Share

Angel Or devil?

Bel sekolah berbunyi.

Menandakan waktu pembelajaran telah berakhir. Rere menoleh ke sebelah kirinya, ke arah bangku yang Zian duduki. Di sana, remaja itu tengah berbincang heboh bersama teman-temannya sembari merapikan alat tulis ke dalam tas.

Jarang sekali Rere melihat dia tertawa lepas, atau bahkan tersenyum saat berbicara dengannya. Tapi, saat melihat Zian begitu ekspresif bersama teman-temannya, entah mengapa gadis itu menjadi ikut merasa senang.

Apa Zian akan bermain basket lagi?

Apa dia harus menunggu seperti kemarin?

"Abis ini, lo free nggak, Re?" Amel teman sebangkunya tiba tiba bertanya.

Rere spontan menoleh padanya. "Mm .. Iya, kenapa emang?"

Gadis tomboy itu memajukan wajahnya lalu berbisik. "Hang Out, yuk."

"Kemana?"

"Ada deh. Lo pasti suka." ucap Amel sambil menggoyangkan alisnya percaya diri.

"Iya, tapi kemana dulu?"

"Southbank."

Rere kontan mengerutkan alisnya. "Tempat apaan tuh?"

"Makanya ikut aja."

"Sekarang?"

Amel tidak bisa untuk tidak menahan tawa. Teman sebangkunya ini benar benar masih polos. "Entar malem atuh, Re. Jam segini mau ngapain? Tempatnya masih tutup."

"Jauh nggak? Gue takut gak di kasih ijin."

Rere lupa, dia belum pernah pergi ke manapun setelah pindah selain rumah dan sekolah. Dia masih awam tentang tempat tempat nongkrong di kota ini.

"Besok sabtu. Sekolah libur. Kalo misal pulangnya kemaleman lo bisa nginep di rumah gue kok." usulnya.

Rere masih tampak ragu-ragu. Namun, tidak ada salahnya mencoba bergaul keluar. Mungkin saja dia bisa memiliki teman baru.

"Gimana?" Amel kembali bertanya.

"Boleh deh," Rere akhirnya setuju.

"Tar malem gue jemput, ya. Gue balik dulu." dengan menenteng tas ranselnya, Amel bangkit dari kursi dan pergi sambil melambaikan tangan pada Rere.

"Oke, gue tunggu." Rere membalas lambaian tangan Amel.

Kemudian tak lama, rombongan Zian juga turut keluar dari kelas. Kini ruangan itu nyaris kosong, hanya menyisakan Rere dan beberapa siswa yang kebetulan mendapat tugas piket untuk membersihkan kelas.

....

Seperti kemarin, Renata menunggu lagi. Kali ini bukan di dalam kelas, melainkan langsung di podium pinggir lapangan.

Masih ada beberapa siswa yang berlalu lalang pada jam pulang sekolah, mereka kebanyakan adalah siswa yang mengikuti ekstra kurikuler dan kelas tambahan.

Ada yang tengah latihan baris berbaris, ada yang bermain futsal, latihan pencak silat dan lain sebagainya.

Rere tetap menunggu.

Dia merogoh earphone ditasnya. Menyalakan musik soft barat favoritnya dan membuka sebuah buku novel berjudul 'Salma' karya Fadia Faqir yang dia beli beberapa waktu lalu di olshop.

Lembar per lembar buku itu ia balik. Halaman demi halaman ia buka tanpa menyadari waktu telah cukup lama berlalu.

Lembayung sore berwarna oranye dan magenta menghiasi ujung barat di mana matahari akan terbenam.

Perlahan, lingkungan sekolah mulai kosong dan sepi. Rere masih dengan bukunya. Membaca cerita menyedihkan itu dengan perhatian penuh.

Sampai di mana sang tokoh utama menghadapi konflik terbesarnya, tiba tiba sebuah bola melayang entah dari mana menghantam buku bersampul merah itu hingga mental dari tangan pemiliknya.

Rere terperanjat. Tubuhnya refleks membungkuk dan kedua tangannya mengangkat melindungi wajahnya.

"Waduh, sorry sorry. Gue bener bener nggak sengaja." sebuah suara mendekat.

Renata membuka kedua tangan yang menghalangi wajahnya. Dan mendapati seseorang berjalan ke arahnya.

"Lo nggak apa apa, kan?" pria itu bertanya dengan suara khawatir.

