Dante POV
"Kalian cari sampai dapat!"
"Baik, Tuan." Balas seorang pria berjas hitam dengan mata sipit berkacamata.
Ia kemudian berlalu meninggalkan ruanganku bersama dengan dua orang pria berjas hitam lainnya. Aku kembali melanjutkan aktivitasku mengecek beberapa dokumen sambil sesekali menghisap rokok yang kuapit di kedua jari kananku.
.
.
.
Sejam berlalu, aku masih membuka lembar demi lembar kertas yang kini memenuhi meja kerjaku. Sampai di menit selanjutnya ponsel keluaran terbaru milikku berdering dan mengacaukan konsentrasiku. Aku mengangkatnya.
"Bawa dia kemari, Kai." Titahku lalu mematikan sambungan telepon setelah mendengar penjelasan dari salah satu bodyguard setiaku.
'Hmm... Para tikus itu berhasil kabur rupanya. Tapi apa mereka sengaja meninggalkan anaknya untuk mengalihkan perhatianku?' Pikirku kemudian membakar sebatang rokok lagi dan menghisapnya kuat-kuat sebelum melanjutkan pekerjaanku yang sempat terhenti.
.
.
.
Kini kondisi meja kerjaku kembali rapi. Aku masih sibuk dengan rokok dan tablet milikku, membaca tentang data diri keluarga Prozky. Dua kancing atas kemeja putihku telah terbuka. Sepertinya vodka yang kuminum sedikit demi sedikit ini berhasil membuatku kegerahan di ruangan kerjaku yang sama sekali tidak panas.
Tok.
Tok.
"Tuan, Kai datang ingin menemui anda." Ucap samar samar seorang pria dibalik pintu kerjaku.
"Masuk!" Jawabku singkat.
Aku menghentikan segala kegiatanku kecuali merokok dan melihat ke arah pintu yang dibuka oleh seorang laki laki yang masih muda, tampak gagah dengan setelanya, kemudian bersandar seolah menahan pintu. Seorang pria berjas hitam berkacamata yang biasa ku panggil Kai lalu masuk ke ruanganku.
Aku memperhatikannya berjalan mendekat seraya tetap terduduk. Perhatianku kini mulai teralihkan dengan sosok gadis muda yang dicengkram keras oleh Kai dan tampaknya sudah pasrah. Sosoknya sangat kecil sehingga tertutup oleh badan Kai yang menjulang. Kai berhenti tepat didepan mejaku lalu memberikan salamnya dengan sedikit membungkuk.
"Jadi, bagaimana?" Tanyaku singkat.
"Maaf, Tuan. Tampaknya seisi rumah berhasil mengendus penggerebekan tersebut. Kediamannya tampak kosong. Tuan Dexter, Ibu Christine dan Tuan Taylor telah kabur tanpa jejak. Seisi rumah telah kami periksa, tetapi kosong. Maafkan kami atas ketidak becusan kami, Tuan! Sebagai gantinya, kami menemukan Nona ini di kamarnya." Jelas Kai sambil menarik gadis tersebut untuk berdiri disebelahnya.
Aku memperhatikan gadis tersebut, masih dengan dress tidurnya. Rambut panjangnya terurai dan terlihat sedikit berantakan. Matanya sembab dan menunduk melihat lantai. Aku yakin pasti dia menangis melihat kejadian brutal itu. Kedua tangannya mencengkram ujung dress dan dia menggigit bibir bawahnya. Dan dia tidak memakai alas kaki.
"Kai, setidaknya biarkan dia memakai sendal atau semacamnya. Lihat akibat perbuatanmu, kau membuat lantai rumahku kotor!" Aku menghembuskan asap rokokku.
"Maafkan saya, Tuan!" Kai kembali membungkuk meminta maaf.
Aku berdiri dari singgasanaku lalu duduk di sofa yang memang ada di ruang kerjaku sambil tetap membawa rokok dan segelas vodka yang ku minum tadi. Aku duduk dengan gagah dan memberikan sinyal agar Kai melepaskan gadis itu dan membawanya duduk di hadapanku. Kai mengerti keinginanku lalu menyeret gadis tersebut untuk duduk di seberang sana. Gadis itu terduduk tanpa ekspresi. Kai lalu berdiri disampingnya.
"Halo. Perkenalkan saya Dante." Ucapku memperkenakan diri.
Gadis itu hanya diam menunduk. Aku paham kondisinya. Kulihat Kai mulai melirik sinis gadis itu,namun jentikan jariku berhasil menghentikannya. Kai melihatku lalu kembali terdiam.
"Maafkan saya atas ketidak nyamanan ini. Tapi saya membutuhkan informasi tentang keberadaan Ayah, Ibu atau Kakakmu. Apa kamu tau dimana mereka?" Tanyaku sehalus mungkin.
Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sedikit.
"Baiklah, Nona. Tampaknya usiamu sekarang sudah menginjak dewasa. Jadi saya perlu menjelaskan kondisi yang terjadi sekarang." Ucapku sambil menyesapi vodkaku.
"Saya masih menganggap kamu sebagai anak dari rekan kerja saya. Jadi akan saya jelaskan sesingkat mungkin. Jauh sebelum perusahaan Ayahmu itu sukses, saya meminjamkan modal yang nilainya tidak sedikit di perusahaan ayahmu. Tapi sayangnya, iming iming imbal jasa yang telah disepakati itu tidak pernah ayahmu tepati. Tentunya tidak masalah buat saya, tapi saya sangat tidak menyukai ingkar janji. Entah siapa dalang di balik itu semua, tapi saya yakin Ayahmu bisa dimintai pertanggungjawaban." Aku memperhatikan gadis itu dengan saksama mencoba untuk mencari tau ekspresi apa yang di keluarkannya, tapi nihil.
"Intinya Ayah, Ibu dan Kakakmu berhutang. Saya pernah mencoba menarik sedikit keuntungan dari perusahan Ayahmu, tapi siapa sangka uang yang sedikit itu ternyata berhasil menggoyahkan kestabilan perusahaannya. Lalu selanjutnya segala investasi atas nama keluarga Prozky dialihkan secara diam diam, entah kemana dan atas nama siapa. Yang jelas saya akhirnya menyuruh anak buah saya untuk mencari keberadaan keluargamu sampai ke rumahmu. Karena mereka selalu menghindar. Jadi, apa saya salah untuk mengambil kembali apa yang sebenarnya milik saya?" Aku melihat sedikit pergerakan di seberang sana.
Gadis itu mulai menangis sesenggukan dalam hening.
"Jadi, tolong. Bisakah kamu memberi tahu saya dimana keberadaan keluargamu?" Tanyaku sebaik mungkin mencoba memastikan sekali lagi.
"A-a-aku... Tidak tau, Paman." Balasnya terbata bata.
'Hah? Paman? Siapa? Aku?' Batinku.
"Ka-kami masih menikmati makan malam bersama tadi, lalu Kak Taylor sempat memelukku sebelum—" Kata katanya terputus, dia lalu kembali terdiam sejenak lalu menangis sambil menjambak rambutnya.
Dret!
Dret!
Dret!!!
Aku teralihkan dengan suara getar ponselku di meja kerja. Aku beranjak meraihnya lalu menjawab panggilan telepon dari Victor anak buahku yang lainnya, sama seperti Kai.
"Apa?! Mereka berhasil kabur ke Jepang?" Kagetku lalu menoleh ke arah gadis itu.
Dia segera menatapku tak kalah kagetnya. Aku bisa melihat bola mata coklatnya yang cerah itu mengeluarkan air mata. Kantung matanya yang membengkak. Hidungnya yang memerah. Serta bibirnya yang basah dan sedikit lecet akibat gigitannya sendiri. Dan ekspresinya, membuatku ikut— Ah, Bagaimana bisa dia membuat ekspresi seperti itu?
"Baiklah, bubar!" Titahku kemudian mematikan sambungan telepon.
"Maaf gadis kecil, tampaknya keluargamu meninggalkanmu sendirian." Ucapku sambil terus memperhatikan ekspresinya yang tidak berubah.
Aku berjalan mendekatinya. Menarik beberapa lembar tisu lalu berjongkok di hadapannya.
"Tampaknya gadis kecil ini sudah bukan siapa siapa lagi, Kai. Jadi sekarang bagaimana caranya agar hutang keluarganya lunas?" Aku menyeka kedua matanya dengan tisu tersebut lalu membuangnya di pangkuannya.
"Baiklah!" Ucapku kemudian berdiri lalu kembali duduk di hadapannya.
"Apa kemampuanmu?" Tanyaku.
Dia masih terdiam terpaku dengan tatapan kosongnya.
"Bagaimana caramu membayar seluruh hutang orang tuamu?" Tanyaku lagi.
Dia masih bergeming.
"Kalau kamu masih diam, saya jual kamu!" Ancamku.
Aku tidak suka diacuhkan.
"Aku suka memasak dan bersih bersih, Paman!" Balasnya segera tersadar dari lamunannya.
"Anak kecil yang terbiasa hidup mewah dari lahir sepertimu, bisa masak?" Tanyaku tak yakin.
"I-iya. Aku juga kuliah di jurusan tata boga, dan nilai praktekku selalu bagus. Jadi aku cukup yakin dengan kemampuanku." Belanya.
Aku terdiam sesaat.
