Author POV
"Baiklah, saya mengerti." Angguk Harley mendengarkan dengan seksama penjelasan dari Lylia.
"Kamu bisa menggunakan dapur sekarang. Aku akan mencari Kepala Chef untuk mengawasimu." Ucap Harley berjalan meninggalkan Lylia.
"Terima kasih, Tuan Harley." Balas Lylia dengan matanya yang berbinar lalu segera berlari ke arah gudang penyimpanan untuk mencari bahan dasar pembuatan dessert-nya.
Ia benar-benar bersemangat membuktikan bahwa dia tidak seperti dengan apa yang Alicia bayangkan. Ia bukan anak yang selalu dimanja oleh keluarganya meski ia lahir di keluarga yang sangat berkecukupan. Ia merasa mampu dan berhak untuk tinggal di istana ini, demi kelangsungan hidupnya dan membayar hutang kedua orang tuanya. Tak berselang lama Kepala Chef datang dan mulai memperhatikan gerak gerik Lylia dari dekat saat membuat dessert.
'Serasa ujian praktek! Jangan gugup. Jangan gugup.' Batin Lylia.
.
.
.
Menjelang siang di ruang kerja, tampak Dante yang terlihat sangat sibuk dengan berbagai berkas yang di bawa oleh seorang pria berjas abu-abu yang tampak sedang menunggu Dante menyelesaikan kegiatan menandatangani berkas tersebut. Dan salah satu serigala setia Dante yang bernama Victor itu tampak dengan tenang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan gerak gerik pria berjas abu-abu tersebut yang teridentifikasi sebagai General Manager salah satu perusahaan besar milik Dante.
"Baiklah, pertahankan kinerjamu. Kalau ada yang mencurigakan segera melapor!" Perintah Dante setelah dirinya menandatangani dokumen terakhir.
"Baik, Pak. Terima kasih pujiannya. Kalau begitu, saya permisi dulu." Ucapnya seraya menunduk lalu bergegas keluar ruangan di ikuti oleh Victor.
Selang beberapa detik kemudian, sebelum pintu benar benar ditutup oleh Victor, tampak sosok pria lain yang sedang menggunakan kemeja biru cerah berjalan santai masuk ke dalam ruang kerja Dante.
"Permisi kawanku." Ucapnya saat melewati Victor.
"Halo pria tua!" Teriaknya sambil tersenyum penuh kemenangan.
"Bobby, berhenti mengejekku." Ucap Dante tersenyum smirk.
"Apa yang salah? Kau sebentar lagi ulang tahun ke-43, jadi wajar menurutku kalau ada seseorang yang memanggilmu Paman atau Kakek." Ejek Bobby sambil tertawa puas.
Dante hanya membalasnya dengan senyum smirknya itu, mengingat ada seorang gadis yang baru saja memanggilnya Paman.
"Nico saja belum menikah, jadi siapa yang harus memanggilku Kakek? Hah?" Balas Dante sambil membakar satu batang rokok.
"Kudengar dia pulang? Apa dia tidak membawa seorang wanita?" Tanya Bobby.
Dante menggelengkan kepala.
"Bahkan tim pengintai yang kukirim untuk mengawasinya saja tidak pernah melaporkan apapun padaku, kalau anak itu pernah memasukkan wanita ke mansionnya atau hanya sekedar menggunakan jalang untuk memuaskan nafsunya aku seharusnya sudah memberitahukanmu."
Bobby cekikikan.
"Apa kau yakin anak kesayanganmu itu bukan gay?"
Dante kembali menggelengkan kepala .
"Beban dan tanggung jawab yang harus dia pegang sangat besar, Bobby.Anak itu tidak punya nyali melakukannya."
"Sangat berbeda dengan Ayahnya, yang masa mudanya di habiskan dengan mencicipi jalang satu persatu." Bobby tertawa mengingat masa lalu.
"Dan sayangnya aku berhenti di jalang yang salah." Balas Dante menghembuskan asap rokoknya.
Bobby melirik Dante, ia menilai ekspresi datar sahabat lamanya dan menemukan ada rasa penyesalan yang tersirat di dalamnya.
"Lalu apa dia masih bisa memuaskanmu?" Tanyanya kemudian.
Dante terdiam.
"Ya, tentu Bob." Balasnya lalu kembali menghisap rokoknya dalam dalam.
"Aku tidak munafik, dia masih bisa memuaskanku. Tapi semakin aku menyentuh tubuhnya, semakin hilang rasa itu." Lanjutnya menghembuskan nafas.
"Lalu apa bedanya dia dengan jalang di luar sana?" Tanya Dante putus asa.
"Setidaknya dia masih berstatus sebagai istrimu." Balas Bobby santai sembari menyisip segelas vodka yang di sajikan oleh Victor.
Dante terdiam kembali.
"Berhentilah memikirkan Nico. Dia sudah dewasa. Aku yakin dia akan paham dengan situasimu. Jadi pergilah mencari seseorang yang bisa membuatmu merasakan bara api itu lagi. Seseorang yang bisa membuatmu mabuk kepayang, yang akan selalu kau rindukan karena kasih sayangnya yang tulus tanpa memandang siapa dirimu." Lanjutnya.
