Share

Chapter 4

"Zahra."

Perempuan itu menghentikan langkahnya, aku yakin dia adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang dulu sempat aku perjuangkan namun akhirnya pasrah pada takdir yang harus memisahkan kami. 

Tanpa sengaja aku melihatnya di resto ini, saat aku tengah menikmati makan siang bersama rekan bisnis. 

"Mas Raihan."

Aku tersenyum bahagia, dia masih mengingat namaku meski puluhan purnama terlewati, meski luka yang aku torehkan untuknya. Aku beranikan diri melangkah mendekatinya, rasanya begitu rindu dan terharu bisa bertemu dengannya. Aku belum sempat meminta maaf padanya dulu. 

"Senang bisa bertemu lagi dengan kamu, setelah lima tahun tanpa kabar darimu. Apa kabar?" tanyaku mengulurkan tangan. 

Zahra menatap tanganku, lalu ia tersenyum dan menangkupkan kedua tangannya di depan dada. 

"Alhamdulillah, sayangnya aku tidak senang bertemu dengan Mas. Permisi."

"Zahra, tunggu."

Aku menahan kepergiannya, rasanya sayang terlewatkan begitu saja. Aku harus bisa menggunakan kesempatan ini dengan baik. Aku merasa besar hati melihat langkahnya terhenti. 

"Apakah study mu di Turki sudah selesai?" tanyaku.

Zahra membalikan badannya, menatapku dalam hingga aku merasa tak enak. 

"Obat sakit hatiku adalah ilmu, jadi saat aku sakit hati dan kecewa karena dicampakkan begitu saja, maka aku mencari obat itu meski harus jauh dari kedua orang tuaku setidaknya mereka tak akan melihatku menangis setiap malam karena sakit hati ini."

Aku langsung merasa tak enak hati, ucapannya sungguh mengena ke dalam jiwa, aku tahu itu adalah ucapan sindiran untukku. Ya, untukku lelaki yang membuatnya harus jauh-jauh mencari obat sakit hati. 

"Zahra, soal itu…."

"Maaf, saya buru-buru. Semoga Mas Raihan bahagia selalu bersama istrinya."

Zahra pergi begitu saja, meski sudah kupanggil tapi masih terus saja berjalan tanpa memperdulikan panggilanku. 

Aku menghela napas berat, ingin mengejarnya tapi rekan kerja menunggu di meja makan hingga akhirnya memutuskan kembali menghampiri mereka. 

Di perjalanan pulang, aku terus terbayang soal Zahra. Perempuan itu, ah kenapa begitu sulit untuk melupakannya. Namaku Raihan, aku lelaki beristri dengan usia tiga puluh tahun. Aku baru menikah lima tahun dengan seorang perempuan yang berhasil aku cintai dengan tertatih dan entah sejak kapan perasaan itu mulai tumbuh. 

Sebelum menikah, aku sedang menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan bernama Zahra Khaura, dia adalah kakak kelas adikku, Hanifa. Aku bertemu dengannya saat menjemput Hanifa, terpesona dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Usia kamu terpaut tiga tahun saja, saat itu aku sedang menjadi mahasiswa sedangkan dia duduk di kelas tiga SMA, aku sering antar dan jemput Hanifa hingga berhasil dekat dengannya, hubungan kami kian dekat setelah dia memutuskan kuliah di tempat yang sama denganku. 

Kami menjalin kedekatan tanpa status pacaran tapi kami serius, aku semakin dibuat kagum padanya hingga hati ini yakin akan memperistrinya dan hal itu aku ungkapkan padanya menjelang hari wisuda. 

"Aku akan datang meminangmu," ucapku kala itu. 

Perempuan mana yang tak bahagia, akhirnya hal itu terjadi. Aku datang menemui orang tuanya dan menyatakan keseriusan itu, cinta kami seakan segera akan bermuara. Tapi seketika hancur saat aku mengatakan semua itu pada Mama dan Papa. 

"Bisa-bisanya kamu melamar anak orang tanpa bilang sama mama dan papa dulu, kamu sudah lebih dulu mama dan papa jodohkan dengan pilihan papa."

"Apa? Gak bisa gitu dong pa," ucapku kala itu. 

