Share

Mate

Kalau aku bersikap baik, mungkin saja ia akan berubah pikiran!

Aku harus tenang! Aku harus tenang!

“Ka-kalau Paman mau, Paman bisa mengikutiku kebetulan aku juga menuju ke arah yang sama.”

Aku tersenyum ke arahnya walaupun keringat dingin mengucur deras.

“Terima kasih, tolong bantuannya!” Pria dewasa itu tersenyum.

Walaupun ini terdengar gila, tapi aku sebagai calon korban dan dia calon tersangka berjalan bersama menuju alamat itu.

Aku harus mengingat-ingat apa motif pria ini membunuhku.

“Maaf paman kalau boleh tahu, ada urusan apa Paman?”

Ia menghela napas, “sebenarnya Paman mencari rumah mantan istri Paman, kami memiliki seorang anak yang berumur tak jauh darimu, ia memiliki kelainan pada jantungnya.”

Ah! Aku ingat! Ia membunuhku untuk mengambil jantungku!

Kenapa kau selalu berakhir dengan kematian Ricky?

Tiba-tiba Paman itu menangis, “tapi ia tewas tertembak... Paman tidak sempat datang ke pemakamannya karena berada di luar negeri...”

Aku terdiam mendengar ceritanya, sedang Paman itu terus terisak seperti anak kecil. 

“Paman, sebenarnya aku tahu rumah mantan istri Paman. Kebetulan mendiang anak Paman bersekolah di sekolah yang sama denganku.”

“Benarkah? Terima kasih banyak...” Pria itu menatapku sejenak.

“Aku turut berduka cita atas kematiannya,” tiba-tiba Paman tadi memelukku, “Pa-paman ada apa?”

“Harry...” Ia menangis sembari memanggil nama anaknya.

Aku membalas pelukannya, kemudian mengusap punggungnya.

Paman ini benar-benar terpukul, Ia berani memelukku yang sama sekali tidak ia kenal.

“Yang sabar Paman, Tuhan lebih menyayanginya.”

“Ah! Maaf!” Ia melepaskan pelukannya, “maaf Paman lepas kendali.”

“Tidak apa Paman,” ucapku sembari tersenyum.

“Kalau begitu, apa boleh Paman meminta tolong padamu?” 

“Untuk diantarkan? Tentu saja boleh, tapi aku harus mengambil ponselku terlebih dahulu.” Aku tersenyum canggung.

“Baiklah, Paman akan menunggu.” Paman itu tersenyum dan mengangguk.

Kami berdua berjalan layaknya Ayah dan anak, menyusuri jalan berhiaskan lampu-lampu dengan detail yang menarik.

“Kalau boleh tahu siapa namamu?” sang Paman mengulurkan tangannya, “Saya Zanone.”

“Ricky Brown, senang bertemu dengan Paman.” Aku menerima uluran tangannya kemudian tersenyum.

Apa aku harus berkata tentang si penembak? 

Jika aku menjadi paman Zanone, aku tidak akan diam dan mencari si penembang apa pun yang terjadi.

“Paman, maaf bila saya lancang tapi kalau boleh tahu apa yang akan Paman lakukan setelah sampai di sana.”

“Tentu saja akan mencari pelakunya agar diadili seadil-adilnya,” ucapnya dengan tatapan kosong.

Apa paman Zanone akan bertindak nekat bila menemukan pelakunya?

Jangan terpengaruh oleh ingatanmu tentang game itu Ricky!

“Sebentar Paman, aku akan mengambil ponselku,” ucapku setelah tempat reparasi yang memperbaiki ponselku berada di depan kami.

“Baiklah.” Paman Zanone mengangguk.

*****

“Paman sebenarnya... aku dan temanku sedang berusaha mencari pelakunya.” Aku memberanikan diri untuk mengatakannya.

“Lalu bagaimana? Apa kalian menemukan sesuatu?” Matanya tampak berapi-api.

