Share

5. Kerepotan

Wanita yang aku tebak selingkuhannya itu Terus saja merengek. Berarti semalam perempuan itu tidur di rumah ini. Walaupun Bang Fahmi sudah menjadi mantan, rasanya sakit sekali ketika mendengar rumah yang kami jadikan tempat bernaung selama tiga tahun itu sudah ada pengganti diriku.

"Astaghfirullah Bang, belum juga menikah sudah dibawa pulang," gumamku.

"Bawa saja mobil tu. Mas mau antar anak-anak ke rumah ibu. Masih repot nih. Kamu bukannya bantu Mas malah enak-enakan gitu."

"Mas, kamu bilang semalam kalau kamu ngundang aku kesini untuk nemenin kamu, karena istri kamu kabur. Eh ... Malah disuruh jagain bocil. Mana itu anak nakal banget. Nggak sanggup aku Mas," seru perempuan itu.

"Daftar kuliah kan bisa nanti jam sepuluan atau bareng Mas betangkat kerja. Sekarang kamu jagain dulu anak-anak, Mas mau mandi. Udah telat nih. Bisa kena SP Mas nanti. Dan bisa berinbas sama uang jajan kamu."

"Huh ... Iya ... Iya."

Kini aku pindah posisi dari belakang rumah ke samping rumah, untuk memperjelas penglihatan. Aku khawatir kalau perempuan akan menyakiti kedua anakku.

Aku bergerak sangat pelan, untuk meminimalisir suara yang aku timbulkan nanti. Namun tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang menabrakku.

"Astaghfirullah," ucapku tertahan. Aku kemudian membekap mulutku.

"Lho, Ammar. Ngapain di sini?" bisikku.

"Ada tugas dari ibu negara." Pria yang ku kenal bernama Ammar itu meletakkan telunjuknya di bibir.

"Jadi kamu yang kirim video itu ke aku?"

"Iya," jawabnya singkat. "Lebih baik kamu pulang, ini udah jadi tugasku, mengintai mantan suamimu."

"Tapi aku khawatir sama mereka,"

"Tenang, ada aku."

Ammar adalah sepupu dari Bang Fahmi, dia adalah anak bungsu dari Tante Anni. Setahuku anak ini masih kuliah semester akhir. Dia juga terlihat sering ke rumah ibu. Jadi laki-laki itu yamg menjadi mata-mata ibu.

"Kamu pulang aja sana. Nanti malah ketahuan."

"Iya ... Iya. Aku mau ke rumah ibu dulu."

Akupun menurut apa yang dikatakan Ammar. Pria itu tengil suka ketas ketus. Bahkan memanggilku saja tidak mau dengan sebutan 'Mbak' padahal jika diurutkan seharusnya Ammar adik sepupu dari Bang Fahmi. Walaupun umurnya denganku lebih tua anak itu setahun dariku.

Bahkan karena ketengilannya itu, dia kuliah saja sampai lima tahun lebih. Entah apa yang dia kerjakan di kampusnya. Seharusnya dia lebih dulu lulus kuliah di bandingkan aku. Awalnya memang pria itu tidak mau lanjut kuliah. Setelah lulus SMA, dia sempat nganggu satu tahun, sebelum lanjut kuliah.

Aku pesan ojek online setelah sampai di depan gang. Sebenarnya rumah ibu tidak terlalu jauh, tapi kalau jalan kaki masih ngos-ngosan juga.

Wanita yang aku anggap sebagai ibu kandungku itu tengah menyiapkan ketering untuk sebuah sekolah islam terpadu yang tak jauh dari rumah ibu. Sekolah itu merupakan salah satu sekolah yang berlangganan dengan katering ibu.

Ada tiga orang yang membantu ibu menyiapkan keteringnya. Dan kadang Mbok Minah juga bantu-bantu, ketika tugas utamanya sudah selesai beliau kerjakan.

"Lho, kok udah sampai sini, Mir," sapa ibu.

"Tadi ngecek anak-anak dulu, Bu. Duh ... Ternyata Bang Fahmi bawa perempuan itu pulang ke rumahnya."

"Yang bener kamu, Mir? Perasaan semalam Ammar kasih info tidak ada orang selain mereka bertiga."

"Mungkin perempuan itu datangnya malam, Bu." Ibu manggut-manggut. Aku mendekat ke arah ibu-ibu yang tengah mempersiapkan ketering dan bermaksud membatu mereka.

"Mirna bantu ya, Bu." Tangaku sudah memegang centong nasi dan ingin membungkusnya dengan kertas berwana putih.

