Aku duduk di samping Mas Rasya dengan jantung berdetak kencang. Ini adalah hari pernikahan kami. Mama yang duduk di dekatku, berkali-kali mengusap wajahku yang berkeringat dingin dengan tisu. Sungguh. Rasanya tegang bukan main. Juga amat gugup. Di seberangku, Qila dalam pangkuan Mas Hanif terus berceloteh riang. Adnan di sebelah Bapak tak henti mengangkat HP ke udara, menciptakan cahaya keperakan yang terus melesat ke arah kami. Entah ke mana Mbak Ratih yang selalu tampak tak menyukaiku itu. Aku tak pernah melihatnya satu Minggu terakhir ini."Saksi?""Saaah."Perasaan sedih yang sejak tadi mendekam di benak tak dapat lagi kubendung, akhirnya meluap dalam butiran air mata. Dadaku sesak bagai ditindih berton-ton benda berat. Aku terisak lirih. Mas Rasya mencondongkan tubuh mendekat lalu mencium keningku sekilas. Tentu, ini hanya formalitas karena semua orang terus menatap ke arah kami. Beberapa cahaya keperakan tak henti melesat ke wajah kami berdua."Ciee, sudah sah sekarang," kata M
POV Rasya."Kenapa sih, kamu?! Ish."Aku memicingkan mata. Tanpa menjawab, ia menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Kuhela napas dalam saat menyadari arti ucapannya tadi. Sedang datang bulan, katanya? Aku mengerutkan kening. Ish. Seolah aku bakal menggarapnya saja. Jangankan melakukan itu dengannya, hanya tidur seperti ini saja sudah membuatku tak nyaman. Kalau bukan karena dia perempuan, tentu sudah kusuruh tidur di sofa. Ibu juga, bisa-bisanya iseng mengunci pintu kamar tamu. Aku mendesah kuat, kembali menatap layar HP saat terdengar notif beruntun.Ting!Ting!Ting!Kulirik Bocah di sampingku lalu membuka grup WA yang hanya terdiri dari aku, Dewa, Rendi dan Asep.(Aku menikah dengannya? Seperti tak ada perempuan lain saja) ?Dari Dewa.(Kalau suka ya bilang suka aja, Gaes, tak perlu muna). Icon tertawa dengan dua percikan biru di kiri dan kanan menyerupai air mata. (Bro-broo, gengsi tapi diembat juga.) Chat dari Rendi.(Kita dilupain, Gaes. Gak dianggap teman.) Asep.Kumaafin
Aku memicingkan sebelah mata, silau oleh cahaya lampu. Perlahan, kurentangkan tangan dan kaki, mengernyit saat merasakan kakiku tak dapat bergerak bebas. Aku menoleh dan tersentak kaget mendapati diri berada di lengan Mas Rasya sementara satu tangan Mas Rasya melingkari tubuhku. Dengan jantung berdegup kencang dan dada berdebar tak keruan, kuraih tangan Mas Rasya lalu menyingkirkannya dari tubuh. Dengan gerakan perlahan, aku bangkit dan berdiri, sontak membelalak saat tatapan terpacak ke jarum jam. Pukul 06.05. Sebaiknya, lekas salat subuh.Tak menunggu waktu lama, aku segera mengguyur tubuh asal basah dan mengambil wudu, lalu membuka lemari Mas Rasya yang sebagian telah diisi oleh baju-bajuku. Siapa lagi yang menata ini semua jika bukan Ibu? Di mana mukenanya, ya? Aku terlonjak dan refleks menoleh saat tiba-tiba bahuku ditepuk pelan dari belakang.“Kenapa mondar-mandir, Pus?” Ibu mengernyit. Qila dalam gendongannya mengulurkan tangan ke arahku.“Cari mukena, Bu.”Ibu menatap ke ara
Kugendong Qila lalu mengajaknya menuju kamar. Sambil menyusui, kubuka googgle dan membaca-baca resep tempe mendoan dan sayur asam. Kok ribet-ribet semua resepnya. Pakai ada lengkuas dan irisan cabai merah segala.Aku menghela napas. Bodoh. Kenapa tadi harus mengaku-aku masakan Ibu sebagai masakanku? Aku kembali menghela napas, merasa begitu menyesal tapi ini sudah terjadi. Mas Rasya pasti akan bersikap sangat jutek saat ia pulang tak ada makanan yang tadi dimintanya. Baiklah, daripada tak melakukan apa-apa lebih baik mencoba. Tinggal digeprakin lengkuas sama irisan cabai lalu diberi bumbu. Sepertinya, mudah. Tapi bagaimana kalau tidak enak? Aku lagi-lagi menghela napas. Mimpi apa, aku, harus mengerjakan tugas asisten rumah tangga?Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku segera menuju pasar mencari bahan yang dibutuhkan, aseman dalam plastik putih ukuran sedang dan jagung. Karena sudah hampir jam sembilan sebentar lagi Adnan istirahat, maka kubeli donat lalu menuju ke sekolah Adnan. Se
