Wanita yang aku tebak selingkuhannya itu Terus saja merengek. Berarti semalam perempuan itu tidur di rumah ini. Walaupun Bang Fahmi sudah menjadi mantan, rasanya sakit sekali ketika mendengar rumah yang kami jadikan tempat bernaung selama tiga tahun itu sudah ada pengganti diriku.
"Astaghfirullah Bang, belum juga menikah sudah dibawa pulang," gumamku."Bawa saja mobil tu. Mas mau antar anak-anak ke rumah ibu. Masih repot nih. Kamu bukannya bantu Mas malah enak-enakan gitu.""Mas, kamu bilang semalam kalau kamu ngundang aku kesini untuk nemenin kamu, karena istri kamu kabur. Eh ... Malah disuruh jagain bocil. Mana itu anak nakal banget. Nggak sanggup aku Mas," seru perempuan itu."Daftar kuliah kan bisa nanti jam sepuluan atau bareng Mas betangkat kerja. Sekarang kamu jagain dulu anak-anak, Mas mau mandi. Udah telat nih. Bisa kena SP Mas nanti. Dan bisa berinbas sama uang jajan kamu.""Huh ... Iya ... Iya."Kini aku pindah posisi dari belakang rumah ke samping rumah, untuk memperjelas penglihatan. Aku khawatir kalau perempuan akan menyakiti kedua anakku.Aku bergerak sangat pelan, untuk meminimalisir suara yang aku timbulkan nanti. Namun tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang menabrakku."Astaghfirullah," ucapku tertahan. Aku kemudian membekap mulutku."Lho, Ammar. Ngapain di sini?" bisikku."Ada tugas dari ibu negara." Pria yang ku kenal bernama Ammar itu meletakkan telunjuknya di bibir."Jadi kamu yang kirim video itu ke aku?""Iya," jawabnya singkat. "Lebih baik kamu pulang, ini udah jadi tugasku, mengintai mantan suamimu.""Tapi aku khawatir sama mereka,""Tenang, ada aku."Ammar adalah sepupu dari Bang Fahmi, dia adalah anak bungsu dari Tante Anni. Setahuku anak ini masih kuliah semester akhir. Dia juga terlihat sering ke rumah ibu. Jadi laki-laki itu yamg menjadi mata-mata ibu."Kamu pulang aja sana. Nanti malah ketahuan.""Iya ... Iya. Aku mau ke rumah ibu dulu."Akupun menurut apa yang dikatakan Ammar. Pria itu tengil suka ketas ketus. Bahkan memanggilku saja tidak mau dengan sebutan 'Mbak' padahal jika diurutkan seharusnya Ammar adik sepupu dari Bang Fahmi. Walaupun umurnya denganku lebih tua anak itu setahun dariku.Bahkan karena ketengilannya itu, dia kuliah saja sampai lima tahun lebih. Entah apa yang dia kerjakan di kampusnya. Seharusnya dia lebih dulu lulus kuliah di bandingkan aku. Awalnya memang pria itu tidak mau lanjut kuliah. Setelah lulus SMA, dia sempat nganggu satu tahun, sebelum lanjut kuliah.Aku pesan ojek online setelah sampai di depan gang. Sebenarnya rumah ibu tidak terlalu jauh, tapi kalau jalan kaki masih ngos-ngosan juga.Wanita yang aku anggap sebagai ibu kandungku itu tengah menyiapkan ketering untuk sebuah sekolah islam terpadu yang tak jauh dari rumah ibu. Sekolah itu merupakan salah satu sekolah yang berlangganan dengan katering ibu.Ada tiga orang yang membantu ibu menyiapkan keteringnya. Dan kadang Mbok Minah juga bantu-bantu, ketika tugas utamanya sudah selesai beliau kerjakan."Lho, kok udah sampai sini, Mir," sapa ibu."Tadi ngecek anak-anak dulu, Bu. Duh ... Ternyata Bang Fahmi bawa perempuan itu pulang ke rumahnya.""Yang bener kamu, Mir? Perasaan semalam Ammar kasih info tidak ada orang selain mereka bertiga.""Mungkin perempuan itu datangnya