Share

Jatuh Cinta?

"Eh gue anterin pulang, ya?" tawar Roni menawarkan tumpangan pada Rere saat Gadis itu hendak pulang bersama Amelia.

Rere menjawab "Enggak usah. Gue pulang bareng Amel, aja. Kita naik motor, kok." ucapnya masih terlihat malu-malu. 

Roni tersenyum. "Mending sama gue aja. Gue bawa mobil. Ya, siapa tau nanti hujan kan nggak bakal kehujanan." pria itu belum menyerah. 

Rere menengok ke arah temannya. "Terus Amel gimana?" 

Gadis tomboy itu menepuk bahu Renata dengan santai "Gak usah pikirin gue, gue bisa kok balik sendiri." ucapnya. 

"Tapi kan udah malem juga. masa iya gue pulang ke rumah jam segini." 

"Eh, iya juga sih." Amelia berpikir. "Ya udah lo nginep di rumah gue aja. Besok pagi gue anterin lo pulang."

"Oke." Rere tampak setuju. "Gue nginep di rumah lo."

"Jadi ... Nggak mau diantar, nih?" Roni kembali bertanya. 

"Enggak deh, kak. Next time aja." jawab gadis itu sambil tersenyum. 

"Oke." Roni menoleh ke arah Amel. "Lain kali ajak  dia nongki bareng kita lagi di sini." ucapnya. 

"Siappp." Amel menjawab dengan salam angkatan laut. 

Sesampainya di rumah Amel, gadis tomboy itu membawa Rere masuk ke dalam. Disana suasananya begitu hening. Tidak terlihat siapapun  di rumah itu kecuali mereka berdua. 

Apa mungkin penghuni rumah lain sudah tidur?

Rere sebenarnya penasaran. Hanya saja, dia tidak berani bertanya pada Amel. 

"Sorry ya kamar gue agak berantakan." ucap gadis itu saat sampai di depan pintu kamarnya. 

"It's okay, yang penting masih bisa dipake tidur."

"Kalo gitu ... gue beresin dulu ya, bentar. Tunggu di sini." Rere mengangguk. 

Dia menunggu di depan pintu kamar Amelia sambil menengok kanan kiri menilik suasana rumah teman barunya itu. Rumah Amel bergaya klasik modern. Interiornya seperti gaya Eropa tapi juga ada sentuhan Amerika dan hal lainnya yang ia sendiri tidak tahu. Yang jelas rumah ini sangat menarik dan memiliki ciri khas tersendiri. 

Tak lama Amelia keluar dari kamarnya. Kemudian mengajak Renata untuk masuk ke dalam. 

Gadis berambut kastanye itu langsung berjalan masuk ke dalam kamar. Disana terlihat ruangan kecil bernuansa abu-abu dengan interior bergaya anak-anak pungky seperti kelaki-lakian.

Sangat jauh dari gaya kamar kamar perempuan pada umumnya. Maklum, hal itu karena Amelia memang tidak seperti perempuan-perempuan di luar sana. Dia memiliki style yang sedikit berbeda namun tetap menawan. 

"Mau mandi dulu enggak?" Amel bertanya.

Rere menjatuhkan tasnya ke atas kasur kemudian duduk di bibir ranjang. "Nggak deh. Mending langsung tidur aja. Udah malam juga." 

Amelia mengerutkan alis. "Serius lo enggak mau mandi dulu?" 

"Iya gue serius. Udah ngantuk banget gue."

"Ya udah tidur aja duluan. Gua mau ke dapur dulu sebentar." Gadis tomboy itu berbalik ke arah pintu. "Oh iya. Lo pake aja baju tidur yang gue gantung di sana. Jangan pake baju itu buat tidur." dia menunjuk ke arah lemari berwarna putih di pinggir ranjang. 

"Iya, thanks. Nanti gue pake."

.....

Saat tengah malam, ketika Rere sudah tertidur dengan lelap dia tiba-tiba mendengar sebuah suara benda yang dibanting dengan keras lalu pecah. 

Suaranya yang nyaring perlahan membuat gadis itu terbangun. Dia membuka matanya, menengok ke arah samping kanan dan kiri. Mencari keberadaan temannya. Amel tidak ada di sisinya. 

