Bab 48
"Hallo, Mas Pram. Kapan mau pulang. Ibu sedang sakit ini. Gak bisa jualan," kata seseorang ketika kuangkat ponsel.Ternyata Nita--adik perempuanku--yang mengabari.
"Sebentar, Nit. Mas masih ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal," jawabku dengan sedih.
Memang sejak menikah dengan Sarah jarang sekali menghubungi keluarga di kampung. Kesibukan kerja dan masalah Sarah kadang tidak sempat menelpon ibu. Padahal dulu hampir setiap hari wajah ibu selalu hadir di tampilan ponsel tipis ini.
" Siapa, Sayang?" tanya Sarah mengernyitkan dahi.
" Nita," jawabku singkat sambil berbisik.
"Ibu pengen Mas Pram pulang dulu. Lagian lama gak nengok rumah," ujar Nita dengan badan sedih. <
Sarah sudah berdiri di depan pintu ruangan cleaning service. Aku segera berdiri dan menghampiri. Nampak Reni dan Bagas agak gugup melihat kehadiran bosnya di ruangan. Sarah tersenyum pada Reni yang salah tingkah.Aku berdiri dan menghampiri Sarah yang menatapku. Sepertinya dia telah menolong dari sindiran pedas Reni."Siap, Bos!" seruku penuh semangat."Tolong siapkan mobil. Aku ada meeting dengan Pak Hans!" perintah Sarah."Duluan, Bro," pamitku pada Bagas. "Siip," jawab Bagas dengan melambaikan tangan.Sementara Reni masih terpaku melihatku. Gadis itu seperti melihat hantu yang menakutkan."Selamat tinggal cantik! Jaga m
Sarah dan ketiga putranya mengantarku ke Bandara Sukarno Hatta. Sebenarnya aku ingin naik bis saja menuju kampung halamanku kota Semarang. Tetapi Sarah memaksa untuk membelikan tiket pesawat agar perjalananku cepat tiba di kampung halaman.Sudah pukul setengah empat sore, jadwal penerbangan menuju Kota Semarang masih setengah jam lagi. Kami masih duduk di sebuah gerai cepat saji di Bandara Sukarno Hatta. Ketiga putra Sarah masih menempel seperti perangko. Apalagi Arsya dan Atta yang seolah berat melepas kepulanganku. Aska terlihat seperti pria dewasa kali ini.Penampilanku masih terlihat cuek dengan hanya memakai celana pendek warna coklat dan kaos warna hitam. Dengan sepatu merek brand ternama yang baru diberikan Sarah.Penampilan Aska juga tidak kalah cuek denganku. Dia hanya
Bab 51Pesawat sudah mendarat di Bandara Ahmad Yani pukul 5 sore. Aku bersiap untuk mengambil barang bawaan yang berada di locker pesawat. Para penumpang lain juga bersiap untuk turun dari pesawat.Gadis yang berada di sampingku masih duduk tenang. Dia mungkin kesal karena selama dalam perjalanan tidak aku perdulikan. Sebenarnya dia ingin mengajak berbincang denganku, tetapi aku lebih memilih tidur dengan mendengarkan lagu.Gadis itu perlahan berdiri lalu mengambil koper kecil yang berada di locker pesawat."Semarangnya mana, Mas?" tanya dia masih penasaran."Ah dekat kok, Mbak," jawabku sekenanya.Gadis seperti dia adalah tipe wanita yang super nekat. Bisa saja di
"Sayang, gimana udah nyampai di rumah ya?" tanya seseorang yang ternyata Sarah. "Iya. Ini lagi makan. Ibu masak sayur kesukaanku," jawabku membalas telponnya. "Bagaimana keadaan anak-anak, Yang?" tanyaku lagi. "Yah biasa lah. Mereka semakin aktif." "Sayang, aku rindu dan kangen nih. Jangan lama di kampung ya," rajuk Sarah. "Sama, Sayang. Aku juga kangen," jawabku. "Mas!" panggil Nita dari belakang serasa menepuk pundakku. Aku tergagap dan hampir saja gawai itu jatuh ke lantai. Ternyata Nita telah mencuri dengar di belakangku. Sekarang anak itu benar-benar curiga dengan kakaknya.&nbs