"Atau kau mau menghabiskan sisa hidupmu seperti ini?" Tanya Bobby to the point.
Dante menyerap setiap perkataan Bobby, sahabatnya sedari bangku sekolah itu.
"Aku tidak tau, Bob. Rasanya aku sudah terlalu tua untuk memulai semua itu kembali." Pasrah Dante.
"Hahaha! Pada akhirnya kau mengaku tua!" Tawa Bobby.
"Tapi ayolah! Mulai dari awal saja kalau begitu. Atau kalau tidak, kau bisa mencari udara segar mungkin? Tau kan? Bermain main sejenak." Racau Bobby.
"Tidak Bobby, aku tidak mau memakai jalang jalanan yang tubuhnya sudah dinikmati oleh ratusan pria di luar sana. Seleraku sudah tidak seperti dulu lagi." Tolaknya.
"Kau tau? Kau benar-benar ke tinggalan zaman kawan!" Kekeh Bobby sambil menggelengkan kepalanya.
"Carilah Sugar Baby!" Tambahnya.
Author POV END
***
Author POV"Sugar Baby?" Tanya Dante mengangkat alisnya tidak mengerti."Iya! Sugar Baby? Seorang wanita muda di luar sana yang siap melayanimu setiap kau butuh, tanpa harus berbagi dengan pria lain. Kau hanya perlu membiayai kehidupannya dan dia akan memberikanmu perasaan manis itu! Tanpa adanya rasa cinta dan hanya kontrak saja. Dia akan jadi milikmu seorang! Itu kan yang kau mau?" Jelas Bobby sembari meneguk minuman kerasnya.Dante terdiam kembali. Kepalanya makin pusing mendengar penjelasan sahabatnya. Dia hanya mengangkat bahunya tanda tidak yakin karena dirinya sendiripun masih bimbang dengan keputusannya untuk mengkhianati pernikahannya yang sudah dia pertahankan selama 23 Tahun ini. Tapi jauh di lubuk hatinya, monster ini merasakan kesepian yang sangat mencekik. Tidak pernah sekalipun dia membagi penderitaannya kepada orang lain. Hanya Bobby yang paham dengan apa yang di butuhkan sahabatnya ini."Ya sudah, aku pu
Author POV"Kau gila Dante!" Pekik Bobby setelah mendengar penjelasan dari Dante."Mana aku tau kalau kau berteman akrab dengan Dexter, Bob." Balas santai Dante."Aku mengenal anak itu sejak dia masih SMP, dan sekarang sebentar lagi dia lulus kuliah. Memang benar sesekali aku memanjakan anak manis itu. Tapi aku bahkan tidak tau kalau Dexter membawa lari uangmu." Ucap Bobby.Dante hanya menghisap rokoknya, mereka berdiri tepat di depan pintu utama."Aku saja yang merawatnya bagaimana? Aku sudah memperhatikan pertumbuhannya sejak dulu jadi aku merasa dia seperti keponakanku sendiri. Kalau Dexter bisa membesarkannya seperti anak kandung sendiri, seharusnya aku juga bisa." Racau Bobby."Apa?!" Lirik Dante."Lylia, gadis itu bukan anak kandung Dexter. Dia bahkan tidak memiliki darah keluarga Prozky sama sekali. Tetapi Dexter dan Christine membesarkannya seperti anak kandung mereka sendiri." Jelas Bobby."La
⚠️be wise⚠️ ⚠️the scenes going to be 18+⚠️ Dante POV "Aku mau melihat salah satu kakinya ada di meja kerjaku besok!" Perintahku sembari mematikan telepon. Rasanya geram sekali mendengar salah satu rekan kerjaku berusaha untuk berkhianat. Sama seperti Dexter, Ayah dari gadis yang kupekerjakan di rumah ini. Ingin sekali aku memotong salah satu jari tangannya untuk memperingatkannya agar tidak bermain main dengan kepercayaanku. "Carikan aku info mengenai pengkhianat itu,Victor. Siapa saja keluarganya dan partner bisnisnya yang lain. Pergi!" Titahku. "Baik, Tuan." Victor pergi meninggalkanku sendirian di ruang kerja. Aku kehilangan fokus kerja. Ku bakar sebatang rokok dan mulai memejamkan mata. Rasanya lelah sekali. Tok. Tok. "Hai Dad, aku mau pergi clubbing
Lylia POV'Apa yang barusan itu?' Aku terduduk setelah nafasku kembali normal."Aku baru saja di serang oleh monster!" Jeritku pelan.Aku menyentuh bibirku yang basah.'Seumur umur aku hanya menonton adegan itu di film dan barusan aku merasakannya bersama si monster!' Batinku.Aku menjambak rambutku.'Apa aku akan di bunuh kalau menentangnya? Monster itu kan tidak suka di tentang!' Panikku.'Apa yang harus aku lakukan? Aku harap dia tidak melakukannya lagi! Aku tidak mau di bunuh.' Aku lemas seketika.Aku yang bergidik ngeri tidak ingin terlalu larut dalam ketakutanku, segera kubersihkan kekacauan yang berserakan di lantai marmer akibat ulahku sendiri. Dan berlari kembali ke dapur."Disitu kamu rupanya, Lylia!" Teriak Harley saat melihatku."Ada apa Tuan Harley? Aku baru saja membuat kopi untuk Tuan Dante." Jawabku."Maaf aku terlalu sibuk
