"Belum tidur."
Rasanya ingin menolak kecupan itu, tapi aku tak mau membuat Mas Raihan curiga. Aku harus bisa bersikap biasa saja. Melihatnya tadi berjalan dengan perempuan meski biasa saja tetap saja hatiku rasanya gusar.
"Mas bersih-bersih dulu ya, kamu masak kan?"
Aku hanya mengangguk, Mas Raihan mulai curiga dengan sikapku yang berbeda. Tapi dia adalah tipe lelaki yang mendiamkan aku sejenak lalu nanti dia akan berbicara setelah semua tenang.
Selepas semua selesai, aku menemaninya makan malam. Masih beruntung aku berselera menyediakan makanan untuknya, andai aku ini tak ingat pesan ibu semarah apapun tetaplah layani suami dan itulah yang aku lakukan.
"Kamu sudah makan?" tanya Mas Raihan.
"Sudah," ucapku singkat.
Mas Raihan terlihat menghela napas berat, lalu segera menyelesaikan makannya dan setelah itu menatapku dalam dan cukup lama. Aku yang mencoba menghindar dari tatapannya, rasanya tak kuat menatap dua bola mata yang dengan begitu hebat mampu menyembunyikan kebohongan begitu lama. Atau apakah karena aku yang sudah buta. Ya, buta karena perlakuannya padaku hingga bagiku dia begitu sempurna.
Mas Raihan meraih tanganku, aku mencoba menolak tapi genggamannya kuat hingga aku tak bisa mengelak lagi.
"Ada apa?" tanyanya lembut.
"Kamu yang ada apa, Mas."
"Maksud kamu?" tanya Mas Raihan.
Aku terdiam sejenak lalu terlintas semua fakta yang aku temukan ketika tadi siang selepas pulang dari mall itu.
Mataku memanas melihat semua tulisan ini, selepas pulang dari mall dan mengabarkan tentang kepergianku pada Shofa aku memilih melanjutkan mencari tahu tentang perempuan bernama Zahra Khaura itu.
Sebuah blog yang tampil sebagai saran atas pencarianku akhirnya menjadi pilihan untuk aku singgahi. Dan dari sana aku mengetahui hal yang selama ini tak pernah aku ketahui. Hal yang selama ini tak pernah Mas Raihan ungkap, perempuan itu ah rasanya aku tak sanggup membayangkan semuanya.
Zahra Khaura ternyata adalah perempuan yang pernah singgah di hati Mas Raihan cukup lama bahkan nyaris dinikahi oleh Mas Raihan tapi kehadiranku menghancurkan semuanya, Zahra Khaura menuliskan tentang kepedihan itu di sebuah blog miliknya dan mendapat banyak respon positif hingga menjadi salah satu jalan dirinya dikenal publik.
"Sayang."
Usapan lembut Mas Raihan menarikku dari bayangan itu, lalu membuatku menarik tanganku dari genggamannya.
"Aku mau tanya satu hal sama kamu."
"Apa? Ada yang aneh," tebaknya.
"Tadi Hanifa datang kesini, dia pinjam baju warna pink katanya untuk ke acara launching butik kakak kelasnya dulu. Lalu, aku ingat kalau kamu pun memakai baju pink hari ini. Apakah kamu …."
Belum selesai aku bicara, Mas Raihan sudah tertawa keras hingga membuatku semakin heran.
"Jangan bilang kalau kamu menyangka aku juga datang ke launching itu."
Aku menautkan dua alis, kenapa Mas Raihan bisa berpikiran seperti itu?
"Lho, aku gak mengira kesana lho. Jangan-jangan kamu memang kesana."
"Sayang, kalau aku kesana. Aku ajak kamu, Hanifa memang bilang mau ke launching butik dia juga minta di transfer uang takut kurang katanya. Aku seharian ini di kantor, saat jam makan siang saja keluar sama teman-teman."
Sempurna, nyaris aku percaya semua ucapan yang keluar dari bibir manis terbungkus senyum hangat itu.
"Baiklah, maaf jika aku keliru. Sekarang aku tanya sama kamu, Mas."
"Apa sayang? Tanyakan saja," ucapnya.
"Selain Hani, Lani dan Kiana adakah perempuan lain yang tak kamu ceritakan padaku?"
Mas Raihan seketika terlihat berubah raut wajahnya, bahkan tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku perlahan melemah, sikapnya terlihat aneh dan bisa kubaca ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Kenapa mendadak bertanya hal itu? Bukankah sudah kuceritakan semuanya."
