"Hey, ada apa sih?"Sikutan Shofa membuatku terkejut dan segera mencoba menenangkan diri, sejak tadi pikiranku memang melayang entah kemana, rasanya begitu rumit tapi sebetulnya akan sangat gampang jika aku berani mengambil sikap. "Lagi ada masalah?" tanya lagi.Aku menunduk, enggan berbagi tapi aku perlu teman untuk bisa mendapat solusi dari masalah ini. Lima tahun berumah tangga, ini adalah masalah terberat dan penuh misteri untukku. Jika selama ini Shofa melihat rumah tanggaku baik-baik saja, mungkin sekarang saatnya dia tahu bahwa semua tak seperti yang dilihatnya selama ini. "Hey, ayolah. Kita sudah duduk di meja ini hampir satu jam bahkan aku sudah menghabiskan semua pesananku sedangkan kamu masih ngelamunin mie semangkok di depan kamu. Come on, ladies, talk about your problem to me."Aku tersenyum tipis, rasanya geli mendengar dia pakai bahasa asing yang katanya baru dia pelajari karena lagi dekat sama lelaki asal Brunei. Ah, dasar Shofa aneh. "Nah, udah mulai senyum kan? Ay
"Maksud kamu apa ngajak mama kesana, hah?"Aku menanggapi santai kemarahan mama, semua kini sudah mulai terbuka. Allah seakan memudahkan langkahku untuk mencari tahu semua yang disembunyikan oleh Mas Raihan dan keluarganya. "Iya, mbak. Mbak tega banget melakukan ini, mbak sengaja ya mau bikin mama malu."Hanifa ikut-ikutan menyalahkan ku, bagaimana tidak hari ini Mama seakan menerima balasan atas apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu pada perempuan itu. Entah kenapa kini aku berbalik simpati padanya saat dia dengan elegan membalas semua sikap Mama. Memang sejak dulu Mama Raihan itu terkenal dengan keangkuhan dan kesombongan padahal tanpa kedua orang tuaku mereka bukan siapa-siapa. Aku hanya terdiam, menikmati bayangan peristiwa tadi di dalam butik itu. Setelah sampai di mall siang itu dan bertemu mama juga Hanifa, kami berjalan menuju butik itu. "Mbak, kenapa harus ke butik ini?" tanya Hanifa dengan sikap yang membuatku bisa menebak dia salah tingkah. "Ini butik baru, Mama be
"Dek."Aku terperanjat mendengar suara Mas Raihan, belum lagi lingkar tangan di pinggang membuat aku terpaksa mengulas senyum tipis. "Habis terima telpon atau pesan dari siapa?" tanyanya. "Biasa Shofa, Mas.""Oh, dia masih betah single."Aku melepaskan pelukan Mas Raihan, berbalik dan tersenyum padanya. Senyum penuh arti yang lemparkan pada lelaki yang ternyata menyimpan banyak rahasia yang tak aku ketahui. Berjalan menuju ranjang, Mas Raihan mengikuti dari belakang. Lalu kami sama-sama duduk di atas ranjang, pikiranku masih penasaran dengan jawaban Mas Raihan soal perempuan yang disebut dalam doanya itu. "Belum bertemu jodoh yang pas mungkin Mas, lagi pula aku baru sadar suatu hal.""Apa?" tanya Mas Raihan penasaran. Aku menatap dua bola hitam legam itu, sungguh dia tampan, baik dan selalu membuatku merasa menjadi perempuan paling beruntung memilikinya. Tapi nyatanya di balik semua itu, aku adalah perempuan yang paling malang. "Saat kita sudah menemukan jodoh kita pun bisa saja
"Apa yang kamu temukan?" tanyaku tak sabar pada Shofa. "Tunggu, aku mau tahu dulu sudah sejauh mana dengan strategi kamu?" tanyanya. Aku menghela napas, sahabatku ini memang paling jago bikin penasaran. Dua hari ini dia terus mengirim kabar yang membuatku terkejut soal masa lalu Mas Raihan yang tak pernah aku usik dari Mas Raihan karena merasa dia jujur sudah menceritakan semuanya nyatanya banyak hal yang disembunyikan oleh lelaki yang pandai berubah sikap itu. Tanpa menunggu lama aku menceritakan semuanya, peristiwa yang terjadi kemarin. Saat aku mengajak Mama Raihan ke butik perempuan itu dan bagaimana sikapku sekarang pada Mas Raihan yang mulai sedikit acuh, aku masih melayaninya tapi saat Mas Raihan mulai merayu, berkata manis atau bahkan seakan mengajakku bercumbu aku selalu menolak. Karena rasanya perih saat aku dengar ternyata tak hanya aku di dalam hatinya terlebih saat kemarin malam Shofa mengirimkan pesan suara itu. "Fix, suami kamu itu punya kelainan karakter.""Maksud