"Amel?!"

Rere kemudian bangun, mengucek matanya dan kembali membuka telinga untuk mendengar apakah suara tadi benar-benar nyata atau hanya bagian dari mimpinya. 

Tak lama, setelah hening yang panjang, sebuah teriakan terdengar dari tempat yang cukup jauh. Rere terkejut. Dia lalu bangun, menyingkap selimutnya dan hendak keluar dari kamar. 

Tak berani buru-buru membuka pintu, Rere hanya bisa mengintip dari celah yang terbuka. Di sana tidak ada siapa-siapa. Tapi, suara teriakan itu terdengar dengan jelas. Ada dua orang yang sedang beradu argumen dan saling berteriak. Salah satu orang itu Rere kenali suaranya. Itu suara Amelia. Tapi, satu orang lainnya dia tidak tahu. Yang jelas itu adalah suara laki-laki.

Dengan gugup Rere sedikit memberanikan diri, Dia membuka knop pintu lalu menjulurkan kepalanya keluar. Mencari di mana sumber keributan itu berasal. 

Dia berjalan perlahan menuju dapur kemudian berputar di sebuah lorong yang dia tidak tahu menuju ke mana, suara Amel yang berteriak semakin terasa dekat. Rere terus mengikuti jalan itu. Dengan lampu yang temaram perlahan dia melangkahkan kaki. Tangannya setia menempel di tembok.

"Mel?" dia coba memanggil. Tapi, panggilannya tidak mendapat respon. 

"Amelia." 

Tiba tiba sebuah suara seperti kaca yang dibanding keras dan pecah terdengar lagi. Renata terperanjat. Dia ketakutan. Tapi, dia tidak mampu lari dari tempat itu. Dia harus memastikan Amel ada dan baik baik saja. 

Kemudian dengan langkah yang dipercepat, Rere mencari sumber suara tersebut. Hingga sampailah ia disebuah ruangan dengan lampu yang terang. Di sana pintunya tertutup. Rere dengan yakin meskipun sedikit takut dan gemetar, mengetuk pintu itu dan memanggil Amel kembali.

"Amel?"

"Rere?" suara Amelia dari dalam ruangan terdengar kaget saat Rere memanggilnya. "Re, lo ngapain di sini?"

"Mel, gue denger lo teriak barusan. Lo nggak apa apa, kan?" tanya gadis itu khawatir. 

"Gue nggak apa apa, Re. Lo balik tidur aja. Gue lagu ngobrol sama bokap gue." 

"Tapi ..." 

"Gue nyusul kok bentar lagi."

....

Tapi, gadis tomboy itu tidak kunjung datang. Rere terjaga semalaman. Selain menunggu Amelia, dia juga sebenarnya masih merasa takut dan khawatir pada temannya itu. 

Saat pagi tiba, Amel juga tidak bicara apa apa padanya. Gadis itu hanya mengantarnya pulang. Di perjalanan ketika Rere bertanya soal kejadian semalam, Amel tidak menjawabnya. Dia malah berbicara soal hal lain. 

Soal Roni misalnya, dia bercerita kalau Roni adalah alumni di sekolah mereka. Dulu, dia adalah senior yang populer dan memiliki pergaulan yang luas. Amel mengenalnya ketika gadis itu diam diam ikut ke tongkrongan anak basket. 

Dia berkata, dulunya Roni sangat sulit sekali di dekati, bahkan Amel pun butuh beberapa bulan sampai senior itu akhirnya membalas sapaannya dan mau di ajak mengobrol. 

Berbeda sekali dengan Rere, Amel bilang jika gadis berambut kastanye itu beruntung karena Roni mau mengajaknya bicara lebih dulu bahkan mengajaknya mengobrol. 

Amelia sampai di buat penasaran, dia menaruh curiga bahwa Rere sebenarnya sudah mengenal Roni sebelumnya. 

Tapi, dengan tegas Rere membantah hal itu. Dia lalu menceritakan kejadian di lapangan basket kemarin. 

Bahwa Roni meminta dia melihat dan menilai permainan basketnya di lapangan. 

Pembicaraan pun sukses beralih ke topik lain. 

