LOGIN"Mbak."
Aku segera memasukan ponsel Hanifa saat dia datang dan memanggil namaku.
"Mbak abis ngapain, kenapa pegang ponselku sih."
Hanifa terlihat sangat kesal, bahkan dia merebut dengan kasar tasnya hingga beberapa barang di dalam tas itu keluar.
"Maaf dek, tadi ponselmu berdering terus. Mbak, khawatir itu panggilan penting."
"Ya jangan gitu dong, Mbak. Tetep aja gak sopan."
Aneh, sikapnya mendadak berbeda. Dia terlihat ketakutan saat melihatku memegang ponselnya. Tapi aku berusaha tetap tenang, wajah Hanifa masih ditekuk sambil membalas pesan-pesan yang masuk ke ponselnya, lalu tak lama dia pamit dan aku menyaksikan dia pergi hingga tak terlihat lagi.
Menghela napas panjang lalu menghembuskannya, sejak pukul tiga dini hari tadi pikiranku dibuat heran dengan tingkah Mas Raihan yang menyebut nama perempuan yang tak ku kenal, lalu tiba-tiba Mas Raihan pamit berangkat sangat pagi keluar dari biasanya dan baru saja aku melihat Hanifa menerima telepon dari kontak yang namanya sama dengan nama yang disebut Mas Raihan, apakah ini kebetulan? Kenapa Hanifa begitu marah ketika aku memegang ponselnya, padahal biasanya aku sering pinjam ponselnya jika saat menginap disini.
Bergegas menghapus semua ingatan yang tak baik dengan melakukan pekerjaan rumah. Pukul sembilan semua sudah selesai, aku menjatuhkan bobot tubuhku membuang lelah yang memburu. Biasanya Mas Raihan selalu membantuku dulu, tapi hari ini dia tampak terburu-buru.
Asyik berselancar membuang rasa lelah, lalu tak lama panggilan dari Shofa segera ku angkat.
"Assalamualaikum, Shofa."
"Waalaikumsalam, Naura hari ini kamu kemana?" tanyanya di ujung sana.
"Nggak kemana-mana, kenapa?"
"Hari ini ada butik baru di mall pusat kota, kesana yuk, ada diskon tiga puluh persen terus katanya ada beberapa koleksi baju gamis limited edition hasil design yang punya butik."
Terkesima aku mendengar penjelasan Shofa, jangan-jangan butik yang dijelaskan Shofa adalah butik yang sama dengan yang dimaksud Hanifa.
"Naura Naura."
"Ah, i-iya. Oke, kita berangkat."
"Oke, aku jemput ya. Jangan lupa pakai baju pink katanya sebagai syarat buat bisa tambahan diskon dan kupon doorprize."
Lagi, untuk kesekian kalinya hari ini jantungku dibuat terkejut. Butik, baju pink, apakah semua ini adalah tentang hal yang sama?
Shofa menutup panggilan, dengan segera aku mencari tahu informasi yang sedang hits di kota ini. Aku yang memang tak terlalu mengikuti informasi selalu ketinggalan tentang banyak hal di kota ini ya termasuk berita launching butik itu.
Zahra Khaura, seorang designer muda lulusan Turki baru saja kembali ke Indonesia dengan membawa kabar gembira yaitu akan dibukanya butik khusus pakaian muslimah dengan konsep yang sangat anggun dan menambah gaya berbusana muslim yang memanjakan mata tentu saja tanpa meninggalkan mode dan tetap syar'i. Gak sabar untuk melihat beberapa gamis hasil desain Zahra? Jangan lupa datang ke butiknya yang akan launching di hari Jum'at pekan ini.
Hati kian panas membaca berita itu, ternyata memang ramai dan anehnya aku masih asing dengan perempuan itu. Segera ku cari di media sosial pink dan bukan dia yang asing aku yang tak tahu tentangnya. Ternyata dia seorang desainer muda yang berprestasi, bahkan di Turki dia sekolah dengan beasiswa penuh. Aku pun mencari informasi lain tentang perempuan itu.
Bunyi klakson di luar membuat aku menghentikan pencarian itu dan bergegas membuka pintu.
"Ya ampun, kamu belum siap?"
Aku hanya tersenyum memperlihatkan barisan gigiku yang putih rapi.
"Masuk dulu, aku baru selesai mengerjakan kerjaan rumah. Maklum IRT Sholehah."
"Belagu, bilang aja malesan."
Aku hanya tersenyum saja, Shofa masuk mengekor dari belakang setelah memarkirkan mobilnya di dalam garasiku. Setelah menyajikan minum untuk Shofa, aku pamit untuk mengganti baju. Sejujurnya malas pergi tapi aku dibuat penasaran dengan butik itu bukan tepatnya pemilik butik itu.