“Sepertinya anak Paman korban salah tembak, karena sempat ada penelpon misterius yang meminta ambulance.  Tapi setelah sampai di TKP tidak  ada orang sama sekali. Jika pelaku berniat membunuhnya, ia tidak akan bersusah payah menelpon ambulance,” jelasku sembari berjalan.

“Bagaimana dengan teleponnya? Apa bisa dilacak?” 

Aku membalas ucapannya dengan menggelengkan kepala.

“Ricky, bisa Paman meminta bantuanmu?”

“Apa itu Paman?” Aku menatapnya penasaran.

“Bisa kita bertukar nomor telepon atau e-mail?”

Apa-apaan ini? Bukannya seorang gadis yang melakukannya, tapi seorang pria berkeluarga!

“Jika kau keberatan tidak, mungkin ini terlalu berlebihan haha!” tawanya yang terdengar tidak enak.

Dia membaca ekspresi wajahku!

“Tidak Paman, tidak apa-apa,” aku menunjukkan nomorku kepadanya, “ini Paman silahkan.”

“Baiklah, terima kasih.”

Ia mengeluarkan ponsel model terbaru dari dalam tasnya, kemudian menyimpan nomorku.

“Apa kau tahu siapa yang dia incar?” Paman Zanone tampak penasaran.

“Iya Paman, ia mengincar temanku. Sore tadi kami diserang, seseorang menembak kami, beruntung kami berhasil selamat.”

Paman Zanone menatapku dengan mata membulat.

“A-ada a-apa Paman?” Tanyaku yang kebingungan.

“Kau pulang sendiri? Setelah kejadian itu?” 

“Iya Paman, ke-kenapa?” 

“Apa kau tidak takut akan diserang?”

Sebenarnya itu yang aku takutkan juga Paman, tapi aku bergaya keren di hadapan Rose.

“Sebenarnya takut...”

“Rick Paman punya tawaran untukmu, bagaimana?”

“Tawaran apa itu?”

“Kau pasti setuju, dengarkan saja dulu.” Paman Zanone menyeringai ke arahku.

*****

Setelah mengantar paman Zanone ke rumah mantan istrinya, aku segera berjalan pulang tetapi secara mengejutkan Mary sudah berada di sebelahku.

“Apa yang kau lakukan malam-malam begini?” ucapnya dengan nada dingin.

Aku menatap ke arahnya dan menemukan sekantong penuh belanjaan di tangannya.

Apa ia makan camilan juga? Dia Vampire bukan?

“Ma-mary! Kau mengagetkanku saja! Apa yang kau lakukan di sini?” balasku tak mau kalah.

“Aku habis berbelanja.”

Aku mulai berjalan dan menikmati suasana malam yang cukup membuat bulu kudukku merinding.

“Hei Ricky, temani aku pulang.”

Seorang Vampire meminta di temani pulang?

“Baiklah...” ucapku dengan berat hati.

“Apa kau melakukan hal yang aneh hari ini?”

Apa dia tahu masalah penyerangan Rudy?

“Kenapa? Ada apa?” tanyaku berpura-pura tidak tahu.

“Kemarikan ponselmu!” ia meminta ponselku, “Aku akan menuliskan nomorku, jika terjadi sesuatu aku bisa meminta tolong padamu.”

Sayang kau orang nomor dua di ponselku.

“Jika terjadi sesuatu telepon aku.”

“Ha? Meneleponmu?” tanyaku kaget.

“Kenapa? Orang linglung sepertimu pasti mudah terkena masalah.”

“Baiklah...”

Dan akhirnya aku menuruti ucapannya.

Kami berjalan di bawah temaramnya lampu jalan hingga kami tiba di sebuah bangunan yang tidak asing bagiku.

Hah? Ini apartemenku? Sejak kapan aku berjalan ke arah sini?

“I-ini rumahku?” ucapku tak percaya.

“Bodoh! Cepat masuk!” Ia menatapku dengan dingin.