Pembahasan tentang kejadian Amel dan ayahnya semalam tidak pernah naik lagi ke udara. 

Sampai di rumah, Rere terlihat bingung karena tidak ada siapapun selain Bi Asri yang menyiapkan sarapan di meja makan. 

"Papa mana, bi?" gadis itu duduk dan bertanya pada asisten rumah tangganya tersebut. 

"Tuan Arga ada pekerjaan, dia berangkat tadi subuh." jawab bi Asri sambil menata tumis kangkung dan tahu balado. 

Rere celingukan ke kanan dan kiri. Zian juga tidak terlihat. 

Dia ingin bertanya tentang lelaki itu pada bi Asri juga. Tapi, jika di pikir pikir lagi. Itu terlalu gengsi. 

Jadi, Rere melupakan itu dan memilih membalik piringnya dan menyendok nasi, memakan sarapan paginya. 

.....

Di Tempat Pemakaman Umum Cikutra, seorang remaja dengan dengan pakaian serba hitam duduk bersimpuh di salah satu pusara. 

Tangannya yang kurus menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah tersebut hingga penuh. Setelah keranjang bunga taburnya kosong, dia beralih mengambil botol air kemudian menyiram makam ibunya tersebut sampai tanahnya berubah basah. 

Setelah melakukan ritual ziajah pada umumnya, Zian yang tidak terlalu hafal doa doa yang harus ia panjatkan untuk sang Mama hanya bisa tertunduk lesu. 

Lelaki itu pergi pagi pagi sekali dari rumah, tidak memberitahu siapapun dan bahkan lupa membawa ponsel. Dia melesat pergi ke pemakaman, membeli bunga dan beberapa botol air lalu di sinilah ia sekarang. 

Setelah ini, harus bagaimana? 

Perasaan aneh yang mengusiknya sejak semalam belum juga terasa berkurang, bahkan setelah sekian jam dia menunggu di tempat ini. 

Awalnya, Zian pikir dia merindukan sang Mama. Tapi, tenyata perasaan aneh ini masih tetap ada bahkan setelah Zian pergi kemari. 

Lalu, sebenarnya perasaan apa itu? 

Dia teringat pada seseorang. Tapi, dia sendiri tidak tahu siapa orang itu. 

Setelah pergi dari pemakaman, Zian mampir ke rumah Oma Linda. Wanita tua yang tinggal di perempatan komplek bersama dengan anaknya Rangga, si dokter spesialis anak. 

Sejak dulu, Zian memang sering berkunjung dan bermain di sana. Semenjak masih kecil, Rania selalu menyempatkan diri bercengkrama dengan Oma sepulang berkerja atau pada hari hari libur. 

Yang Zian suka dari keluarga kecil itu adalah meskipun mereka berbeda keyakinan spiritual, tapi Oma tidak pernah membeda-bedakannya. Setiap perayaan china, Zian selalu mendapat jatah ampao dan makanan-makanan lezat yang tentunya dia tidak perlu khawatir tentang kehalalannya. 

Dan lagi, di belakang rumah Oma, ada sebuah bukit kecil yang memang sengaja di biarkan oleh pihak pengelola perumahan mereka, bukit kecil itu di jadikan oleh Oma Linda sebagai taman bunga miliknya. Di sana banyak di tanami bunga-bungaan yang sangat cantik dan menyejukkan mata. Zian suka bermain di sana. Tidak hanya saat kecil saja tapi sampai dewasa pun dia masih menyukai tempat itu. 

"Oma .." Dia memanggil dari balik pintu gerbang. Tombol bel di rumah ini sudah lama tidak berfungsi. Jadi, cara yang paling ampuh untuk memanggil tuan rumah adalah dengan berteriak. 

"Oma, ini Zian." teriak remaja itu sekali lagi. 

Tak lama, pintu rumah terbuka dari dalam. Sosok wanita tua yang nyentrik dengan gaun merah dan perhiasan di lehernya membuat Zian mengembangkan senyuman. 

"Sebentar." Oma Linda berjalan sedikit terburu buru ke arah gerbang. Dia tidak mau membuat tamunya menunggu lebih lama lagi. 