Aku mematung melihat dia kembali datang ke tempat kerjaku, kali ini wajahnya tampak sedih dan menyiratkan luka berbeda dengan kedatangannya beberapa waktu lalu. Tak ada amarah seperti kemarin, tatapannya sayu, kelopak matanya menggambarkan kesedihan mendalam. Aku menghampirinya, mencoba menghilangkan perasaan tak suka dengan kedatangannya lagi. Kubiarkan dia tenang dulu, setelah membantunya berjalan dan duduk di sofa, memberikannya minum tak lama dia terisak, aku sungguh bingung dengan sikapnya. "Ada apa?" tanyaku. "Aku… aku…."Ucapannya terhenti hanya air mata yang kembali mengaliri pipinya yang putih, aku menghela napas mungkinkah dia telah mengetahui kelakuan suaminya. Aku merangkul tubuhnya, membawa perempuan yang dulu sempat aku benci itu dalam pelukan, membuang semua kesakitan masa lalu. "Jika kamu bersedia berceritalah," ucapku lagi. Perempuan itu akhirnya melepaskan pelukanku, mengusap air matanya dan berusaha seolah semua baik-baik saja padahal ku tahu luka itu masih san
"Tidak apa-apa, anaknya lucu mbak.""Terima kasih.""Saya permisi," pamitku pada perempuan yang sepertinya mengenalku tapi saat dia tahu aku bersikap seolah heran padanya dia bisa bersikap biasa saja. Hebat sekali akting kamu, Mbak. Sekarang aku semakin yakin bahwa Mas Raihan sudah mengkhianatiku. Usia anak bernama Zahra tadi sekitar empat tahunan, aku dan Mas Raihan menikah lebih dari lima tahun maka jelas mereka berselingkuh atau bahkan sudah menikah. Langkahku terasa berat tapi aku terus melangkah, tujuanku adalah butik Zahra mantan calon tunangan Mas Raihan yang sempat aku tuduh dialah yang disebut Mas Raihan dalam doanya, tapi kini aku yakin telah salah sangka padanya maka tujuanku adalah meminta maaf padanya. Setelah memastikan dia ada di butik, aku segera meminta supir mobil online untuk melaju menuju tempat tujuan dengan kecepatan yang lebih cepat agar bisa lebih cepat sampai benar saja Alhamdulillah hanya satu jam saja sudah sampai. Berdiri mematung di depan pintu, menata
Argh… aku memukul kepalan tangan yang tadi ingin dilayangkan pada lelaki tua yang dengan membabi-buta menghajarku. Kenapa hidupku tak bisa semulus orang lain, sejak kecil selalu jadi tekanan orang tua, papa yang arogan, Mama yang tak pernah lembut membuatku hidup bagai di neraka meski bergelimpangan harta. Hidupku bebas, mereka tak pernah memperdulikan sekacau apa yang penting di depan mereka aku harus nurut dan menjadi sangat baik. Sejak itulah mungkin aku tanpa sadar memiliki kepribadian ganda, di depan orang tua karena efek ketakutan kena pukulan atau omelan aku harus sebisa mungkin sangat baik dan lembut tapi di luar aku mengekspresikan diriku sendiri. Hal ini terbawa hingga saat aku menikah, dua bulan setelah menikah dengan Naura, perempuan pilihan Papa dan Mama yang tak lain adalah sahabat Papa mendadak aku merasa diperalat oleh mereka untuk bisa menguasai harta Naura yang banyak itu. Hingga aku merasa bosan, tapi dengan kelainan kepribadian yang aku punya di depan Naura menda
Tak ada ampun lagi dari Papa untuk Mas Raihan dan aku pun tak bisa berbuat apapun, akhirnya Mas Raihan pun kalah dia terpaksa meninggalkan rumah ini, tentu saja tujuannya rumah perempuan itu. Perempuan yang katanya sudah bisa memberinya anak perempuan yang cantik, lalu kenapa dia tetap mempertahankan aku? Tetap bersikap baik padaku. "Nak," sapa Mama.Aku menghela napas. "Ma, aku butuh waktu. Berikan aku waktu untuk sendiri.""Silakan sayang, apapun yang bisa membuat kamu seperti sedia kala akan Mama lakukan.""Terima kasih, Ma."Kami saling berpelukan, aku pamit menuju kamar. Tiba-tiba saja kamar ini begitu menyeramkan, satu per satu ku tatap setiap sudutnya yang ada hanyalah bayangan keharmonisan antara aku dan Mas Raihan, kami jarang berselisih paham, sungguh siapapun yang tahu tak akan menyangka dengan apa yang telah terjadi, aku terlalu naif hingga menutupi akal sehatku kalau Mas Raihan pun manusia biasa yang bisa saja berbuat salah yang disengaja ataupun tidak. Aku lupa akan ha