malam, Bu." Ibu manggut-manggut. Aku mendekat ke arah ibu-ibu yang tengah mempersiapkan ketering dan bermaksud membatu mereka."Mirna bantu ya, Bu." Tangaku sudah memegang centong nasi dan ingin membungkusnya dengan kertas berwana putih."Ini biar ibu aja, Neng. Kalau mau bantu, lipat kotak aja, yang nggak panas," sahut Bu Mimi. Tetannga ibu yang sudah membantu ibu selama keteringnitu berdiri."Iya, Mir. Sini kamu bantuin ibu lipat ini aja." Aku beringsut ke arah ibu yang sedang duduk di ruang tengah."Nanti kalau ibu udah nggak kuat jalanin usaha ini, kamu yang neruskan ya, Mir. Nanti setelah kita selesai ngerjain Fahmi, kamu belajar masak ya.""Bu, apa Ibu yakin mau mewariskan usaha ini ke Mirna. Kenapa nggak ke Mbak Jesika?""Jesika udah ibu tawari, tapi dia nggak mau. Malah dia yang nyuruh ibu kasihkan ke kamu."Yaa Allah, aku sangat beruntung sekali, ketika suamiku bertingkah dan menduakan aku, tapi ibu dan Mbak Jesika sangat menyayangiku.Kakak iparku itu memamg sudah punya usaha sendiri. Dia mempunyai salon kecantikan dan sudah punya produk sendiri. Ya ... Dia adalah dokter kecantikan. Walaupun karirnya sudah melejit, tapi dia tidak besar hati seperti Bang Fahmi.Mereka berdua seperti langit dan bumi. Bang Fahmi orangnya suka pamer dengan pencapaiannya. Suka memuji dirinya sendiri, sementara Mbak Jesika orangnya rendah hati dan tidak pernah pamer dengan pencapaiannya."Tapi, Mirna bukan darah daging Ibu,""Iya. Memang bukan, tapi darahmu mengalir dalam tubuh kedua cucu-cucu ibu. Ibu khawatir kalau Fahmi yang nerusakan bakalan hancur. Apalagi kalau bercermin dengan kejadian kemarin, dia minta semua nafkah yang pernah dia berikan ke kamu dulu," papar wanita yang masih terlihat cantik itu."Terimakasih ya, Bu," ucapku lirih. Ada yang mengahangat di sudut netraku.Deru suara mobil terdengar berhenti di depan rumah. Tak lama suara seorang berseru pada seorang anak kecil."Itu pasti Fahmi." Ibu menebak siapa ya datang ke rumah. "Kamu masuk kamar ibu saja, Mir. Jangan sampai Fahmi tahu, kalau kamu ada di sini. Biar ibu sembunyikan sendal kamu." Aku mengangguk dan berlari ke kamar ibu, kemudian mengunci pintu kamar."Nggak mau, nggak mau ke rumah Nenek. Mau sama Papa," rengek Fauzan.Sebelumnya aku sudah memberitahu Fauzan kalau beberapa hari ini papanya akan menemani mereka kemanapun mereka mau dan menuruti jajan apapun yang mereka minta. Ternyata sugesti kemarin sangat manjur.Padahal Fauzan dan Faisal biasanya sangat antusias jika diajak main ke rumah neneknya. Lagi-lagi aku tersenyum menang melihat Bang Fahmi kerepotan mengasuh dua bocil itu."Kakak sama Adek tinggal sama Nenek dulu ya, Papa mau kerja dulu. Papa udah telat." Terdengar suara Bang Fahmi membujuk anak-anak, namun mereka semakin berteriak dan menangis."Ikut, Papa. Ikut, Papa. Nggak mau sama nenek," tangisan kedua anakku pecah.Aku beringsut mendekati jendela dan mengintip dari balik tirai. Kulihat Bamg Fahmi sedang menggendong Faisal, sementara Fauzan berdiri di sampingnya sambil menarik-narik baju Bang Fahmi yang tidak di setrika. Bajunya sangat kusut seperti habis di kunyah oleh kerbau.Sebelum aku pergi, aku belum sempat menyetrika baju, dan rata-rata itu baju kerja Bang Fahmi yang sudah satu bulan tidak aku keluarkan dari keranjang."Papa