Jam satu siang bel berbunyi ... itu tandanya kegiatan Sekolah untuk hari ini pun berakhir. Semua penghuni sekolah berhamburan keluar layaknya anak ayam yang baru saja keluar kandang.
"Kalian berdua mau jalan?'' tanya Kim.
"Nggak, gue mau tidur siang. Sumpah, ini mata gue ngantuk berat, guys. Tadi aja pas pelajarannya Bu Tini, gue nyaris ketiduran," jelas Hani dengan wajah lesunya.
"Iya, gue juga mau pulang aja," tambah Jeje.
''Kalau gitu gue duluan, ya. Mau nyusulin orang tua gue,'' ujar Kim.
"Oke, bye."
Kim pamit dan segera menuju mobilnya, begitupun dengan Hani dan Jeje yang menuju mobil mereka masing-masing.
[][][][]
Ia segera menuju Cafe yang sudah diberitahukan mamanya tadi lewat pesan singkat. Setibanya di tempat yang di maksud, ia menghampiri meja receptionist.
"Maaf, Mbak, saya mau cari meja atas nama Bapak William Affandi. Di sebelah mana, ya?'' tanya Kim pada receptionis.
Si Mbak itu langsung mengecek nama yang disebutkan Kim dan mencari list nama pada sebuah buku.
"Meja atas nama Bapak William Affandi, ada di nomer 13, di lantai dua, sebelah kiri, Mbak," jelasnya mengarahkan dengan ramah.
"Makasih, ya, Mbak," ucap Kim berlalu dan segera menuju ke arah yang dimaksudkan oleh receptionist .
Ya, tak lama mencari ... bahkan tak perlu ia cari, karena dengan sekali lirik kedua orang tuanya langsung ketemu.
"Ma, Pa," panggil Kim sambil berjalan menghampiri papa dan mamanya yang berada tak jauh dari posisinya.
"Sayang," balas mamanya sambil melambaikan tangan.
Ia segera menghampiri dengan sedikit berlari.
"Kok, lama ... keluyuran dulu, ya?" tanya William yang lebih tepat disebut tuduhan.
"Ih, Papa, curigaan amat, sih, sama anak. Aku langsung kesini dari Sekolah. Ini aja masih pake seragam," jelasnya sambil duduk di kursi yang ada di samping Mamanya dengan memasang wajah cemberut.
"Papa cuma becanda kali, Kim."
"O, iya, Sayang ... kenalin, ini Om Doni dan Tante Mila," ujar Jessica memperkenalkan sepasang suami istri yang juga duduk diantara mereka.
Kim ikut mengarahkan pandangan pada sepasang suami istri yang usianya tak jauh beda dengan orang tuanya, kemudian tersenyum manis.
"Hai, Om, Tante. Kenalin aku, Kim," ujarnya menghampiri dan memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangan keduanya secara bergantian.
"Hai, Sayang," Sapa Doni.
"Kamu cantik banget," puji Mila.
"Makasih, Tante," jawab Kim malu- malu meong.
Menurut penerawangan otak kirinya, Mila ini orangnya riang, keibuan, jelas sekali dari wajah lembutnya itu. Tapi kalau Doni, orangnya agak cuek, dari raut mukanya, sih, beliau bukan termasuk sosok Ayah yang humoris. Lebih terlihat dingin, kayak si Guru killer. Lah, ini kenapa ia malah keingetan sama itu Guru. Ada yang aneh dnegan otaknya.
"Ma, Aku ketoilet bentar, ya," ujar Kim pada mamanya.
"Ya udah, sana, jangan lama-lama."
"Iya, aku ke toilet bukan buat bobok cantik, kok, Ma. Jadi, nggak akan lama. Oke," canda Kim sambil berlalu pergi.
"Kamu ini," gerutu Jessica menaggapi ocehan putrinya.
"Ini anak, kok lama banget, ya, datangnya," ujar Mila pada suaminya.
"Coba ditelepon."
Pada saat ia hendak menelepon, tiba-tiba pandangannya mengarah pada seseorang yang sedang ditunggu-tunggu.
