Share

Chapter 2

"Mbak."

Aku segera memasukan ponsel Hanifa saat dia datang dan memanggil namaku.

"Mbak abis ngapain, kenapa pegang ponselku sih."

Hanifa terlihat sangat kesal, bahkan dia merebut dengan kasar tasnya hingga beberapa barang di dalam tas itu keluar. 

"Maaf dek, tadi ponselmu berdering terus. Mbak, khawatir itu panggilan penting."

"Ya jangan gitu dong, Mbak. Tetep aja gak sopan."

Aneh, sikapnya mendadak berbeda. Dia terlihat ketakutan saat melihatku memegang ponselnya. Tapi aku berusaha tetap tenang, wajah Hanifa masih ditekuk sambil membalas pesan-pesan yang masuk ke ponselnya, lalu tak lama dia pamit dan aku menyaksikan dia pergi hingga tak terlihat lagi. 

Menghela napas panjang lalu menghembuskannya, sejak pukul tiga dini hari tadi pikiranku dibuat heran dengan tingkah Mas Raihan yang menyebut nama perempuan yang tak ku kenal, lalu tiba-tiba Mas Raihan pamit berangkat sangat pagi keluar dari biasanya dan baru saja aku melihat Hanifa menerima telepon dari kontak yang namanya sama dengan nama yang disebut Mas Raihan, apakah ini kebetulan? Kenapa Hanifa begitu marah ketika aku memegang ponselnya, padahal biasanya aku sering pinjam ponselnya jika saat menginap disini. 

Bergegas menghapus semua ingatan yang tak baik dengan melakukan pekerjaan rumah. Pukul sembilan semua sudah selesai, aku menjatuhkan bobot tubuhku membuang lelah yang memburu. Biasanya Mas Raihan selalu membantuku dulu, tapi hari ini dia tampak terburu-buru. 

Asyik berselancar membuang rasa lelah, lalu tak lama panggilan dari Shofa segera ku angkat. 

"Assalamualaikum, Shofa."

"Waalaikumsalam, Naura hari ini kamu kemana?" tanyanya di ujung sana. 

"Nggak kemana-mana, kenapa?"

"Hari ini ada butik baru di mall pusat kota, kesana yuk, ada diskon tiga puluh persen terus katanya ada beberapa koleksi baju gamis limited edition hasil design yang punya butik."

Terkesima aku mendengar penjelasan Shofa, jangan-jangan butik yang dijelaskan Shofa adalah butik yang sama dengan yang dimaksud Hanifa. 

"Naura Naura."

"Ah, i-iya. Oke, kita berangkat."

"Oke, aku jemput ya. Jangan lupa pakai baju pink katanya sebagai syarat buat bisa tambahan diskon dan kupon doorprize."

Lagi, untuk kesekian kalinya hari ini jantungku dibuat terkejut. Butik, baju pink, apakah semua ini adalah tentang hal yang sama? 

Shofa menutup panggilan, dengan segera aku mencari tahu informasi yang sedang hits di kota ini. Aku yang memang tak terlalu mengikuti informasi selalu ketinggalan tentang banyak hal di kota ini ya termasuk berita launching butik itu. 

Zahra Khaura, seorang designer muda lulusan Turki baru saja kembali ke Indonesia dengan membawa kabar gembira yaitu akan dibukanya butik khusus pakaian muslimah dengan konsep yang sangat anggun dan menambah gaya berbusana muslim yang memanjakan mata tentu saja tanpa meninggalkan mode dan tetap syar'i. Gak sabar untuk melihat beberapa gamis hasil desain Zahra? Jangan lupa datang ke butiknya yang akan launching di hari Jum'at pekan ini.

Hati kian panas membaca berita itu, ternyata memang ramai dan anehnya aku masih asing dengan perempuan itu. Segera ku cari di media sosial pink dan bukan dia yang asing aku yang tak tahu tentangnya. Ternyata dia seorang desainer muda yang berprestasi, bahkan di Turki dia sekolah dengan beasiswa penuh. Aku pun mencari informasi lain tentang perempuan itu. 

Bunyi klakson di luar membuat aku menghentikan pencarian itu dan bergegas membuka pintu. 

"Ya ampun, kamu belum siap?" 

Aku hanya tersenyum memperlihatkan barisan gigiku yang putih rapi. 