Pov RasyaIsh. Ck. Ck. Dasar bocah. Melihatnya terus menunduk seperti itu membuatku jadi geli ingin tertawa tapi terus menahannya. Ntar bisa-bisa, dia nangis kalau aku sampai tertawa di depannya. “Enak?” tanyaku, pada akhirnya tersenyum geli melihat ekspresinya yang lucu.Tahu apa yang dia lakukan tadi? Bukannya segera mematikan ikan lalu memotonginya buat dimasak, dia malah terus bengong menatap ikan di depannya. Seolah dengan begitu, ikan tahu-tahu sudah matang saja. Pada akhirnya, aku juga yang harus turun tangan. Hais. Mimpi apa, aku, harus menggantikan posisi Rofi? Bocah ini beda banget dengan Ndari yang pintar masak. Kuah tidak cingeng.“Emmp, enak, Mas,” ucapnya dengan wajah terlihat malu. Ya lagian, siapa juga yang menyuruh bohong? Pakai mengaku-ngaku masakanku sebagai masakannya, lagi. Aku tahu benar seperti apa dirinya. Tidak bisa masak, manja, juga cingeng. Mirip banget dengan Qila.Kuraih HP lalu menekan nomer Ibu. “Halo, Bu.”“Halo, Le. Kok tumben, nelpon?”“Sini. A
Mas Rasya yang akhirnya turun tangan, membunuh ikan sekaligus memasaknya, kemudian kami makan bersama. Namun, makan siang itu tak berlangsung lama. Aku memilih segera enyah darinya yang tak henti menatap penuh ejekan. Selain itu, ia memaksa agar aku membuka mulut menerima suapan darinya, membuatku jadi terkenang Mas Rofi. Aku menghela napas dengan tangan bergerak cepat mengusap air mata. Teringat sikap Mas Rasya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, membuatku lagi-lagi ingin menangis. Dasar Mas Rasya menyebalkan! Memperlakukanku seperti anak kecil hanya karena istrinya ini masih suka menangis. Ya siapa juga yang tak menangis jika memiliki suami sepertinya? Dengan Mas Rofi, aku jarang menangis. Teringat perbuatannya tadi yang tiba-tiba menggeram seperti harimau, aku mendengkus sebal.Kuembuskan napas kuat lalu merebah di samping Qila, berbaring miring dengan tangan menyangga kepala, menatap bayiku yang terlelap tanpa beban. Damai rasanya, saat di dekat Qila. Tanganku terangk
Aku membelalak tak percaya. “Apa, Mas?!”Ia menyentak napas, terlihat begitu kesal. “Iya aku yang beli. Memang apa salahnya? Ndari juga pakai pakaian seperti itu saat tidur.”Aku terdiam menatap Mas Rasya yang lagi-lagi mendesah sebal.“Aku pakai pakaian seperti ini di depan Mas Rasya ....”Ia mengerutkan kening. Menatapku tajam.“Mbak Ndari kan istrinya, Mas.”Mata Mas Rasya terpicing. Aku meringis menyadari kebodohanku sendiri. Mas Rasya terus menatapku sinis. Ia melepas pakaian dari tubuhnya lalu melemparkannya ke arahku. Aku langsung meraihnya, mengenakannya, kemudian berbaring di sebelahnya dengan salah tingkah.“Mas Rasya gak pakai baju?” Aku mengernyit melihatnya hanya mengenakan kaus dalam cokelat gelap, membuat tubuhnya jadi terekspost.Ia langsung menuding ke arahku. “Itu kamu pakai!” Lalu menyilangkan tangan di dada kemudian memejamkan mata.Pov RasyaEmbusan angin dingin membuatku terjaga. Kuhela napas sambil bangkit duduk. Dasar Bocah. Bisa-bisanya ke pantai tak
Ditolak oleh suami sendiri padahal aku hanya minta dipeluk karena semalam memang menggigil kedinginan, rasanya amat menyakitkan. Seolah silet tajam tengah menyayat-nyayat jantungku hingga menjadi kepingan kecil. Sakiit, sekali. Aku hanya minta peluk, hanya, itu pun karena memang benar-benar membutuhkannya. Biasanya saat sakit, Mas Rofi akan memelukku sepanjang malam, kami sama-sama polos tanpa sehelai benang pun. Itu cara efektif agar suhu tubuh kembali turun. Jadi, apa salahnya aku minta dipeluk Mas Rasya? Hanya minta peluk. Ya Allah. Benar-benar tak menyangka ia bisa begitu tega.Aku menghela napas, lalu membuangnya perlahan, berharap dengan begitu rasa menyesakkan di dada segera lenyap. “Buka pintunya, aku mau ganti baju.”Aku mengusap sudut mata, sikapnya semalam begitu menyakitkan sampai aku ingin terus menangis. Kuembuskan napas pelan. “Sabar, Mas, aku sedang pompa ASI.” Padahal sebenarnya, aku tengah membuka google sambil sebentar-sebentar mengusap sudut mata yang basah.