Dia menilik-nilik barang kali ada luka gores bekas hantaman bola miliknya pada gadis itu.

Kemudian dia memungut buku yang jatuh dan menepuk sampulnya untuk mengenyahkan debu dan kotoran yang barangkali menempel.

"Sekali lagi, sorry banget. Gue bener bener gak liat lo di sini." dia mengembalikan buku itu pada Rere.

Rere mengepuk baju dan lengannya yang kebetulan bersinggungan dengan bola basket tadi lalu dengan tersenyum getir mengambil buku novel miliknya dari tangan pria itu.

"Nggak apa apa. Cuma kaget doang, kok." ucap gadis itu seadanya.

"Serius lo nggak luka?" pria bertubuh tinggi itu kembali bertanya.

"Iya," Rere melebarkan kedua lengannya. "Gue nggak luka apa apa."

"Syukur deh." pria itu mengembuskan nafas lega.

Renata menatapnya sejenak kemudian menoleh ke sekeliling. Sekolah sudah kosong. Dan langit juga mulai gelap. Dia beringsut menyalakan layar ponselnya yang ia simpan di saku dada, di sana terpampang jam yang menunjukan pukul 17.10 sore.

Bukannya seharusnya ia melihat Zian bermain saat ini? Atau jangan jangan lelaki itu tidak datang?

Karena yang Rere lihat saat ini adalah orang yang berbeda.

Seorang pria dengan tubuh tinggi dan sedikit berisi, berkulit sawo matang dan memiliki rambut hitam pekat dengan gaya sliked back yang rapi karena di tata menggunakan water base pomade.

Oh, ya.

Saat tersenyum Rere juga dapat melihat pipinya tercetak ke dalam, lesung pipi yang imut serta deratan gigi putih rapi membuat pria ini tampak sempurna dari sisi mana pun dia melihat.

Ini berarti, Zian tidak bermain basket.

Orang lain yang bermain.

Apa di sini ada jadwal khusus atau semacamnya? Yang mengatur siapa yang bermain pada hari apa?.

Entahlah. Rere tidak mau memusingkan hal itu.

"Btw ... Lo ngapain sendirian di sini? Nggak balik?" pria itu bertanya.

Rere terlihat sedikit canggung saat lelaki itu menatapnya, gadis berambut kastanye ini hanya tersenyum mesem sambil melihat sembarang arah dengan kikuk. Menghindari kontak mata dengan orang di depannya.

"Mau balik kok. Bentar lagi."

"Euh, gini ..." Pria itu memikirkan sesuatu. "Lo mau nggak liat gue main? Sekalian kasih nilai seberapa bagus teknik yang gue pake waktu di lapangan."

"Eh?" Rere terkesiap. Dia mana tahu apa itu basket apa lagi soal teknik-tekniknya. "Gue nggak terlalu ngerti gituan."

Pria itu tersenyum. "Nggak perlu ngerti, kok. Cukup liat aja keren atau nggak, oke?"

Rere diam beberapa saat. Berpikir mungkin tidak ada salahnya menonton. Dia juga bisa secara tidak langsung membandingkan permainan lelaki ini dengan Zian.

"Yaudah. Gue nonton dari sini."

Pria itu mengangguk tanda mengerti. Kemudian mengambil bolanya dan mulai melakukan dribble menuju tengah lapangan.

Pria tinggi berusia dua puluhan itu dengan lincah melakukan crossover, dribble antar kaki dan teknik basket lainnya yang memukau. Seperti bukan hendak bermain, namun menampilkan pertunjukan akrobatik pada gadis yang duduk di podium sana.

Rere mengikuti tiap langkah pria di lapangan. Matanya tak lepas dari bola yang di ombang ambing ke sana kemari. Di pantulkan, dilambungkan dan terkadang dia melakukan jump  shot mendadak dari jarak yang jauh.

Rere jelas terpukau, bila dibandingkan dengan permainan Zian kakak tirinya kemarin, permainan pria ini jauh lebih lincah dan memukau.

Lingkungan yang sunyi membuat pantulan bola dan suara decitan sepatu pria itu terdengar nyaring nyaris mengisi semua ruang kosong di sekolah.

Rere memberi tepukan tangan saat pria di lapangan melakukan gaya dan lompatan tinggi ketika memasukan bola ke dalam ring.

Sangat luar biasa.

Sungguh permainan dan pementasan yang luar biasa.