"Masuk dulu, aku baru selesai mengerjakan kerjaan rumah. Maklum IRT Sholehah."

"Belagu, bilang aja malesan."

Aku hanya tersenyum saja, Shofa masuk mengekor dari belakang setelah memarkirkan mobilnya di dalam garasiku. Setelah menyajikan minum untuk Shofa, aku pamit untuk mengganti baju. Sejujurnya malas pergi tapi aku dibuat penasaran dengan butik itu bukan tepatnya pemilik butik itu. 

"Sudah izin suami?" tanya Shofa yang membuatku ingat akan pesan Mas Raihan, jika pergi harus izin tapi mendadak aku tahu untuk meminta izin padanya. 

"Nanti aku minta izin," ucapku. 

"Jangan gitu dong, nanti aku kena lagi."

"Tenang."

Aku merangkul tangan Shofa dan mengajaknya keluar, Shofa adalah sahabatku bahkan sudah seperti saudara. Dia yang sangat gencar mendukungku untuk menerima perjodohan itu, katanya pilihan orang tua selalu yang terbaik untuk anaknya, aku sudah bersahabat sejak sekolah menengah pertama hingga SMA dan terpisah program studi di kuliah tapi kita masih satu kampus. 

Sepanjang jalan, Shofa terus memuji aku dan Mas Raihan yang di matanya adalah pasangan terbaik yang dia kenal, lima tahun selalu terlihat romantis meski tanpa hadirnya buah hati. Shofa malah selalu menyampaikan kekagumannya pada sosok Mas Raihan, bahkan dia tak jarang meminta Mas Raihan untuk mencari lelaki yang sama sepertinya. 

Aku selalu merasa menjadi perempuan paling beruntung, tapi tidak kali ini entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak mendengar Mas Raihan menyebut nama perempuan lain di dalam doanya. 

Mall hari ini sudah ramai, di area pintu masuk saja tadi sudah berderet rangkaian bunga ucapan selamat. 

"Yang punya butik ini seleb ya, rame banget," bisikku pada Shofa. 

"Iya, dia selebgram. Makanya kamu jangan kebanyakan nonton Korea mulu sampai lupa berita dalam negeri."

"Ya mending liat Korea lah, seger."

"Ya Salam, sudah punya laki baik dan tampan aja masih belum puas."

Aku tertawa terbahak, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju lantai tiga tempat dimana butik itu berada. MasyaAllah, antrinya sampai panjang. Aku nyaris menyerah tapi Shofa memohon untuk ditemani, hingga akhirnya aku hampir mendekati pintu masuk dan tanpa sengaja melihat sebuah rangkaian bunga lalu di atasnya ada balon bertulis "Selamat Zahra Khaura semoga sukses seperti impianmu." yang membuatku terheran adalah tulisan "MR. MRA" siapa pengirim bunga ini?

"Naura, ayo."

Aku segera tersadar.

"Aku ke toilet dulu ya."

"Ya ampun, nanti kamu harus antri lagi. Ini bentar lagi."

"Gak apa-apa, gak kuat."

Aku bergegas pamit, rasanya ada yang sangat menyesakan memang belum tentu karangan bunga itu dari Mas Raihan, tapi ini soal itu? Rasanya aku tak bisa melanjutkannya, akhirnya aku memilih pulang tanpa memberitahu Shofa, biarlah nanti aku pamit padanya setelah sampai di rumah. 

Saat turun menggunakan eskalator tanpa sengaja tepat di depan sana, aku melihat lelaki yang sangat aku kenal tengah berjalan menuju lantai atas dengan seorang perempuan tapi aku tak bisa mengenalinya, pikiranku kian kacau. Ingin mengejar tapi rasanya aku tak sanggup jika hal itu sesuai dengan apa yang ada di benakku. 

Sesampai rumah aku tak sabar untuk segera menanyakan hal ini pada Mas Raihan, aku masih punya rasa kasihan dengan tidak menegurnya di depan banyak orang tadi dan memilih bertanya saat dia nanti datang. Siapa perempuan itu, Mas?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri mental babu ya kayak gini.
goodnovel comment avatar
Bu Iim
payah kamu,malah pulang kalau bertanya paling jawabannya kebohongan,kalau lgsung lihat kamu gak oerlu bertanya lagi kan gak penasaran. payah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status