"Ini biar ibu aja, Neng. Kalau mau bantu, lipat kotak aja, yang nggak panas," sahut Bu Mimi. Tetannga ibu yang sudah membantu ibu selama keteringnitu berdiri.

"Iya, Mir. Sini kamu bantuin ibu lipat ini aja." Aku beringsut ke arah ibu yang sedang duduk di ruang tengah.

"Nanti kalau ibu udah nggak kuat jalanin usaha ini, kamu yang neruskan ya, Mir. Nanti setelah kita selesai ngerjain Fahmi, kamu belajar masak ya."

"Bu, apa Ibu yakin mau mewariskan usaha ini ke Mirna. Kenapa nggak ke Mbak Jesika?"

"Jesika udah ibu tawari, tapi dia nggak mau. Malah dia yang nyuruh ibu kasihkan ke kamu."

Yaa Allah, aku sangat beruntung sekali, ketika suamiku bertingkah dan menduakan aku, tapi ibu dan Mbak Jesika sangat menyayangiku.

Kakak iparku itu memamg sudah punya usaha sendiri. Dia mempunyai salon kecantikan dan sudah punya produk sendiri. Ya ... Dia adalah dokter kecantikan. Walaupun karirnya sudah melejit, tapi dia tidak besar hati seperti Bang Fahmi.

Mereka berdua seperti langit dan bumi. Bang Fahmi orangnya suka pamer dengan pencapaiannya. Suka memuji dirinya sendiri, sementara Mbak Jesika orangnya rendah hati dan tidak pernah pamer dengan pencapaiannya.

"Tapi, Mirna bukan darah daging Ibu,"

"Iya. Memang bukan, tapi darahmu mengalir dalam tubuh kedua cucu-cucu ibu. Ibu khawatir kalau Fahmi yang nerusakan bakalan hancur. Apalagi kalau bercermin dengan kejadian kemarin, dia minta semua nafkah yang pernah dia berikan ke kamu dulu," papar wanita yang masih terlihat cantik itu.

"Terimakasih ya, Bu," ucapku lirih. Ada yang mengahangat di sudut netraku.

Deru suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Tak lama suara seorang berseru pada seorang anak kecil.

"Itu pasti Fahmi." Ibu menebak siapa ya datang ke rumah. "Kamu masuk kamar ibu saja, Mir. Jangan sampai Fahmi tahu, kalau kamu ada di sini. Biar ibu sembunyikan sendal kamu." Aku mengangguk dan berlari ke kamar ibu, kemudian mengunci pintu kamar.

"Nggak mau, nggak mau ke rumah Nenek. Mau sama Papa," rengek Fauzan.

Sebelumnya aku sudah memberitahu Fauzan kalau beberapa hari ini papanya akan menemani mereka kemanapun mereka mau dan menuruti jajan apapun yang mereka minta. Ternyata sugesti kemarin sangat manjur.

Padahal Fauzan dan Faisal biasanya sangat antusias jika diajak main ke rumah neneknya. Lagi-lagi aku tersenyum menang melihat Bang Fahmi kerepotan mengasuh dua bocil itu.

"Kakak sama Adek tinggal sama Nenek dulu ya, Papa mau kerja dulu. Papa udah telat." Terdengar suara Bang Fahmi membujuk anak-anak, namun mereka semakin berteriak dan menangis.

"Ikut, Papa. Ikut, Papa. Nggak mau sama nenek," tangisan kedua anakku pecah.

Aku beringsut mendekati jendela dan mengintip dari balik tirai. Kulihat Bamg Fahmi sedang menggendong Faisal, sementara Fauzan berdiri di sampingnya sambil menarik-narik baju Bang Fahmi yang tidak di setrika. Bajunya sangat kusut seperti habis di kunyah oleh kerbau.

Sebelum aku pergi, aku belum sempat menyetrika baju, dan rata-rata itu baju kerja Bang Fahmi yang sudah satu bulan tidak aku keluarkan dari keranjang.

"Papa mau kerja. Kalian sama Nenek dulu!" bentak Bang Fahmi.

"Nggak mauuuu! Ikut Papa!" teriak Fauzan. Anak itu menangis semakin menjadi.

"Yaa Allah." Laki-laki itu mengacak-acak rambutnya yang biasanya selalu rapi.

"Kamu bawa aja ke kantor, Mi. Mereka nggak mau sama ibu."

"Astaghfirullah, Mirnaaa ... Awas kamu ya kalau pulang!" Laki-laki itu menggendong kedua anaknya dengan kasar dan membawanya masuk kembali ke dalam mobil.

"Kamu jangan kasar gitu sama anak-anak, Mi!"

"Ini semua gara-gara Mirna, Bu!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status