"Oke, mas. Ini baru permulaan!" gumam Ratri.
Hari ini, sengaja Ratri membuatkan makanan berupa sayur katuk bening, dan menyiapkan baju ganti untuk Gina. Ia mengantarkannya ke rumah Marni, sepupunya.
"Mar, aku titip Gina, ya! Aku masih ada urusan yang sangat penting. Gina nggak rewel, kan? Nggak usah khawatir soal jajannya. Cukup kasih makan saja dia pasti anteng," ujar Ratri sambil menyerahkan makanan dan baju ganti kepada Marni.
"Baik, Mbak ... Gina memang anteng kok dari tadi. Bahkan dia sendiri ingin menginap di rumahku. Mbak percaya saja padaku. Semoga urusannya cepat selesai," sahut Marni.
Pukul 11.00, sebelum melancarkan aksinya menyelidiki Rusdi. Ratri berencana akan mengunjungi rumah mertuanya.
"Assalamualaikum, Bu ...."sapa Ratri yang telah berada di depan rumah mertuanya.
Kebetulan pintu rumah itu terbuka lebar.
"Wa'alaikumsalam ...." jawab ibu mertua Ratri yang bernama ibu Nunik dan juga adik Rusdi
yang bernama Lulu.
Terlihat di ruang tamu, keduanya tengah sibukmelihat-lihat baju baru serta sepatu baru, tanpa mempersilahkan Ratri masuk ke dalam.
"Maaf, Bu, apa boleh aku masuk?" tanya Ratri sedikit sungkan.
"Ya!" sahut ibu Nunik. Matanya menatap menantunya itu dengan sinis.
Ratri melangkah masuk kemudian bergabung bersama mereka. Tak ada sapaan yang mereka lontarkan kepada Ratri.
"Bu, kak Tiana baik banget ya, Bu. Beruntung dia menjadi anggota keluarga kita." Lulu tengah memuji seseorang.
Tiana?! Bukankah itu nama yang aku temukan di ponsel Mas Rusdi?
Ingatan Ratri kembali saat ia tak sengaja membaca pesan yang masuk ke ponsel suaminya.
"Maaf, Bu ... Tiana siapa, ya? Dia anggota keluarga kita? Kok aku tidak tahu, ya!" ujar Ratri.
Bu Nunik menoleh ke arah Ratri.
"Tentunya dia wanita yang sangat royal dan nggak pernah pelit sama Ibu. Bukan memberikan uang hanya tiga ratus ribu setiap bulan. Oh iya, kamu ada apa datang ke sini?" tanya bu Nunik, ucapannya terdengar tidak mengenakkan seolah sedang menyindirnya.
Bahkan ia sama sekali tidak menanyakan kabar cucunya.
"Mohon maaf, Bu ... Jika maksud Ibu menyindir aku. Aku bisa jelaskan. Jika mas Rusdi memberi saya nafkah cukup, aku nggak akan memberikan Ibu uang hanya sedikit. Tapi jika aku hanya diberi nafkah jauh dari kata cukup, apa yang mesti aku kasih, Bu? Terkadang untuk kami saja aku harus memutar otak. Maaf ya, Bu ... Bukan maksud aku lancang. Tapi aku harus meluruskan masalah ini. Jangan dulu menilai buruk aku, Bu." Ratri berusaha menjelaskan. Namun, bu Nunik seakan tak peduli dengan penjelasan Ratri.
"Maksud kedatangan aku kemari, aku mau tanya, apakah mas Rusdi seminggu ini menginap di sini?" tanya Ratri.
Bukan tanpa alasan, ia merasa tidak percaya jika Rusdi menginap di kontrakan temannya. Apalagi setelah mendengar status pekerjaannya. Membuat Ratri minim kepercayaan terhadap suaminya.
"Lah ... Kamu kan istrinya. Kenapa tanya ke saya? Rusdi nggak ada datang ke sini," jawab bu Nunik ketus.
