“Dylan?”
“Atlanta?”
“Ow, ternyata kalian saling kenal? Pasti ini takdir.”
Kompak Atlanta dan Dylan memberikan Orion tatapan sinis. Tidak terima dengan kata ‘takdir’ yang Orion sebutkan. Rasanya kata tersebut terlalu berlebihan bagi mereka yang baru bertemu tiga kali.
“Pergilah,” usir Dylan pada Orion.
“Kau mengusirku ketika tidak lagi membutuhkanku?” Orion mendramatisir keadaan.
“Aku mengenal wanita ini. Terima kasih sudah membawanya kepadaku. Kau tidak lagi diperlukan jadi silahkan pergi.”
Orion berdecih sinis kemudian pergi meninggalkan Atlanta dan Dylan. Orion rasa perannya hanya sebagai penghubung peran utama saja.
Selepas Orion pergi, barulah Dylan menyadari penampilan Atlanta hari ini. Penampilannya sama seperti mereka pertama kali bertemu. Hanya saja yang berbeda adalah Atlanta menggunakan celana pendek. Atlanta memberikan kesan yang sangat berbeda ketika tampil mewah dan tampil sederhana.
“Jika aku tahu ini adalah rumahmu, aku tidak akan datang kemari. Lupakan. Aku akan mencari tempat lain.”
Atlanta memilih untuk kembali daripada harus tinggal bersama Dylan. Baru dua kali bertemu saja sudah menarik Atlanta ke dalam konflik. Atlanta tidak tahu konflik apa yang sedang menanti ketika mereka ditakdirkan bertemu kembali.
“Atlanta!” panggil Dylan yang tidak di indahkan oleh Atlanta.
“Cish, namaku Leona, bukan Atlanta,” gumam Atlanta kesal.
“Atlanta! Kembalilah!”
Tak kunjung mendapatkan respon, Dylan meraih pergelangan tangan Atlanta. Tidak membiarknnya pergi.
“Ingin pergi kemana kau selarut ini?”
Mendengar kata ‘larut malam’ membuat Atlanta refleks melihat jam tangannya.
“Oh ayolah, ini baru pukul sebelas malam. Aku bukan lagi anak kecil,” keluh Atlanta seperti seorang anak yang sedang dilarang bermain oleh ayahnya.
Kini Dylan menarik paksa Atlanta masuk ke dalam Apartemennya.
“Dylan!” rengek Atlanta.
“Setidaknya aku harus memperlakukan tamuku dengan baik sebelum pergi.”
Dylan mendorong pelan bahu Atlanta supaya duduk di sofa. Sebelum memulai pembicaraan serius, Dylan menyuguhkan segelas air putih untuk Atlanta.
“Mana kopermu? Kau hanya membawa ransel saja?”
Atlanta mengangguk pelan. “Koperku telah dicuri,” jawab Atlanta asal. Padahal Atlanta memang sengaja meninggalkan barang bawaannya ketika insiden menjadi buronan terjadi.
Dylan berdecak. “Aku tidak menyangka jika kau akan seceroboh itu.”
Tidak terima di berikan label ‘ceroboh’, Atlanta menaikan satu oktaf suaranya. “Siapa yang kau bilang ceroboh? Apakah di curinya koper adalah salah korban? Seharusnya kau menyalahkan pencuri itu bukan?”
“Aku baru pertama kali mendengarmu marah-marah. Not bad,” komentar Dylan.
“Orang aneh,” umpat Atlanta pelan.
“Kau sudah makan?”
“Aku sudah—” perkataan Atlanta terpotong ketika terdengar suara bunyi perutnya yang begitu nyaring.
Dylan berusaha menahan tawa melihat wajah pias Atlanta yang sedang menahan rasa malu. Gagal bersikap sok keren di depan Dylan.
Selagi menunggu Dylan yang sedang sibuk dengan kegiatannya di dapur, Atlanta melihat-lihat dekorasi Apartemen miliik Dylan. Sangat bersih dan rapih, persis seperti Apartemen baru yang belum pernah di tempati.