"Ah, itu dia sudah datang," seru Mila yang melihat sang anak dari kejauhan yang sedang berjalan mengarah padanya.
Seorang pemuda berperawakan tinggi, menghampiri Mila dan Doni ... kemudian mencium punggung tangan keduanya. Begitupun hal yang sama dilakukannya pada William dan Jessica.
Pada saat hendak duduk, di saat yang bersamaan Kim yang juga baru balik dari toilet juga hendak kembali duduk ke kursinya.
'Brugghh!!'
"Aduh!!" teriak Kim hebohh.
"Astaga, Kim."
"Kalian nggak apa-apa?" tanya Mila.
"Jalan hati-hati, dong, Kim," omel William dengan tingkah putrinya.
Ya ampun, ia sangat yakin dengan pasti kalau ini bukanlah salahnya. Tapi, kenapa malah ia yang kena omel. Dan wah ... betapa kagetnya ia saat melihat siapa orang yang sudah menabraknya. Bahkan, dia jugalah yang menabraknya di sekolah, tapi malah tak mengaku.
"Kamu."
"Bapak," kaget mereka barengan.
"Aduh ... Bapak kok hobby banget, ya, nabrak saya. Nggak di Sekolah, nggak di sini," semprot Kim langsung sambil kembali berdiri dari duduk manisnya di lantai.
"Kamu nuduh saya nabrak kamu lagi?'' tanya Alvin tak kalah sewotnya.
''Ah, terserah Bapak lah ... toh, Bapak juga nggak akan mau disalahkan," cerocos Kim.
"Ehem."
Deheman Doni membuat semuanya kembali duduk ke kursi masing-masing, termasuk Kim dan Alvin sendiri.
"Lah, ini Bapak kenapa juga ikut- ikutan duduk di sini?'' tanya Kim heran.
"Tenang dulu, Sayang," sergah Jessica.
"Kimmy, Sayang ... apa kamu kenal dengan dia?'' tanya Mila pada Kim sambil menunjuk ke arah Alvin yang masih duduk bersandar di kursi dengan tampang dinginnya.
"Ya, dia Guru di Sekolah aku, Tan," jawab Kim seadanya.
"Menurut pendapat kamu, dia gimana?" tanya Jessica ikut-ikutan.
"Hah?'' Pertanyaan macam apa itu.
Kim agak bingung. Masa ia ditanya mengenai pendapatnya tentang Alvin yang baru dia kenal beberapa jam saja. Tapi setidaknya bisa ia pastikan kalau Alvin adalah tipe cowok yang menyebalkan.
"Iya, menurut kamu Alvin itu gimana?'' ulang Jessica.
"Jujur, nih, ya ... meskipun saya baru ketemu hari ini, tapi menurut saya Pak Alvin itu, hmm ... nyebelin pake banget, ngeselin, dingin dan muka tembok. Rasanya pengen saya cakar-cakar dan jambak-jambakin," jelas Kim dengan semangat menggebu gebu, yang dibalas tatapan membunuh dari Alvin dan itu benar-benar menakutkan.
Ia tertawa receh. "Sorry ya, Pak. Ini jangan disangkut pautin sama nilai saya loh, harus profesional," ingatkan dirinya tentang keprofesionalan seorang guru. "Eh, ngomong-ngomong ini Bapak kenapa di sini?'' tanyanya kembali menyadari.
Baru sadar kenapa dari tadi si Guru killer juga ikut-ikutan duduk di sini. Nggak mungkin juga, kan, kalau ini guru mengikutinya. Kalau benar begitu, jelas saja ia sangat kekurangan pekerjaan.
"Kim, Alvin ini anaknya Tante Mila, sama Om Doni," jelas Jessica.
"Apa?!"
Jujur, ia sangat kaget mendengar penuturan mamanya. Itu berarti, dari tadi ia sudah menjelek-jelekkan anaknya Tante Mila sama Om Doni. Oh astaga, ini memalukan .