"Ya siapa tahu aja ada yang tidak kamu ceritakan."
Mas Raihan kembali meraih tanganku dan menatapku dalam.
"Dengarkan aku, jika ada yang tak aku ceritakan padamu itu karena aku sangat menjaga perasaanmu. Cukup tiga nama perempuan itu yang kamu tahu karena tak ada yang istimewa selain kamu di antara mereka."
Aku menghela napas berat, kenapa Mas? Kenapa Mas harus berdusta seperti ini? Itu artinya perempuan itu istimewa hingga kamu tak menceritakannya padaku.
"Apa dengan tak menceritakannya padaku kamu bisa menjamin tak melukaiku, mas?"
"Sayang, aku mohon. Jangan mencari tahu soal apapun, kita sudah hidup bersama lima tahun tanpa ada apapun yang mengacaukan semuanya. Aku dan kamu sudah berusaha sejauh ini saling menerima dalam waktu yang tak sebentar, tolong jangan percaya dengan apapun yang kamu dengar dan kamu lihat di luar sana. Karena apapun sudah aku ceritakan padamu."
Aku terisak, pertahanan ini luluh lantah jua. Tangis ini air ini jebol dari pertahanan, membuat Mas Raihan semakin merasa bersalah, tangannya sibuk membersihkan air mata yang berjatuhan. Ini bukan air mata pertama, setiap aku telat haid dan mencoba tespek tapi selalu gagal maka air mata itu akan muncul atau setiap kali aku melihat betapa perempuan lain begitu mudah hamil maka tangisku akan pecah. Tapi kali ini berbeda, ini air mata cemburu. Cemburu buta, akan kisah masa lalu yang mendadak hadir kembali dan coba menjebol pertahanan kesetiaan Mas Raihan.
"Jangan menangis, aku akan sangat merasa berdosa dengan semua ini."
Aku tak bicara lagi, kuhabiskan air mata ini di depannya. Sampai dia akan mengakui semua kebohongan yang selama ini disembunyikan dariku. Bertahun-tahun dia masih menyimpan nama itu, bahkan mungkin dia sering menyebut nama perempuan itu dan baru malam tadi aku mendengarnya. Doa yang dipanjatkan untuk perempuan lain yang tak ada hubungan darah melainkan hubungan masa lalu sungguh membuat hatiku jauh lebih terluka dari sekedar mengetahuinya masih menyimpan nama itu.
Apa arti dari semua sikapnya selama ini? Jika nyatanya dia masih melangitkan doa untuk perempuan itu.
"Zahra Khaura, siapa dia Mas?"
Seketika pelukan Mas Raihan memudar, dia merengkuh bahuku menatap kedua bola mataku yang membasah, aku membalas menatapnya. Ada keterkejutan yang begitu hebat, dia pasti tak akan menyangka menyebut nama itu.
"Maksud kamu?"
"Siapa Zahra Khaura, Mas?" Tekanku menatapnya tajam.
"Aku gak ngerti maksud kamu, sayang. Siapa dia?"
Aku melepas rangkulan tangan Mas Raihan, sedikit menjauh darinya bahkan kini rasanya tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
"Seistimewa apa dia bagi kamu hingga kamu tak menceritakannya padaku bahkan kamu menyebut namanya dalam doa kamu," ucapku.
"Sayang, kamu…."
"Kenapa Mas? Kaget? Kaget, aku tahu semuanya iya?" Tekanku seraya beranjak dari duduk.
Mas Raihan ikut berdiri, dia mencoba meraih tanganku tapi segera kutepis. Lalu berjalan menjauh dan dia segera mengikuti ku dari belakang.
"Simpan semua penjelasanmu itu di depan kedua orang tuaku, antarkan aku besok ke rumah ayah dan ibu."
Aku melanjutkan langkahku dengan segera dan menutup pintu dengan keras lalu menguncinya hingga Mas Raihan terus berusaha menggedor pintu kamar sementara aku kembali luruh duduk lemas di depan pintu. Sesakit inikah menerima sebuah fakta ini.
