Share

4. Suara Perempuan

"Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna.

"Apa-apaan in, Mirna? Bang Fahmi mulai menyalahkanku.

"Bu, ini bukan seperti apa yang Ibu lihat, ini salah paham."

"Mirna, tolong jangan seperti itu. Foto siapa yang kamu edit? Jangan fitnah!" Bang Fahmi sebentar lari ke ibu, sebentar lari ke aku. Dia seperti cacing yang kepanasan.

"Hah? Fitnah? Mataku ini ciptaan Allah Bang. Mana bisa diedit."

"Kurang kerjaan bener kalau Mirna mesti edit puluhan foto itu, Fahmi. Dia nggak cukup waktu untuk melakukan hal seperti itu, buang-buang waktu. Sekarang kemasi barang-barang kamu," teriak ibu berang.

"Bu, Fahmi kan anak kandung, Ibu. Kenapa malah Mirna yang di belain. Ibu nggak tahu kan kalau selama ini Mirna pemboros dan tidak bisa merawat tubuh dia sendiri, makanya Fahmi cari yang bening." Sakit rasanya mendengar penuturan laki-laki yang selama ini aku cintai.

"Tidak usah banyak bicara Fahmi. Sampai kapanpun menantu ibu, tetap Mirna!" Ibu terlihat mengelus dadanya berkali-kali. "Dan satu lagi, kamu akan ibu coret dari daftar warisan!"

"Bu, sabar," bisikku.

"Awas kamu Mirna, Kamu pulang saja ke rumah ibumu. Tidak usah menungguku. Karena setelah aku kembali, aku bawakan surat cerai untukmu," ucapnya kala itu."

"Saking gilanya kamu sama perempuan itu, sampai lupa kalau aku sudah tidak punya ibu, Bang?"

"Eh ... Terserah kamu mau kemana!" Ucapan Bang Fahmi tergagap.

"Tenang Mirna, ibulah ibu kamu sekarang dan selamanya."

Laki-laki itu berlalu ke dalam kamar dan tak berapa lama, dia keluar dengan membawa tas kecilnya. Tanpa menegur ibu, dia lalu pergi mengendarai mobilnya.

Tadinya, ibu akan mengejar untuk tidak membawa mobil, tapi aku tahan. Karena di rumah ini tidak ada kendaraan lain selain mobil yang dipakai Bang Fahmi.

Sepeninggalan laki-laki itu, tak kuasa tangisku pecah begitu saja. Bohong rasanya jika laki-laki yang kita cintai mendua tidak merasakan sakit, bahkan kita melihat dengan mata kepala kita sendiri.

Itulah yang aku rasakan. Di depan Bang Fahmi tadi aku hanya pura-pura tegar, pura-pura tak merasakan apa-apa, tapi sebenarnya hatiku sangat hancur.

"Sudah Sayang, masih ada ibu." Tangan lembut milik ibu mertua memelukku erat.

"Begitu Mbak ceritanya, dan dia pulang kemarin. Tiba-tiba minta semuanya. Siapa yang nggak gedek."

"Terus kamu terima gitu aja, Mir?" Tingkat kekepoan Mbak Nana meningkat seketika.

"Ya nggaklah Mbak, aku juga minta balikin keperawananku dan juga tubuh molekku dulu."

"Hahahaha ... Cerdas kamu Mir, mungkin gajinya habis untuk gud*knya itu." Mbak Nana tertawa terpingkal-pingkal. "Ssttt ... Ada Fahmi tu." Mbak Nana memberi kode agar aku bersembunyi.

Tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri, aku langsung masuk ke dalam rumah Mbak bisa dan bersembunyi di bawah jendela.

Aku perhatikan Bang Fahmi dari dalam. Laki-laki itu tampak kucel tak terurus, matanya lelah, aku yakin semalam anak-anak susah untuk tidur, padahal baru satu hari aku tinggalkan dia bersama anak-anak.

"Papa es cim, Papa, es cim, Papa," rengek Fauzan sambil menghentakkan kaki. Sementara Faisal sibuk menarik jajanan yang tergantung di dekat pintu. Faisal memamg belum pandai berbicara. Dia baru bisa menyebut mama, mam dan num. Selain itu ketika dia minta sesuatu hanya nunjuk apa yang dia inginkan.

"Iya, sabar! Papa ini capai, semalaman nggak tidur!" bentak Bang Fahmi.

Ada yang berdesir di dalam dadaku ketika anak kesayanganku di bentak oleh papanya sendiri. Walaupun sekesal-kesalnya aku pada anak-anak tapi tak pernah sekalipun aku membentak mereka.

