Share

Link

“Kakak! Apa yang kau lakukan!” tiba-tiba suara Rose meninggi.

“Hee? Kenapa?” jawab suara tanpa wujud itu.

“Kakak yang melakukannya pada Ricky kan?”

“Lalu? Ada yang salah?” suaranya terdengar tak merasa bersalah.

“Tentu saja salah!” ucap Rose tak mau kalah.

“Itu bayaran untuk pekerjaanku Rose...”

“Pekerjaan?”

“Benar pekerjaan! Kalau aku berhasil menangkap pelaku penembakan, Ricky akan menghabiskan malam denganku.”

“Tu-tunggu! Aku tidak ingat aku mengatakan itu!” protesku.

“Apa kau lupa? Kau memohon untuk menangkap pelaku itu agar Rudy bisa bersekolah lagi bukan? Dan sebagai gantinya, aku bisa menikmati tubuhmu itu.”

Apa yang dia katakan! Aku tidak mengatakan hal itu sama sekali!

“Rose dengarkan aku! Aku tidak berkata seperti itu!”

Rose terdiam, kemudian menatap mataku.

“Rose aku tidak melakukan itu! Dengarkan aku!” aku memegang bahunya berusaha meyakinkannya.

“Jika memang benar... Aku tidak merasa keberatan... Aku bukan siapa-siapamu...”

“I-iya tapi aku tidak berkata seperti itu...”

“Lalu jika kau mengatakannya atau tidak... Tetap saja tidak ada sangkut pautnya denganku...”

Dan aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Benar yang Rose katakan, aku bukan siapa-siapa.

“Ah! Pertengkaran di masa muda!” ucap sang pelaku seolah tidak merasa bersalah.

Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?

“Sudah kak hentikan... Ricky tidak akan melakukan hal itu... Jika memang ia mau melakukannya... Aku yakin aku orang yang akan ia cari pertama kali... Bukan kakak.”

“Ja-jadi kau tahu Rose?” balas sang kakak dengan nada terkejut.

“Tentu saja...” Rose memberikan tasku, kemudian membuka pintu, “kalau kakak sudah menemukannya... Beri tahu aku...”

Aku memakai tas itu dan menyusul Rose keluar ruangan.

*****

“Hahaha!” tawa Rudy terdengar menjengkelkan.

“Hei! Kenapa kau tertawa?” ucapku kesal.

“Kau seperti seorang putri yang diperebutkan para pangeran! Hahaha!”

“Aku menyesal menceritakan ini semua kepadamu Rudy!”

“Hahaha maaf aku tidak bermaksud, tapi mendengar ceritamu aku tidak bisa menahan tawa hahaha!” tawanya lagi.

“Dan kau tahu sekarang kakaknya Rose sedang mencari pelakunya.”

“Tentu saja, karena wanita itu sudah menerima bayarannya!”

Mendengar itu aku merapatkan kerah jaketku.

“Apa kau tahu kau dikeluarkan dari tim?” tanyaku penasaran.

“Ya aku tahu, mereka takut ketika kita tengah bertanding, seseorang akan menyerangku.”

“Apa kau tidak merasa kecewa? Karena kau sudah belajar mati-matian untuk menjadi peserta pada perlombaan ini.”

Rudy tersenyum pahit, “tentu saja.”

“Apa pun yang terjadi akan aku pastikan, kau mengikuti perlombaan itu!”

“Tentu saja kau bahkan rela memberikan tubuhmu padanya...” ia menatapku sembari menahan tawa.

Aku melempar bantal ke arahnya dan sayangnya tertangkap.

Tiba-tiba suara teriakan terdengar menggema hingga ke kamar Rudy.

Tanpa aba-aba aku dan Rudy berlari turun menuju sumber suara.

Seorang pria terkapar di depan pintu masuk, membuat semua orang yang tengah menyantap makan siang terkejut bukan kepalang. Di sebelahnya terdapat sepucuk senapan api lengkap dengan teropong di atasnya.

“Bagaimana?” seorang wanita berambut merah panjang dengan mata kuning berdiri di depan pintu.

I-itu kakaknya Rose!

“Kau yang bertanya tentang Rose tadi pagi bukan?” tanya Rudy.

“Benar, kenalkan aku Jasmine Hyberis.” Ia tersenyum ke arah Rudy.

