Share

CHAPTER 5

“Dylan?”

“Atlanta?”

“Ow, ternyata kalian saling kenal? Pasti ini takdir.”

Kompak Atlanta dan Dylan memberikan Orion tatapan sinis. Tidak terima dengan kata ‘takdir’ yang Orion sebutkan. Rasanya kata tersebut terlalu berlebihan bagi mereka yang baru bertemu tiga kali.

“Pergilah,” usir Dylan pada Orion.

“Kau mengusirku ketika tidak lagi membutuhkanku?” Orion mendramatisir keadaan.

“Aku mengenal wanita ini. Terima kasih sudah membawanya kepadaku. Kau tidak lagi diperlukan jadi silahkan pergi.”

Orion berdecih sinis kemudian pergi meninggalkan Atlanta dan Dylan. Orion rasa perannya hanya sebagai penghubung peran utama saja.

Selepas Orion pergi, barulah Dylan menyadari penampilan Atlanta hari ini. Penampilannya sama seperti mereka pertama kali bertemu. Hanya saja yang berbeda adalah Atlanta menggunakan celana pendek. Atlanta memberikan kesan yang sangat berbeda ketika tampil mewah dan tampil sederhana.

“Jika aku tahu ini adalah rumahmu, aku tidak akan datang kemari. Lupakan. Aku akan mencari tempat lain.”

Atlanta memilih untuk kembali daripada harus tinggal bersama Dylan. Baru dua kali bertemu saja sudah menarik Atlanta ke dalam konflik. Atlanta tidak tahu konflik apa yang sedang menanti ketika mereka ditakdirkan bertemu kembali.

“Atlanta!” panggil Dylan yang tidak di indahkan oleh Atlanta.

“Cish, namaku Leona, bukan Atlanta,” gumam Atlanta kesal.

“Atlanta! Kembalilah!”

Tak kunjung mendapatkan respon, Dylan meraih pergelangan tangan Atlanta. Tidak membiarknnya pergi.

“Ingin pergi kemana kau selarut ini?”

Mendengar kata ‘larut malam’ membuat Atlanta refleks melihat jam tangannya.

“Oh ayolah, ini baru pukul sebelas malam. Aku bukan lagi anak kecil,” keluh Atlanta seperti seorang anak yang sedang dilarang bermain oleh ayahnya.

Kini Dylan menarik paksa Atlanta masuk ke dalam Apartemennya.

“Dylan!” rengek Atlanta.

“Setidaknya aku harus memperlakukan tamuku dengan baik sebelum pergi.”

Dylan mendorong pelan bahu Atlanta supaya duduk di sofa. Sebelum memulai pembicaraan serius, Dylan menyuguhkan segelas air putih untuk Atlanta.

“Mana kopermu? Kau hanya membawa ransel saja?”

Atlanta mengangguk pelan. “Koperku telah dicuri,” jawab Atlanta asal. Padahal Atlanta memang sengaja meninggalkan barang bawaannya ketika insiden menjadi buronan terjadi.

Dylan berdecak. “Aku tidak menyangka jika kau akan seceroboh itu.”

Tidak terima di berikan label ‘ceroboh’, Atlanta menaikan satu oktaf suaranya. “Siapa yang kau bilang ceroboh? Apakah di curinya koper adalah salah korban? Seharusnya kau menyalahkan pencuri itu bukan?”

“Aku baru pertama kali mendengarmu marah-marah. Not bad,” komentar Dylan.

“Orang aneh,” umpat Atlanta pelan.

 “Kau sudah makan?”

“Aku sudah—” perkataan Atlanta terpotong ketika terdengar suara bunyi perutnya yang begitu nyaring.

Dylan berusaha menahan tawa melihat wajah pias Atlanta yang sedang menahan rasa malu. Gagal bersikap sok keren di depan Dylan.

Selagi menunggu Dylan yang sedang sibuk dengan kegiatannya di dapur, Atlanta melihat-lihat dekorasi Apartemen miliik Dylan. Sangat bersih dan rapih, persis seperti Apartemen baru yang belum pernah di tempati.

Tidak banyak pajangan, hanya ada sebuah foto keluarga yang terpajang di rak hias. Itu adalah foto kelulusan Dylan yang sepertinya sudah lama sekali di abadikan. Nggota keluarga tersebut lengkap, ada ayah, ibu dan adik.

“Atlanta kemarilah,”

Melihat Dylan yang sedang menyajikan makanan khusus untuknya, Atlanta melangkah pelan menghampiri Dylan.

“Maaf, aku jarang di rumah jadi tidak memiliki banyak pasokan makanan. Hanya ada ini, semoga kau suka.”

Atlanta belum mengataan sepatah kata. Masih terpaku dengan makanan khas rumahan yang disajikan oleh Dylan. Begitu sederhana namun berhasil menyentuh hati Atlanta. Telah hidup sebagai sebatang kara selama dua puluh tahun membuat Atlanta menjadi sensitif mengenai hal-hal kehangatan yang sederhana.