Usianya yang sudah renta membuat tulang kakinya aus dan terkena osteoporosis, tapi dia begitu bersemangat sampai tidak menghiraukan rasa ngilu ketika berjalan terburu buru menghampiri Zian. 

"Kamu dateng tepat waktu." ucap wanita tua itu dengan wajah cerah. Dia membuka gembok dan mempersilahkan Zian untuk masuk ke dalam. 

"Emangnya ada apa, Oma?" Zian bertanya. 

"Oma baru aja masak kue kering. Mau Oma bawa ke taman atas. Rencananya sih piknik kecil kecilan sendiri. Tapi karena sekarang ada kamu, ya pikniknya jadi berdua." 

"Oh." Zian tertawa kecil. "Kiarain Zian apa, Oma ini."

"Kamu ke sini ada apa?" Oma Linda bertanya saat mereka berjalan menuju rumah. 

"Nggak ada apa apa sih, Oma. Zian sengaja aja mau main ke sini." 

"Katanya, sodara kamu tinggal di sini ya sekarang?"  Oma membuka pintu depan rumah. 

"Iya, Oma tau dari mana?"

"Papa kamu yang cerita. Oma belum liat dia, dia pasti udah gede ya? Pasti cantik kayak Mamanya juga." 

"Oma emang kenal sama ... Re—" Zian bertanya dengan ragu. Sebelum dia menyelesaikan ucapannya, Oma Linda lebih dulu menyela. 

"Kenal atuh." ucapnya dengan bahasa sunda dan logat Bandung yang khas. "Kalian dulu kan sering main bareng di sini."

Kalimat itu membuat Zian membeku. 

Sering bermain bersama? 

Kapan? 

Dia tidak ingat bertemu dengan Rere sebelum gadis itu pindah kemari. 

Yang dia ingat, semasa kecil dia hanya berteman dengan Danu. 

"Kamu nggak inget, ya?" Oma tersengih melihat ekspresi wajah Zian yang nampak kebingungan. 

Remaja itu sontak menggelengkan kepala. 

"Iya, lah. Wajar aja. Dulu kalo nggak salah ... Rere dateng ke sini waktu kamu jatoh dari tangga halaman rumah. Kaki kamu patah. Kamu di rawat seminggu lebih di rumah sakit." Wanita tua itu bercerita sembari menata kue ke dalam toples dari loyang yang telah dingin. 

Zian mencoba mengingat kejadian itu. Semuanya seperti klip film yang samar samar tersirat di kepalanya. Bukannya berkumpul menjadi sebuah penggalan ingatan, kilatan itu justru membuat kepalanya terasa pening. 

"Terus ... Mamanya Rere juga dateng jenguk kamu. Kebetulan Oma juga ada waktu itu. Jadi kita ngobrol ngobrol sebentar." 

Setelah satu toples kaca berukuran kecil itu penuh, Oma Linda menutupnya dengan rapat. Dia lalu mengambil satu toples baru untuk sisa kue di loyang. 

"Rere .. Tinggal lama di sini?" Zian bertanya dengan wajah penasaran. 

"Lumayan. Pokoknya sampe kaki kamu pulih. Kalian juga sering dateng ke sini. Main main sama Oma dan Opa Jhon waktu beliau masih hidup." tuturnya. 

Opa Jhon adalah suami Oma Linda. Beliau meninggal saat Zian masih kecil. Remaja itu juga samar samar mengingat wajahnya. 

"Kok, aku nggak inget ya, Oma?" Zian tampak menunduk, dia berusaha mengorek ngorek kenangan masa kecilnya, namun tetap tidak bisa. "Yang Zian inget cuma Danu. Zian sering mainnya sama Danu." 

Oma Linda menghela napas cukup panjang sebelum menjawab rasa penasaran remaja itu. "Nggak harus di inget juga, kok. Nggak apa apa kalo emang kamu sudah lupa." ucapnya dengan wajah yang berubah lesu. "Oma juga lebih setuju kejadian itu di lupain semua orang." lanjutnya. 

"Emang kenapa, Oma?" Zian tambah di buat penasaran. 

Tapi, Oma Linda hanya tersenyum kecut tanpa pernah menjawab. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status