"Iya, nih ... Masa tanya ke kami. Mas Rusdi kan sudah kamu miliki, Mbak. Sudah kamu kuasai. Kenapa sekarang malah tanya ke sini? Mbak kalau ada masalah, urus saja sendiri. Jangan bawa-bawa kami," seloroh Lulu.
Ratri menghela nafas kasar. Dari semenjak menikah dengan Rusdi, perangai mereka memang seperti ini. Tidak ada kata ramah, kecuali di hadapan orang-orang, hanya untuk pencitraan semata.
"Sepatunya bagus banget ya, Bu? Pasti harganya sangat mahal!" ujar Lulu dengan tatapan mendelik sinis ke arah Ratri.
Diam, mungkin itu lebih baik. Jika dilawan, mungkin akan lebih parah melawan Ratri. Terlebih Ratri masih menghormati bu Nunik. Tak ingin ia mencari masalah dengan wanita paruh baya itu.
Ratri menunduk, semakin bingung dengan keadaan ini. Terlebih melihat sikap mertua dan adik iparnya, terlihat tidak suka akan kedatangan Ratri.
"Mohon maaf, aku hanya bertanya. Aku kira dia menginap di sini. Soalnya sudah seminggu ini dia tidak pulang." Tak ada sahutan sama sekali dari mereka berdua. Keduanya sibuk mencoba sepatu baru.
Ratri terdiam sambil melihat mereka berdua. Sudah lama Ratri tidak berkunjung ke rumah mertuanya.
Namun, sekalinya ia berkunjung, hanya sambutan tak mengenakan yang ia dapat. Apakah seburuk itu menantu perempuan di keluarga sang suami?
"Bu, Gina sudah masuk sekolah. Dia ... Sudah masuk TK," imbuh Ratri, memberitahu mertuanya tentang cucunya. Ia berusaha mencairkan suasana yang terasa tegang ini.
"Oh ya? Bagus ... Urus yang benar anak kamu," sahut bu Nunik.
"Apa ... Ibu nggak kangen gitu sama Gina?" tanya Ratri.
Lagi-lagi hanya diam yang menyelimuti ruangan itu. Mereka enggan untuk sekedar ngobrol dengan Ratri.
Melihat perangai mereka, Ratri memutuskan untuk pulang saja. Rasanya akan percuma jika bertanya kepada mereka. Ratri pun berpamitan pulang.
***
Pukul 16.00, Ratri telah berada di depan kantor Rusdi. Sengaja Ratri berdiam di seberang kantor, menunggu dengan menggunakan masker.
Tak berselang lama, pria yang sangat ia kenali keluar sambil berbincang dengan salah satu pegawai di sana.
Ratri menilik keadaan di sana. Namun, ia tak melihat motor yang biasanya Rusdi gunakan. Lalu, jika motornya tidak ada, Rusdi akan naik kendaraan apa?
Ratri kemudian mencoba menghubungi nomor Rusdi. Ia mulai menempelkan ponsel itu di telinganya.
"Aktif," batin Ratri.
Rusdi yang mendengar ponselnya berdering, segera melihat layar ponselnya tersebut. Segera Rusdi menerima panggilan telepon itu.
"Halo, Rat ... Ada apa?" tanya Rusdi yang berdiri di samping mobil mewah. Apakah itu mobilnya?
Dengan hati-hati, Ratri menjawab pertanyaan Rusdi.
"Nggak apa-apa, Mas ... Aku hanya ingin bertanya, kapan acara di kantor tempat kamu kerja selesai? Aku dan Gina sangat merindukanmu. Apakah kamu bisa pulang sebentar saja, temui kami dan hibur Gina supaya dia nggak sedih lagi. Dia juga kangen dibelikan makanan enak oleh kamu," jawab Ratri.
Terlihat Rusdi menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Ia seperti sedang berpikir.
"Mas, apa kamu nggak bisa menemui anakmu sebentar saja? Apakah kerjaan kamu begitu banyak, sehingga kamu enggan menemuinya walau hanya sebentar?" tanya Ratri ketika Rusdi terdiam.
"Ya sudah, aku pulang sekarang. Aku pasti belikan makanan enak lagi buat Gina," jawab Rusdi.