"Jadi?'' Kim mengedarkan pandangannya pada Alvin, Mila, dan Doni secara bergantian.
"Iya, Sayang. Alvin adalah putra kami," ungkap Mila.
"Dan Alvin jugalah yang akan kami jodohkan sama kamu, Sayang," sambung Jessica menambahkan.
"Whattt!!!''
Astaga naga, belum reda rasa kagetnya kalau Alvin adalah anak dari Doni dan Mila, sekarang ditambah lagi dengan ucapan mamanya barusan. Demi apa ia mesti dijodohin sama Alvin, yang jelas-jelas adalah gurunya sendiri.
"Mama, bercandanya nggak lucu," ujar Kim dengan senyuman terpaksanya.
"Ini serius," tegas Jessica.
"Omaigat!!!" Kim seolah menahan rasa kagetnya agar tak terlalu histeris. Gelas gelas di meja seakan mau retak mendengar suara kagetnya itu. "Kok, cuma aku yang kaget, Bapak nggak kaget gitu dengernya?'' tanya Kim pada Alvin yang masih duduk dengan santainya, seolah-olah tak kaget ataupun sejenisnya.
"Saya sudah tahu," jawabnya singkat.
Kim langsung memasang muka juteknya mendengar jawaban Alvin "Saya mau bicara sama Bapak," ujar Kim langsung menarik tangan Alvin dan membawanya keluar dari Cafe. Ia benar-benar geram dengan masalah ini.
"Hei, Lepas!'' bentak Alvin sambil menunjuk tangan Kim yang masih memegang pergelangan tangannya.
"Ih, Bapak kok nyebelin banget, sih," geram Kim melepaskan tangan Alvin dengan kasar.
"Kamu dari tadi terus memanggil saya dengan sebutan, Bapak. Memangnya saya sudah bapak-bapak," kesal Alvin tak terima.
"Kan, Bapak Guru saya.''
"Iya, kalau di Sekolah."
"Ah, terserahlah. Bapak sudah tahu dari awal, kan, kalau saya yang dijodohin sama Bapak?'' tanya Kim.
"Ya," jawabnya singkat.
"Pantesan, jutek," cetus Kim.
"Biasa saja."
"Oke, kalau gitu saya minta Bapak buat tolak perjodohan ini," pinta Kim.
"Maaf, saya bukan seorang anak yang mau hancurin keinginan orang tua saya. Kenapa bukan kamu saja?"
"Pak, kalau saya yang batalin, ntar semua fasilitas saya bakalan disita. Hancur dong hidup saya." Sudah jelas ia tak ingin mimpi buruk itu sampai terjadi.
"Ya sudah, kalau gitu jalani saja ... gampang, kan,'' ujar Alvin singkat sambil berlalu pergi meninggalkan Kim dan kembali ke dalam cafe .
"Aaaakkhh!!!" teriak Kim frustasi atas sikap Alvin yang menurutnya sangat-sangat menyebalkan. Mudah sekali ia berpikir dan menjawab se-simple itu. Masalah ini menyangkut kehidupannya selanjutnya.
"Jadi, semua fix, ya," ujar Mila.
"Iya atuh, Jeng. Alvin udah terima, Kim juga gitu, kita lanjutlah," sahut mamanya Kim.
"Lanjut?" Bingung Kim.
"Kami sudah sepakat kalau kalian besok tunangan ... trus, hari minggu kalian menikah."
"Hah?''
Semoga saja saat ini jantungnya dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun ia tau dijodohkan, tapi nggak secepat ini juga kali nikahnya. Masa iya dalam beberapa hari ini statusnya bakalan berubah jadi seorang istri.
"Tapi, Ma, Pa, Om dan Tante ... apa nggak cepet banget, ya. Ini nikah beneran, loh," ujar Kim mengingatkan. Ya, siapa tau aja ibu-ibu dan bapak-bapak ini lupa, apa itu, menikah.
"Iya, kami pingin cepet-cepet aja. Biar kamu ada yang jagain, Kim," ujar Jessica.