"Baiklah, mulai sekarang kamu akan bekerja disini. Tanpa gaji sampai hutang orang tuamu lunas. Dan jangan harap bisa lolos dari saya, Lylia Prozky." Aku menyebut namanya setelah membaca singkat data dirinya dari Eugene anak buahku yang lain, sebelum mereka tiba di ruanganku.
Aku menghisap rokokku dan menghembuskannya yang kemudian dibalas batuk olehnya. Baiklah tampaknya kesadarannya sudah kembali.
"Ba-baik, Paman." Balasnya lesu.
"Mulai sekarang panggil saya Tuan, Lylia." Aku memperdalam suaraku.
"Ba-baik, Tu-Tuan." Ucapnya kikuk.
Dante POV END
***Lylia POVAku melihat sesosok monster, bertubuh besar dengan rambut pendek tertata rapi. Rahang yang tegas dengan tatapan mata yang tajam seolah mengintaiku sedang duduk dengan gagah di kursi singgasananya sambil menghisap sebatang rokok. Kemeja putih ketatnya yang tidak terkancing itu semakin menampilkan lekukan bahu dan dada bidangnya. Dia memperhatikanku tapi aku sangat ketakutan untuk melihat sosoknya yang mengerikan itu. Aku menunduk."Aaa!" Teriakku sembari membuka mataku.Aku kembali memimpikan monster itu. Dan itu bukan mimpi. Kehidupan baruku kini dimulai sebagai salah satu asisten masak sang monster. Aku kembali mengingat tatapan tajam kedua pria itu. Suara bariton dan aroma maskulin mereka yang menusuk hidungku, membuatku bergidik ngeri. Tak lama aku melompat dari kasur dan kepalaku terasa berat serta pengelihatanku berputar.'Ini akibatnya kalau nangis berlebihan Lylia!' Batinku.Kegiatanku terhenti se
Lylia POVTok.Tok. "Masuk!""Dad, aku membawakan kopi untukmu." Nico melangkah masuk dengan santai ke dalam ruang kerja Ayahnya."Pe-permisi Tuan." Bisikku.Sontak sang monster melirikku yang berjalan di belakang anaknya sembari membawa secangkir kopi hitam. Begitu pula dengan Kai dan dua orang asing yang sedang duduk di ruangan itu."Silahkan, Tuan." Aku menyimpan secangkir kopi di meja kerjanya lalu berjalan mundur menunggu perintah selanjutnya."Cobalah Dad, kau akan menyukainya." Nico mencoba menenangkanku dengan ucapannya.Dante hanya mendengus mendengar ucapan anaknya, lalu mengambil dan menyeruput kopi itu perlahan."Not bad. Good job, Ly. From now on, make a cup of coffee for me." Ucapnya saat menyimpan kembali cangkir kopi itu di tempatnya."See? Nilainya tertinggi di kelas Dad, jadi wajar. Akhirnya kita punya barista sekarang, j
Author POV"Ly, tunggu!" Teriak Nico menyampiri Lylia."Maafin Mommy gue ya. Dia memang agak sedikit kasar. Tapi sebenarnya maksud ucapannya tidak beg—"Tes.Lylia kembali meneteskan air mata yang ia tampung dengan sekuat tenaga. Nico yang melihat itu kemudian mencengkram bahu dan menarik dagu Lylia untuk mengadah keatas menatapnya. Ekspresinya tampak kasihan melihat gadis yang masih menahan tangis itu. Di sikapinya kedua pelupuk mata Lylia dengan jarinya agar air mata yang tertampung itu menetes dan tidak menganggu pengelihatan gadis itu."I'm so sorry, Ly. Maafin nyokap gue. Pertemuan pertama kita yang awalnya baik baik saja jadi jelek begini. Mommy memang suka ngerusak suasana." Khawatirnya sembari mengusap pucuk rambut Lylia."Udah dong. Senyum-senyum! Lu lucu tau kalau lagi senyum gitu." Canda Nico melepas cengkramannya."Maaf Kak Nico, sepertinya aku s
Author POVMatahari pagi menyapa Lylia ketika ia telah menyelesaikan seluruh kegitannya di dapur. Ia mendapatkan waktu beristirahat sejenak atas izin Harley. Lylia kemudian keluar dari dapur dan berjalan menuju ke taman yang posisinya berada di tengah isana ini untuk menikmati indahnya bunga yang tumbuh dengan indah dan rapi saat seorang pria tua yang sedang kesusahan mengangkat tumpukan bunga mawar menyela perhatiannya."Aku bantu ya, Pak." Ucapnya."Eh, Neng. Nggak usah, Neng. Nanti mengganggu waktu kerjanya." Ucap lelaki tua yang Lylia yakini sebagai tukang kebun."Nggak kok, Pak. Ini lagi istirahat juga." Lylia mulai berjongkok membantu mengangkat ikat demi ikat bunga mawar."Oh gitu. Makasih ya, Neng. Hati-hati masih banyak durinya." Ucapnya.Sadar akan hal itu Lylia mulai mengangkat tumpukan mawar ke dalam ember yang berisi air segar dengan sangat hati hati."Banyak banget manen bunganya? Mau bikin acar