"Pram!" panggil ibu yang telah duduk di tikar ruang tamu.Kami memang tidak mempunyai meja dan kursi di ruang tamu. Lebih asyik duduk di tikar. Kadang ruang tamu yang sempit itu bisa untuk tiduran dan kegiatan lainnya.Mendengar panggilan ibu, aku segera keluar kamar dan menghampirinya. Kucium tangan ibu yang sudah renta. Aku duduk bersimpuh di hadapannya.Wajah ibu nampak lebih ceria dibanding hari-hari kemarin. Walaupun beliau masih belum mau menerima hadiah kalung dariku. Aku tidak mau memaksa ibu."Pram, kalungmu coba lihat bawa sini," kata ibu dengan tersenyum.Sedikit kaget tapi hati ini senang karena ibu menanyakan kalung. Segera aku bangkit masuk ke kamar untuk mengambil kot
"Pram, dari mana, Nak?" tanya ibu yang duduk bersama seorang gadis di ruang tamu.Gadis berhijab yang cantik dan pakaian yang sederhana. Aku tersenyum pada gadis itu. Dia tampak malu-malu melihat kedatanganku."Ini Siti, anaknya Pad De Darno yang ibu ceritakan kemaren, Pram," ujar ibu sambil memegang tangan gadis itu.Aku mencium tangan ibu dan duduk di sebelahnya. Sempat pandangan mata ini beradu dengan mata bulat gadis itu."Siti, perkenalkan ini Pram. Kamu pasti sudah tau. Waktu kecil dia sering main ke rumahmu," kata ibu dengan tersenyum.Siti hanya menunduk sopan dan menelungkupkan kedua tangannya di depan dada. Dia tidak mau menyalami tanganku. Aku jadi malu sendiri dengan kesopanan gadis itu.&n
Bab 55Sore itu aku ingin menenangkan pikiran dengan main ke bukit kapur di dekat kampung. Aku hanya memakai kaos oblong dan celana pendek hitam dengan sepatu sport warna hitam.Bukit itu tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya 20 menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai di tempat itu.Sejak kejadian sore itu, Sarah tidak menghubungi aku lagi. Pikiranku menjadi kacau. Apalagi ibu nampak bahagia mempersiapkan lamaran untuk Siti. Sementara aku tidak mau mengganggu ibu.Setiap pesan yang kukirim kepada Sarah tidak pernah dia balas. Apalagi panggilan telpon. Dia hanya membacanya tanpa mengirimkan pesan balik.Jelas dia sangat marah kepadaku. Laki-laki yang dipujanya ternyata hanya seorang pecundang. Lalu apa salahku. Seringkali aku mengajak Sar
Bab 56 Panggilan dari Bi Iyem mendadak mati. Mungkin sinyalku yang tidak bagus karena sedang di kampung. Segera aku berdiri dan keluar dari kamar Nita."Ada apa, Mas Pram?" tanya Nita curiga."Sebentar, Nit. Aku ada urusan penting," jawabku segera keluar dari kamar Nita.Dengan wajah panik, aku memanggil ulang nomer Bi Iyem. Berkali-kali tidak ada jawaban. Pikiran mulai kacau dan hati tidak tenang. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Sarah.Aku mencari nomer Aska. Siapa tahu remaja itu bisa menjawab kegalauan hati. Tetapi sama. Nomer Aska juga susah untuk dihubungi.Kubanting ponsel yang tidak bersalah itu di atas kasur tipis. Dengan kasar kuhempaskan tubuh yang mulai lelah ini. Seolah Tuhan akan mengh