Jika saja cukup berani, dia mungkin akan meminta pria ini memberi sedikit ilmu untuk Zian agar kakaknya itu bisa berlatih dan bermain dengan hebat.

Tapi, sepertinya itu tidak mungkin.

Ketika sedang asyik menonton tiba tiba ponselnya bergetar dan menunjukan bahwa 'Papa' memanggilnya lewat What's App. Dengan cepat Rere mengangkat panggilannya.

"Hallo, Pa?"

"Re, udah jam berapa ini? Kenapa belum pulang?" tanya orang di sebrang sana dengan suara cemas.

Alis Rere berkerut. Dia spontan menatap sudut layar ponselnya yang menunjukan waktu.

18.30 WIB.

Oh My Goddess!

Dia tidak menyangka sudah selarut ini.

Sekolah bubar pada jam 14.30 wajar jika saat ini ayahnya cemas dia belum juga kunjung pulang.

"Uhh, sorry Pah. Rere baru aja dari toko buku. Tadi mungkin liat liatnya kelamaan jadi lupa waktu."

Ya, mau tak mau dia harus sedikit berbohong.

Tidak tau kenapa, tapi yang pasti Rere akan mati gaya jika ia jujur sedang melihat orang asing bermain basket di lapangan sekolahnya.

"Sekarang masih di mana?" pria di sebrang telpon bertanya.

"Lagi di jalan. Sebentar lagi sampe."

"Yaudah, hati hati. Papa tunggu kamu di rumah."

"Iya, Pa. Rere jalan dulu. Bye."

Buru buru gadis itu menutup telponnya kemudian melesat pergi dari sana. Meninggalkan pria asing yang masih fokus bermain dengan bola basketnya di lapangan.

Selang beberapa saat pria itu menengok ke pinggir lapangan, di mana Rere duduk tadi. Tapi, gadis itu sudah tidak ada di tempatnya. Pria tinggi itu sontak mengerutkan dahi.

Kemana dia pergi?

Mereka bahkan belum sempat berkenalan.

....

"Kamu pergi ke mana aja tadi sampe pulang malem gini?."

Di meja makan, ketika Rere duduk bergabung dengan ayahnya dan Zian, dia langsung di cecar pertanyaan oleh Arga sang ayah.

"Cuma ke toko buku, kok." Rere berusaha bersikap natural.

"Toko buku mana?" Arga bertanya lagi.

Rere mengernyitkan wajah. Harus jawab apa? Dia bahkan tidak tahu di mana toko buku di daerah ini.

"Yang deket sekolah." jawab gadis itu putus putus, mulai gugup.

"Deket sekolah nggak ada toko buku." Zian seperti mematahkan tenggorokannya.

Lelaki itu dengan dingin membantahkan jawabannya tanpa merasa bersalah.

"Loh, terus kamu ke toko buku mana?" Arga menatap lurus pada putrinya.

"Euh ..." Rere tidak bisa berpikir. "Sebenernya ... Tadiβ€”"

Zian menelan makanannya lalu membuka suara. "Ada toko baru di seberang mini market depan, katanya buku sama alat tulis di sana lengkap. Mungkin tadi dia ke toko buku yang itu." ucapnya.

Seperti sengaja melindungi adik tirinya.

"Oh, yang itu .. Papa juga liat pas waktu pulang tadi. Gede sih tempatnya, bagus." timpal Arga.

Rere menghela nafas lega. "Iya, Pa. Tadi aku di sana." meski masih sedikit gugup, dia merasa terselamatkan oleh Zian.

Remaja kurus itu menatap adiknya dingin. Rere yang sadar tengah di tatap oleh sepasang mata menakutkan itu tidak bisa tidak merasa gugup. Dia menunduk dan berusaha menyuapkan nasi ke dalam mulutnya meski sebenarnya dia sedang tidak berselera makan.

....

Tok tok tok

Sebuah tangan lentik mengetuk permukaan pintu yang terbuat dari kayu jati.

Selang beberapa waktu, pintu dibuka dari dalam. Tampaklah sosok Zian yang basah dengan hanya menggunakan handuk yang melingkar di pinggang. Sepertinya, baru saja selesai mandi.

"Apa?"

Melihat lekuk tubuh Zian yang basah dan berkelip karena pantulan cahaya lampu membuat Rere membatu dan tak sanggup berkedip. Gadis itu seperti terhipnotis oleh penampakan tubuh kakaknya sendiri.

"Hey!" Zian meninggikan suaranya.

