Nalini tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia dipertemukan lagi dengan lelaki itu. Lelaki yang bertemu dengannya di pesawat sekaligus seorang ayah yang menuduhnya menculik seorang anak perempuan.
“Kau seperti sedang melihat hantu saja Nona,” cibir Megantara.
“Anda memang seperti hantu karena berada dimana-mana,” celetuk Nalini. kemudian dia menutup mulutnya dengan tangan. Dia menyadari bahwa yang sedang ia hadapi adalah CEO hotel ini. itu artinya lelaki di hadapannya adalah bos dari bosnya.
Megantara terkekeh, “Akupun tak menyangka jika kau adalah chef yang diterima di restoran hotelku. Aku pikir chefnya seorag pria. Dan dari penampilanmu tidak menunjukkan jika kau bisa mengelola dapur”.
Kata-kata Megantara terdengar meremehkan di telinga Nalini.
“Saya juga tidak menyangka jika Anda adalah CEO sekaligus pemilik hotel sebesar ini,” Nalini memberanikan diri untuk membalas. Tapi memang betul, pada kenyataannya Nalini pikir pemilik hotel ini adalah seorang pria yang sudah berumur, berkepala botak atau justru memiliki rambut beruban. Bukan pria muda tampan seperti di hadapannya sekarang.
“Kau tidak punya hak untuk memprotes hal itu bukan?” Megantara terlihat kesal.
Nalini mengangguk, “Sama halnya dengan Anda, Anda juga tidak boleh menebak kemampuan orang hanya dengan melihat penampilannya saja”.
“Baiklah-baiklah, karena kau sudah diseleksi dan memang sudah diterima bekerja disini. Itu tandanya kau memang memiliki kemampuan yang lebih di banding kompetitor lain. Hotel kami tidak mungkin salah dalam merekrut karyawan,” kata Megantara.
Kata-kata Megantara masih saja terdengar lebih seperti menyombongkan hotel miliknya. ‘Benar-benar tipe penguasa sombong dan angkuh,’ batin Nalini. beberapa detik kemudian setelah hening, Nalini memberanikan diri untuk bertanya.
“Maaf pak, tapi sebenarnya apa tujuan Anda mengundang saya ke sini secara langsung? Saya pikir saya hanya perlu bertemu dengan bagian personalia, lalu mulai bekerja di dapur restoran,” Nalini menunjukkan nada penasarannya.
“Aku belum sarapan, dan tugas pertamamu adalah menyiapkan sarapan untukku sekarang juga!” perintah Megantara.
Mulut Nalini menganga, “Tunggu sebentar pak, apakah ini memang cara hotel menyambut kedatangan karyawan baru?”
Megantara menaikkan alisnya, “Kau keberatan Nona? Kalau keberatan kau bisa langsung undur diri dari sini. Kami masih memiliki banyak kandidat chef yang akan dengan senang hati bekerja di sini,”
Sejujurnya Megantara juga ragu dengan ucapannya. Dia tidak benar-benar menginginkan gadis di hadapannya pergi begitu saja. Dia masih penasaran dengan citarasa makanan buatan Nalini. apakah akan memulihkan indera pengecap yang sudah lama hilang kemampuannya? atau mungkin kemarin hanyalah kebetulan saja. Dia harus memastikan itu dengan mempekerjakan Nalini.
Nalini yang benar-benar membutuhkan pekerjaan harus menurunkan egonya. Tidak mungkin dia menyerah ketika dia baru saja mulai melangkah. “Maaf pak, saya tidak bermaksud menolak perintah Anda. Saya hanya merasa heran saja, bukankah Anda bisa meminta diantarkan oleh Chef yang lebih berpengalaman di sini?”
“Hasil dari masakanmu pagi ini akan berpengaruh pada jenis kontrak pekerjaan dan jumlah gaji yang akan kau terima,” sebuah kalimat yang nampak menggiurkan bagi Nalini keluar dari mulut Megantara.
“Baik pak. Saya akan segera menyelesaikan tugas dan mengantarkannya pada Anda, permisi,” Nalini hendak berbalik. Lebih baik dia segera menjalankan perintah dibanding harus berlama-lama berada di hadapan sang CEO. Mungkin akan muncul perdebatan lagi jika dia tidak segera ke dapur restoran.
“Aku butuh sesuatu yang hangat dan berkuah. Waktumu tidak boleh lebih dari 45 menit. Aku harus segera mengikuti rapat,” Megantara memberikan ultimatum.