“Atlanta? Kenapa melamun? Cepat duduk.” Dylan menepuk bahu Atlanta.

“Ah? Ya?” Atlanta duduk di kursi yang telah Dylan siapkan.

“Makanlah yang banyak,” ujar Dylan seraya menyodorkan alat makan.

“Kenapa kau bersikap baik padaku?” tanya Atlanta. Sejak kecil ia tidak terbiasa menerima kebaikan orang lain tanpa pamrih. Tidak ada manusia yang bersikap baik kepadanya dengan tulus.

“Karena utang?” Dylan terkekeh. “Kau bilang uangmu banyak, jadi aku membayarnya dengan cara ini.”

Atlanta mengangguk-anggukkan kepala dan mulai menyuapkan nasi dan daging bulgogi ke dalam mulutnya. Rupanya Atlanta yang berkepala besar telah mengira Dylan berbuat baik tanpa pamrih kepadanya.

“Omong-omong, apa pekerjaanmu? Kau bilang uangmu banyak, tapi kau berpenampilan sangat sederhana. Seperti seseorang yang sedang berkelana.”

Dalam hati Atlanta membenarkan kata ‘berkelana’ yang Dylan sebutkan. Memang benar, Atlanta tidak memiliki tujuan ataupun tempat untuk pulang.

“Aku? Aku bekerja sebagai penerjemah film,” alibi Atlanta.

“Oh, ya? Film apa saja yang sudah kau terjemahkan?”

Atlanta tersenyum kaku. “Aku seorang ghost translator. Aku di bayar besar karena mereka tak akan menulis namaku di akhir film.”

Jangankan untuk menyebutkan judul film, Atlanta saja tidak pernah menonton film dalam sepuluh tahun terakhir hidupnya karena sibuk bertahan hidup.

“Jika kau hanya seorang penerjemah, lalu bagaimana kau bisa berada di pesta Minggu lalu?” Dylan tersenyum miring menyadari ada kejanggalan dari kehadiran Atlanta.

Shit!’ umpat Atlanta. Ini sih sama saja dengan masuk ke kandang singa dengan sengaja. Menawarkan diri untuk menjadi santapan.

“Aku menjadi penerjemah lisan kemarin. Salah seorang pengusaha menyewa jasaku. Sayangnya dia harus pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan. Saat aku hendak pulang, kau berusaha mencegahku bukan?”

Atlanta kembali melahap makanannya setelah lancar memberi alasan palsu kepada Dylan. Berbohong telah menjadi kebiasaan Atlanta sejak kecil. Maka dari itu ia mahir melakukannya.

Dylan ber-oh ria mendengar alasan Atlanta yang terdengar masuk akal.

“Boleh aku lihat kartu identitasmu? Setidaknya aku harus memastikan identitas orang yang akan tinggal di rumahku,” pinta Dylan seraya menadahkan telapak tangannya.

Meski Dylan sudah melihat identitas Atlanta melalui web resmi pemerintah, tetap saja Dylan ingin melihatnya sekali lagi dari yang bersangkutan.

“Ah, itu.” Atlanta terdiam sesaat dengan dalih minum. “Aku kehilangan versi fisiknya setelah dari Minimarket dua hari yang lalu. Sebentar, akan aku tunjukkan versi digitalnya.”

Atlanta mengutak-atik ponselnya sebentar sebelum memberikannya kepada Dylan. Padahal Atlanta memang belum mencetak kartu identitas yang satu itu dalam bentuk fisik. Atlanta juga memiliki banyak identitas lain dalam bentuk kartu fisik yang tidak resmi.

“Astaga, kau sungguh ceroboh. Dimana anggota keluargamu?”

“Aku tinggal di panti asuhan sejak dini. Bahkan aku tidak tahu dimana anggota keluargaku. Aku sudah hidup mandiri sejak lulus sekolah menengah pertama.” Ini adalah kalimat paling jujur yang Atlanta ungkapkan malam ini setelah seribu kebohongan telah ia ucapkan.

Dylan terbungkam. Merasa tidak enak karena telah memberikan pertanyaan yang salah. “Maaf,” sesalnya.

“Berhentilah memasang raut wajah bersalah. Aku tidak perlu di kasihani,” cerca Atlanta. Menegaskan bahwa itu bukanlah sebuah masalah baginya.

Dylan menghela napas. “Baiklah.”

Kedua alis Atlanta terangkat. Tidak mengerti apa maksud Dylan. “Apanya yang ‘baiklah’?”

Dylan mengulurkan setangLay bunga mawar putih kepada Atlanta.

“Nyx Atlanta, mari kita menikah.” 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Aprilia Maharani
Semangat Haniyeh kuuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status