Share

CHAPTER 4

“Mari kita bertemu lagi nanti,” ujar Atlanta, merasa tidak enak dengan perhatian Veronica yang telah diterimanya.

Veronica melepaskan pelukan mereka dan menatap Atlanta dengan berbinar. “Benarkah? Kau harus janji!”

Atlanta mengangguk. “Aku janji.”

Senyuman Veronica semakin merekah setelah mendengar janji yang Atlanta berikan kepadanya. Dylan juga tidak menyangka jika Atlanta akan membantu sejauh ini.

“Kalau begitu, aku harus pergi. Aku sudah terlambat,” pamit Atlanta.

Sehabis memberikan salam perpisahan, barulah Atlanta dan Dylan keluar dari ruang acara yang mewah. Di lobi hotel, Dylan dan Atlanta berdiri berhadapan.

“Terima kasih, kau berhasil menjadi kekasihku walau ada kecerobohan tak terduga. Padahal kau tidak perlu sejauh itu sampai berjanji dengan Ibuku. Sekali lagi terima kasih telah membuat Ibuku senang.” Dylan benar-benar berterima kasih atas bantuan Atlanta.

Atlanta tersenyum kecil. “Lagi pula janjiku dengan Ibumu tak ada hubungannya denganmu, itu memang keinginanku. Boleh aku bertanya kenapa kau ingin sekali menyingkirkan tunanganmu Emily?” tanya Atlanta sebelum pergi.

Dylan bergumam, sedang berpikir kalimat apa yang tepat untuk menjawabnya. Tak kunjung mendapatkan jawaban, Atlanta kembali berbicara, “ah, ralat. Aku harus tahu jawaban itu karena aku terlibat langsung dalam hubunganmu dengan Emily.”

“Aku tidak ingin memiliki tunangan apalagi menikah dengan seorang pecandu.”

Kedua alis Atlanta terangkat, sedikit terkejut karena rupanya Dylan sudah mengetahui hal ini.

“Kenapa kau bersikap pura-pura tidak tahu? Lalu bagaimana dengan Ibumu?” tanya Atlanta lagi.

“Tentu saja Ibuku mengetahui hal itu. Aku tidak ingin namaku terseret saat berita Emily seorang pecandu sudah tersebar. Maka dari itu aku menggunakanmu sebagai alasan untuk mengakhiri hubungan ini.” Dylan memberikan alasan yang masuk akal.

Rasa penasaran terjawab sudah, Atlanta tersenyum tipis. “Baiklah, urusan kita selesai. Aku harus pergi.”

“Pergi kemana? Aku akan mengantarmu,” Dylan menawarkan bantuan sebagai rasa terima kasih sekaligus rasa ingin mengenal Atlanta lebih dalam.

Atlanta melepas sepatu hak yang digunakan kemudian meninjinjingnya. Kakinya sudah terasa sakit. “Tidak perlu. Waktuku menjadi cinderella sudah habis.”

“Tunggu disini sebentar,” pinta Dylan sebelum berlari pergi dan kembali lagi dengan sepasang sandal hotel di tangannya.

“Setidaknya gunakanlah ini.” Dylan berlutut dan memasangkan sandal hotel di kaki Atlanta.

“Aspal di luar sana sangat kasar, kakimu akan terluka jika tidak dilindungi dengan baik,” lanjutnya.

Tak pernah mendapat perlakuan manis seperti ini, Atlanta dibuat terpaku. Hanya di hadapan Dylan dirinya diperlakukan dengan hormat dan dihargai.

“Terima kasih,” gumam Atlanta yang masih bisa di dengar jelas oleh Dylan.

Daripada kata ‘sayang’ yang Atlanta katakan padanya tadi penuh kedustaan. Dylan tahu bahwa kata ‘terima kasih’ inilah yang paling tulus Atlanta ucapkan. Tanpa ingin berlama-lama lagi, Atlanta segera pergi dari hadapan Dylan untuk menyelesaikan misinya.

***

Dylan masuk ke dalam kantor setelah menyelesaikan tugasnya di lapangan. Kantor menjadi tempat yang Dylan lebih sering tinggali daripada rumahnya sendiri. Dalam ¾ waktu dari satu tahun, Dylan habiskan di kantor.

“Dimana Orion?” tanya Dylan.

“Lapangan,” jawab Zunaira singkat.

Sambil menikmati permen loli, Zunaira menatap penampilan Dylan dengan kagum. Menunjukkan perasaan kagumnya secara terang-terangan.

“Ada baiknya kau bekerja setiap hari dengan penampilan seperti ini. Sungguh muak melihat penampilan kunomu.”

Dylan melayangkan tatapan sinis kepada Zunaira. “Kenapa kau masih disini? Bukannya kau harus mengawasi Emily?”

Zunaira berdecak. “Kenapa kau terlahir kuno? Kau tidak tahu apa itu sosial media? Selain pembisnis, Emily juga sangat aktif di akun sosial medianya. Aku bisa mendapatkan kabarnya setiap lima belas menit sekali.”

“Pergilah, maka kau akan mendapatkan kabar gerak-geriknya setiap menit. Lima belas menit terlalu lama.” Dylan memberi perintah.

Meski Zunaira mendengus, namun wanita yang telah Dylan kenal sebagai rekan kerja terbaiknya tetap pergi untuk melaksanakan tugas dari Dylan.