Rasanya ingin aku timpuk laki-laki itu dengan sendal jepit. Tapi aku tengah bersembunyi darinya. Jika aku muncul, bisa-bisa dia menganggapku kalah.

Aku teruskan memerhatikan ketiga manusia ber-DNA sama itu. Terkadang aku terkekeh sendiri melihat Faisal menarik-narik rambut papanya, karena jajan yang dia minta tak kunjung diberikan.

"Apa lagi, Mas?" tanya Mbak Nana.

"Diapersnya satu bal berapa?" Mbak Nana lantas menyebutkan harga diapers dari berbagai ukuran, merk beserta harganya.

Aku lihat laki-laki itu semakin melongo mendengar penuturan Mbak Nana.

"Hah, mahal amat. Orang untuk tempat tinja juga," protes laki-laki itu.

"Lah, memang segitu harganya Mas," timpal Mbak Nana mulai kesal.

"Lho bukannya kalau yang bijian itu harganya seribu."

"Seribu itu dua puluh tahun yang lalu Mas. Waktu sampean masih bayi." Terlihat Mbak Nana semakin gedek dengan laki-laki bergelar mantan suamiku itu.

"Ini juga, si Mirna, tega-teganya ninggalin anak sama aku doang," keluh Bang Fahmi.

"Udah, mau apa lagi, aku mau lanjut nyuci," potong Mbak Nana.

"Mie instan dua."

"Enam ribu."

"Set dah. Enam ribu? Bukannya empat ribu dua itu?"

"Mas Fahmi, mending sampean belanja di warung lain deh, masa jaman segini nggak tahu harga-harga kebutuhan rumah tangga. Pantes saja Mirna pergi. Mana tahan dia sama laki pelit modelan sampean."

"Nggak usah ikut campur urusan orang Mbak. Nih duitnya. Diapersnya dua sama mienya dua. Laki-laki itu menyerahkan selembar uang sepuluh ribu.

"Kurang dua ribu Mas, diapers ukuran XL itu satunya tiga ribu," sungut Mbak Nana.

"Nantilah, aku cuma bawa segitu."

"Huf ... Ngakunya manager, duit aja kagak punya," gerutu Mbak Nana sambil memasukan belanjaan ke dalam kantong plastik.

"Bukannya nggak punya Mbak, tapi nggak bawa," sahut laki-laki berjambang tipis itu.

"Papa, es cim, Papa. Jajan Papa." Kedua anakku itu masih aja merengek.

"Sekalian es krimnya dua Mbak."

"Yaa Allah Mas, pagi-pagi kok sudah hutang sih."

"Iya ... Iya nanti aku susulin. Buruan!"

"Udah ngutang, maksa-maksa lagi."

Bang Fahmi merebut kantong plastik dari tangan Mbak Nana dan berlalu pergi. Aku masih mengintip dia dari dalam rumah. Kulihat dalam perjalanan, anak-anak minta gendong semuanya. Terlihat laki-laki itu sangat kerepotan, lagi-lagi aku tersenyum melihat aksi anak-anak yang super manja itu.

Sebenarnya anak-anak jika bersamaku tidak semanja itu, mungkin karena mereka jarang bertemu papanya, jadi mereka tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bermanja-manja.

Setelah mereka tak terlihat lagi, aku keluar dan bergabung dengan Mbak Nana yang tengah merapikan es krim yang diacak-acak Fauzan.

"Mbak, maaf ya." Aku ikut merapikan es krim tersebut.

"Nggak apa-apa, Mir, aku cuma kasih pelajaran untuk Fahmi."

"Ini kekurangan belanja Bang Fahmi, Mbak." Aku menyodorkan uang sepuluh ribu pada Mbak Nana.

"Biarkan Mir. Biar dia sendiri yang tanggung jawab. Sebenarnya anak-anakmu itu nurut lho, tapi entah kenapa kok sama Fahmi jadi tambah aktif gitu ya."

"Nah itu yang aku heran, Mbak. Semesta sepertinya mendukungku banget." Mbak nana terkekeh panjang.

Setelah berbincang sebentar, aku pamit ingin melihat keadaan rumah. Tentunya dengan cara sembunyi-sembunyi.

Aku sengaja lewat gang depan rumah Mbak Nana, nanti tembusnya tepat di belakang rumah kami.

Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai tepat di belakang rumah. Aku bersembunyi di antara tembok rumahku dengan tembok rumah tetangga sebelah.

"Mas, kok lama banget sih, aku udah telat nih, aku kan mau daftar kuliah."

"Lho ... Lho ... Lho ... Kok ada suara perempuan."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status