"Sudah izin suami?" tanya Shofa yang membuatku ingat akan pesan Mas Raihan, jika pergi harus izin tapi mendadak aku tahu untuk meminta izin padanya.
"Nanti aku minta izin," ucapku.
"Jangan gitu dong, nanti aku kena lagi."
"Tenang."
Aku merangkul tangan Shofa dan mengajaknya keluar, Shofa adalah sahabatku bahkan sudah seperti saudara. Dia yang sangat gencar mendukungku untuk menerima perjodohan itu, katanya pilihan orang tua selalu yang terbaik untuk anaknya, aku sudah bersahabat sejak sekolah menengah pertama hingga SMA dan terpisah program studi di kuliah tapi kita masih satu kampus.
Sepanjang jalan, Shofa terus memuji aku dan Mas Raihan yang di matanya adalah pasangan terbaik yang dia kenal, lima tahun selalu terlihat romantis meski tanpa hadirnya buah hati. Shofa malah selalu menyampaikan kekagumannya pada sosok Mas Raihan, bahkan dia tak jarang meminta Mas Raihan untuk mencari lelaki yang sama sepertinya.
Aku selalu merasa menjadi perempuan paling beruntung, tapi tidak kali ini entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku sejak mendengar Mas Raihan menyebut nama perempuan lain di dalam doanya.
Mall hari ini sudah ramai, di area pintu masuk saja tadi sudah berderet rangkaian bunga ucapan selamat.
"Yang punya butik ini seleb ya, rame banget," bisikku pada Shofa.
"Iya, dia selebgram. Makanya kamu jangan kebanyakan nonton Korea mulu sampai lupa berita dalam negeri."
"Ya mending liat Korea lah, seger."
"Ya Salam, sudah punya laki baik dan tampan aja masih belum puas."
Aku tertawa terbahak, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju lantai tiga tempat dimana butik itu berada. MasyaAllah, antrinya sampai panjang. Aku nyaris menyerah tapi Shofa memohon untuk ditemani, hingga akhirnya aku hampir mendekati pintu masuk dan tanpa sengaja melihat sebuah rangkaian bunga lalu di atasnya ada balon bertulis "Selamat Zahra Khaura semoga sukses seperti impianmu." yang membuatku terheran adalah tulisan "MR. MRA" siapa pengirim bunga ini?
"Naura, ayo."
Aku segera tersadar.
"Aku ke toilet dulu ya."
"Ya ampun, nanti kamu harus antri lagi. Ini bentar lagi."
"Gak apa-apa, gak kuat."
Aku bergegas pamit, rasanya ada yang sangat menyesakan memang belum tentu karangan bunga itu dari Mas Raihan, tapi ini soal itu? Rasanya aku tak bisa melanjutkannya, akhirnya aku memilih pulang tanpa memberitahu Shofa, biarlah nanti aku pamit padanya setelah sampai di rumah.
Saat turun menggunakan eskalator tanpa sengaja tepat di depan sana, aku melihat lelaki yang sangat aku kenal tengah berjalan menuju lantai atas dengan seorang perempuan tapi aku tak bisa mengenalinya, pikiranku kian kacau. Ingin mengejar tapi rasanya aku tak sanggup jika hal itu sesuai dengan apa yang ada di benakku.
Sesampai rumah aku tak sabar untuk segera menanyakan hal ini pada Mas Raihan, aku masih punya rasa kasihan dengan tidak menegurnya di depan banyak orang tadi dan memilih bertanya saat dia nanti datang. Siapa perempuan itu, Mas?