Gadis itu terperanjat dan seketika langsung menggeleng keras mengusir pikiran aneh di dalam kepalanya.

"Sagne, ya?" ledek Zian.

Rere langsung merengut. "Dih, kepedean banget."

"Terus kenapa liatin gue kayak gitu?"

"Nggak sengaja!"

"Mau apa ke sini?"

Rere kembali mendatarkan wajahnya yang sempat cemberut. "Euh, gue mau bilang makasih soal tadi. Lo udah bantuin gue."

"Bantuin apa?" Zian bertanya

"Yang waktu Papa nanya itu, kenapa gue pulang telat."

"Oh, bukannya lo emang ke toko buku?"

"Nggak." Rere menggelengkan kepala. "Gue ada urusan lain tadi."

"Oh."

"Iya."

"Terus?"

"Apa?"

"Ngapain masih di sini?" Zian mengangkat alisnya. "Masih sagne"

"Ish, apa sih sagne sagne. Jelek banget bahasa lo. Gue bilangin Papa tau rasa lo." kesal Rere.

Zian hanya mendengus. "Bilang aja. Sana."

"Ih, kok lo nyebelin sih. Gue kan udah baik mau ngucapin makasih sama lo."

"Hah ..." Zian menghela nafas malas. "Gak penting."

Lalu dia menutup pintu kamarnya.

Rere melongo di tempat.

'Apa banget sih ni cowok!'

Dia mendengkus kesal kemudian pergi dengan misuh misuh kembali ke kamarnya.

....

Tepat jam 9 malam suara klakson motor berbunyi di depan gerbang.

Rere mengintip dari balik tirai jendela kamarnya. Beberapa menit yang lalu Amelia mengirim What's App kepadanya, gadis itu bilang akan tiba sebentar lagi.

Rere sedikit gusar.

Apa Amel tidak salah menjemputnya jam segini?

Sudah sangat malam untuk bepergian keluar rumah. Arga pasti tidak akan mengijinkannya.

Tapi, meski begitu Rere berusaha untuk tetap tenang. Dia keluar dari kamar dan berjalan menuruni tangga dengan natural. Jika memang tidak di beri ijin, dia hanya akan meminta maaf pada Amel. Itu tidak akan sulit.

Sampai di lantai dasar, tepatnya di ruang tamu, ternyata Amel sudah lebih dulu bertemu ayahnya. Dada Rere yang tadinya mau tenang kini kembali bermarathon.

Dia takut Arga akan menasehati atau bahkan mengomeli dirinya di depan Amelia. Dia sudah yakin bahwa Arga tidak mungkin memberi ijin.

"Eh, itu Rere." Amel melambaikan tangannya dengan girang.

Yang di balas gemetar oleh Rere.

Arga ikut menoleh ke arah putrinya. "Re, kok nggak bilang mau kerja kelompok sama temen kamu?"

Eh? Kerja kelompok?

Bukannya hang out ya?

"Euh, Rere lupa, Pa." dengan kikuk gadis itu menjawab seadanya.

"Om, kalo kemaleman boleh ya Rere nginep di rumah Amel?" Amelia dengan santainya meminta ijin dari Arga.

Arga tampak ragu pada awalnya. Namun, mengingat ini tentang tugas dari sekolah, dia tidak mungkin tidak memberi ijin. Jadi, pada akhirnya Arga menganggukan kepalanya.

"Om bolehin, tapi inget, ya. Jangan main nggak jelas terus pagi pagi sekali harus pulang ke rumah." 

"Siap, om." Amel memberi hormat ala angkatan laut.

Arga terkekeh melihat tingkah konyol teman anak gadisnya itu. Dia kemudian menghampiri Rere dan mengusap kepalanya sebentar sebelum kembali ke dalam rumah.

"Jangan tidur terlalu malem." ucapnya sebelum menghilang di balik sudut.

Setelah sosok Arga menghilang, Rere menarik nafasnya dalam dalam dan menghembuskannya dengan amat lega. Kemudian menatap ke arah Amelia.

"Bisa banget lo ngomong sama bokap gue. Sumpah, tadi gue pikir nggak akan di kasih ijin karena udah malem." ucap Rere sembari memegangi dadanya yang sedari tadi dag dig dug.

"Eh, gue gitu loh." Amel dengan gaya tengilnya menggoyangkan alis.

"Yaudah, yuk berangkat."

"Okey, let's go!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status