Author POV Dante menepuk-nepuk kedua pipi Lylia saat gadis ini mulai kehilangan kesadarannya. Tidak ada respon. Tubuh gadis ini lunglai tidak berdaya. Yang tersisa hanya Dante dan kebingungannya sendiri mendapati dirinya tengah menindih tubuh seorang gadis. 'Apa dia pingsan karena panic attacknya kumat?' Batinnya. Suara deru nafas yang teratur kemudian terdengar dari gadis itu. Lylia tertidur! Wajar saja, semalam suntuk ia mengerjakan pekerjaannya tanpa istirahat seharian. Dia masih belum terbiasa begadang saat jam kerja. 'Hah? Tidur?' Heran Dante. 'Bisa bisanya dia tertidur dalam situasi seperti ini? Apa kasurku begitu nyaman? Atau jangan-jangan dia mencoba memancingku lagi?' Batinnya lalu bergerak mengangkat tubuh Lylia ke posisi yang lebih nyaman di atas kasurnya. Dante bisa mencium dengan jelas wangi shampo dan sabun murah yang Lylia gunakan.
Lylia POVKubuka mataku dengan jantung yang berdegup tidak beraturan. Sepertinya aku tertidur lelap sekali. Tunggu. Ini bukan kamarku."Hah?!" Pekikku seraya terduduk.Aku sangat sadar ini kamar si monster pemilik rumah. Ku dapati bayangannya sedang terduduk di sofa sambil menggenggam sebatang rokok. Ia nampak memijat tulang hidungnya dengan ekspresi yang sedang kesal.'Mati aku!' Tangisku dalam hati."Ma-maafkan aku, Tuan." Ucapku segera mengeluarkan kakiku dari selimut.Tunggu, mana sepatuku? Dan kenapa kancing kerahku terbuka? Apa monster ini membiarkan ku tertidur? Ku dapati sepatuku di bawah kaki kasur. Sang monster tidak mengeluarkan sepatah katapun dari tadi. Ku perbaiki kerah bajuku setelah memakai sepatuku dan berjalan mendekati trolley makanan yang ada di dekatnya."Kemari." Nada baritonnya menghentikan langkahku.Kuturuti perintahnya untuk duduk sesuai dengan ar
Nicholas POV Gadis bergaun putih dengan sepatu berwarna khaki itu tersenyum menyeka poninya ke belakang telinga lalu berpose manis di depanku. Aku tidak berkedip, hanya berpakaian bahkan berdandan sederhana seperti ini saja membuatnya terlihat seperti gadis dewasa pada umumnya. 'kapan dia jadi secantik ini?' Batinku. "Makasih, Kak. Aku suka. Yang ini saja ya." Ucapnya tersenyum. Aku ikut tersenyum lalu berjalan mengarah ke pramuniaga di belakangnya. "Cariin gue pakaian yang lebih modis lagi. Lebih cantik, lengkap dengan aksesoris sepatu dan tasnya. Jangan lupa harus serasi!" Titahku berbisik. Pramuniaga itu menunduk paham lalu meninggalkan kami berdua di ruangan tersebut. "Apa yang kakak bicarakan sama mbaknya tadi?" Tanyanya masih berdiri di tempat yang sama. "Hm? Nothing." Ucapku terduduk lalu menepuk nepuk sofa di sebelahku. Lylia mengikutiku.
Lylia POVMatahari pagi mulai kembali menyapa ketika aku berjalan menuju ke kamar Nyonya rumah mewah ini, Alicia Prime. Seperti biasa ku ketuk pintu kamarnya lalu masuk begitu dipersilahkan."Bagaimana persiapan dessertmu hari ini?" Tanyanya."Sempurna, Nyonya. Semua sudah siap." Jawabku percaya diri."Awas saja kalau kau mengacaukannya." Desisnya."Baik Nyonya, makanan sudah siap. Silahkan di nikmati." Pamitku setelah selesai menyajikan sarapan di meja kamarnya.Kupercepat langkahku untuk segera keluar dari kamar singa betina ini lalu menuju kamar Nicholas."Permisi Tuan, aku membawakan sarapan." Ucapku setelah mengetuk pintu kamarnya."Masuk lah, Ly." Jawabnya.Aku melangkah masuk setelah membuka pintu kamar dan mendapatinya masih bertelanjang dada di atas kasurnya yang tampak berantakan. Dia merentangkan kedua lengannya. Aku yang bingung lalu memilih untuk mengacuhkannya dan melanjutkan peker