Tidak banyak pajangan, hanya ada sebuah foto keluarga yang terpajang di rak hias. Itu adalah foto kelulusan Dylan yang sepertinya sudah lama sekali di abadikan. Nggota keluarga tersebut lengkap, ada ayah, ibu dan adik.
“Atlanta kemarilah,”
Melihat Dylan yang sedang menyajikan makanan khusus untuknya, Atlanta melangkah pelan menghampiri Dylan.
“Maaf, aku jarang di rumah jadi tidak memiliki banyak pasokan makanan. Hanya ada ini, semoga kau suka.”
Atlanta belum mengataan sepatah kata. Masih terpaku dengan makanan khas rumahan yang disajikan oleh Dylan. Begitu sederhana namun berhasil menyentuh hati Atlanta. Telah hidup sebagai sebatang kara selama dua puluh tahun membuat Atlanta menjadi sensitif mengenai hal-hal kehangatan yang sederhana.
“Atlanta? Kenapa melamun? Cepat duduk.” Dylan menepuk bahu Atlanta.
“Ah? Ya?” Atlanta duduk di kursi yang telah Dylan siapkan.
“Makanlah yang banyak,” ujar Dylan seraya menyodorkan alat makan.
“Kenapa kau bersikap baik padaku?” tanya Atlanta. Sejak kecil ia tidak terbiasa menerima kebaikan orang lain tanpa pamrih. Tidak ada manusia yang bersikap baik kepadanya dengan tulus.
“Karena utang?” Dylan terkekeh. “Kau bilang uangmu banyak, jadi aku membayarnya dengan cara ini.”
Atlanta mengangguk-anggukkan kepala dan mulai menyuapkan nasi dan daging bulgogi ke dalam mulutnya. Rupanya Atlanta yang berkepala besar telah mengira Dylan berbuat baik tanpa pamrih kepadanya.
“Omong-omong, apa pekerjaanmu? Kau bilang uangmu banyak, tapi kau berpenampilan sangat sederhana. Seperti seseorang yang sedang berkelana.”
Dalam hati Atlanta membenarkan kata ‘berkelana’ yang Dylan sebutkan. Memang benar, Atlanta tidak memiliki tujuan ataupun tempat untuk pulang.
“Aku? Aku bekerja sebagai penerjemah film,” alibi Atlanta.
“Oh, ya? Film apa saja yang sudah kau terjemahkan?”
Atlanta tersenyum kaku. “Aku seorang ghost translator. Aku di bayar besar karena mereka tak akan menulis namaku di akhir film.”
Jangankan untuk menyebutkan judul film, Atlanta saja tidak pernah menonton film dalam sepuluh tahun terakhir hidupnya karena sibuk bertahan hidup.
“Jika kau hanya seorang penerjemah, lalu bagaimana kau bisa berada di pesta Minggu lalu?” Dylan tersenyum miring menyadari ada kejanggalan dari kehadiran Atlanta.
‘Shit!’ umpat Atlanta. Ini sih sama saja dengan masuk ke kandang singa dengan sengaja. Menawarkan diri untuk menjadi santapan.
“Aku menjadi penerjemah lisan kemarin. Salah seorang pengusaha menyewa jasaku. Sayangnya dia harus pulang terlebih dahulu karena ada kepentingan. Saat aku hendak pulang, kau berusaha mencegahku bukan?”
Atlanta kembali melahap makanannya setelah lancar memberi alasan palsu kepada Dylan. Berbohong telah menjadi kebiasaan Atlanta sejak kecil. Maka dari itu ia mahir melakukannya.
Dylan ber-oh ria mendengar alasan Atlanta yang terdengar masuk akal.
“Boleh aku lihat kartu identitasmu? Setidaknya aku harus memastikan identitas orang yang akan tinggal di rumahku,” pinta Dylan seraya menadahkan telapak tangannya.
Meski Dylan sudah melihat identitas Atlanta melalui web resmi pemerintah, tetap saja Dylan ingin melihatnya sekali lagi dari yang bersangkutan.