Semua mata pria yang ada di sana menatap lekat-lekat sosoknya yang tampak anggun dan menawan.

“Ka-kau! Kakaknya Rose?” tanya Rudy tak percaya.

“Benar! Dan pelakunya sudah tertangkap!” Ia tersenyum bangga.

Tak lama suara mobil polisi terdengar mendekat, semua pengunjung mulai tampak lega.

“Kak bagaimana dengan pengunjung di sini?” ucapku pelan.

“Tahan napas kalian!” titahnya.

Aku menutup kedua hidungku dengan ibu jari dan telunjukku, begitu juga dengan Rudy.

Kak Jasmine menutup pintu di belakangnya, kemudian ia menjentikkan jarinya. Perlahan kabut tipis berwarna merah muda memenuhi ruangan.

Nenek Rudy dan beberapa pegawai yang tengah menenangkan pengunjung tampak tak menyadari munculnya kabut itu.

“A-apa ini kak?” tanyaku kaget.

“Kabut untuk memanipulasi otak!” ia tersenyum.

A-apa? Memanipulasi otak?

“Jadi kalau terhirup?” Rudy ikut bertanya.

“Bisa aku ubah ingatannya! Hehehe!”

Mengerikan!

Tiba-tiba pintu restoran terketuk, spontan saja kami segera melihat ke pintu.

“Silahkan tuan Raymond!” pekik wanita itu sembari membuka pintu.

Tak lama beberapa polisi berseragam masuk ke dalam dan meringkus pria itu.

“Oh kau sudah menyelesaikan semuanya?” seseorang berjubah hitam masuk ke dalam, “Ricky? Rudy?”

“Aku menangkap pelakunya tuan Raymond!” Kak Jasmine tersenyum ke arahnya.

“Woah! Bagus sekali Jasmine! Aku memang tidak salah mengandalkanmu!” pria berambut cokelat itu tersenyum ke arah kak Jasmine.

Oh! Jadi mereka... Ah aku mengerti.... Hohoho...

Kak Jasmine melirik ke arahku, kemudian ia melotot.

Jadi benar? Hohoho baiklah! Apa aku harus mengatakannya?

“Hei, apa yang kalian berikan kepada Jasmine? Biasanya ia tidak mau bekerja bila cuma-cuma hahaha!”

Bagaimana kak? Apa aku harus memberi tahukan sesuatu di leherku? Sepertinya akan menarik!

“A-ah! Itu karena mereka teman Rose, jadi aku membantunya dan Ricky akan menjadi adik iparku...”

“Tunggu! Tunggu! Aku-“

“Sudahlah Rick!” Rudy membekap mulutku.

“Kalau begitu, kami undur diri dulu. Ingat jangan pernah katakan kepada orang lain tentang regu khusus ini ya!” tuan Raymond tersenyum ke arah kami, tapi auranya seolah mengancam kami.

*****

“Akhirnya aku bisa kembali masuk sekolah!” ucap Rudy dengan wajah sumringah.

“Padahal hanya sehari kau tidak sekolah.”

Dan seperti sebelumnya setiap pagi, ia menghampiriku walau harus bersusah payah masuk ke dalam lobi terlebih dahulu.

“Ricky! Aku selalu takut kau dikerjai oleh Zack seperti kemarin!” ia memegang kedua bahuku.

“Aku sudah biasa kau tahu? Haha!” tawaku.

“Hargailah perasaan sahabatmu ini Rick!” Ia meninju bahuku.

“Berapa? Katakan berapa jumlahnya!” tantangku.

“Sejumlah bintang di langit?”

“200.000.000.000.000.000.000.000!”

“Sebanyak itu?” tanyanya kaget.

“Kau yang memintanya, tapi lebih baik kau bunuh aku saja!”

“Mana mungkin hahaha!” tawanya lepas.

“Kemarin kak Jasmine bertanya apa padamu?” tanyaku penasaran.

“Ia bertanya, apakah aku mengenal Rose? Kau tahu di mana rumahnya? Apa kau tahu dia keturunan bangsa apa? Ya hal-hal yang cukup pribadi.”

“Lalu kau jawab apa?”

“Aku jawab setahuku, tapi tentu saja merahasiakan hal itu!”

