LOGINNayanika sudah pindah ruangan. Dia juga, sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan sekarang, sedang diam mematung, saat sebuah gel dioleskan di atas permukaan perutnya.
Apa yang berada di dalam dadanya bergemuruh dengan sangat kencang. Napasnya terasa berat dan saat sebuah alat diletakkan di atas perutnya ini, dia pun merasakan merinding hampir di sekujur tubuhnya.
"Nggak usah tegang. Santai saja ya?" ucap dokter Anita sambil tersenyum ramah. Namun, tidak menghilangkan kegugupan Nayanika.
"Udah belum, dok??" tanya Nayanika, yang sudah ingin sekali bangun dan menyelesaikan praktek yang ia rasa cukup konyol ini.
"Belum. Sabar dulu ya?" ucap dokter tersebut sembari menaikkan sedikit kacamata dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya, tengah sibuk bergerak ke kanan dan kiri.
"Oh iya, ini. Sudah keliatan kantong janinnya ya?" ucap dokter Anita dan Nayanika sontak menoleh dan melihat pada layar yang nampak hitam putih itu.
"K-kantong... Kantong apa, Dok??" Wajah Nayanika pucat pasi. Kedua tangannya terasa dingin dan otaknya seketika menjadi kosong.
"Kantong janin. Calon bayi," ucap dokter itu lagi.
"Masa sih, Dok? Masa iya, Dok?" Nayanika, yang masih belum bisa percaya juga.
"Iya. Coba kamu lihat ini," ucap dokter itu sembari mengarahkan cursor pada apa yang disebutkan olehnya tadi.
"Nah yang ini dia. Sebentar, kita cetak juga ya," ucap dokter itu yang mengambil gambar tadi dalam bentuk lembaran foto.
"Ok baik. Tolong dibersihkan lagi dan sudah boleh bangun juga."
Perut Nayanika dibersihkan oleh Suster dan pakaiannya pun diturunkan kembali. Setelah itu, Nayanika turun perlahan dari atas ranjang pasien dan berdiri saja di sisi ranjang.
"Ayo sini, kita ngobrol dulu sebentar," ajak sang dokter.
Nayanika kembali lagi ke tempat duduk itu. Ia masih terdiam juga. Masih memikirkan, apa yang sedang terjadi mimpinya ataupun bukan.
"Saya tuliskan resep vitaminnya dulu ya?" ucap Dokter tersebut.
"S-saya mual, Dok. Apa ada obat mual dan pusing?" tanya Nayanika, yang teringat dengan kondisinya sendiri di menit-menit terakhir ini.
"Ada obat untuk mualnya. Saya tuliskan juga resepnya di sini ya?" ucap dokter itu dan Nayanika lagi-lagi diam. Seperti masih belum percaya. Masih merasa bila semuanya hanyalah mimpi. Nayanika benar-benar tidak merasa bila sedang mengandung. Namun, semuanya berubah, saat dia melihat kembali, selembaran hitam putih, hasil pemeriksaan ultrasonografi-nya tadi.
"Ini resep obat dan hasil USG-nya ada di dalam sini ya?" ucap dokter Anita, seraya memasukkan resep obat dan hasil USG Nayanika tadi ke dalam sebuah map. "Nanti, obatnya ditebus di depan. Jangan lupa, untuk dikonsumsi secara rutin. Makan makanan yang sehat dan juga bergizi seperti sayur-sayuran dan juga buah-buahan. Kemudian, kamu bisa kembali lagi ke sini, satu bulan dari sekarang, untuk memeriksakan perkembangan janin di dalam rahim kamu. Apa sudah cukup jelas? Atau, masih ada lagi yang ingin ditanyakan?" tanya dokter tersebut.
Nayanika bergeming sesaat dan melontarkan kata-kata, yang sudah berada di ujung lidah. Tapi sulit juga untuk keluar kata-katanya itu.