“Baik pak,” Nalini segera keluar dari ruang rapat. Dia ingin sekali menggerutu tapi dia memilih untuk menghela nafas. Lalu mencoba memutar otak untuk memikirkan menu apa yang harus dia sajikan sambil berjalan menuju ke restoran.
***
Sejam kemudian, Nalini benar-benar membawakan sarapan ke ruangan CEO dengan tangannya sendiri.
“Kau hampir saja terlambat, mengapa tidak bisa selesai dalam waktu kurang dari 60 menit? Kau harus kembali belajar memperbaiki manajemen waktumu,”
Nalini ingin menggerutu mendengar komentar Megantara. Namun dia menahan diri dengan sekuat tenaga. Dia hanya mengangguk. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dibandingkan dengan biasanya ketika melihat Megantara mulai memperhatikan makanan yang ia sajikan. Dan mulai menyeruput kuah sup yang uap panasnya masih mengepul itu.
Megantara mendekatkan sendok berisi kuah sup ke dekat mulutnya dan mulai menyeruput. Dia memejamkan matanya. Merasakan kehangatan menjalar di seluruh rongga mulutnya dan masuk ke tenggorokannya. Tepat seperti dugaannya. Makanan dari gadis di depannya ini benar-benar ajaib. Semua rasa rempah, bumbu-bumbu, gurih asin bisa terasa di indera pengecapnya.
Megantara hampir tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Dia seperti seorang pasien penyakit langka yang telah berhasil menemukan obatnya. Dan tak disangka justru gadis yang berkali-kali ia temui di situasi tak terduga itulah yang memiliki obatnya.
“Sup timlo?” tanya Megantara begitu mengenali nama makanan di hadapannya.
“Ya betul sekali,” Nalini sedikit lega karena Megantara tidak langsung mencela makanannya namun justru menebak dengan benar jenis sup yang ia hidangkan.
“Aku baru saja membaca CV milikmu dan mengetahui bahwa kau sudah berpengalaman bekerja di luar negeri. Tapi ternyata kau justru menghidangkan makanan Indonesia ke hadapanku kali ini. itu sedikit mengherankan,”
“Ya Pak. Karena sup timlo ini sangat cocok untuk sarapan. Saya tidak mengetahui kriteria makanan apa yang membuat Anda suka, jadi saya mencari aman dengan memilih sup timlo. Dan ini resep autentik yang saya dapatkan dari nenek saya. Jauh sebelum saya bekerja di luar negeri.”
Megantara kembali menyendokkan isian sup kedalam mulutnya. Mengunyahnya secara perlahan. rasanya benar-benar autentik. Pikirannya melayang pada kenangan beberapa tahun lalu. Saat dia baru saja menikah dengan mendiang istrinya. Para orangtua memaksanya untuk mengajak sang istri berbulan madu. Tapi karena dia tidak mau mengorbankan waktu bekerjanya hanya karena istri yang tidak dicintainya, jadi dia justru mengajak istrinya untuk ikut serta dalam kunjungan bisnis ke Solo dengan dalih pergi berbulan madu.
Istrinya tidak menolak jika selama beberapa hari dia hanya disuruh untuk tetap tinggal di hotel saat Megantara bekerja. Namun hanya satu permintaan sang istri. Pergi sarapan sekali saja ke rumah makan yang menjual sup timlo sebagai menu andalan. Sup timlo di sana memang sangat enak, namun saat itu sang istri tetap berkomentar bahwa sup timlo buatan neneknya tetap menjadi juara.
“Tuan, mengapa Anda melamun? Apakah sup buatanku tidak enak?”
Megantara tersadar dari lamunannya. Dua kali makanan gadis ini membuatnya teringat pada sang istri yang sudah meninggal. Sungguh diluar nalarnya.
“Kau lulus ujian dariku Nona Nalini. aku ingin memberikan padamu penawaran khusus. Aku akan memberikan gaji dua kali lipat dibanding gajimu di restoran hotel ini. jika kau mau menjalankan tugas dariku,”
Nalini terkejut. Tapi sepertinya tawaran dari bosnya itu sangat menggiurkan. Dia memang sedang membutuhkan banyak uang agar dia bisa mencari tempat tinggal baru. Dia tidak mungkin menumpang di rumah Sandra terus menerus.
“Tugas apa yang Anda maksudkan, Tuan?” tanya Nalini langsung pada inti.
