Rena mematut dirinya di depan cermin. Ia melihat wajahnya yang mulai kusam karena sudah lama tak perawatan. Uang gono-gini yang ia bawa saat perceraian sudah habis karena gaya hidupnya yang tinggi.
"Gimana caranya biar mas Fathan mau nerima aku lagi ya? Aku capek hidup kere," batin Rena.
Dia bersikeras untuk mendapatkan Fathan kembali. Ia terbiasa mudah mendapatkan sesuatu saat masih dengan Fathan. Itulah alasan dia enggan jika harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan juga Gea. Padahal sebelum menikah dengan Fathan ia bahkan giat bekerja hingga tak malu menjual donat keliling.
Namun saat ini semua berbeda. Dia sudah pernah merasakan kenikmatan harta, hingga daya juang untuk bekerja melemah, ia lebih memilih mencari cara agar mendapatkan Fathan kembali atau menggoda laki-laki kaya agar bisa numpang hidup enak, kalau bisa menguasai hartanya.
Orangtuanya hanya memberinya makan dan tempat tinggal namun tak mampu memberi mereka uang untuk ke
Hati Intan bergemuruh hebat. Jika mobil itu ada di rumah Thariq, itu artinya dia pelaku tabrak lari yang membuat suaminya meninggal."Astaghfirullahal'adzim," lirih Intan, dia tak mau lagi suudzon pada orang lain. Seperti pada Fathan waktu itu, dia juga pernah mencurigainya. Namun nyatanya Fathan bukan pelakunya.Lebih baik Intan tanyakan langsung pada Thariq agar tak salah faham juga tak berprasangka buruk."Pak," panggil Intan saat Thariq berjalan di depannya dan menggandeng Gita."Kenapa Tan?" tanyanya."Kalau boleh tahu, itu mobil siapa, ya?" tanya Intan sembari menunjuk mobil berwarna putih yang sangat mirip dengan video itu."Oh, itu mobil almarhum adikku," kata Thariq."Almarhum adik?" tanya Intan lagi."Iya, itu mobil kesayangannya. Makanya gak aku jual meski orangnya sudah di panggil sang kuasa," jawab Thariq."Oh, begitu. Maaf ya pak saya gak tahu," ucap Intan."Iya gak apa-apa," jawab Thar
"Yang benar? Bukankah katanya pak Thariq punya adik?" tanya Fathan lagi, ia butuh keyakinan sebelum berprasangka buruk."Sok tahu lu bleng! Pan pak Thariq emang punya adik yang udah meninggal satu tahun yang lalu," ungkap salah satu temannya dengan meralat perkataan montir yang biasa di sebut Dobleng itu.Sementara Dobleng terlihat berfikir sejenak lalu mengiyakan perkataan temannya."Oh gitu ya, kalau boleh tahu adiknya laki-laki atau perempuan, ya?" tanya Fathan lagi."Laki-laki pak, nakal banget orangnya, kadang-kadang suka bikin warga resah, saya mah suka kasihan sama ibunya sama pak Thariq juga, capek kayaknya didik almarhum adiknya itu, bersyukur deh sekarang udah gak ada," jelas temannya Dobleng, ia mengambil alih pembicaraan karena Dobleng sedang sibuk membenarkan mobil Fathan."Lah si Abang mah ada yang meninggal malah di syukuri," celetuk Fathan sambil tertawa geli "jadi benar yang menabrak mas Bayu adalah adiknya Thariq yan
"Ciye, mbak Intan ... Akhirnya melepas lajang juga," ledek Airin, anak tetangganya. Airin baru saja lulus kuliah di luar kota dan belum menikah. Sejak pulang kampung ia dekat sekali dengan Intan.Hari ini Intan mengajak Airin untuk menemaninya menemui wedding organizer pilihan Thariq. Sengaja ia membawa Airin agar tak terjadi khalwat dan menimbulkan fitnah di antara Intan dan Thariq.Meski sudah memutuskan untuk menikah, namun calon pengantin baiknya tak boleh berdua-duaan, lebih baik membawa saudara yang masih mahram agar tak terjadi suatu hal yang di inginkan. Karena meskipun khitbah sudah menggema bisa saja akad tak berjumpa."Alhamdulillah, Rin." jawab Intan dengan senyum sumringah.Intan mencoba berdamai dengan hati. Ia berusaha menghilangkan Fathan di hatinya. Ia harus bisa menerima lelaki yang akan menjadi suaminya juga ayah untuk Gita."Ciye, udah mulai jatuh cinta sama pak Thariq nih, ye ... Senyumnya manis banget," ledek Air
