Share

3. Kejadian

"Rasakan kamu, Bang! Kamu belum tahu bagaimana aktifnya kedua anakmu."

Di video itu aku lihat Fauzan dan Faisal lari kesana kemari, sementara Bang Fahmi terlihat kecapaian mengejar mereka. Sesekali dia mengusap peluhnya yang membanjiri wajahnya.

Aku tersenyum puas, walaupun aku sangat merindukan kedua buah hatiku, tapi tak apa, biar Bang Fahmi merasakan bagaimana capainya aku mengasuh mereka seorang diri.

"Sial*n kamu Mirna, awas akan aku balas kamu," umpat Bang Fahmi.

Entah darimana pembidik video ini berada, sehingga suara Bang Fahmi sangat terdengar jelas. Ah ... Ibu memang the best.

Paginya, aku sengaja pulang ke rumah secara diam-diam untuk memantau keadaan anak-anak. Sebelum aku sampai di rumah, aku mampir terlebih dahulu di warung Mbak Nana.

"Kamu kemana to Mir, seharian nggak kelihatan. Itu aku lihat si Fahmi kualahan ngasuh anak-anak kalian," adu Mbak Nana.

"Ssstt ... Memang sengaja Mbak, aku biarkan Bang Fahmi ngasuh anak-anak sendirian, biar dia tahu rasanya jadi aku. Masa dia minta semua nafakah yang pernah dia kasih ke aku, apa nggak gil* dia Mbak."

"Eh, yang bener Mir?"

"Iya Mbak, dia udah nggak pulang selama satu bulan, terus kemarin tiba-tiba pulang minta semuanya."

"Wah, mamang stres suamimu itu."

"Kok kamu bisa tahu kalau Fahmi selingkuh?"

Akupun menceritakan bagaimana Fahmi ketahuan selingkuh. Awalnya aku tak percaya sama sekali waktu Nadia--temanku, mengirimkan video Bang Fahmi tengah menjemput anak SMA.

[Ini suamimu kan Mir? Aku lihat dia jemput salah satu murid di mana ponakanku sekolah]

Aku tak membalas pesan dari Nadia, aku hanya mengamati wajah laki-laki itu dan wajah si perempuan. Dan benar wajah laki-laki itu sangat mirip dengan Bang Fahmi. Bahkan baju yang dia kenakan sama persis ketika dia berangkat kerja pagi tadi.

[Mir, kamu baik-baik saja] kembali, pesan beruntun dari Nadia memenuhi jendela notifikasi handphoneku.

[Iya, aku baik-baik saja, Nad. Terimakasih infonya]

Besoknya aku sengaja menunggu di depan sekolah yang Nadia maksud. Berbekal alamat yang Nadia kirim melalui pesan singkat.

Hatiku bergemuruh melihat pemandangan yang ada di depanku. Terlihat Bang Fahmi menggandeng mesra anak SMA itu masuk ke dalam mobil.

Aku terus mengikuti pergerakan mobil Bang Fahmi menggunakan ojek online. Sementara anak-anak aku titipkan di rumah ibu mertua.

Mobil itu bergerak menuju sebauh kost-kostan mewah di pinggir kota. Tempat ya jauh dari pemukiman warga, tapi bisa aku pastikan jika fasilitas di dalamnya sangat lengkap, terlihat dari bangunan yang mewah dan juga pagar yang menjulang tinggi.

"Jadi ini kerjaan kamu selama ini, Bang."

Aku mengambil banyak sekali gambar ketika mereka tengah berangkulan mesra dan setiap gerak gerik mwreka aku bidik. Aku sengaja tidak melabarak mereka secara langsung, disamping aku tidak mau mengotori mulutku dengan berkata kasar, aku juga tidak ingin nantinya terlihat kalah jika Bang Fahmi akhirnya memilih gadis itu.

"Pulang, Pak," ujarku pada driver ojek online.

"Baik, Neng." Motor kembali melaju menyusuri jalanan yang mendadak di tutup kabut. Ah ... Ternyata mataku yang terhalang oleh air mata. Dan aku berjanji kali inilah terkahir aku meneteskan air mata untuk Bang Fahmi.

Sampai di rumah ibu, beliau langsung menyambutku dengan wajah khawatir. Mungkin karena beliau melihat aku baru saja menyeka air mataku.

"Gimana Mir?" tanya ibu mertua tak sabaran.

"Anak-anak kemana Bu? Kok sepi?"

"Tidur, tadi di tidurkan sama Minah. Jadi

Kadi gimana Fahmi?"