“Ah, itu.” Atlanta terdiam sesaat dengan dalih minum. “Aku kehilangan versi fisiknya setelah dari Minimarket dua hari yang lalu. Sebentar, akan aku tunjukkan versi digitalnya.”
Atlanta mengutak-atik ponselnya sebentar sebelum memberikannya kepada Dylan. Padahal Atlanta memang belum mencetak kartu identitas yang satu itu dalam bentuk fisik. Atlanta juga memiliki banyak identitas lain dalam bentuk kartu fisik yang tidak resmi.
“Astaga, kau sungguh ceroboh. Dimana anggota keluargamu?”
“Aku tinggal di panti asuhan sejak dini. Bahkan aku tidak tahu dimana anggota keluargaku. Aku sudah hidup mandiri sejak lulus sekolah menengah pertama.” Ini adalah kalimat paling jujur yang Atlanta ungkapkan malam ini setelah seribu kebohongan telah ia ucapkan.
Dylan terbungkam. Merasa tidak enak karena telah memberikan pertanyaan yang salah. “Maaf,” sesalnya.
“Berhentilah memasang raut wajah bersalah. Aku tidak perlu di kasihani,” cerca Atlanta. Menegaskan bahwa itu bukanlah sebuah masalah baginya.
Dylan menghela napas. “Baiklah.”
Kedua alis Atlanta terangkat. Tidak mengerti apa maksud Dylan. “Apanya yang ‘baiklah’?”
Dylan mengulurkan setangLay bunga mawar putih kepada Atlanta.
“Nyx Atlanta, mari kita menikah.”
Dylan meraba saku celana dan menemukan sebuah kuku palsu milik Atlanta ketika hendak menaruhnya ke dalam tumpukan pakaian kotor. “Kuku Atlanta?” Sejenak Dylan memperhatikan kuku palsu cantik tersebut dengan detail. Saat mengarahkannya ke arah sinar matahari, Dylan menyadari jika ada yang berbeda. “Ini bukan hiasan biasa. Ini chip. Manikur menanam chip.” Dlan bergegas untuk membuka data dalam chip tersebut. “Kapan Atlanta meninggalkan ini di dalam saku celanaku?” gumam Dylan. Mendapatkan info-info penting untuk menyelesaikan kasusu, Dylan mencetak informasi yang Atlanta tinggalkan untuknya. Ini sama seperti Atlanta meninggalkannya sebuah peta dengan keterangan rinci. Hal yang harus Dylan lakukan adala mengikuti semua ptunjuk yang telah Atlanta tinggalkan untuknya. “Pelaku pembunuhan hilton selama ini adalah Olivia? Ayah Olivia juga membunuh Ibu kandung Atlanta? Oliver selama ini menggunakan replika sidik jari Atlanta untuk menutupi jeja
Johnattan menggebrak pintu kantor Interpol. Ada Leondra membuntuti Johnattan. Tak lupa Johnattan membawa beberapa ajudannya. Johnattan datang ke kantor dengan penuh emosi setelah mendapati kabar darii Dylan apa yang terjadi dengan putri kesayangannya.“DIMANA ANAKKU?” bentak Johnattan.Ketika ada salah seorang anggota Interpol yang hendak menenangkan Johnattan, dengan cepat Johanattan menghempaskan tangan tersebut lalu memaksa untuk masuk.Langkah kaki Johnattan berhenti ketika melihat Dylan berdiri lesu. Hidung dan mata Dyan merah, menunjukkan Dylan telah nangis untuk waktu yang lama.“Apa yang terjadi dengan anakku? Aku tahu jika anaku pergi jauh untuk keluar dari orginasasi sialan itu, tapi bagaimana bisa Atlanta bunuh diri?” Johnattan mencengkram kemeja menantunya.Dylan sendiri diam saja. Perasaan Dylan sama hancurnya dengan Johnattan saat ini. Dylan tak bisa mengatakan apa-apa selain kata,“Maaf,” gu