Author POV"Baiklah, saya mengerti." Angguk Harley mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Lylia."Kamu bisa menggunakan dapur sekarang. Aku akan mencari Kepala Chef untuk mengawasimu." Ucap Harley berjalan meninggalkan Lylia."Terima kasih, Tuan Harley." Balas Lylia dengan matanya yang berbinar lalu segera berlari ke arah gudang penyimpanan untuk mencari bahan dasar pembuatan dessert-nya.Ia benar-benar bersemangat membuktikan bahwa dia tidak seperti dengan apa yang Alicia bayangkan. Ia bukan anak yang selalu dimanja oleh keluarganya meski ia lahir di keluarga yang sangat berkecukupan. Ia merasa mampu dan berhak untuk tinggal di istana ini, demi kelangsungan hidupnya dan membayar hutang kedua orang tuanya. Tak berselang lama Kepala Chef datang dan mulai memperhatikan gerak gerik Lylia dari dekat saat membuat dessert.'Serasa ujian praktek! Jangan gugup. Jangan gugup.'
Author POV"Sugar Baby?" Tanya Dante mengangkat alisnya tidak mengerti."Iya! Sugar Baby? Seorang wanita muda di luar sana yang siap melayanimu setiap kau butuh, tanpa harus berbagi dengan pria lain. Kau hanya perlu membiayai kehidupannya dan dia akan memberikanmu perasaan manis itu! Tanpa adanya rasa cinta dan hanya kontrak saja. Dia akan jadi milikmu seorang! Itu kan yang kau mau?" Jelas Bobby sembari meneguk minuman kerasnya.Dante terdiam kembali. Kepalanya makin pusing mendengar penjelasan sahabatnya. Dia hanya mengangkat bahunya tanda tidak yakin karena dirinya sendiripun masih bimbang dengan keputusannya untuk mengkhianati pernikahannya yang sudah dia pertahankan selama 23 Tahun ini. Tapi jauh di lubuk hatinya, monster ini merasakan kesepian yang sangat mencekik. Tidak pernah sekalipun dia membagi penderitaannya kepada orang lain. Hanya Bobby yang paham dengan apa yang di butuhkan sahabatnya ini."Ya sudah, aku pu
Author POV"Kau gila Dante!" Pekik Bobby setelah mendengar penjelasan dari Dante."Mana aku tau kalau kau berteman akrab dengan Dexter, Bob." Balas santai Dante."Aku mengenal anak itu sejak dia masih SMP, dan sekarang sebentar lagi dia lulus kuliah. Memang benar sesekali aku memanjakan anak manis itu. Tapi aku bahkan tidak tau kalau Dexter membawa lari uangmu." Ucap Bobby.Dante hanya menghisap rokoknya, mereka berdiri tepat di depan pintu utama."Aku saja yang merawatnya bagaimana? Aku sudah memperhatikan pertumbuhannya sejak dulu jadi aku merasa dia seperti keponakanku sendiri. Kalau Dexter bisa membesarkannya seperti anak kandung sendiri, seharusnya aku juga bisa." Racau Bobby."Apa?!" Lirik Dante."Lylia, gadis itu bukan anak kandung Dexter. Dia bahkan tidak memiliki darah keluarga Prozky sama sekali. Tetapi Dexter dan Christine membesarkannya seperti anak kandung mereka sendiri." Jelas Bobby."La
⚠️be wise⚠️ ⚠️the scenes going to be 18+⚠️ Dante POV "Aku mau melihat salah satu kakinya ada di meja kerjaku besok!" Perintahku sembari mematikan telepon. Rasanya geram sekali mendengar salah satu rekan kerjaku berusaha untuk berkhianat. Sama seperti Dexter, Ayah dari gadis yang kupekerjakan di rumah ini. Ingin sekali aku memotong salah satu jari tangannya untuk memperingatkannya agar tidak bermain main dengan kepercayaanku. "Carikan aku info mengenai pengkhianat itu,Victor. Siapa saja keluarganya dan partner bisnisnya yang lain. Pergi!" Titahku. "Baik, Tuan." Victor pergi meninggalkanku sendirian di ruang kerja. Aku kehilangan fokus kerja. Ku bakar sebatang rokok dan mulai memejamkan mata. Rasanya lelah sekali. Tok. Tok. "Hai Dad, aku mau pergi clubbing