Di kediaman keluarga Oxley, tepatnya di gudang tempat penyimpanan barang-barang, Rebecca sedang sibuk mencari anak-anak kunci duplikat untuk semua pintu di rumah itu. Rasa penasaran karena sikap Kensky semalam membuatnya ingin membuka kamar gadis itu tanpa sepengetahuan dia.
"Semoga saja duplikatnya tidak ada di sini." Rebecca terus membongkar peti kayu berukuran besar yang memang dikhususkan untuk menyimpan benda-benda penting di rumah itu, termasuk foto-foto Barbara bersama Kensky saat masih kecil.
"Ketemu!" seru Rebecca ketika melihat rentenan anak kunci yang bergelantungan pada sebuah besi bulat saat ia mengangkat bingkai foto ukuran sedang, di mana ada Barbara dan Eduardus sedang mengenakan pakaian pengantin. Ia bahkan tak peduli dengan foto itu, karena yang lebih penting baginya adalah kunci untuk membuka kamar Kensky.
"Semoga saja salah satu di antara mereka ini bisa membantuku," bisik Rebecca.
Awwwww. Thor mau dong, Dean bobo bareng. Hehehe
Sore hari Rebecca sudah siap menunggu kedatangan Kensky. Setelah kembali dari pertemuannya bersama Dr. Harvey, tak sabar lagi ia ingin cepat pulang untuk mengatakan hal ini kepada anak tirinya. Dan ketika selesai berdandan cantik, kini Rebecca duduk manis di ruang tamu menanti kepulangan gadis itu. Ting! Tong! Wajah Rebecca berseri-seri. "Itu pasti dia." Pura-pura ia mengambil majalah seakan fokus membaca. "Sore, Ma!" Rebecca menoleh. "Dasar, Mama pikir Kensky." Ia melemparkan masalah itu ke atas meja, "Mana dia?" Soraya mendudukan dirinya di sofa yang lain. "Waktu aku pulang dia masih bersama Bernar, Kim dan si tua Mr. Hans. Sepertinya mereka sedang membicarakan soal tugas-yang nantinya akan dialihkan kepada Kim." Sontak Soraya mendadak senang. "Mama tahu, sekarang aku sudah menjadi sekertatis tunggalnya Bernar." "Benarkah? Lalu gadis yang kau bi
Rebecca sengaja menggunakan alasan itu, karena ia tahu kalau Eduardus dan Soraya tidak pernah aman di dalam rumah sampai wanita itu meninggal. Rebecca yakin, meski saat itu masih anak-anak, Kensky pasti tahu akan masalah yang menimpa kedua orangtuanya. "Apa sebelumnya ibumu pernah bercerita soal perjodohan?" Pertanyaan Rebecca mengejutkan Kensky. "Maksud, Mama?" Dia tahu Kensky pasti pura-pura tidak dengar, tapi ia sempat menangkap ekpresi kaget yang terpancar di wajah Kensky. "Mama tanya apa tadi?" "Maksud Mama, apa sebelumnya ibumu pernah mengatakan padamu soal siapa pria yang dijodohkan denganmu?" Kensky tampak berpikir. "Apa sebaiknya aku jujur soal pria di foto itu? Apa sebaiknya aku ceritakan saja sosok pria yang ada di dalam kotak dan memberikanku ponsel itu pada Mama?" Kensky terus berpikir sampai akhirnya ia memutuskan sesuatu, "Tidak, Ma
Setelah makan malam berlangsung Soraya dan Rebecca saling diam. Ketidakberadaan Kensky saat ini mengharuskan Rebecca berkata jujur pada Soraya, dan hal itu membuat wanita itu marah. "Mama mau bagaimana lagi? Tempo hari kau sendiri sudah dengar kan alasannya kenapa dia mau mendekati Kensky?" Soraya tetap diam. Wajahnya kusut dan tak mau menatap ibunya. Emosi dalam dirinya sudah meluap dan siap meledak. "Jika saja kita tidak terikat kejahatan dengan Bernar, Mama tidak akan mungkin menuruti semua kemauannya. Dia tahu perbuatan kita, Soraya. Dia bisa saja akan melaporkan kita kalau Mama tidak menuruti perintahnya." Kepala Soraya tersentak menatap Rebecca. Tatapannya garang. "Kita? Mama bilang kita? Aku tidak pernah ikut campur soal urusan Mama dan Bernar. Dan bukannya Mama sendiri yang bilang padaku bahwa dia akan memperlakukanku dengan cara berbeda. Dan sekarang apa? Jelas memang perbedaan yang