Mendengar itu, Ratri sedikit lega. Walau ia merasa kecewa dengan kebohongan tentang status pekerjaannya. Namun, setidaknya Rusdi masih ada rasa peduli kepada Gina.
"Ya sudah, Mas ... Aku tunggu!"
Rusdi mengakhiri obrolannya dengan Ratri. Akan tetapi, Ratri melihat Rusdi memasuki mobil mewah itu. Apakah benar itu mobilnya?
Selain meninggalkan ponsel baru untuk Gina. Lena pun meninggalkan nomornya, supaya Gina menghubunginya.Gina kemudian menghubungi Lena untuk mengucapkan terima kasih. Lena begitu perhatian. Bersyukur ia memiliki ibu sambung sepertinya. Selain itu, Gina juga menanyakan kabar tentang orang tuanya. Belum begitu lama tinggal di kampung, Gina merasa sangat merindukan mereka. Entah sedang apa mereka, apakah mereka masih sibuk mencari Gina?Telepon pun tersambung, Lena segera mengangkatnya."Halo, Bunda. Bunda di mana sekarang? Maaf, tadi kata Nenek saat Bunda berkunjung, akunya nggak ada di rumah. Aku sedang ada urusan di luar. Oh iya, terima kasih banyak ya, Bun ponsel dan uangnya. Kebetulan sekali aku sangat membutuhkan ponsel ini," ucap Gina."Halo, Sayang. Iya tidak apa-apa. Bunda ada di jalan, sebentar lagi sampai di rumah," sahut Lena."Em ... Bunda, bagaimana kabar ayah? Terus ibu dan ayah Saga? Bunda juga apa kabar? Kangen aku sama kalian," imbuh Gina."Kabar ibu dan ayah Saga baik-
Beberapa saat kemudian, Farrel dan tim kepolisian kembali dengan tangan kosong. Rumiah telah lolos dari kejaran mereka. Sehingga membuat Rumiah ditetapkan menjadi DPO."Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, kami akan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencari keberadaan saudari Rumiah." Polisi pun pamit dari rumah Farrel."Bagaimana ini? Keadaan ini belum aman jika Rumiah masih bebas berkeliaran. Bisa saja sewaktu-waktu, dia kembali mencari Ayah dan memaksa lagi untuk memberikan semua milik Ayah. Bahkan tak segan membuat Ayah menderita lagi." Farrel merasa khawatir.Mereka terdiam untuk beberapa saat. Namun, beberapa saat kemudian Gina mengutarakan pendapatnya."Em ... Bagaimana kalau Om Romi ikut kita ke kampung saja, Rel. Sekalian kita jelaskan kepada ibu kamu," imbuh Gina.Farrel menoleh ke arah ayahnya. Pak Reno pun ikut menimpali, "Ide yang bagus. Memang sebaiknya untuk sementara waktu, Ayah kamu harus kamu bawa dari rumah ini. Bahaya jika dibiarkan tinggal sendirian, seme
"Ya Tuhan, Gina!" teriak Rumiah, ketika Gina terbatuk dan menyemburkan air di dalam mulutnya pada berkas itu."Aduh, maaf-maaf. Aku tidak sengaja, biar aku bersihkan berkasnya," ucap Gina.Gina kemudian merebut berkas itu, lalu berusaha mengeringkannya menggunakan ujung kerudung yang dipakainya."Ya ... Sobek," ujar Gina.Rumiah melotot tajam, melihat apa yang dilakukan oleh Gina. Namun, pak Reno dan juga Farrel menahan tawa atas apa yang terjadi."Kamu, ya! Kamu apakan berkas ini? Kurang ajar kamu, Gina!"Rumiah melayangkan tamparan ke arah Gina. Namun, secepatnya Farrel menahan tangan Rumiah."Berani menampar dia, maka rekaman itu akan aku berikan ke polisi dan aku sebar luaskan." Farrel memberi ancaman.Rumiah menepis tangan Farrel, ia berbalik badan menghadap Farrel."Rekaman apa yang kamu maksud? Bukankah rekaman itu sudah aku hapus? Jangan main-main denganku, Farrel. Aku tidak bisa kamu kelabuhi. Aku bukan wanita bodoh seperti yang kamu pikirkan," cetus Rumiah.Farrel tertawa be