“Menjadi koki pribadiku,” jawab Megantara singkat. Dia tidak mau menyia-nyiakan waktu untuk menghabiskan sarapannya selagi hangat.
Nalini mengerutkan alis, koki pribadi? Apakah ini semacam asisten pribadi? Asisten rumah tangga?
“Aku ingin kau menyiapkan makanan untukku tiga kali setiap harinya. Aku akan memberikan bayaran yang pantas untukmu,”
“Lalu bagaimana pekerjaanku di restoran hotel ini?” Nalini kebingungan.
“Tentu saja kau masih tetap melakukan pekerjaan sebagai koki di restoran hotel ini. tapi tugas tambahannya adalah menyiapkan makan untukku,” terang Megantara.
“Apakah aku harus menerima tawaran ini? atau aku boleh menolak?” Nalini mengecek apakah Megantara benar-benar serius dengan penawarannya.
“Aku harap kau mau menerimanya karena ini kesempatan langka. Tidak semua orang seberuntung dirimu. Aku tidak menawarkan pekerjaan ini kepada sembarang orang dan gajinya tidak main-main,”
Nalini merasa ragu jika harus memutuskan sekarang. Sepertinya akan menjadi tantangan tersendiri baginya jika harus melayani bos besarnya itu. Megantara terlihat seperti bukan orang yang mudah untuk dihadapi. Tapi di satu sisi dia membutuhkan uang. Jika dia mendapatkan gaji yang berkali lipat dari gaji pada umumnya, tentu dia akan semakin cepat mengumpulkan tabungan.
Nalini menghembuskan nafas lalu berkata, “Jika aku mengajukan syarat, apakah Anda akan menyetujuinya?”
“Syarat?” alis Megantara berkerut.
Nalini menunggu penjelasan dari Megantara dengan terus menatap pria itu. "Apakah kau ingat bahwa saat kita masih kecil kita pernah bertemu? Di acara ulang tahun perusahaan ayahku. Kau datang bersama ayahmu," kata Megantara. Nalini mencoba mengingat. "Kau menolongku yang sedang dirundung oleh beberapa teman seusiaku. Gadis kecil pemberani," Megantara memberikan petunjuk. Nalini mengingat sesuatu."Tunggu dulu, apakah kau laki-laki gembul berkacamata?" tanyanya saat mengingat kejadian beberapa tahun silam. Megantara mengangguk. "Kau menjatuhkan jepit rambut ini. Sepertinya begitu khusus dibuatkan oleh seseorang untukmu," kata Megantara. "Ya. Ini pemberian ibuku. Ibuku membuatkan milikku dengan inisial NN dan milik Nalita dengan NT. Aku menangis semalaman karena kehilangan jepit rambut ini. Tapi mengapa kau masih menyimpannya sampai sekarang? Ini sudah sangat lama.Megantara tersenyum menatap jepit rambut itu. "Seperti di film-film. Aku jatuh cinta dengan gadis pemilik jepit rambut i
"Mengapa kau memintaku yang membebaskanmu?" tanya Megantara mendengar penuturan Nalini dengan raut wajah serius. "Karena hanya kau yang bisa. Aku sadar, yang selama ini paling terluka adalah kau, maafkan aku," kata Nalini tulus. Megantara tersenyum miris. Dia memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Aku sudah mencoba memilih untuk pergi agar kau tidak semakin terluka. Tapi ternyata caraku salah. Tuhan tidak merestui itu karena pada akhirnya kau bisa kembali menemukanku. Saat ini aku tau, kau membawaku dan menempatkanku disampingmy semata-mata agar aku bisa menebus kesalahanku. Kau sengaja bersikap dingin, acuh, seolah tak peduli padaku," Nalini berkata panjang lebar lalu menunggu respon dari Megantara yang masih saja diam. "Lalu kau menerima sikapku?" Megantara justru balik bertanya. "Tidak masalah jika kau bersikap seperti itu karena rasa kecewamu yang begitu mendalam. Tapi sampai kapan? Aku memang egois, tapi tidak bisakah aku berharap bahwa takdir memberikanku kese