Gadis perlahan melepaskan lengan kain hitam transparan itu hingga tubuh di balik gaunnya telanjang. Dean masih diam, sepertinya ingatan akan masa lalu yang buruk masih terus berenang di dalam benaknya. Kensky menunduk, mencium dan memeluk Dean, tapi pria itu tetap tidak merespon. "Maafkan aku," bisiknya. Ia hendak menangis, namun saat itu juga kesadaran Dean di masa sekarang langsung kembali dan balas memeluknya. Air mata bahagia pun lolos membasahi pipi, "Maafkan aku." Dean balas menatapnya. "Aku juga minta maaf, karena belum bisa menceritakannya padamu. Tapi aku janji, suatu saat meskipun berat, aku pasti akan menceritakannya padamu." Kensky duduk di pangkuannya. "Lebih baik sekarang jangan bahas itu. Bawa aku ke ranjang, Dean." Saat itu juga Dean baru sadar kalau tubuh Kensky sudah telanjang. Darah yang tadi surut dalam dirinya kini kembali. Organ-organ yang tadinya tidak berfungsi, kini m
Setelah sarapan Dean mengajak Kensky untuk berbelanja. "Jadi hari ini kita belum langsung ke kantor?" tanya Kensky saat Dean mengumumkan kabar itu. Mereka sekarang masih di posisi yang sama; duduk berdampingan dengan sebelah tangan saling bergenggaman. "Hari ini mereka akan menyiapkan kedatanganku. Jadi kita masih punya waktu bersenang-senang sebelum besok disibukkan dengan pekerjaan." "Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu." Kensky hendak pergi, tapi Dean menahannya, "Ada apa?" "Kau tidak ingin aku mandikan?" Wajah Kensky bersemu merah. "Aku malu." Dean tertawa. "Apa yang membuatmu malu? Bukannya kita sudah saling melihat satu sama lain?" Kensky kembali duduk. "Itu beda, Dean." "Tidak ada yang beda, Sky. Ayo, daripada kita saling berdebat, lebih baik kita mandi." Dean menggendong tubuh Kensky layaknya
Matt menunduk hormat, kemudian langsung melaksanakan perintahnya. Sementara Dean dengan emosi meluap-luap menatap ke arah lain. "Kau sudah salah mengancamku, Rebecca. Kita lihat saja siapa yang akan di penjara." Di sisi lain. "Bagaimana, apa kata Bernar?" tanya Soraya. Saat ini ia dan Rebecca sedang sarapan pagi berdua. "Sepertinya dia akan menghindar, tapi kau tenang saja. Dia tidak akan berani menginkar janjinya pada Mama. Oh, iya, apa kau punya kontak Kensky yang bisa dihubungi." Soraya menggeleng. "Tidak ada. Kenapa?" "Mama sudah membuat jadwal pertemuannya dengan Dr. Harvey minggu depan. Mama akan berbohong, memberitahukan bahwa ayahnya sekarat, agar dia bisa ke sini untuk menghadiri pertemuan pertama bersama Dr. Harvey." "Akan kucoba cari. Mungkin aku bisa mengirim email padanya." Rebecca girang. "Ya, ampun, Sayang, te
Setelah melihat Rebecca tenang, kepala kepolisian itu kembali mengambil alih. "Jadi bagaiamana, apa kami bisa bertemu dengan suami Anda, Mrs. Oxley." Rebeccan terperanjat. Ia tidak mungkin berkata jujur bahwa suaminya hilang dan dibawa oleh pria-pria berjas yang tidak dikenalinya. Jika dia mengatakan itu, sudah pasti dirinya akan disalahkan karena membiarkan suaminya hilang. Bahkan bisa saja mereka akan menuduhnya sebagai otak di balik penculikan suaminya. Padahal dia sendiri pun tidak tahu keberadaan Eduardus sampai sekarang. Mau tidak mau Rebecca harus berbohong. Dengan jantung yang masih berdetak cepat ia menatap si kepala kepolisian itu. "Suamiku sedang berada di sebuah desa kecil. Dia sedang melakukan terapi penyembuhan." "Bisa kami tahu penyakit apa yang dideritanya?" Rebecca memasang wajah sedih. "Aku tidak tahu, Pak. Tapi sejak penyakit itu menyerangnya, semua persendiannya sulit dige
"Gawat, aku harus bagaimana ini?" Rebecca mondar-mandir di ruang tamu tanpa memperdulikan dapurnya yang berantakan. Beberapa menit yang lalu kedua polisi itu kembali setelah mengantarnya pulang. Dan sekarang dengan jantung berdetak ia tak bisa berpikir apa-apa. "Mereka pasti akan menuduhku menyembunyikan Eduardus," rengeknya, "Tidak! Aku tidak menyembunyikannya. Aku bahkan tidak tahu di mana dia berada!" Rebecca semakin frustasi. "Eduardus, di mana kamu sekarang?" Dia terus mondar-mandir sambil berpikir, "Bernar! Aku harus meminta bantuannya," katanya begitu nama pria itu muncul dalam ingatannya. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menghubungi pria itu. "Aku tidak mau di penjara. Bernar harus membantuku," katanya seraya menempelkan ponsel di telinga. "Ada apa?" Rebecca tersentak saat suara berat pria di balik telepon menyapanya. "Bernar, kumohon ban