"Dan Alvin ada yang ngurusin." tambah Mila yang dibalas tatapan nggak jelas dari putranya itu. "Dan satu lagi, Kim. Jangan panggil Alvin dengan sebutan Bapak terus dong ... umur kalian cuma beda 5 tahun, panggil Kak Alvin aja," tambah Mila menjelaskan.
Kim hanya membalas dengan anggukan nggak jelas. Apalagi yang akan ia lakukan selain itu.
Setelah semuanya beres, Mila malah memaksanya pergi sama Alvin untuk membeli cincin tunangan. Dengan hati yang sangat dipaksakan lagi akhirnya ia turuti juga.
"Awas, ya, kalau Bapak sampe ngasih tau orang satu Sekolah tentang ini semua," peringat Kim yang saat itu sedang berjalan di belakang Alvin. Malahan ucapannya tak mendapakan respon apa-apa. Tapi ia yakin, kalau Alvin mendengar ucapannya barusan .
Setibanya di sebuah toko perhiasan, mereka berdua langsung disambut oleh pemilik Toko.
"Eh, Mas Alvin. Mau ambil pesanannya, ya?''
"Iya," angguk Alvin mengiyakan.
"Ini siapanya, Mas?" tanyanya sambil menunjuk ke arah Kim yang berdiri disamping Alvin. "Adiknya, ya, Mas," tebaknya karna melihat Kim yang masih mengenakan seragam SMA.
'Ih, enak bener ni orang ngomongnya. Masa iya gue yang cantik, imut-imut gini dibilang adiknya si muka tembok," batin Kim merutuki perkataan si pemilik Toko.
"Kenapa? Biasa aja dong, mukanya,'' ujar Alvin yang melihat ekspressi muka kesal Kim yang tak terima kalau ia dikira adiknya.
"Ini, Mas, cincinnya," ujar pemilik toko yang kembali sambil membawa sepasang cincin.
Alvin tiba-tiba saja menarik tangan Kim dan itu membuatnya kaget. "Eh, eh ... mau ngapain?'' tanya Kim. Tapi Alvin tetap memegang tangannya dan tertuju pada jari manis.
"Udah pas atau belum?'' tanya Alvin.
'Oowh mau cobain cincin, kirain ...'
''Gimana, udah pas atau belum?'' tanya Alvin lagi
tanpa menatap ke arah Kim.
"Iya."
"Duh, ini calon istrinya Mas Alvin. Maaf, saya kira tadi adiknya, Mas. Soalnya masih pake seragam SMA. Kok bisa, sih, Mas, apa kecelakaan, ya, Mas?" tanya-nya nggak berhenti-berhenti, yang hanya dijawab dengan tatapan tak suka dari Alvin.
'Kecelakaan? Maksudnya, gue bunting, gitu? Anjirr, mulut ni orang pengen ditabok kayaknya. Dia kira gue cewek apaan,' gerutu Kim dalam hati.
"Maaf, Mas," ujar si pemilik toko seolah tau arti dari ekspresi wajah Alvin.
Setelah selesai untuk urusan cincin, keduanya kembali ke mobil. Dalam keadaan berdua di mobil beginilah, Kim menjadi sangat canggung.
"Ini kita mau kemana?'' tanya Kim yang menyadari kalau ini bukan arah jalan pulang ke rumahnya.
''Makan, saya lapar,'' jawabnya dingin.
Bukan hanya Alvin yang merasa lapar, Kimmy pun juga begitu. Pada pertemuan di Cafe tadi, ia tak dipersilahkan untuk makan terlebih dahulu. Sungguh keterlaluan sekali orang tuanya.
"Saya pikir Bapak nggak punya rasa lapar," ledek Kim sambil tertawa lepas.
"Saya juga manusia."
"Benarkah?'' tanya Kim becanda. Tapi Alvin malah membalasnya dengan tampang sangarnya. Auto ciut. "Becanda kali, Pak." Kim menyadari tatapan yang ia terima dari Alvin itu begitu menakutkan.