Atlanta pergi keluar setelah selesai berpakaian menggunakan kaos milik suaminya. Ketika membuka pintu toilet, Atlanta dikejutkan dengan kehadiran Dylan. Sesaat Dylan dan Atlanta saling menatap tanpa kata-kata. Detik selanjutnya Atlanta menarik kerah seragam Dylan dan mencium bibirnya. Dylan yang awalnya terkejut pun perlahan menetralkan reaksinya sebelum membalas cumbuan itu. Tangan Dylan terangkat untuk merengkuh pinggang Atlanta. Betapa besarnya kerinduan yang terpendam dalam diri mereka satu sama lain. Meskipun tidak ada kata-kata yang terlontar, tetapi Atlanta dan Dylan tahu betul bagaimana perasaan pasangannya yang sesungguhnya. “Aku merindukanmu dengan buruk. Sangat merindukanmu,” bisik Dylan begitu pangutan mereka berakhir. Atlanta mengulum senyum dan menundukkan kepala. Tak berani menatap Dylan sebagai seorang suami setelah apa yang ia lalui selama ini. “Maafkan aku. Sebenarnya aku—” “Aku tahu, aku tahu jika kau sebenarnya melakukan in
CHAPTER 146 Atlanta membaca satu persatu kertas tersebut. Pembunuhan, perampokan, sabotase, spionase Industri, penyerangan siber, dan penipuan. Lengkap sekali. “Kenapa sejak awal kalian tidak menunjukkan ku semua bukti ini? Jika sejak awal aku melihat ini, bukankah akan lebih cepat selesai?” Atlanta berdecak kagum membaca buku kasus dalam rentang tiga belas tahun yang mengarah kepada namanya, Leona. “Ini lebih buruk dari buku kasusku ketika masih SMU dulu,” komentar Atlanta. Atlanta memisahkan tumpukan dokumen bukti-bukti sesuai jenisnya. Pertama, Atlanta menyingkirkan tumpukan dokumen mengenai kasus pembunuhan. “Aku juga baru tahu jika sidik jariku pernah ada di bukti-bukti pembunuhan. Pasti selama sepuluh tahun terakhir, kalian kehilangan jalan untuk menyelesaikan kasus bukan karena bukti selalu mengarah kepada orang yang sudah meninggal. Menemukan sidik jari yang tidak ada pemiliknya. Tapi aku yakin jika sidik jarik
“Kau terlambat lima belas menit. Tidak ada waktu. Letakkan saja barang milik Leona di sini dan pergi dari sini,” pinta Lay dingin, tanpa menatap Dylan. “Apa?” Dylan mundur satu langkah, menyadari ada sesuatu yang janggal. Lay berbalik badan, melayangkan tatapan meremehkan kepada Dylan. “Aku pikir kau setampan dewa hingga Leona rela menjadi orang normal ketika menikah denganmu. Ternyata kau tidak sehebat yang aku bayangkan.” “Letakkan saja barang Leona disini. Aku akan membereskannya,” sambung Dylan. Dylan menaikkan alisnya sebelah. “Setidaknya kita harus berkenalan terlebih dahulu bukan? Aku rasa kita memerlukan sedikit formalitas.” Lay memasang kaca mata hitam. “Untuk apa? Bukannya aku sudah mengenalmu?” Dylan tersenyum miring dan melemparkan ransel hitam ke arah Lay. “Itu yang kau inginkan? Ransel Atlanta? Kau memintanya secara paksa seakan ini berisi harta karun,” Ketika Lay menunduk, Dylan menodongkan pistol ke arah Lay. Be