"Saya... Em, nggak ada, dok. Terima kasih," ucap Nayanika seraya menarik map yang berada di atas meja dan membawanya keluar dari dalam ruangan itu.
Nayanika berjalan lunglai. Ia melihat ke sekeliling tempat dan menghela napas, lalu berjalan ke arah tempat pengambilan obat-obatan.
Nayanika simpan resep ditumpukkan resep yang lainnya dan menunggu pada kursi yang ada di depan tempat pengambilan obat.
Dia kembali tertegun dengan tatapan mata yang kosong. Ia ingat-ingat kembali, apa yang telah terjadi sebelumnya dan kemudian menelan salivanya yang terasa pahit.
Tidak ada yang tidur dengannya, setelah ia menjadi wanita pengganti di malam itu. Jadi berarti, anak ini, adalah anak...
Nayanika menggelengkan kepala. Ia kembali menghembuskan nafas lagi, lalu menekan dan juga menarik-narik ruang yang berada di antara kedua matanya.
Harus bagaimana sekarang? Bahkan, laki-laki itu saja, tidak pernah tahu, bila dirinya lah yang telah melayaninya di malam pertama. Sekarang tiba-tiba sekali malah hamil anaknya.
Tapi bicara pun terasa percuma. Ia tidak lupa dan tidak akan pernah melupakan, bila pria itu adalah seorang laki-laki beristri dan sahabatnya sendirilah yang menjadi istrinya.
"Atas nama Nayanika Prameswari," panggil orang yang berada di loket pengambilan obat-obatan.
Nayanika pun bangun dan berdiri di hadapan orang tersebut, lalu mendengarkan setiap ucapannya.
"Ini vitaminnya diminum dua kali sehari ya, pagi dan juga malam. Oh iya, tolong catat nomornya juga di sini."
Nayanika mengambil bolpoin dan menuliskan angka-angka, yang merupakan nomor telepon miliknya sendiri.
"Ini, Mbak. Sudah," ucap Nayanika seraya meletakkan bolpoinnya.
"Baik. Terima kasih," ucap si pemberi obat seraya mengambil kembali kertasnya.
Nayanika membawa obat berserta dengan secarik kertas berwarna hitam dan putihnya itu. Ia pandangi sembari dengan berjalan, hingga orang berjas putih , yang sedang berjalan dengan terburu-buru itupun tak sengaja menabraknya, hingga semua yang dipegangnya jatuh ke bawah.
"Maaf, maaf saya sedang buru-buru," ucap orang tersebut, yang dalam sekejap membuat Nayanika tertegun saja. Suaranya tidak asing. Seperti...
Orang yang memunguti benda-benda yang terlepas dari tangan Nayanika itu nampak tertegun, ketika akan memberikan apa yang sudah ia ambilkan ini. Dahi orang tersebut pun sontak mengernyit, dia melihat selembar kertas hitam putih yang tak asing, yang segera ditarik oleh Nayanika, yang terburu-buru pergi dari hadapan orang tersebut.
"Ayo, Dok," ajak Suster dan orang itu pun kembali melangkah dengan tergesa-gesa. Sementara yang sempat menjauh tadi, kini tertegun sembari mencengkeram apa yang sudah kembali ke tangannya lagi dan saat berbalik, orang yang tadi baru saja berbelok, hingga tak lagi terlihat sosoknya sama sekali.
Nayanika melangkah lagi. Dia segera meninggalkan tempat ini, pergi sejauh mungkin, dari laki-laki, yang baru saja ia temui dan adalah orang, yang telah menanamkan benih di dalam rahimnya.
Malam harinya.
"Tadi aku bertemu dengan teman kamu. Em, siapa itu namanya?" ucap Abiyaksa sembari mengikat baju tidur model kimononya dan kini, sedang berjalan ke arah tempat tidur dan naik ke atas tempat tidur tersebut
"Ha? Temen yang mana, Mas?" tanya Meisya yang melihat sang suami dari pantulan cermin di depannya ini.