"Saya kan sudah bilang, jangan panggil saya dengan sebutan, Bapak," protes Alvin untuk yang kesekian kalinya masalah panggilan Kim padanya.
"Iya, iya, maaf, Pak. Eh, maksudnya, Kak," ulang Kim pada perkataannya, meskipun agak berat.
Keduanya sampai di restoran dan memilih untuk duduk di meja bagian paling ujung.
"Ini menu nya, Mas, Mbak," ujar seorang pelayan cafe sambil menyodorkan buku menu pada Alvin dan Kim.
"Saya pesen salad, sama minumnya green tea," ujar Alvin sambil menyodorkan kembali buku menu pada pelayan Cafe dan menatap Kim seolah bertanya mau makan apa? Tapi nggak mungkin juga seorang Alvin mengatakan itu langsung.
"Saya pesen chicken saos teriyaki," jawab Kim.
"Sebentar, Mas, Mbak," ucapnya sambil berlalu.
Saat makan pun, Alvin dan Kim tak bicara apa-apa. Apa yang akan di bicarakan, menurutnya, Alvin bukanlah lawan bicara yang baik.
"Bapak vegetarian?'' tanya Kim membuka pembicaraan.
"Bukan,'' jawabnya singkat.
"Trus kenapa?" tanya Kim sambil menunjuk ke arah piring Alvin.
"Memangnya cuma seorang vegetarian yang boleh makan sayuran?'' tanya Alvin balik .
"Hehehe, iya, ya," balas Kim cengengesan. Tapi sebenarnya dalam hati ia malah memikirkan seekor kembing.
"Dan satu lagi. Jangan pernah bicara disaat makan, itu sangat tidak sopan," jelas Alvin mengingatkan, masih dengan tampang dinginnya yang menurut Kim sangat kelewat batas. Seperti tak punya eksressi saja.
"Peraturan apa itu?" tanya Kim. Tapi pertanyaannya malah dikacangin begitu saja oleh Alvin.
Saat ini jam sudah menunjukkan pukul 18:00, semua kejutan dan lain sebagainya sudah selesai di persiapkan. Tinggal menunggu Alvin kembali dari kantor untuk memberi kejutan. "Mama ..." panggil Arland yang baru pulang sekolah. Lihat, jam segini dia baru balik ke rumah. Bukan sekolah, melainkan pulang dari les tambahan. "Udah pulang, Sayang." "Tante di sini?" tanya Arland pada Jeje "Iya," jawab Jeje. "Dilla nya udah pulang ya, Land?" "Udah, Tan." "Ya udah Kim, kalau gitu gue mau pulang dulu. Ntar balik lagi kesini , oke," pamit Jeje. "Bye, Tante." "Dahhh ...." "Ayo, Sayang ... kamu mandi dulu. Udah bau acem," ejek Kim. "Hmm ...," angguknya. "Sekarang ulang tahunnya Papa loh, Mama nggak lupa, kan? Jangan bilang kalau Mama belum nyiapin hadiah buat Papa karna bingung mau ngasih apa?" jelas Arland pada Kim. Ya ... pengalaman tahun kemarin yang ia ungkit kembali. Sampai-sampai putranya sa
Pagi ini sangat berbeda, tak biasanya ia masih berada di balik selimut. Sementara Alvin sudah bangun dan sekarang sedang sarapan bersama Arland. Badannya terasa sangat lemas, nggak ada tenaga, mual, pusing, dan nggak mood untuk melakukan apapun."Sayang ... kamu benar nggak apa-apa aku tinggal?" tanya Alvin masuk dan menghampiri dirinya yang masih tiduran."Iya, Kak, nggak apa-apa," jawabnya."Aku nggak tenang ninggalin kamu dalam keadaan kayak gini,'' khawatir Alvin"Kan ada Bibik, Kak. Udahlah, sana Kakak ke kantor aja.""Pa ... Ma ..." panggil Arland sambil mengetuk pintu kamar orang tuanya. Ia tak akan menyelonong masuk ke dalam kamar begitu saja, apalagi kamar orang tuanya. Sangat tidak sopan kalau begitu."Masuk, Sayang ...," jawab Alvin.Mendengar ijin yang di berikan papanya, barulah ia yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya pun masuk. Ternyata ia masuk bukan dengan tangan kosong, melainkan dengan segelas susu hangat.
