Masuk"Zahra."
Perempuan itu menghentikan langkahnya, aku yakin dia adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang dulu sempat aku perjuangkan namun akhirnya pasrah pada takdir yang harus memisahkan kami.
Tanpa sengaja aku melihatnya di resto ini, saat aku tengah menikmati makan siang bersama rekan bisnis.
"Mas Raihan."
Aku tersenyum bahagia, dia masih mengingat namaku meski puluhan purnama terlewati, meski luka yang aku torehkan untuknya. Aku beranikan diri melangkah mendekatinya, rasanya begitu rindu dan terharu bisa bertemu dengannya. Aku belum sempat meminta maaf padanya dulu.
"Senang bisa bertemu lagi dengan kamu, setelah lima tahun tanpa kabar darimu. Apa kabar?" tanyaku mengulurkan tangan.
Zahra menatap tanganku, lalu ia tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada.
"Alhamdulillah, sayangnya aku tidak senang bertemu dengan Mas. Permisi."
"Zahra, tunggu."
Aku menahan kepergiannya, rasanya sayang terlewatkan begitu saja. Aku harus bisa menggunakan kesempatan ini dengan baik. Aku merasa besar hati melihat langkahnya terhenti.
"Apakah study mu di Turki sudah selesai?" tanyaku.
Zahra membalikan badannya, menatapku dalam hingga aku merasa tak enak.
"Obat sakit hatiku adalah ilmu, jadi saat aku sakit hati dan kecewa karena dicampakkan begitu saja, maka aku mencari obat itu meski harus jauh dari kedua orang tuaku setidaknya mereka tak akan melihatku menangis setiap malam karena sakit hati ini."
Aku langsung merasa tak enak hati, ucapannya sungguh mengena ke dalam jiwa, aku tahu itu adalah ucapan sindiran untukku. Ya, untukku lelaki yang membuatnya harus jauh-jauh mencari obat sakit hati.
"Zahra, soal itu…."
"Maaf, saya buru-buru. Semoga Mas Raihan bahagia selalu bersama istrinya."
Zahra pergi begitu saja, meski sudah kupanggil tapi masih terus saja berjalan tanpa memperdulikan panggilanku.
Aku menghela napas berat, ingin mengejarnya tapi rekan kerja menunggu di meja makan hingga akhirnya memutuskan kembali menghampiri mereka.
Di perjalanan pulang, aku terus terbayang soal Zahra. Perempuan itu, ah kenapa begitu sulit untuk melupakannya. Namaku Raihan, aku lelaki beristri dengan usia tiga puluh tahun. Aku baru menikah lima tahun dengan seorang perempuan yang berhasil aku cintai dengan tertatih dan entah sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh.
Sebelum menikah, aku sedang menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan bernama Zahra Khaura, dia adalah kakak kelas adikku, Hanifa. Aku bertemu dengannya saat menjemput Hanifa, terpesona dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Usia kamu terpaut tiga tahun saja, saat itu aku sedang menjadi mahasiswa sedangkan dia duduk di kelas tiga SMA, aku sering antar dan jemput Hanifa hingga berhasil dekat dengannya, hubungan kami kian dekat setelah dia memutuskan kuliah di tempat yang sama denganku.
Kami menjalin kedekatan tanpa status pacaran tapi kami serius, aku semakin dibuat kagum padanya hingga hati ini yakin akan memperistrinya dan hal itu aku ungkapkan padanya menjelang hari wisuda.
"Aku akan datang meminangmu," ucapku kala itu.
Perempuan mana yang tak bahagia, akhirnya hal itu terjadi. Aku datang menemui orang tuanya dan menyatakan keseriusan itu, cinta kami seakan segera akan bermuara. Tapi seketika hancur saat aku mengatakan semua itu pada Mama dan Papa.
"Bisa-bisanya kamu melamar anak orang tanpa bilang sama mama dan papa dulu, kamu sudah lebih dulu mama dan papa jodohkan dengan pilihan papa."
"Apa? Gak bisa gitu dong pa," ucapku kala itu.
"Semua aset untuk kamu akan papa sita jika kamu membantah, lagi pula perempuan itu tak sepadan dengan kita Raihan."
"Pa, sejak kapan materi jadi ukuran Papa. Zahra itu perempuan baik-baik, dia Sholehah, mungkin memang dia bukan anak pengusaha tapi dia dari keluarga baik-baik, pa."
"Itu saja tak cukup, sudah papa dan mama sudah mengatur pertemuan kalian. Selesai acara wisuda akan berlangsung ke acara lamaran dan penentuan pernikahan."
"Tapi pa…."
"Silakan renungkan."
Tak ada pilihan lain, bahkan ponselku disita mama. Aku tak bisa menghubungi Zahra saat itu, hingga akhirnya kabar kepergiannya membuatku kian merasa bersalah. Ya, yang kudengar dia memutuskan mengikuti seleksi pertukaran pelajar di luar negeri.