Baguslah, sepertinya kak Jasmine tidak keberatan bila Rudy tahu yang sebenarnya.

“Dia juga bertanya tentangmu Rick!”

“Tentangku?”

“Benar! Tentangmu!” Ia menganggukkan kepala.

“Apa yang dia tanyakan?”

“Itu rahasia! Haha!”

“Kau sudah baikan Rudy?” tiba-tiba suara dingin Mary terdengar.

Kami yang baru saja memasuki pekarangan sekolah segera menengok ke arahnya.

“Benar! Aku sudah lebih baik sekarang!” ucap Rudy.

“Baguslah kalau begitu.” Ia berjalan mendahului kami berdua.

“Selalu saja dingin, tidak seperti Judy yang selalu ramah dan tersenyum.”

“Hei Rudy, kita tak boleh membanding-bandingkan orang lain. Mereka memiliki sifat masing-masing.”

“Selamat pagi tuan Frederick!” sapa Rudy saat bertemu dengan tuan Frederick yang tengah berdiri di dekat pintu masuk.

“Selamat pagi!” sambungku.

“Selamat pagi, kau sudah masuk tuan Springfield?” tanyanya.

“Sudah, semua sudah selesai. Maaf merepotkan tuan Frederick...”

“Tidak apa, berarti nanti setelah istirahat kalian berdua bisa berkumpul untuk diskusi serta latihan akan perlombaan antar sekolah sudah di depan mata.”

“Baik!” ucapku kami serentak.

*****

“Apa kau bilang Rose? Seseorang menyuruhnya?” ucap Rudy tak percaya.

“Benar... Itu yang tuan Raymond katakan... Dan ia seorang bangsawan dari negeri seberang...”

Ba-bangsawan? Jangan-jangan keluarga kandungnya!

“Rick kau kenapa?” Rudy meninju bahuku.

“Tidak apa.” Aku menggelengkan kepalaku.

“Rick aku tahu, kau mengetahui sesuatu.” Ia menatap mataku dalam-dalam.

Apa harus aku katakan?

Tapi bagaimana aku menjelaskan tentang bagaimana aku tahu semuanya?

Aku dari dunia lain? Dunia ini adalah dunia game yang aku mainkan?

“Kemarin... ada yang mencarimu...” Rose yang duduk di sebelahku menjauhkan kami berdua.

“Be-benarkah?” Ia beralih menatap Rose.

“Benar... Dan mungkin saja ia tahu sesuatu...”

Kalau begitu, aku harus mengatakan sesuatu pada Ibu kandung Rudy!

Ayo aku harus mengingat-ingat di mana ia bekerja!

Atau mungkin mobilnya! Ah! Ayo otak berpikirlah!

Di jalan itu! Ya! Jalan itu! Di jalan yang aku dan paman Zanone lewati! Ada beberapa kantor! Kantor perjalanan, kantor perumahan dan kantor bea cukai!

“Rudy! Sepertinya hari ini aku tidak bisa berkumpul, aku harus membeli sesuatu!” ucapku sembari bangun dari tempat dudukku.

“Kau mau ke mana?”

“Membeli aksesoris handphone, jika pulang lebih sore toko itu pasti sudah tutup,” karangku.

“Oh begitu rupanya, baiklah! Tenang, biarkan aku yang mengurusnya!” Ia mengacungkan jempolnya ke arahku.

*****

“Paman Zanone!” pekikku kala melihat pria yang pernah aku tolong.

“Oh Ricky?” pria itu berjalan mendekatiku.

“Bagaimana paman? Ada informasi terbaru?” tanyaku penasaran.

“Sama seperti yang kau katakan, itu saja.”

“Sebenarnya kemarin ada seorang wanita yang mencari temanku dan sepertinya ada hubungannya dengan penembakan itu.”

“Kalau begitu, ayo kita bicarakan di dalam saja.” Paman Zanone mengajakku masuk mengunjungi sebuah cafe di seberang jalan.

Sebuah bangun kecil berhiaskan tanaman gantung berwarna hijau tampak menarik perhatian. Kami berdua masuk dan segera mencari tempat duduk, tapi belum sempat kami menemukannya, seseorang menabrakku dan menumpahkan minumannya ke bajuku.

“Maaf! Saya terburu-buru! Eh? Kau kan?”

Dan mata kami saling bertemu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status