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan menepi di depan sebuah vila sederhana di pinggir hutan pinus. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin pegunungan menyergap mereka begitu turun dari mobil. Clarissa merapatkan mantel, memeluk perutnya yang kini membesar tujuh bulan. Raihan buru-buru menutup jarak, memayunginya meski hujan tinggal rintik kecil.“Pelan-pelan sayang, tangganya licin,” ucap Raihan sambil menggenggam tangannya.Clarissa tersenyum lembut. “Aku hamil, bukan rapuh, Han.”Raihan mengerling. “Buatku dua-duanya sama pentingnya.”Vila itu sederhana. Kayu cokelat tua, jendela besar, dan aroma pinus yang menenangkan. Setelah semua badai yang mereka lalui—pengintaian misterius, masa lalu yang terungkap, ancaman yang nyaris merenggut Clarissa—tempat ini terasa seperti jeda yang Tuhan kirim khusus untuk mereka.Raihan membuka pintu. Hangat. Tenang. Sunyi.Untuk pertama kalinya s
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan memasuki halaman rumah. Langit sore masih menggantung kelabu, aroma tanah basah memenuhi udara. Clarissa turun dengan perlahan, satu tangannya memegangi perut yang mulai membesar. Raihan langsung sigap memayungi, memastikan istrinya tidak menapaki ubin yang licin.“Pelan, Sayang,” ucapnya lembut.Clarissa mengangguk, meski wajahnya masih memendam kekhawatiran sejak insiden di kantor. Motor hitam itu… bayangan pengendaranya… tatapan diam yang terasa terlalu sengaja. Semua itu masih bergema seperti gema samar di belakang kepala.Begitu pintu rumah tertutup, Raihan langsung menurunkan semua tirai. Clarissa hanya memperhatikan gerak suaminya—lebih gelisah daripada tadi. Lebih protektif daripada biasanya.“Kamu mau cerita?” tanya Clarissa akhirnya, duduk di sofa sambil melepaskan high heels.Raihan menghentikan gerakannya. Bahunya menegang.“Bukan sekar
Raihan tak pernah mengira dirinya akan kembali merasakan sesuatu yang dulu hanya muncul saat ia masih jadi petugas lapangan: insting bahaya.Dan sore itu, ketika motor hitam itu mengamati mereka tanpa suara, insting itu kembali menempel di tengkuknya—dingin, tajam, dan mengancam.Di perjalanan pulang, Clarissa memperhatikan ekspresi suaminya yang tidak seperti biasanya. Raihan tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik kaca spion seolah mencari sesuatu di balik mobil-mobil yang berlalu.“Han…” Clarissa memecah keheningan dengan suara pelan.Raihan hanya menjawab, “Nanti di rumah kita bicara.”Zahra langsung menyambut mereka dengan pelukan kecil di kaki Clarissa.“Mama—Papa pulang! Lihat gambar Zahraaa!”Clarissa tersenyum, mengelus rambut putrinya. Tapi Raihan hanya menatap sekilas, kemudian memeriksa pintu, jendela, dan balkon seperti sedang memastikan sesuatu.Clarissa mempe
Rafael.Saudara kembar.Sosok yang wajahnya hampir sama dengan Raihan—hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Sorot mata yang gelap, tajam, dan penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi.Clarrisa menatap pria itu tanpa berkedip, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk dengan keras. Ia menelan ludah perlahan, mencoba memahami apa yang ada di depan matanya.Jika bukan karena luka kecil di alis dan garis keras di rahang Rafael, ia mungkin tak bisa membedakannya dari Raihan.Raihan mengangkat sebelah tangan, berdiri sedikit lebih maju melindungi Clarrisa.“Rafael,” katanya dengan suara kaku. “Kau tak seharusnya ada di sini.”Rafael menatapnya, helai rambut hitamnya jatuh sedikit ke dahi.“Oh… aku harus ada di sini, Raihan. Kau yang membuatku kembali. Kau yang memaksa aku muncul lagi. Karena kau… mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Clarrisa meng
Angin sore menyapu perlahan halaman depan rumah itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sejak siang. Langit mulai memucat keabu-abuan, seakan mengikuti suasana yang sedang berkecamuk di dalam dada Clarrisa. Ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin menahan gemetar yang sedari tadi tak mau berhenti.Raihan belum pulang.Padahal ia jelas mengatakan akan pulang lebih cepat hari ini. Ada sesuatu—sesuatu yang sejak pagi terasa aneh, ganjil, menggelitik bagian terdalam intuisi Clarrisa.Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun bayangan percakapan semalam kembali menyergapnya.Kalimat Raihan yang terpotong.Tatapan gelisah.Ponsel yang terus bergetar tapi ia sembunyikan.Dan kata terakhir yang hampir lolos dari bibirnya.“Klar… ada hal yang sebenarnya harus aku j—”Lalu percakapan itu terputus ketika alarm
Motor itu masih mengikuti mereka—tanpa menyalip, tanpa mundur, tanpa mempercepat kecepatan. Selalu dalam jarak yang sama. Seolah pengendara itu ingin memastikan satu hal: bahwa mereka tahu ia ada di sana.Raihan mempercepat mobil sedikit, tapi tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Clarissa menggenggam seatbelt erat, napasnya tak stabil.“Mas… dia masih di belakang,” bisiknya.“Biarin. Kita tetap pulang dulu,” jawab Raihan tenang, meski rahangnya mengeras jelas.Tapi tenangnya itu palsu. Clarissa mengenalnya terlalu dalam untuk percaya begitu saja. Hanya kehadirannya yang membuat pria itu berusaha setenang mungkin. Untuknya. Untuk bayinya.Lima belas menit kemudian, mereka memasuki area perumahan. Motor itu masih membuntuti. Saat mobil berhenti di depan rumah, motor itu berhenti dua rumah dari mereka. Diam. Tidak mematikan mesin. Hanya menunggu.Clarissa menelan ludah. &ldq