"Kak, bangun dong, Kak Fikri nelepon, nih," ujarnya sambil membangunkan Alvin, tapi tak ada respon."Kak ...."Ia memutuskan untuk menjawab panggilan itu. Toh, yang menelepon adalah Fikri."Hallo ....""Kim?" tanya kak fikri"Iyalah, Kak," jawabnya. "Siapa lagi cewek yang bisa menyentuh ponselnya Kak Alvin selain aku." "Ya kali aja Alvin punya selingkuhan, mungkin.""Apa!? Kak Alvin punya selingkuhan!?" kagetnya dengan nada tinggi, sampai-sampai Alvin yang lagi tidur dan dari tadi ia coba bangunkan tak berhasil, sekarang ikut terbangun."Siapa yang selingkuh?" tanya Alvin langsung duduk dengan tampang cengok nya."Ihhh ... masih nanya lagi, Kakak lah yang selingkuh," kesalnya langsung banting tu ponsel ke lantai dan beranjak menuju ke kamar mandi.Alvin ikut m
Sesampainya di rumah, ia langsung jalan menuju ke kamar karna rasanya badannya lagi nggak enak aja. Sementara Alvin, dia lagi teleponan di teras depan sama klien bisnisnya, mungkin. Karna ia juga nggak mau tahu juga lah sama urusan kantor dan pekerjaannya itu.Tapi kalau dia teleponan sama cewek, barulah dirinya bakalan ngamuk."Kamu tidur?" tanya Alvin yang tiba-tiba masuk menghampirinya di tempat tidur."Cuma tidur-tiduran," jawabnya mengubah posisi tidurnya menjadi menghadap Alvin."Hmm ....""Kak, itu masih perih?" tanya Kim sambil menunjuk ke arah bibir Alvin yang luka akibat gigitannya."Iyalah ... kalau kamu ngegigit bibirku dengan penuh nafsu, sih, aku terima meskipun agak sakit.Nah ini enggak, jadi sakit nya tu berasa banget," jelas Alvin dengan penjelasan anehnya itu.Kim yang tadinya masih tiduran, sekarang bangun. "Aku kan udah minta maaf, Kak. Masa iya belum di maa
Pagi ini Alvin memasuki area kantor dengan wajah yang berseri-seri. Biasanya ia akan bersikap dingin dan cuek pada karyawan yang berpapasan dengannya. Tapi kali ini enggak, bahkan ia lah yang menyapa ataupun menegur mereka. Tentu saja ini menjadi tanda tanya besar bagi semua bawahannya. Apa bos mereka kesambet jin atau sejenisnya?"Pak Alvin kenapa, ya?""Tumben banget aura mistisnya nggak kelihatan.""Jangan jangan beliau lagi menang lotre.""Nggak mungkinlah, menang tender dengan nilai yang fantstis aja ekspresinya biasa aja. Itu artinya ini lebih luar biasa dari menang tender." Begitulah komentar beberapa karyawan yang berpapasan dengannya. Mereka semua hanya bisa menebak-nebak tanpa berani untuk bertanya langsung."Pagi, Pak," sapa Alin yang berpapasan dengan Alvin yang hendak memasuki ruangan nya."Pagi," balasnya sambil terus melangkahkan kaki menuju ruangannya."Apa yang terjadi?" bin