Rumiah membeliak, saat melihat kak Reno memperlihatkan rekaman kejahatannya barusan. Farrel, Gina dan pak Reno tersenyum puas atas bukti yang telah mereka dapatkan."Sialan kalian semua, ternyata kalian menjebakku. Aku tidak akan tinggal diam. Aku hanya menuntut hakku sebagai istri Romi. Tapi kalian, berani-beraninya merekamku tanpa sepengetahuanku," ujar Rumiah.Romi bangkit lalu berdiri, ia menimpali ucapan Rumiah, "Apa? Hak? Jelas-jelas aku sudah menjatuhkan talak terhadap kamu. Lagi pula, kita hanya menikah secara siri. Jadi, tidak ada hak untuk kamu menguasai apa yang aku punya.""Jelas aku punya hak, kamu hanya memberikan sebagian kecil uang dan perhiasan. Kamu jangan hanya mau enaknya saja, Romi!" sarkas Rumiah."Kamu tidak bisa bersyukur, Rumiah. Aku sudah menolongmu dari garis kemiskinan. Aku menikahi kamu, karena aku kira kamu baik. Tapi ternyata, kamu tidak lebih dari seekor ular. Beruntung aku hanya menikahi kamu secara siri. Kamu tidak ada bedanya dengan seorang penipu. K
Dua hari kemudian, Farrel bergegas membawa kembali ayahnya untuk pulang. Terpaksa ia dan Gina tidak pulang ke kampung, karena urusan bersama ayahnya sangat penting, demi menyelesaikan misinya.Sesampainya di rumah, Romi kembali dipakaikan baju yang terakhir kali ia pakai di rumah itu. Walau pun sudah tidak nyaman. Namun, demi mengelabuhi Rumiah, Romi harus memakainya lagi.Tidak hanya itu, Farrel juga sengaja menyimpan sedikit makanan mentah di atas lantai. Seolah-olah Romi telah memakan makanan itu demi bertahan hidup.Tepat pada siang hari, Farrel, Gina dan pak Reno kembali bersembunyi saat terdengar suara mobil masuk ke dalam halaman rumah. Namun, sebelumnya pak Reno telah menyimpan sebuah kamera tersembunyi di kamar itu, untuk merekam aksi kejahatan yang akan dilakukan Rumiah."Semoga rencana ini berhasil, ya Tuhan. Aku ingin melihat Ayah dan Ibu kembali bersama lagi seperti dulu, bahagia tanpa ada wanita jahat itu. Tuhan, tolong permudah jalan kami untuk mengungkap semuanya di ha
Romi menelan sedikit demi sedikit air kelapa itu. Walau pun sekujur tubuhnya tak bisa digerakkan. Namun, ia masih bisa menelan cairan yang diberikan oleh pak Reno.Romi telah menghabiskan air kelapa itu satu botol. Pak Reno membiarkan Romi setelah meminum air itu, menunggu reaksi air kelapa yang baru saja masuk ke dalam tubuhnya.Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya Romi sedikit demi sedikit mulai bisa menggerakkan tangannya. Hal itu membuat Farrel senang."Ayah coba gerakkan kakinya," ujar Farrel.Walau pun belum pulih sepenuhnya, sedikit demi sedikit kaki Romi pun mulai bisa di gerakkan. Romi pun kembali bisa berbicara walau pun belum lancar sepenuhnya."Aku akan panggilkan dokter, Romi. Kamu butuh dokter untuk memeriksa keadaan kamu," ujar pak Reno."Em ... Pak, apa nggak sebaiknya kita bawa saja Ayah ke rumah sakit? Lagi pula, wanita itu sudah pergi," sahut Farrel memberi usul."Ya, kamu benar, Farrel. Ayok, kita bawa Ayah kamu ke rumah sakit. Saya akan siapkan mobil saya dulu