Share

Chapter 3

"Belum tidur."

Rasanya ingin menolak kecupan itu, tapi aku tak mau membuat Mas Raihan curiga. Aku harus bisa bersikap biasa saja. Melihatnya tadi berjalan dengan perempuan meski biasa saja tetap saja hatiku rasanya gusar. 

"Mas bersih-bersih dulu ya, kamu masak kan?"

Aku hanya mengangguk, Mas Raihan mulai curiga dengan sikapku yang berbeda. Tapi dia adalah tipe lelaki yang mendiamkan aku sejenak lalu nanti dia akan berbicara setelah semua tenang. 

Selepas semua selesai, aku menemaninya makan malam. Masih beruntung aku berselera menyediakan makanan untuknya, andai aku ini tak ingat pesan ibu semarah apapun tetaplah layani suami dan itulah yang aku lakukan. 

"Kamu sudah makan?" tanya Mas Raihan. 

"Sudah," ucapku singkat. 

Mas Raihan terlihat menghela napas berat, lalu segera menyelesaikan makannya dan setelah itu menatapku dalam dan cukup lama. Aku yang mencoba menghindar dari tatapannya, rasanya tak kuat menatap dua bola mata yang dengan begitu hebat mampu menyembunyikan kebohongan begitu lama. Atau apakah karena aku yang sudah buta. Ya, buta karena perlakuannya padaku hingga bagiku dia begitu sempurna. 

Mas Raihan meraih tanganku, aku mencoba menolak tapi genggamannya kuat hingga aku tak bisa mengelak lagi. 

"Ada apa?" tanyanya lembut. 

"Kamu yang ada apa, Mas."

"Maksud kamu?" tanya Mas Raihan. 

Aku terdiam sejenak lalu terlintas semua fakta yang aku temukan ketika tadi siang selepas pulang dari mall itu.

Mataku memanas melihat semua tulisan ini, selepas pulang dari mall dan mengabarkan tentang kepergianku pada Shofa aku memilih melanjutkan mencari tahu tentang perempuan bernama Zahra Khaura itu. 

Sebuah blog yang tampil sebagai saran atas pencarianku akhirnya menjadi pilihan untuk aku singgahi. Dan dari sana aku mengetahui hal yang selama ini tak pernah aku ketahui. Hal yang selama ini tak pernah Mas Raihan ungkap, perempuan itu ah rasanya aku tak sanggup membayangkan semuanya. 

Zahra Khaura ternyata adalah perempuan yang pernah singgah di hati Mas Raihan cukup lama bahkan nyaris dinikahi oleh Mas Raihan tapi kehadiranku menghancurkan semuanya, Zahra Khaura menuliskan tentang kepedihan itu di sebuah blog miliknya dan mendapat banyak respon positif hingga menjadi salah satu jalan dirinya dikenal publik. 

"Sayang."

Usapan lembut Mas Raihan menarikku dari bayangan itu, lalu membuatku menarik tanganku dari genggamannya. 

"Aku mau tanya satu hal sama kamu." 

"Apa? Ada yang aneh," tebaknya. 

"Tadi Hanifa datang kesini, dia pinjam baju warna pink katanya untuk ke acara launching butik kakak kelasnya dulu. Lalu, aku ingat kalau kamu pun memakai baju pink hari ini. Apakah kamu …."

Belum selesai aku bicara, Mas Raihan sudah tertawa keras hingga membuatku semakin heran.

"Jangan bilang kalau kamu menyangka aku juga datang ke launching itu."

Aku menautkan dua alis, kenapa Mas Raihan bisa berpikiran seperti itu?

"Lho, aku gak mengira kesana lho. Jangan-jangan kamu memang kesana."

"Sayang, kalau aku kesana. Aku ajak kamu, Hanifa memang bilang mau ke launching butik dia juga minta di transfer uang takut kurang katanya. Aku seharian ini di kantor, saat jam makan siang saja keluar sama teman-teman."

Sempurna, nyaris aku percaya semua ucapan yang keluar dari bibir manis terbungkus senyum hangat itu. 

"Baiklah, maaf jika aku keliru. Sekarang aku tanya sama kamu, Mas."

"Apa sayang? Tanyakan saja," ucapnya. 

"Selain Hani, Lani dan Kiana adakah perempuan lain yang tak kamu ceritakan padaku?"