"Pak Raihan, Pak."
Tepukan di pundak itu menarik bayangan kisah kelam yang terjadi beberapa tahun lalu.
"Oh, iya. Maaf. Jadi sampai mana obrolan kita tadi."
Aku kembali mencoba fokus di tengah pikiran yang berkecamuk. Zahraku telah kembali, setelah bertahun-tahun lamanya dia kembali, apa ini pertanda dari tuhan untukku menghapus semua kesalahan yang pernah kuperbuat.
Setelah pertemuan itu, entah apa yang membuatku sangat ingin mengetahui tentangnya. Apa yang dia lakukan di kota ini, tempat yang bukan tempat tinggalnya. Jauh dari tempat tinggalnya butuh dua sampai tiga jam tapi dia ada disini. Apa dia sedang mencariku?
Sambutan hangat dari istriku, Naura membuatku sedikit melupakan Zahra. Ya, aku memang harus melupakannya, Naura sudah berhasil menyisihkan Zahra lima tahun ini, jangan sampai hanya karena bertemu dengan Zahra tadi justru membuatku melukai hatinya. Bagaimanapun dia adalah pilihan kedua orang tuaku dan selama ini dia melayaniku dengan baik bahkan rela meninggalkan karirnya sebagai pegawai bank.
Aku berusaha tak ada yang berubah dengan sikapku padanya, meski di belakang Naura aku mencari tahu keberadaan Zahra, sungguh aku dibuat penasaran olehnya.
Bak doa yang terkabul, aku melihat Hanifa, adikku memposting flayer pembukaan sebuah bukti dengan nama "Khaura Fashion." Aku tahu itu pasti butik Zahra, karena dulu saat bersamaku dia pernah menyebutkan impiannya itu dan aku berjanji akan membantunya mewujudkan itu tapi nyata justru aku menghancurkannya.
Tapi kedatangannya seolah berkata semua belum terlambat, aku masih bisa memperbaiki semua kesalahanku ini.
Hari dimana butiknya launching, aku mengirim sebuah buket bunga dengan nama pengirim disamarkan, lalu aku pun menggunakan dress code yang dipakai untuk bisa mengunjungi butiknya, kebetulan sedang meeting dengan klien di mall itu agar aku bisa dengan mudah masuk aku pun mengajaknya buat ke butik itu. Klien itu pun tak menolak, hingga aku punya kesempatan untuk bertemu dengan perempuan itu.
Ada sambutan berbeda saat aku pulang, Naura terlihat dingin meski mencoba menghangat, selepas selesai semua aku mencoba menanyakan ada apa dengan dirinya.
"Zahra Khaura itu siapa Mas?"
Pertanyaan yang keluar dari mulut Naura mampu membuatku bungkam, hal yang selama ini aku simpan darinya justru harus terbongkar, dari mana dia tahu soal perempuan yang pernah singgah di hati ini? Sekarang apa yang harus aku katakan padanya.
"Simpan semua penjelasanmu di depan ayah dan ibuku, besok antarkan aku pulang."
Bak disambar petir, sesakit itukah hati Naura mendengar nama itu? Aku belum melakukan apapun, baru bertemu sekilas lalu mengirim buket bunga, saat datang ke bukitnya pun dia enggan bertemu tapi rasanya aku sudah melakukan kesalahan besar di mata Naura, hingga dia ingin dipulangkan. Atau jangan-jangan….
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan menepi di depan sebuah vila sederhana di pinggir hutan pinus. Aroma tanah basah bercampur dengan udara dingin pegunungan menyergap mereka begitu turun dari mobil. Clarissa merapatkan mantel, memeluk perutnya yang kini membesar tujuh bulan. Raihan buru-buru menutup jarak, memayunginya meski hujan tinggal rintik kecil.“Pelan-pelan sayang, tangganya licin,” ucap Raihan sambil menggenggam tangannya.Clarissa tersenyum lembut. “Aku hamil, bukan rapuh, Han.”Raihan mengerling. “Buatku dua-duanya sama pentingnya.”Vila itu sederhana. Kayu cokelat tua, jendela besar, dan aroma pinus yang menenangkan. Setelah semua badai yang mereka lalui—pengintaian misterius, masa lalu yang terungkap, ancaman yang nyaris merenggut Clarissa—tempat ini terasa seperti jeda yang Tuhan kirim khusus untuk mereka.Raihan membuka pintu. Hangat. Tenang. Sunyi.Untuk pertama kalinya s
