Share

NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA
NAMA PEREMPUAN YANG KAU SEBUT DALAM DOA
Penulis: Nisa Noor

Chapter 1

"Jaga dia dimanapun berada Ya Allah, titip dan temani Zahra selalu."

Antara sadar dan tidak aku terhenyak seketika mendengar doa yang dipanjatkan suamiku di atas sejadah, kulirik jam di atas nakas menunjukan pukul tiga dini hari. Hal yang biasa dilakukan suamiku yaitu shalat tengah malam. Tapi kali ini ada yang membuatku terkejut hingga mata ini mendadak awas. 

Khawatir salah mendengar, aku mencoba tetap tenang bersembunyi di balik selimut memastikan suamiku akan menyebut kembali nama perempuan lain, bukan namaku atau nama ibunya sekalipun. Zahra? Nama siapa yang disebutnya?

Lama menunggu tapi Mas Raihan tak menyebut nama itu lagi. Kuhempas jauh pikiran negatif yang mendadak hadir, mungkin aku salah mendengar. Perlahan aku bangkit tentu saja membuat Mas Raihan menoleh. 

"Sudah bangun?" tanyanya dengan senyum yang selalu membuatku selalu jatuh cinta. 

"Sudah Mas, kenapa gak bangunkan aku. Kita bisa sholat sama-sama."

Mas Raihan tersenyum, lalu bangkit dan berjalan menuju ke arahku. Terduduk di sampingku, lalu ia menatap wajah ibu begitu lekat. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya.

"Ada apa sih, Mas. Kok menatap aku kayak gitu?"

"Nggak apa-apa, kamu cantik kalau bangun tidur."

"Ish, mulai gombal. Udah ah, gak bakalan bener kalau Mas Raihan udah kayak gitu, aku ke air dulu."

"Habis ke air?" tanyanya penuh arti. 

Aku tak menjawab pertanyaan Mas Raihan yang disertai tatapan genit, berjalan menuju kamar mandi. Menatap diri di cermin, mendadak pikiranku kembali kacau. Lima tahun menikah dengan Mas Raihan, meski belum dikaruniai buah hati tapi Mas Raihan tak pernah sedikitpun membuatku kecewa, bahagiaku di atas kebahagiaannya. Tapi kenapa ada nama perempuan lain yang disebutnya dalam doa malam ini, sekian malam selalu kulewati dengannya tak pernah ku dengar nama itu disebut. 

Hani, Lani dan Kiana adalah tiga perempuan yang sempat mewarnai hari-hari Mas Raihan saat muda dulu, ya ketiga nama itu Mas Raihan ceritakan. Tidak sempat berpacaran dengan mereka hanya saja sempat dekat dan sempat terbesit untuk menikahi salah satu di antara mereka. Sedangkan Zahra? Ah, nama itu belum pernah Mas Raihan ceritakan atau sengaja Mas Raihan tak menceritakan hal itu. 

Ketukan pintu membuyarkan lamunan, bayangan akan peristiwa singkat tapi mampu membangkitkan insting terpekaku menjadi seorang istri, aku mengusap wajah. 

"Kamu baik-baik saja, kan sayang?"

"Iya, Mas. Biasa mules jadi senyap," ucapku berbohong saat Mas Raihan bertanya dari luar. 

Segera kuselesaikan aktivitas di dalam kamar mandi agar Mas Raihan tak mencurigaiku. Bibir ini mengguratkan senyum di antara hati yang penuh tanya, ingin rasanya kutanyakan langsung pada lelaki yang sudah memberikan aku banyak kebahagiaan meski pernikahan kami terjadi karena sebuah perjodohan. 

Ya, aku dijodohkan dengan Mas Raihan. Orang tua Mas Raihan adalah sahabat dekat orang tuaku, mereka dulu satu gengs di sekolah. Lama tak bertemu lalu media sosial kembali mempertemukan mereka dan menyadari mereka sudah memiliki anak gadis dan bujangan. Hingga perjodohan itu terjadi, tapi sikap Mas Raihan tak ada yang janggal atau menolak justru dia sangat hangat hingga membuatku tak menolak perjodohan ini. 

"Sayang, Mas berangkat lebih pagi hari ini."

Aku sedikit mengerutkan dahi, ucapan Mas Raihan sesaat setelah aku sembahyang membuat pikiranku kembali tak benar. 

"Kenapa?" tanyanya lagi. 

"Nggak apa-apa, Mas. Kok tumben, ini kan hari Jumat biasanya agak siang." 