"Semua aset untuk kamu akan papa sita jika kamu membantah, lagi pula perempuan itu tak sepadan dengan kita Raihan."

"Pa, sejak kapan materi jadi ukuran Papa. Zahra itu perempuan baik-baik, dia Sholehah, mungkin memang dia bukan anak pengusaha tapi dia dari keluarga baik-baik, pa." 

"Itu saja tak cukup, sudah papa dan mama sudah mengatur pertemuan kalian. Selesai acara wisuda akan berlangsung ke acara lamaran dan penentuan pernikahan."

"Tapi pa…."

"Silakan renungkan."

Tak ada pilihan lain, bahkan ponselku disita mama. Aku tak bisa menghubungi Zahra saat itu, hingga akhirnya kabar kepergiannya membuatku kian merasa bersalah. Ya, yang kudengar dia memutuskan mengikuti seleksi pertukaran pelajar di luar negeri. 

"Pak Raihan, Pak."

Tepukan di pundak itu menarik bayangan kisah kelam yang terjadi beberapa tahun lalu. 

"Oh, iya. Maaf. Jadi sampai mana obrolan kita tadi."

Aku kembali mencoba fokus di tengah pikiran yang berkecamuk. Zahraku telah kembali, setelah bertahun-tahun lamanya dia kembali, apa ini pertanda dari tuhan untukku menghapus semua kesalahan yang pernah kuperbuat. 

Setelah pertemuan itu, entah apa yang membuatku sangat ingin mengetahui tentangnya. Apa yang dia lakukan di kota ini, tempat yang bukan tempat tinggalnya. Jauh dari tempat tinggalnya butuh dua sampai tiga jam tapi dia ada disini. Apa dia sedang mencariku? 

Sambutan hangat dari istriku, Naura membuatku sedikit melupakan Zahra. Ya, aku memang harus melupakannya, Naura sudah berhasil menyisihkan Zahra lima tahun ini, jangan sampai hanya karena bertemu dengan Zahra tadi justru membuatku melukai hatinya. Bagaimanapun dia adalah pilihan kedua orang tuaku dan selama ini dia melayaniku dengan baik bahkan rela meninggalkan karirnya sebagai pegawai bank. 

Aku berusaha tak ada yang berubah dengan sikapku padanya, meski di belakang Naura aku mencari tahu keberadaan Zahra, sungguh aku dibuat penasaran olehnya. 

Bak doa yang terkabul, aku melihat Hanifa, adikku memposting flayer pembukaan sebuah bukti dengan nama "Khaura Fashion." Aku tahu itu pasti butik Zahra, karena dulu saat bersamaku dia pernah menyebutkan impiannya itu dan aku berjanji akan membantunya mewujudkan itu tapi nyata justru aku menghancurkannya. 

Tapi kedatangannya seolah berkata semua belum terlambat, aku masih bisa memperbaiki semua kesalahanku ini. 

Hari dimana butiknya launching, aku mengirim sebuah buket bunga dengan nama pengirim disamarkan, lalu aku pun menggunakan dress code yang dipakai untuk bisa mengunjungi butiknya, kebetulan sedang meeting dengan klien di mall itu agar aku bisa dengan mudah masuk aku pun mengajaknya buat ke butik itu. Klien itu pun tak menolak, hingga aku punya kesempatan untuk bertemu dengan perempuan itu. 

Ada sambutan berbeda saat aku pulang, Naura terlihat dingin meski mencoba menghangat, selepas selesai semua aku mencoba menanyakan ada apa dengan dirinya. 

"Zahra Khaura itu siapa Mas?"

Pertanyaan yang keluar dari mulut Naura mampu membuatku bungkam, hal yang selama ini aku simpan darinya justru harus terbongkar, dari mana dia tahu soal perempuan yang pernah singgah di hati ini? Sekarang apa yang harus aku katakan padanya.

"Simpan semua penjelasanmu di depan ayah dan ibuku, besok antarkan aku pulang."

Bak disambar petir, sesakit itukah hati Naura mendengar nama itu? Aku belum melakukan apapun, baru bertemu sekilas lalu mengirim buket bunga, saat datang ke bukitnya pun dia enggan bertemu tapi rasanya aku sudah melakukan kesalahan besar di mata Naura, hingga dia ingin  dipulangkan. Atau jangan-jangan….

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status