Mas Raihan seketika terlihat berubah raut wajahnya, bahkan tangannya yang sejak tadi menggenggam tanganku perlahan melemah, sikapnya terlihat aneh dan bisa kubaca ada sesuatu yang disembunyikannya. 

"Kenapa mendadak bertanya hal itu? Bukankah sudah kuceritakan semuanya."

"Ya siapa tahu aja ada yang tidak kamu ceritakan."

Mas Raihan kembali meraih tanganku dan menatapku dalam. 

"Dengarkan aku, jika ada yang tak aku ceritakan padamu itu karena aku sangat menjaga perasaanmu. Cukup tiga nama perempuan itu yang kamu tahu karena tak ada yang istimewa selain kamu di antara mereka."

Aku menghela napas berat, kenapa Mas? Kenapa Mas harus berdusta seperti ini? Itu artinya perempuan itu istimewa hingga kamu tak menceritakannya padaku. 

"Apa dengan tak menceritakannya padaku kamu bisa menjamin tak melukaiku, mas?"

"Sayang, aku mohon. Jangan mencari tahu soal apapun, kita sudah hidup bersama lima tahun tanpa ada apapun yang mengacaukan semuanya. Aku dan kamu sudah berusaha sejauh ini saling menerima dalam waktu yang tak sebentar, tolong jangan percaya dengan apapun yang kamu dengar dan kamu lihat di luar sana. Karena apapun sudah aku ceritakan padamu."

Aku terisak, pertahanan ini luluh lantah jua. Tangis ini air ini jebol dari pertahanan, membuat Mas Raihan semakin merasa bersalah, tangannya sibuk membersihkan air mata yang berjatuhan. Ini bukan air mata pertama, setiap aku telat haid dan mencoba tespek tapi selalu gagal maka air mata itu akan muncul atau setiap kali aku melihat betapa perempuan lain begitu mudah hamil maka tangisku akan pecah. Tapi kali ini berbeda, ini air mata cemburu. Cemburu buta, akan kisah masa lalu yang mendadak hadir kembali dan coba menjebol pertahanan kesetiaan Mas Raihan. 

"Jangan menangis, aku akan sangat merasa berdosa dengan semua ini."

Aku tak bicara lagi, kuhabiskan air mata ini di depannya. Sampai dia akan mengakui semua kebohongan yang selama ini disembunyikan dariku. Bertahun-tahun dia masih menyimpan nama itu, bahkan mungkin dia sering menyebut nama perempuan itu dan baru malam tadi aku mendengarnya. Doa yang dipanjatkan untuk perempuan lain yang tak ada hubungan darah melainkan hubungan masa lalu sungguh membuat hatiku jauh lebih terluka dari sekedar mengetahuinya masih menyimpan nama itu. 

Apa arti dari semua sikapnya selama ini? Jika nyatanya dia masih melangitkan doa untuk perempuan itu. 

"Zahra Khaura, siapa dia Mas?"

Seketika pelukan Mas Raihan memudar, dia merengkuh bahuku menatap kedua bola mataku yang membasah, aku membalas menatapnya. Ada keterkejutan yang begitu hebat, dia pasti tak akan menyangka menyebut nama itu. 

"Maksud kamu?"

"Siapa Zahra Khaura, Mas?" Tekanku menatapnya tajam. 

"Aku gak ngerti maksud kamu, sayang. Siapa dia?"

Aku melepas rangkulan tangan Mas Raihan, sedikit menjauh darinya bahkan kini rasanya tak sanggup menatap wajah lelaki itu. 

"Seistimewa apa dia bagi kamu hingga kamu tak menceritakannya padaku bahkan kamu menyebut namanya dalam doa kamu," ucapku. 

"Sayang, kamu…."

"Kenapa Mas? Kaget? Kaget, aku tahu semuanya iya?" Tekanku seraya beranjak dari duduk. 

Mas Raihan ikut berdiri, dia mencoba meraih tanganku tapi segera kutepis. Lalu berjalan menjauh dan dia segera mengikuti ku dari belakang. 

"Simpan semua penjelasanmu itu di depan kedua orang tuaku, antarkan aku besok ke rumah ayah dan ibu."

Aku melanjutkan langkahku dengan segera dan menutup pintu dengan keras lalu menguncinya hingga Mas Raihan terus berusaha menggedor pintu kamar sementara aku kembali luruh duduk lemas di depan pintu. Sesakit inikah menerima sebuah fakta ini. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya jgn kegeeran dan merasa istimewa padahal menikah juga krn perjodohan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status