"Ya, kebetulan ada kerjaan yang harus segera selesai daripada besok Mas harus masuk, nanti istri Mas yang cantik manyun gara-gara weekend masuk kerja," ucapnya seraya mencubit pipi ini.

Wanita mana yang tak terbuai dengan kalimat itu, aku pun menahan malu mendengarnya tapi pipi ini mungkin sudah memancarkan warna pink kemerah-merahan yang menggambarkan suasana hati. Ah, bagaimana bisa aku berpikir Mas Raihan memiliki wanita idaman lain sementara sikapnya selama ini tak ada yang berubah sedikitpun. 

"Sini," ajaknya menarik tanganku agar ikut duduk di tepi ranjang. 

"Aku lepas mukena dulu, Mas."

"Gak perlu, aura kecantikan kamu lebih terpancar saat memakai mukena."

Lagi, hati ini bak dibawa terbang ke langit ke tujuh, terbuai dan sungguh melenakan. Lelaki itu menatapku penuh cinta, fiks tadi aku hanya cemburu. Bisa saja tadi aku salah mendengar, membuang semua itu dan menikmati waktu ini bersama lelaki yang namanya selalu tersemat di dalam hati ini. 

"Hati-hati di rumah ya, kalau mau keluar jangan lupa kabari aku," pesannya sesaat sebelum berangkat bekerja. 

"Siap komandan, hati-hati juga untuk kamu Mas. Jaga hatiku tetap di hati kamu," ucapku. 

Ada senyum di wajahnya yang kubaca dengan sesuatu yang aneh. Ah, lagi-lagi insting ini berkata lain tapi aku harus coba menepisnya. Lambaian tangan dan ucapan salam menuntaskan perpisahan pagi ini, aku kembali masuk ke dalam rumah baru tiba di ruang tamu langkah ini terhenti saat mendengar sebuah sepeda motor terparkir di luar pagar. 

"Hanifa," gumamku. 

"Assalamualaikum, Mbak." 

"Waalaikumsalam, Mas Raihan baru saja berangkat. Ada apa?" tanyaku. 

"Aku bukan mau ke Mas Raihan kok, Mbak. Aku mau ke Mbak," ucapnya. 

"Oh, ayo masuk."

Aku pun mengajak Hanifa, adik Mas Raihan satu-satunya. Tampilan sudah rapi dan sangat berbeda dari biasanya, Hanifa masih kuliah di semester lima. Dia memang sering main ke rumah, tapi kali ini beda kenapa sepagi ini sudah datang. 

"Mbak, aku boleh pinjam dress warna pink. Kebetulan aku gak punya, hari ini ada acara spesial soalnya dresscode nya pink."

Pink

Tetiba aku teringat Mas Raihan pun barusan pakai baju Pink? Apa ini sebuah kebetulan atau?

"Acara apa dek?" tanyaku. 

"Launching butik kakak kelas waktu di SMA, mbak. Dia baru balik dari luar negeri terus buka butik gitu. Aku pengen banget ketemu dia," jelasnya dengan gembira. 

"Oh, sebentar Mbak ambilkan."

Tanpa menunggu lama aku pun mengambil baju yang akan kupinjamkan kebetulan ada beberapa baju dengan warna yang diinginkan Hanifa, tubuh kami memang tak jauh berbeda, Hanifa memang sering meminjam baju, kerudung, sepatu, tas dan itu semua tak aku permasalahkan. Aku yang hanya anak tunggal, merasa bersyukur diberikan kesempatan merasakan punya adik apalagi Hanifa adalah anak yang baik. 

"Terima kasih ya, Mbak."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum, Hanifa pamit mengganti bajunya. Sementara aku kembali memikirkan kejanggalan pagi ini, teringat tadi pagi Mas Raihan menanyakan kemeja pink hadiah ulang tahunnya dariku dua tahun yang lalu, kemeja yang hanya dipakai saat aku memakai baju yang sama kebetulan baju itu memang aku pesan berpasangan. Aku tak menaruh curiga apapun tapi saat Hanifa datang dan dia pun menggunakan baju yang sama mendadak pikiran ini kembali berkecamuk. Ada apa dengan hati ini?

Dering ponsel menarikku dari lamunan, itu dering ponsel Hanifa. Aneh, biasanya aku paling tak peduli tapi kali ini merasa penasaran dengan penelpon yang sejak tadi melakukan panggilan terus. Perlahan aku dekati tas Hanifa, lalu mencari ponselnya dan saat menemukannya. 

Mata ini membulat sempurna menatap nama kontak yang melakukan panggilan pada Hanifa "Kak Zahra"? 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
jgn gampang berbunga2 mendengar rayuan gombal, biarpun dari suami mu sendiri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status