Alvin mengantarkan Kim menuju Rumah Sakit dengan keadaan badan yang lemes pake banget dan mual mual. Ia merasa sudah tak ada lagi stok di lambungnya yang akan dikelurkan, tapi rasa mual itu terus saja munculSetibanya di RS ia langsung di bawa ke UGD dan di periksa sama dokter."Gimana keadaan istri saya, dokter?Apa benar ini cuma asam lambung nya yang lagi kambuh?" tanya Alvin pada Dokter yang habis memeriksa Kim.Dokter malah tersenyum menanggapi pertanyaan Alvin."Bukan ... ini bukan mual mual akibat asam lambung yang kambuh," jawab dokter."Lalu, apa, dok?""Kalau boleh saya tahu, apa kalian berdua lagi berniat punya anak?"Alvin dan Kim malah saling pandang menanggapi pertanyaan dokter. "Maksud dokter?" tanya Kim bingung."Ya, karna setelah saya periksa barusan ... sepertinya saat ini anda sedang hamil."Keduanya langsung memasang tampang kaget mendengar pernyataan dokter. "Serius dok?" tanya Kim tak percaya
Sudah seminggu Hani dan Ceryl berada di Indonesia, dan hari ini adalah hari keberangkatan mereka untuk kembali ke LA. Kim dan Arland saat ini lagi di bandara untuk mengantar mereka.Pada awalnya, sih, putranya itu menolak buat ikut, tapi ia paksa.Karena semenjak kejadian di acara ultahnya Dilla waktu itu, dia udah males sama Ceryl. Ini pun tampang nya Arland enggak banget. Jutek abiss."Han, hati-hati, ya. Jangan suka ngomel-ngomel nggak jelas sama Ceryl," pesan Kim sama Hani. Soalnya Hani kan gitu orangnya. Kerjaannya ngomel mulu."Iya.""Ceryl sayang, jangan nakal, ya," ujar Kim pada Ceryl."Iya, Tante," balasnya."Arland, nggak mau ngomong sesuatu sama Ceryl?" tanya Kim pada Arland yang masih dengan sikap dingin nya itu"Nggak, Ma," jawabnya singkat tanpa sedikitpun menoleh pa
"Kamu nggak makan, Sayang?" tanya Alvin pada putranya yang duduk sendiri di sofa."Nggak, Pa," jawabnya dingin. "Ini masih lama, ya, Pa, aku pingin cepat-cepat pulang," ungkapnya.Alvin tahu betul apa yang dirasakan Arland. Taoi, ia hanya pura-pura enggak tahu saja."Kenapa? Kok bete?" tanya Alvin lagi."Pa, aku males sama sikapnya Ceryl. Kita pulang aja.""Ya udah, kalau kamu maunya gitu. Papa bilang sama Mama dulu, ya."Alvin segera menghampiri Kim yang saat itu lagi ngobrol sama Hani dan Jeje."Kim, aku mau bicara bentar," ujar Alvin pada Kim."Apa?" tanya Kim.Hani dan Jeje pun ikut menunggu apa yang akan dikatakan Alvin pada Kim."Berdua, Kim," tambah Alvin sambil berlalu pergi kembali pada Arland."Ishh ....," dengus Kim sambil mengikuti langkah kaki suaminya tercinta. Dan ternyata Alvin malah mengajaknya untuk menghampiri Arland.Kim mengedarkan pandangan pada duo sosok laki-laki yang sangat e
"Ma, aku duduk di situ, ya," ujar Arlan pada Kim."Iya, Sayang," jawabnya."Hani belum datang, ya?" tanya Kim pada semuanya."Yuhuuu ... Hani di sini.""Ceryl juga di sini."Parah ... anak dan Emak kelakuannya sama persis. Heboh, rempong dan nggak bisa diam."Emak-emak rempong datang sama penerusnya," gumam Ricky sedikit melambatkan suaranya, tapi tetap saja masih bisa dengar. Buktinya, Hani langsung berkomentar."Biarin, dari pada jones akut," ledek Hani tak mau kalah"Eh ... jangan bawa-bawa status dong Hani yang cempreng. Aku bukannya jones, cuma belum punya pasangan aja," bantah Ricky tak terima."Terserah lah apa kata Kakak. Intijya, sih, tetap saja masih sendirian, enggak ada yang belai-belai manja, enggak ada yang bilang sayang." Hani tetap pada ejekannya.Keh