Dylan menghela napas setelah duduk di hadapan komputer. Jari-jarinya bergerak mengetik nama ‘Nyx Atlanta’ di laman khusus pencaharian data pribadi masyarakat.

“Kenapa namanya tidak tersedia? Apa jaringannya eror?”

Mengira jaringan eror, Dylan memutuskan untuk pergi ke dapur untuk memasak mie dan membuat kopi hitam. Selesai membuat makanan dan minuman, Dylan me-refresh komputer tersebut dan baru menemukan data seorang Nyx Atlanta.

“Riwayatnya bersih. Tidak ada yang aneh.”

Dylan tidak menyadari bahwa bukan jaringanlah masalahnya. Tetapi Atlanta memang belum mendambahkan identitas palsunya secara resmi.

***

Belum memiliki tempat tinggal, Atlanta bersantai di atap gedung pencakar langit. Atlanta sibuk makan camilan selagi menunggu Lee Tania melakukan transaksi memindahkan uang simpanannya ke rekening luar negeri. Selagi ada laptop atau komputer, Atlanta tidak masalah melakukan aksinya dimanapun.

“Cepatlah Lee Tania, kau pikir aku akan membelikanmu tas menggunakan uangku sendiri,” desis Atlanta.

Mendengar bunyi ting, Atlanta langsung bergerak cepat untuk memindahkan uang transaksi Lee Tania ke rekening luar negeri milik Atlanta.

“Empat juta dollar? Wow.” Atlanta hanya mencuri uang yang tidak bisa di laporkan oleh sang korban. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Atlanta meretas rekening bank.

“Sepertinya aku harus membuat data diri baru bernama Atlanta. Pria itu terlihat seperti bukan orang biasa.”

Kini Atena meretas server pemerintah dan menambahkan data dirinya ke dalam data penduduk.

“Mari kita tambahkan anggota baru Nyx Atlanta. Bulan kelahiran? Bulan Januari terdengar bagus. Menyenangkan sekali bisa membuat data diri sesuka hati.”

Lima belas menit kemudian, Atlanta tersenyum puas setelah menekan tombol ‘enter’ pada laptopnya.

“Apa yang sedang kau lakukan?” bisikan di pundak Atlanta berhasil membuat Atlanta terkejut dan refleks menutup laptopnya secara kasar.

Brak!

“Kau siapa?” Atlanta tidak bisa menyembunyikan kepanikannya.

Seorang pria seumuran dengan Atlanta tersenyum lugu seraya menikmati sekaleng bir menggunakan sedotan.

“Kau tidak punya tempat tinggal? Aku melihatmu beberapa hari terakhir menghabiskan waktu di atap yang dingin ini,” komentarnya.

“Aku tanya, kau siapa?” Atlanta mengulangi pertanyaannya.

Pria itu mengulurkan tangan kanannya, mengajak salaman. “Kenalkan, aku Orion Albastar.”

“Kenapa aku harus berkenalan denganmu?”

“Karena aku adalah penyelamatmu,” jawab Orion santai.

Tidak ingin menanggapi percakapan aneh, Atlanta lebih memilih untuk mengabaikan kehadiran Orion.

“Kenapa kau selalu disini selama beberapa hari terakhir?”

“Kau sendiri kenapa?”

“Kau tidak boleh bertanya kembali sebelum menjawab pertanyaan. Itu tidak sopan.”

 “Aku belum menemukan tempat tinggal. Terlalu sibuk, tidak sempat mencari yang cocok.”

“Sepertinya aku tahu tempat yang cocok untukmu.”

Atlanta menaikkan kedua alisnya. Walau kehadiran Orion terlalu aneh, tapi Atlanta tidak merasa keberatan apabila Orion ingin membantunya menemukan tempat tinggal. Atlanta juga tidak bisa berlama-lama berada disini.

Orion meberikan Atlanta senyuman misterius.

***

Sudah lima menit Atlanta dan Orion berdiri di depan pintu sebuah Apartemen seseorang. Menunggu pemiliknya datang untuk membukakan pintu. Seorang pria datang berlari menghampiri Orion.

“Ada apa? Ada keadaan darurat apa?” tanyanya dengan napas terengah-engah.

Orion menarik rekan kerjanya menjauh dari Atlanta. “Ada seorang wanita yang terus berada di atap gedungku selama beberapa hari terakhir. Katanya dia tidak memiliki waktu untuk mencari tempat tinggal. Lagi pula kau jarang di rumah, kau bisa menyewakan ruangan kepadanya.”

“Kau gila? Kenapa seenaknya memutuskan sendiri?”

“Ayolah. Paling tidak tinggal dulu di rumahmu sampai aku bisa mendapatkan tempat tinggal untuknya.”

“Kenapa kau begitu merepotkan? Kenapa membantu orang asing jika kau saja tidak mampu?”

“Walau mukanya galak, dia selalu memberi makan burung yang aku rawat di atap. Kau tahu bukan bahwa aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku. Tolonglah.” Orion memberikan tatapan memelas.

“Setidaknya kau bisa mewawancarai wanita itu sebelum memutuskan. Please,” bujuk Orion.

Meski berdecak kesal, tapi pria itu tetap menghampiri Atlanta yang masih memunggungi mereka.

“Permisi.”

Ketika Atlanta membalikkan badan, Atlanta tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya melihat siapa calon teman satu atapnya.

“Dylan?”

haniyahhputri

Terima kasih sudah membaca ceritaku, jangan lupa tinggalkan jejak ya!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status