“Bagaimana denganmu?” tanyaku khawatir.

“Cepat masuk!” Dengan kasar Mary mendorongku masuk ke dalam apartemen.

“Baiklah! Baiklah!” 

*****

“Kenapa? Kau tidak punya teman yang melindungimu lagi?” Zack menarik kerah bajuku dan melemparku ke tanah.

Kenapa developer game ini begitu kejam? 

Kenapa tidak memberikan kemampuan melindungi diri pada Ricky!

“Hei! Hebat juga kau bisa mendapatkan nilai tertinggi dalam ujian kemarin,” ia menjambakku ,”apa yang kau lakukan pada otakmu?”

“Kenapa kau selalu menggangguku...” ucapku lemas.

“Kenapa? Hahaha! Kenapa? Karena bosan?” ia memandangku rendah.

Ia menendang perutku dan spontan saja aku meringkuk menahan sakit.

“Kenapa aku selalu kesal melihat wajahmu, sampai aku ingin menghajarmu seperti ini!”

Dan sebuah tendangan lagi bersarang di perutku.

“Selamat tinggal pecundang!” Zack meninggalkanku seorang diri.

Aku yang masih meringkuk di tanah, bergerak bangun berjalan perlahan menuju muka laboratorium.

“Ricky... Kau tidak apa-apa?” Rose mendatangiku dengan wajah khawatir.

“Aku sudah biasa Rose tenang saja hehe.”

“Ricky... maaf aku... tidak bisa menolongmu...” Rose menundukkan kepalanya.

“Tidak apa Rose.” Aku tersenyum ke arahnya.

Ia mengeluarkan sapu tangan dan mengelap wajahku.

“Kenapa... Kau tidak... Melawannya?”

“Aku tidak memiliki kemampuan seperti itu.”

“Selamat Siang, maaf mengganggu sepertinya saya tersesat. Bisa kalian tunjukkan di mana kelas-“

“I-Ibu mencari Rudy?”

“Benar Rudy Springfield! Apa bisa kalian tunjukkan di mana kelasnya?”

“Hari ini... Rudy tidak masuk...”

“Tapi benar Rudy bersekolah di sini?” matanya tampak berseri.

“Benar kami teman sekelasnya!” jawabku.

Dia Ibu kandung Rudy! Seorang bangsawan dari negara sebelah! 

“Sebenarnya ada masalah yang terjadi padanya, ia di-“ 

“Kenapa? Ada masalah apa dengannya?” 

Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, wanita dewasa ini memotong perkataanku.

“Ia sedang sakit...” ucap Rose.

“Oh begitu rupanya...” Ia mengangguk.

Tiba-tiba dua orang berbadan kekar berpakaian formal lengkap dengan kacamata hitam mendatangi kami.

“Kalau begitu saya permisi dulu, lain kali saya akan mampir ke sini. Boleh tahu siapa nama kalian?” Ia tersenyum ke arah kami berdua.

“Rose...”

“Ricky.”

“Rose dan Ricky? Hmm... Sepertinya kalian berjodoh..  Terima kasih banyak dan selamat siang!” 

“Selamat siang!” balas kami bersamaan.

Perlahan sosoknya yang anggun menghilang ke dalam mobil, meninggalkan aroma parfum yang cukup sedap dihirup.

“Rose semalam aku bertemu dengan ayah dari anak yang terbunuh waktu itu.”

“Kemudian?”

“Ia menawarkan perja-“

Apa yang aku katakan! Seharusnya ini menjadi sebuah rahasia!

Tapi Rose orang yang dapat dipercaya seperti Rudy!

“Perjanjian?” terkanya.

“Benar, perjanjian tentang kasus itu. Tidak ada pihak yang dirugikan di sini , hanya sa-“

“Hei! Rose! Ricky! Sedang apa kalian di sini?” tiba-tiba Judy datang menghampiri kami dengan senyum lebar.

Judy! Kau datang di saat yang tidak tepat!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status