mau kerja. Kalian sama Nenek dulu!" bentak Bang Fahmi."Nggak mauuuu! Ikut Papa!" teriak Fauzan. Anak itu menangis semakin menjadi."Yaa Allah." Laki-laki itu mengacak-acak rambutnya yang biasanya selalu rapi."Kamu bawa aja ke kantor, Mi. Mereka nggak mau sama ibu.""Astaghfirullah, Mirnaaa ... Awas kamu ya kalau pulang!" Laki-laki itu menggendong kedua anaknya dengan kasar dan membawanya masuk kembali ke dalam mobil."Kamu jangan kasar gitu sama anak-anak, Mi!""Ini semua gara-gara Mirna, Bu!"***Halooo, setelah sekian lama Hiatus, akhirnya dapat wangsit juga buat update. Hihihihi.***Aku sangat geram sekali mendengar perkataan Bang Fahmi. Sepertinya ada gelagat aneh dengan pria itu. Di samping tak biasa dia datang ke rumah ibunya sendi untuk bertemu denganku, Sejak kapan dia peduli dengan anak-anak? Bahkan dia berencana mengajak jalan-jalan ke puncak segala.“Ya Sudah kalau begitu, aku nggak bisa, kalau kamu mau bawa anak-anak ke puncak, silahkan, Asalkan pulang nanti jangan ada yang kurang satu pun, termasuk satu helai rambutnya. Karena aku tahu semua jumlah rambut anak-anak. Sampai berkurang satu helai rambutnya, maka kamu akan membayar dendanya 100 ribu per helai.”“Kok kamu jadi perhitungan begini, sih Mir. Mereka juga kan anak-anakku juga. Aku berhak atas mereka, Mir.”“Mereka juga berhak atas nafkah ayahnya, Bang. Yang lebih dulu hitung-hitungan siapa? Aku kan cuma aku yang kamu buat, Bang.”“Iya, oke, oke. Aku ngaku salah, tolong dong, jangan diungkit-ungkit lagi. Kamu
Aku terus mengomel sepanjang jalan ketika kami pulang dari rumah Paman. Bagaimana tidak, sudah aku bilang bagaimana sifat Paman dan Bibi ketika dihadapkan dengan lembaran kertas bernama uang. Namun bujang setengah lapuk yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai suamiku itu justru tak menghiraukan ocehanku.Benar-benar menyebalkan Ammar itu, seandainya dia bukan bosku, sudah kuketok kepalanya. “Kenapa kamu ngomel-ngomel begitu, Mir?”‘Eh, kok dia denger sih?’ batinku.“Keluarin aja, Mir uneg-unegnya.” Ammar menghentikan motornya di pinggir jalan, di bawah pohon yang cukup rindang. Sepertinya di sini tempat orang biasa duduk-duduk atau sekedar melepas penat. karena terlihat berbeda dengan pohon-pohon yang lain.“Kamu itu lho, Ammar, udang dibilang, kalau pamanku itu agal lain kalau masalah duit, kamu malah jor-joran mau kasih seragamlah, perhiasanlah. Bisa ngelunjak nanti kalau dituruti begitu. Seharusnya kamu kasih saya sekedarnya, kasih dua juga saja sudah senang mereka. Ini
Aku tarik tangan Ammar ke luar dari rumah Paman. Rumah yang menjadi saksi bisu bagaimana aku diperlakukan tidak adil oleh mereka.Mereka yang mengaku saudara, mereka yang katanya masih memiliki DNA yang sama dengan ayahku. Namun nyatanya jauh dari kata baik.Jika bisa aku mengulang waktu, sudah pasti aku dulu akan memilih hidup di kostan, daripada harus tinggal serumah dengan paman dan bibi, tetapi mereka hanya memanfaatkan tenagaku saja. Bahkan ketika aku sudah bekerja, hampir semua gajiku diambil Bibi, dengan alasan untuk membeli kebutuhan ku sehari-hari. Bodohnya aku tidak pernah berpikir menyisipkankan gajiku untuk keperluanku sendiri. Mungkin dulu aku terlalu penurut dan polos. Berpikir bahwa merekalah saudaraku satu-satunya.Hingga akhirnya aku bisa keluar dari tempat itu setelah Bu Anna melamarku untuk anak laki-lakinya dan membawaku pergi dari rumah itu. Sejak aku dan Bang Fahmi menikah, Paman memang tidak pernah menuntut apa pun dariku.Belakangan, aku baru tahu jika Setiap