"Zahra."Perempuan itu menghentikan langkahnya, aku yakin dia adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang dulu sempat aku perjuangkan namun akhirnya pasrah pada takdir yang harus memisahkan kami. Tanpa sengaja aku melihatnya di resto ini, saat aku tengah menikmati makan siang bersama rekan bisnis. "Mas Raihan."Aku tersenyum bahagia, dia masih mengingat namaku meski puluhan purnama terlewati, meski luka yang aku torehkan untuknya. Aku beranikan diri melangkah mendekatinya, rasanya begitu rindu dan terharu bisa bertemu dengannya. Aku belum sempat meminta maaf padanya dulu. "Senang bisa bertemu lagi dengan kamu, setelah lima tahun tanpa kabar darimu. Apa kabar?" tanyaku mengulurkan tangan. Zahra menatap tanganku, lalu ia tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Alhamdulillah, sayangnya aku tidak senang bertemu dengan Mas. Permisi.""Zahra, tunggu."Aku menahan kepergiannya, rasanya sayang terlewatkan begitu saja. Aku harus bisa menggunakan kesempatan ini deng
"Aku mohon buka pintunya, kita bisa bicarakan baik-baik sayang. Semua tak seperti apa yang kamu pikirkan, buka sayang."Aku menutup telinga mendengar ucapan itu, tak ingin sama sekali mendengar lagi kalimat yang keluar dari mulut lelaki pembohong. Tak kusangka lelaki yang selama ini aku coba cintai sepenuh hati hingga akhirnya berhasil menempatkannya di tempat yang seharusnya justru berbohong bahkan diam-diam mengkhianati pernikahan ini. "Sayang, aku mohon. Jangan kamu libatkan emosi dalam hal ini, semua kita lewati dengan kepala dingin, aku mohon."Mas Raihan terus berkoar dari luar, aku kian rapat menutup telinga. Setiap ucapannya bak air garam yang membuat luka kian terasa perih. Sudah tak ada lagi air mata yang mengalir, sudah kuhabiskan tadi siang saat mengetahui semua kisah perjalanan perempuan itu. Menjadi orang yang tak pernah peduli akan berita-berita viral itu mungkin bagus tapi ternyata semua itu bisa jadi hal baik untuk kita, andai dulu aku tahu ada kisah seorang gadis y
Mas Raihan terlihat sangat gelisah, aku yakin dia tengah menunggu kedatangan orang tua kita seperti yang tadi aku bilang, rasanya ingin tertawa melihat tingkahnya, berani berbohong, berani berdusta tapi tak berani bertanggungjawab. "Kamu gak ke kantor, Mas?" tanyaku. "Bukankah orang tua kita akan datang," ucapnya. "Ternyata kamu takut juga kan? Makanya jangan coba-coba bermain apa kalau kamu gak mau terbakar, Mas.""Sayang, aku tidak sedang bermain api. Aku hanya….""Sudah Mas, aku sudah bilang apapun yang keluar dari mulut kamu sudah tak bisa aku percaya. Pergilah, mereka tak jadi datang. Lagi pula aku masih bisa berpikir bijak, harusnya kamu yang datang meminta maaf pada orang tua kita telah berkhianat. Nanti siang aku izin keluar, untuk berkonsultasi soal masalah kita ini."Mas Raihan terlihat lebih terkejut dengan ucapanku ini, dia menghampiriku. "Sayang, aku rasa tak perlu seperti itu. Aku minta maaf dan kamu maafkan aku, maka semua selesai. Aku janji tak akan mendoakan dia l
Mataku nanar menatap lelaki yang baru saja memanggilku, lelaki yang membuatku kuat melawan apapun yang terjadi dalam hidup ini, lelaki yang membuatku tak punya waktu untuk memikirkan kehidupan lain selain mimpi-mimpi indahku untuk menjadi seorang desainer profesional. Mas Raihan, kenapa Allah harus mempertemukan kami kembali? Aku kembali ke negeri ini karena merasa inilah rumahku, tempat aku harus memiliki manfaat setelah berjuang bertahun-tahun di luar negeri. Berusaha tetap bersikap tenang dan tegas menghadapi lelaki itu, hingga aku berhasil pergi menjauh darinya. Baru sebulan menginjakan kaki di sini sudah bertemu dengan dia lagi, mungkin memang seharusnya aku tak memilih kota ini untuk membangun bisnis ini tapi hanya disini tempat yang paling menantang untuk mengaplikasikan apa yang sudah aku dapatkan. Pertemuan singkat tapi mampu membangkitkan kembali ingatanku ke masa lalu yang begitu menguras emosi jiwa dan raga, peristiwa yang membuatku tak bisa melupakannya begitu saja. Ra
