirnya menoleh kesana kemari untuk mencari bantuan, Zian ingat Rere bahkan menyeka keringat dingin pada wajahnya dengan tangan gemetaran. 

Dari sana remaja itu menyadari sesuatu, mungkin dia dan Rere hanya perlu sedikit waktu untuk beradaptasi sebagai kakak dan adik. Memulai hubungan keluarga yang rumit ini dari nol dan mungkin saja dengan begitu mereka tidak harus selalu bersitegang. 

Toh, hubungan darah sebagai kakak dan adik tidak akan bisa terputus hanya karena mereka saling membenci. 

Tanpa sadar, Zian mengangkat tangan kanannya, mengarahkan jemarinya ke arah wajah Rere yang tertutupi buku. 

Dia ingin menyingkap buku itu untuk melihat wajah Rere yang sedang tertidur. 

Namun, belum sempat kulitnya menyentuh permukaan plastik pembungkus buku, bel istirahat lebih dulu berbunyi. Membuat dia terperanjat dan menarik kembali tangannya. 

Buru buru Zian pergi dari sana sebelum Renata terbangun. 

Suara bel tanda istirahat berbunyi dengan nyaring dan berulang-ulang. Mengusik telinga Rere yang bahkan masih di jejali musik. 

Gadis itu menggeliat tak nyaman. Dia menyingkirkan buku di atas wajahnya. Dan melirik sekitar dengan linglung. 

Masih di perpustakaan? 

Hah ...

Berarti barusan dia hanya bermimpi. 

Mimpi tentang seorang anak laki laki di masa lalu yang berlari menaiki bukit bersamanya dengan perasaan riang gembira. 

TBC ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status