Bang Fahmi berkacak pinggang sambil berjalan memutariku. Sudah seperti detektif saja dia "Kamu nggak paham juga apa yang aku tunjukkan, Mir. Sudah jelas-jelas dia itu nggak bener, masa kamu mau nikah sama laki-laki modelan seperti Ammar." Laki-laki itu berkata dengan pongkah."Memang Abang merasa lebih baik dari Ammar? Selingkuh sama istri orang, menelantarkan anak sendiri, itu yang Abang bilang baik? Seandainya memang yang Abang katakan itu benar, belum tentu juga aku mau rujuk sama Abang. Pastinya aku berpikir seribu kali untuk rujuk sama Abang. Abang pikir ngaapin aku ngurus akta cerai Kemarin kalau ujung-ujungnya untuk rujuk? Capein badanlah, Bang.""Terserah kamu, Mir. Yang penting aku sudah ingatkan kamu bagaimana kelakuan Ammar di luar sana. Seharusnya kamu membuka mata, Mir. Hanya karena kamu ingin menikahi direktur, kamu korbankan anak-anak, kamu korbankan masa depan mereka. Aku sudah berubah, aku sudah minta maaf, seharusnya kamu pikirkan dan pertimbangankan permintaanku un
Mataku mengerjap, disekelilingku ada Bu Anna, Tante Anni dan Mbak Nana--tetangga sekaligus temanku satu kompleks, mereka terlihat cemas. Aku pun bingung apa yang terjadi sebelumnya. Aku hanya ingat kalah Bu Anna datang hendak mengajakku arisan keluarga."Anak-anak mana, Bu?""Ada di depan sama Ammar dan opanya.""Maaf ya, Mir, kalau kedatangan kami justru membuat kamu syok seperti ini," ucap Tante Anni penuh sesal."Mirna hanya kaget Tan, soalnya benar-benar mendadak, sementara Mirna nggak ada persiapan apa pun untuk menyambut keluarga Tante. Mirna tahunya hanya arisan biasa.""Maaf ya, Mir. Itu si Ammar yang punya ide gila ini, katanya dia udah bilang sama kamu, Mir. Makanya kami santai-santai aja ke sini. Eh ... nggak tahunya kamu malah yang nggak tahu apa-apa. Pantesan Mbak Anna tadi juga terkejut waktu kami datang ke rumahnya kasih tahu kalau Ammar ngelamar kamu," papar Tante Anni panjang lebar.Aku melirik ibu yang sedang berbincang dengan Mbak Nana."Iya, ibu juga kaget, Mir. Am
"Maaf Pak saya ke toilet dulu."Tanpa menunggu jawaban dari Ammar, aku langsung ngacir ke toilet. Dadaku benar-benar bergemuruh, seperti ombak di lautan yang siap menerkam. Aku keluarkan botol minum dari dalam tas, lalu meneguknya.Apa-apaan Ammar ini? Kenapa dia jadikan aku sekertaris? Aku tidak enak dengan Angel, dia karyawan paling senior di sini, tetapi kenapa aku yang dia jadikan sekertaris, padahal aku baru saja bergabung di sini.Gestur tubuh Angel waktu menyampaikan pendapatnya tentang kinerjaku tadi terlihat sedang menutupi ketidaknyamanannya.Terlepas dari kata-kata yang dia sampaikan tadi. Entah dia jujur dari hati atau hanya karena tidak enak sebab dia sudah mengetahui antara aku dan Ammar sudah saling kenal.Berkali-kali aku menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Mati-matian aku jaga agar Angel tidak mengetahui hubungan kekerabatan antara aku dan Ammar, tetapi kini dia sudah mengetahui semuanya. Sekarang jabatan yang sudah lama dia inginkan pun harus kand