Dylan membuka video terakhir, video yang belum lama di ambil. Tepat hari jadi kedua tahun pernikahan mereka.“Hari ini adalah hari jadi tahun kedua pernikahan kita. Aku tidak menyangka jika pernikahan kita masih bertahan.”Di dalam video itu Atlanta tampil anggun menggunakan gaun putih pendek. Rambutnya yang penjang di sanggul dan membiarkan anak rambut menjuntai. Video ini diambil sebelum mereka makan malam.“Sayang, Atlanta, manis, cantik, kenapa aku sangat menyukai setiap panggilan itu setelah menikah denganmu? Setiap kali kau memanggilku ‘sayang’ atau ‘Atlanta’, aku sangat menyukainya hingga ingin melupakan namaku asliku.” Sejak detik pertama, di video terakhir ini Atlanta tersenyum sendu. Tidak ada lagi senyuman ceria yang ia pancarkan.“Mungkin, ini akan menjadi video terakhir yang aku rekam untukmu. Aku tahu jika Interpol mulai menyelidikiku. Untuk kali ini aku akan
“Apakah aku di masa depan sudah ketahuan?”Atlanta tampil menawan menggunakan gaun pernikahan. Sudah jelas jika video ini telah di rekam lebih dari dua tahun yang lalu.“Hari ini adalah hari pernikahanku. Aku kira aku tidak akan menikah seumur hidup, ternyata aku masih memiliki kesempatan untuk bertemu dengan pangeran berkuda putih dalam hidupku.”Walau Atlanta terus mengatakan hal negatif, tapi senyuman manis yang menunjukkan kebahagiaan terus Atlanta tunjukkan sejak detik pertama video di mulai.“Jika video ini telah sampai kepada suamiku, artinya sesuatu yang buruk telah terjadi kepadaku.”Rupanya, Atlanta sudah mengetahui jika hari seperti ini akan mendatangi kehidupan pernikahan mereka yang damai. Atlanta sudah mempersiapkan diri sejak memutuskan menikah dengannya.“Ah, kau pasti tidak mengenal siapa aku. Tujuanku membuat video ini supaya kau lebih mengenal diriku.
“Sudah aku bilang aku bukan Atlanta. Leona bukanlah istrimu.”Dylan mencengkram bahu Atlanta, menatap mata Atlanta lekat-lekat. Mata Dylan sudah berkaca-kaca. Mencari sisa-sisa ketulusan dari pernikahan mereka.“Jika itu benar, tatap mataku.”Atlanta masih tidak bergeming dan tidak kuasa untuk menatap Dylan saat ini.“TATAP AKU ATLANTA!” Dylan mulai frustasi.“Tatap mataku dan katakan hal itu sekali lagi jika kau memang bersungguh-sungguh,” pinta Dylan.Perlahan, Atlanta memberanikan diri menatap mata Dylan. Sorot mata Dylan masih menunjukkan kehangatan sebagai seorang suami sekaligus tempatnya berpulang.Atlanta tidak bisa menyingkirkan suaminya sendiri dari hidupnya. Atlanta juga tidak ingin meninggalkan tempatnya berpulang. Tapi apa boleh buat? Atlanta tidak ingin menarik Dylan dalam bahaya lebih lanjut lagi.“Aku…” sesaat Atlanta lupa bagaimana caranya berna
“Zunaira, bukankah kau harus duduk di sini bersamaku untuk bercerita? Bagaimanapun kau juga terlibat secara langsung dalam kematian Lila. Kau harus menjelaskan kronologis bagaimana sahabat tersayangmu yang menjadi selingkuhan kekasihmu itu bisa tewas mengenaskan. Sepertinya kita harus bernostalgia bersama.”Johnny dan Orion sontak menatap Zunaira penuh tanda tanya. Zunaira berdeham dan menyalakan alat pengeras suara yang terhubung langsung dengan ruang introgasi.“Apa maksudmu Leona? Apa yang kau bicarakan?”Zunaira berusaha menahan amarahnya. Melihat raut wajah menyebalkan Atlanta selalu berhasil memancing amarah Zunaira. Sama seperti pertemanan mereka sepuluh tahun yang lalu.Atlanta mengerutkan dahi, pura-pura kebingungan. “Kenapa kau menanyaiku kembali? Aku mempunyai bukti yang konkret mengenai hubungan kalian. Datanglah kemari dan duduk bersamaku untuk membuktikan jika kau ingin membuktikan bahwa dirimu adalah manusia ta