"Halo, Mas.""Assalamualaikum, sayang.""Waalaikumsalam, Mas. Ada apa?" "Kamu dimana?" tanya Mas Raihan di ujung sana.Seketika aku baru sadar kalau aku belum memutuskan jadi pergi atau tidak."Aku di jalan, Mas. Kenapa?" tanyaku. "Aku sudah di rumah, mau aku jemput?" tanyanya. Aku terdiam, sebetulnya jarak ke rumah tinggal sebentar lagi ingin rasanya melihat mereka bertemu. Ya, melihat Mas Raihan dan Zahra bertemu, aku penasaran dengan reaksi mereka apalagi reaksi Mas Raihan. "Boleh, Mas. Aku nanti kirim lokasinya." Mas Raihan pun menutup panggilan setelah mengucapkan kalimat pamit ciri khasnya, bagaimana mungkin Mas Raihan masih bisa setenang itu setelah semalaman kita berdebar soal perempuan itu. Aku meminta supir taksi online itu kembali ke mall, mengatur sedemikian rupa rencana pertemuan mereka. Sepanjang jalan aku terbayang kembali obrolan aku dengan Zahra, di ruang kerjanya tadi. "Apakah anda masih bisa mencintai lelaki yang telah menancapkan luka hebat di hati anda?" ta
"Hey, ada apa sih?"Sikutan Shofa membuatku terkejut dan segera mencoba menenangkan diri, sejak tadi pikiranku memang melayang entah kemana, rasanya begitu rumit tapi sebetulnya akan sangat gampang jika aku berani mengambil sikap. "Lagi ada masalah?" tanya lagi.Aku menunduk, enggan berbagi tapi aku perlu teman untuk bisa mendapat solusi dari masalah ini. Lima tahun berumah tangga, ini adalah masalah terberat dan penuh misteri untukku. Jika selama ini Shofa melihat rumah tanggaku baik-baik saja, mungkin sekarang saatnya dia tahu bahwa semua tak seperti yang dilihatnya selama ini. "Hey, ayolah. Kita sudah duduk di meja ini hampir satu jam bahkan aku sudah menghabiskan semua pesananku sedangkan kamu masih ngelamunin mie semangkok di depan kamu. Come on, ladies, talk about your problem to me."Aku tersenyum tipis, rasanya geli mendengar dia pakai bahasa asing yang katanya baru dia pelajari karena lagi dekat sama lelaki asal Brunei. Ah, dasar Shofa aneh. "Nah, udah mulai senyum kan? Ay
"Maksud kamu apa ngajak mama kesana, hah?"Aku menanggapi santai kemarahan mama, semua kini sudah mulai terbuka. Allah seakan memudahkan langkahku untuk mencari tahu semua yang disembunyikan oleh Mas Raihan dan keluarganya. "Iya, mbak. Mbak tega banget melakukan ini, mbak sengaja ya mau bikin mama malu."Hanifa ikut-ikutan menyalahkan ku, bagaimana tidak hari ini Mama seakan menerima balasan atas apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu pada perempuan itu. Entah kenapa kini aku berbalik simpati padanya saat dia dengan elegan membalas semua sikap Mama. Memang sejak dulu Mama Raihan itu terkenal dengan keangkuhan dan kesombongan padahal tanpa kedua orang tuaku mereka bukan siapa-siapa. Aku hanya terdiam, menikmati bayangan peristiwa tadi di dalam butik itu. Setelah sampai di mall siang itu dan bertemu mama juga Hanifa, kami berjalan menuju butik itu. "Mbak, kenapa harus ke butik ini?" tanya Hanifa dengan sikap yang membuatku bisa menebak dia salah tingkah. "Ini butik baru, Mama be
"Dek."Aku terperanjat mendengar suara Mas Raihan, belum lagi lingkar tangan di pinggang membuat aku terpaksa mengulas senyum tipis. "Habis terima telpon atau pesan dari siapa?" tanyanya. "Biasa Shofa, Mas.""Oh, dia masih betah single."Aku melepaskan pelukan Mas Raihan, berbalik dan tersenyum padanya. Senyum penuh arti yang lemparkan pada lelaki yang ternyata menyimpan banyak rahasia yang tak aku ketahui. Berjalan menuju ranjang, Mas Raihan mengikuti dari belakang. Lalu kami sama-sama duduk di atas ranjang, pikiranku masih penasaran dengan jawaban Mas Raihan soal perempuan yang disebut dalam doanya itu. "Belum bertemu jodoh yang pas mungkin Mas, lagi pula aku baru sadar suatu hal.""Apa?" tanya Mas Raihan penasaran. Aku menatap dua bola hitam legam itu, sungguh dia tampan, baik dan selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung memilikinya. Tapi nyatanya di balik semua itu, aku adalah perempuan yang paling malang. "Saat kita sudah menemukan jodoh kita pun bisa saja