"Kalian gimana sih? Kenapa anak bodoh itu gak mati?" Hardik Thariq pada dua anak buahnya."Maaf bos, kami cuma nyenggol aja, habis di sana ramai warga. Kami takut," ucap salah satu anak buahnya membela diri."Kalau dia hidup, pasti dia bakal bilang sama Intan tentang apa yang di dengar bocah ingusan itu. Akh ... Bodoh sekali kalian!" Hardik Thariq sembari menendang kursi yang tak jauh dari tempatnya berdiri.Dia sangat ketakutan jika Gea membuka mulut atas apa yang di ketahui nya.***"Mas Fathan ini kenapa sih? Kan saya sudah bilang yang salah itu adiknya, pak Thariq gak seburuk yang mas Fathan bilang," ucap Intan, dia sama sekali tak percaya pada ucapan Fathan."Tapi saya dengar sendiri mbak, bahkan Thariq gak punya adik, dia anak tunggal, dia juga bersekongkol dengan Rena," balas Fathan. Ia gemas karena Intan tak mau percaya dengan ucapannya."Sudah lah mas, pasti ini cuma akal-akalan mas Fathan karena cemburu kan? Ma
Intan gegas pergi meninggalkan rumah Thariq dengan perasaan tak menentu, matanya telah basah, ia menangisi kebodohannya."Astagfirullah, kenapa aku gak curiga sama sekali? kenapa aku justru gak percaya dengan ucapan mas Fathan ...." gumam Intan dalam hati. Ia sungguh menyesal karena telah memarahi Fathan saat lelaki itu memberikan informasi."Ma, kenapa gak di antar om Thariq?" tanya Gita di sela-sela berjalan."Sudah jangan tanya-tanya om Thariq lagi," kata intan geram.Intan merogoh ponselnya, ia juga segera memesan taksi online untuk pulang. Namun baru saja dia membuka aplikasinya, ia melihat sorot lampu motor Thariq yang berhenti di hadapannya."Intan, dengar aku dulu, ini salah faham," kata Thariq, ia gegas turun dengan tergesa.Namun Intan tak mau kalah, ia berjalan setengah berlari sembari menarik Gita, Gita yang tak mengerti apa-apa sangat tertekan hingga akhirnya menangis sambil berlari."Mama ... Mama .... hu .
"Permisi ... Assalamualaikum," teriak Bayu di depan pagar gerbang sebuah rumah besar berlantai dua.Sudah berkali-kali Bayu mengucap salam sembari mengadukan tembok dengan besi gerbang agar menimbulkan suara hingga ada orang ke luar.Sebelumnya ia menekan bel, namun ternyata bel rusak dan tak berfungsi.Hampir setengah jam Bayu menunggu seseorang untuk keluar rumah, namun tak ada satu orangpun yang datang.Padahal gerbang tak di kunci, tapi pantang bagi Bayu untuk masuk sebelum mendapatkan izin sang punya rumah, meski itu hanya sekedar memasuki pagarnya saja. Almarhum ibunya mengajarkan ia sopan santun yang sangat tinggi.Berkali-kali-kali ia menelpon pelanggan bernama Thariq yang memesan makanan melaluinya, namun tak juga di angkat.[Mas di mana? Ayo buruan, nanti aku telat]Ponselnya berdenting, sebuah pesan dari Fathan, adik yang sangat ia sayangi. Hari ini ia berjanji akan bertemu Fathan untuk memberikan surat
Fathan gegas ke rumah Intan, ia amat khawatir terjadi sesuatu hal yang buruk pada keponakannya."Semoga Gita baik-baik saja ya, mas," ujar Rena saat Fathan hendak pergi.Lelaki itu hanya tersenyum sembari menganggukan kepala pada Rena.Sementara Rena menatap nanar kepergian mantan suaminya, lelaki yang dulu begitu memuja dan memperlakukannya bak ratu, namun karena kebodohannya dia telah kehilangan cinta sucinya.Rena gegas masuk lagi ke ruang di mana Gea di rawat, Gea masih tertidur nyenyak di ranjangnya.Rena mengambil air wudhu dan membentangkan sajadah untuk shalat Dhuha. Sejak Gea sakit dia sering sekali mendengar ceramah via YouTube untuk menguatkan hatinya, ia juga sering bertanya tentang tauhid pada orang yang ia anggap mempunyai ilmu yang mumpuni.Rena senang karena kemarin saat Intan di rumah sakit dia sudah meminta maaf pada mantan kakak iparnya itu, dia juga meminta maaf pada Gita karena sudah mencelakainya.R
"Yang benar Gea?" tanya Rena dengan wajah pias."Iya ma, waktu Gea main pernah denger om Thariq bilang sama orang katanya mau jual Gita, terus Gea lari mau kasih tahu Gita, tapi ada mobil kenceng banget tabrak Gea," jawab gadis itu sembari mengingat-ingat."Astaghfirullah, kalau begitu Gita dalam bahaya, mama telpon papa Fathan dulu ya," ujar Rena lalu di balas anggukan oleh Gea.Gea memang sombong, tapi sebenarnya dia masih mempunyai sedikit kebaikan dalam hatinya, apalagi kini hanya Gita yang mau menemaninya saat dia tak lagi memiliki uang jajan karena perceraian Rena dan Fathan.Rena gegas mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas, dia langsung mencari kontak Fathan namun nomornya tak aktif.Rena semakin gelisah, ia mencari kontak Intan namun nomor Intan sulit sekali di hubungi. Wajah Rena semakin pias, hatinya sangat gelisah.Berkali-kali Rena menghubungi nomor Intan dan Fathan bergantian namun nomor keduanya tetap tak