Hujan baru saja berhenti ketika mobil Raihan memasuki halaman rumah. Langit sore masih menggantung kelabu, aroma tanah basah memenuhi udara. Clarissa turun dengan perlahan, satu tangannya memegangi perut yang mulai membesar. Raihan langsung sigap memayungi, memastikan istrinya tidak menapaki ubin yang licin.“Pelan, Sayang,” ucapnya lembut.Clarissa mengangguk, meski wajahnya masih memendam kekhawatiran sejak insiden di kantor. Motor hitam itu… bayangan pengendaranya… tatapan diam yang terasa terlalu sengaja. Semua itu masih bergema seperti gema samar di belakang kepala.Begitu pintu rumah tertutup, Raihan langsung menurunkan semua tirai. Clarissa hanya memperhatikan gerak suaminya—lebih gelisah daripada tadi. Lebih protektif daripada biasanya.“Kamu mau cerita?” tanya Clarissa akhirnya, duduk di sofa sambil melepaskan high heels.Raihan menghentikan gerakannya. Bahunya menegang.“Bukan sekar
Raihan tak pernah mengira dirinya akan kembali merasakan sesuatu yang dulu hanya muncul saat ia masih jadi petugas lapangan: insting bahaya.Dan sore itu, ketika motor hitam itu mengamati mereka tanpa suara, insting itu kembali menempel di tengkuknya—dingin, tajam, dan mengancam.Di perjalanan pulang, Clarissa memperhatikan ekspresi suaminya yang tidak seperti biasanya. Raihan tidak banyak bicara, hanya sesekali melirik kaca spion seolah mencari sesuatu di balik mobil-mobil yang berlalu.“Han…” Clarissa memecah keheningan dengan suara pelan.Raihan hanya menjawab, “Nanti di rumah kita bicara.”Zahra langsung menyambut mereka dengan pelukan kecil di kaki Clarissa.“Mama—Papa pulang! Lihat gambar Zahraaa!”Clarissa tersenyum, mengelus rambut putrinya. Tapi Raihan hanya menatap sekilas, kemudian memeriksa pintu, jendela, dan balkon seperti sedang memastikan sesuatu.Clarissa mempe
Rafael.Saudara kembar.Sosok yang wajahnya hampir sama dengan Raihan—hanya saja dengan sorot mata yang berbeda. Sorot mata yang gelap, tajam, dan penuh kemarahan yang tak lagi bisa ditutupi.Clarrisa menatap pria itu tanpa berkedip, jantungnya memukul-mukul tulang rusuk dengan keras. Ia menelan ludah perlahan, mencoba memahami apa yang ada di depan matanya.Jika bukan karena luka kecil di alis dan garis keras di rahang Rafael, ia mungkin tak bisa membedakannya dari Raihan.Raihan mengangkat sebelah tangan, berdiri sedikit lebih maju melindungi Clarrisa.“Rafael,” katanya dengan suara kaku. “Kau tak seharusnya ada di sini.”Rafael menatapnya, helai rambut hitamnya jatuh sedikit ke dahi.“Oh… aku harus ada di sini, Raihan. Kau yang membuatku kembali. Kau yang memaksa aku muncul lagi. Karena kau… mengambil sesuatu yang bukan milikmu.”Clarrisa meng
Angin sore menyapu perlahan halaman depan rumah itu, membawa aroma tanah basah setelah hujan turun sejak siang. Langit mulai memucat keabu-abuan, seakan mengikuti suasana yang sedang berkecamuk di dalam dada Clarrisa. Ia berdiri di dekat jendela ruang tamu, kedua tangannya saling menggenggam erat, seolah ingin menahan gemetar yang sedari tadi tak mau berhenti.Raihan belum pulang.Padahal ia jelas mengatakan akan pulang lebih cepat hari ini. Ada sesuatu—sesuatu yang sejak pagi terasa aneh, ganjil, menggelitik bagian terdalam intuisi Clarrisa.Ia memejamkan mata, mencoba mengatur napas. Namun bayangan percakapan semalam kembali menyergapnya.Kalimat Raihan yang terpotong.Tatapan gelisah.Ponsel yang terus bergetar tapi ia sembunyikan.Dan kata terakhir yang hampir lolos dari bibirnya.“Klar… ada hal yang sebenarnya harus aku j—”Lalu percakapan itu terputus ketika alarm
Motor itu masih mengikuti mereka—tanpa menyalip, tanpa mundur, tanpa mempercepat kecepatan. Selalu dalam jarak yang sama. Seolah pengendara itu ingin memastikan satu hal: bahwa mereka tahu ia ada di sana.Raihan mempercepat mobil sedikit, tapi tidak sampai menimbulkan kecurigaan. Clarissa menggenggam seatbelt erat, napasnya tak stabil.“Mas… dia masih di belakang,” bisiknya.“Biarin. Kita tetap pulang dulu,” jawab Raihan tenang, meski rahangnya mengeras jelas.Tapi tenangnya itu palsu. Clarissa mengenalnya terlalu dalam untuk percaya begitu saja. Hanya kehadirannya yang membuat pria itu berusaha setenang mungkin. Untuknya. Untuk bayinya.Lima belas menit kemudian, mereka memasuki area perumahan. Motor itu masih membuntuti. Saat mobil berhenti di depan rumah, motor itu berhenti dua rumah dari mereka. Diam. Tidak mematikan mesin. Hanya menunggu.Clarissa menelan ludah. &ldq