"Positif, Bu. Mereka memang ada hubungan sepertinya." Lantas aku menunjukkan foto-foto yang aku ambil di kost-kostan elit itu.

"Astaghfirullah, Fahmi. Tega kamu sama Mirna, sama anak-anak, sama ibu." Bu Anna memegangi dadanya sambil terus di usap-usap.

"Bu, udah ya. Jangan nangis!" Aku tahu bagaimana terpukulnya ibu saat tahu anaknya bermain gil* dengan perempun lain, kurang lebih sama halnya sepertiku.

"Kamu lepaskan dia, Mir. Dia sudah tidak baik menjadi seorang suami, apalagi menjadi seorang ayah."

"Mirna juga sudah berniat melepaskan Bang Fahmi, Bu. Tapi Mirna sangat sayang sama ibu." Aku mengusap air mata yang luruh di pipi ibu mertua.

"Kalau kalian berpisah. Kamu tetap menjadi menantu ibu. Biarlah Fahmi memilih apa yang dia mau, tapi sebelumnya kita harus kasih pelajaran pada anak itu. Nanti nanti ibu kerumah kalian." Aku mengangguk, kemudian aku pamit pulang terlebih dahulu.

Sorenya, aku sengaja masak makanan kesukaan ibu. Setelah menjemput kedua buah hatiku, aku sengaja dandan yang cantik untuk menyambut kedatangan Bang Fahmi.

Biasanya Bang Fahmi akan pulang sekitar jam delapan malam. Dulu aku percaya kalau dia pulang telat karena lembur, tapi sekarang aku yakin dia pasti singgah terlebih dahulu di kostan elit itu.

Selepas magrib, aku bergegas menidurkan anak-anak, tak butuh waktu lama, anak-anak sudah terbuai oleh mimpinya masing-masing.

Dari luar terdengar suara orang mengucap salam. Bergegas aku membukakan pintu untuk ibu mertua.

"Anak-anak sudah tidur, Mir?"

"Sudah, Bu. Baru aja."

"Bagus, bisa lebih maksimal nanti pas Fahmi datang," sahut ibu sambil berlalu ke meja makan.

"Mau makan sekarang apa nunggu Bang Fahmi, Bu?"

"Sekarang aja, Mir, ibu udah lapar."

Kamipun menikmati makan malam sambil memyusun rencana ketika Bang Fahmi datang nanti.

"Jadi itu rencana Mirna, Bu."

"Bagus-bagus, nanti kalau mobilnya sampai, kita langsung standby di depan TV ya," sahut ibu. Akupun mengangguk dan tersenyum miring. Membayangkan bagaimana reaksi Bang Fahmi ketika pulang kerja nanti.

Tepat jam depalan malam mobil Bang Fahmi terdengar mamasuki garasi rumah. Aku mengintip dari jendela ruang tamu untuk memastikan dialah yang datang.

Setelah yakin kalau itu Bang Fahmi, aku memberi kode pada ibu untuk menjalankan aksi. Kemudian ibu membulatkan jarinya, tanda beliau sudah oke.

Akupun menyusul ibu ke ruang tengah dan duduk di depan televisi sambil menonton drama kolosal yang sudah aku buat sebelum magrib tadi.

"Sayang, Abang pulang." Terdengar suara Bang Fahmi memanggilku.

"Masuk aja, Bang. Aku lagi nemenin ibu nonton TV nih. Derap langkah suamiku itu telah sampai di perbatasan antara ruang tamu dan ruang tengah. Aku segera menyambutnya dengan lembut.

"Nonton apa?" tanya laki-laki itu.

"Ini lho, Mi. Lagi nonton drama percintaan anak SMA. Masih SMA aja udah berani c1um-c1um bib*r di tempat umum," sahut ibu yang masih fokus dengan layar televisi.

"Masa sih, lihat." Laki-laki itu terlihat antusias. Namun setelah melihat siapa pemeran di dalam televisi, mendadak laki-laki itu syok dan kejang-kejang.

"Ma-maksudnya apa ini, Mirna?" Suara Bang Fahmi tergagap. Bagaimana tidak, puluhan foto dan video yang aku bidik siang tadi aku jadikan satu slide video kompilasi. Dan ibunya sendiri yang menonton kelakuan bejadnya.

Tak ada amarah di antara kami. Aku dan ibu cukup tenang mengatasi hal ini.

"Pergi kamu tanpa membawa apa-apa!" teriak ibu mertua, sementara aku hanya tersenyum miring di belakang Bu Anna.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status