Megantara menoleh ke arah pria yang kini berdiri di sampingnya. "Rupanya Anda punya rasa percaya diri yang tinggi. Bisa memuji seorang wanita di hadapan suaminya," kata Megantara sarkas. "Sama seperti Anda. Anda juga sangat percaya diri karena Anda berani memasuki ruangan yang hanya pegawai saja yang boleh masuk meskipun Anda sudah membooking seluruh restoran," balas Haris tak kalah sarkas. Nalini sudah menyelesaikan pekerjaannya dan juga sudah meminta pelayan untuk menyajikan menu makan siang pada para tamu yang sudah datang. Nalini melirik ke arah pintu dan melihat dua pria tinggi dan tampan berdiri di sana. Nalini lantas menghampiri mereka. "Bagaimana bisa kau masuk kesini?" tanya Nalini pada Megantara. "Tentu saja menemuimu. Aku ingin mengenalkanmu pada rekan bisnisku," seulas senyum terbit di wajah Megantara. Membuat Nalini justru mengerutkan alisnya. Hal yang tak disangka juga Megantara lakukan. Memeluk pinggang Nalini di hadapan Haris. Seolah menunjukkan hak milik bahwa N
Megantara mengancingkan kerah kemejanya sambil menatap dirinya di pantulan kaca. Sesekali dia melirik Nalini yang juga masuk ke dalam pantulan kaca di belakangnya. Masih terlelap tidur di bergelung selimut. Tadi malam sesampainya di hotel mereka tidak banyak berkomunikasi. Saling diam dengan aktivitasnya masing-masing sampai pada akhirnya Nalini sudah tertidur lebih dulu disaat Megantara sedang berada di depan laptopnya. Mempersiapkan bahan yang harus dibahas untuk rapat hari ini. Sepertinya Nalini begitu lelah sampai saat Megantara sudah siap berangkatpun dia belum juga terbangun. Setelah selesai memakai jasnya, dia berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Menuliskan di secarik kertas yang berada di nakas lalu pergi meninggalkan Nalini tanpa berniat membangunkan. Tiga puluh menit kemudian Nalini terbangun dengan sendirinya. Dia mengedarkan penglihatannya di sekeliling ruangan dan sepi. Tidak ada pria tampan yang merupakan suaminya. Nalini melihat jam yang tertata di nakas dan melo
Megantara mengatur nafasnya. Berada di dekat Nalini membuat detak jantungnya tak beraturan. Apalagi semenjak menikah, Nalini terlihat lebih cantik di matanya. Sulit rasanya untuk mengelak. Tapi dia harus ingat misi balas dendamnya saat menikahi Nalini. Membiarkan Nalini tetap di sampingnya. Tapi tidak dengan memberikan cintanya. Baru berapa hari namun rencananya terancam gagal jika dia tak bisa mempertahankan egonya dan juga luluh dengan Nalini.Megantara membasuh wajahnya dengan air keran. Menatap pantulan dirinya di kaca. Megantara merutuki kebodohannya sendiri. Dia harus mengembalikan akal sehatnya lalu memperingatkan dirinya untuk menjaga jarak dari Nalini. Mungkin itu yang harus ia lakukan agar bisa mempertahankan pendiriannya. Megantara membuka pintu kamar mandi dan keluar. Nalini sedang duduk di atas tempat tidur sambil menatap ke arah kamar mandi. Menunggu suaminya muncul. "Untuk apa kau melihat kesini. Tidurlah. Sudah malam," perintah Megantara. "Aku menunggumu. Kau terli
"Aku tidak tau harus mendefinisikan seperti apa tentang pernikahanku," jawab Megantara terhadap pertanyaan dari Niko. "Jujur saja, kau pasti bahagia karena bisa menikah dengan gadis yang kau cintai. Aku tidak bisa membayangkan jika saat itu kau jadi menikah dengan adikku. Akan jadi seperti apa kehidupanmu nantinya," kata Niko dengan senyum tulusnya dan menunduk di akhir kalimatnya karena malu. "Entahlah. Cinta? Aku tidak yakin apakah masih ada cinta dihatiku untuk gadis itu," Megantara mendesah. "Tapi kaupun juga tidak yakin apakah kau benar-benar membencinya atau tidak. Aku rasa ini tentang waktu, waktu yang akan berbicara," kata Niko. Megantara mengerutkan alis. Dia tau bahwa perkataan Niko ada benarnya. Megantara juga tak bisa terlalu yakin terhadap rasa benci dan marahnya pada Nalini. ***Megantara pulang larut. Semestinya di hari-hari awal pernikahannya, seorang suami tak akan meninggalkan pengantinnya hingga larut. Tapi Megantara seperti sengaja. Sengaja menjaga jarak dari N