"Teman kamu. Nay apa itu?"
"Nayanika?" terka Meisya, sembari melihat wajahnya di cermin dan juga mengoleskan krim muka di wajahnya lagi.
"Nah iya. Benar yang itu. Tapi, aku agak aneh. Dia itu, sudah menikah belum ya?" tanya Abiyaksa, yang sontak membuat tangan Meisya berhenti memulas wajahnya sendiri.
"Kenapa emangnya, Mas? Kok tanya-tanya begitu?" tanya Meisya seraya memutar kepalanya dan menatap wajah sang suami secara langsung.
"Tadi, kalau aku nggak salah melihat. Dia itu pegang obat-obatan dan juga hasil pemeriksaan ultrasonografi dengan nama dia di sana. Itu artinya, dia sekarang ini sedang mengandung kan?" ucap Abiyaksa sontak membuat mulut Meisya menganga.
Nayanika... Nayanika hamil???
Abiyaksa mendorong pintu ruangan dan mendatangi Meisya, yang terdiam dengan tatapan mata yang kosong.Abiyaksa telan salivanya lebih dulu dan kemudian datang memeluk, saat istrinya itu menoleh dan genangan air mulai keluar dengan sangat deras dari kedua matanya."Mas... anak kita udah nggak ada. Padahal aku nggak ngapa-ngapain tadi. Tapi kenapa dia pergi begitu, Mas... aku nggak apa-apain dia. Aku cuma pergi ke kamar mandi tadi. Tapi kenapa dia malah pergi..." Meisya menangis tersedu-sedu. Dia benar-benar tak kuasa menahan kesedihan serta kekecewaannya. Padahal sudah seminggu ini tidak pergi kemana-mana. Sudah makan dengan baik dan bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Tapi kenapa masih juga bisa mengalami kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka ini? Rasa-rasanya, Nayanika malah melakukan pekerjaan yang lebih berat darinya. Dia kelihatan kurus juga. Tapi kenapa anaknya bisa bertahan sampai perutnya besar? Perutnya belumlah sebesar perut Nayanika dan bah
"Apa cuma perasaan Mentari aja ya, Kak? Tapi asli mirip banget sih ini. Kayak versi kecil sama versi perempuannya," ucap Mentari lagi."Ya itu cuma perasaan kamu aja," ucap Nayanika yang kini mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya dan tidak mempedulikan apa yang sang adik katakan.Kepikiran sudah pasti. Tapi ya mau bagaimana lagi? Anak itu memang anaknya dia. Jadi kalau pun mirip ya pantas sajalah.Di tengah rasa heran yang melanda, Mentari jadi ingat dengan apa yang dilihatnya tadi."Oh iya, tadi Mentari baru aja abis lihat suaminya Kak Meisya. Dia gendong-gendong Kak Meisya ke IGD. Nggak tahu sakit apa. Tadi Mentari langsung pergi cari makanan sih. Jadi nggak samperin ke sana," ujar Mentari."Oh." Respon singkat yang Nayanika berikan kepada sang adik. Tidak aneh kalau mendengar Meisya digendong-gendong. Tapi sedikit penasaran juga, dengan apa yang mereka lakukan di sini. Hanya saja, tidak terlalu ia pikirkan. Bukan ranahnya dan bukan juga urusannya.Urusannya hanyalah merawat
Sementara itu di tempat yang lain. Abiyaksa tengah yang sempat terlelap sesaat itupun mendadak bangun. Dia segera menoleh ke samping dan sudah tidak menemukan Meisya di sampingnya seperti tadi."Sayang??" panggil Abiyaksa sembari turun dari atas tempat tidur. Dia melihat ke arah kamar mandi yang sedikit terbuka pintunya, lalu mendekati pintu tersebut."Sayang? Apa kamu di dalam?" tanya Abiyaksa yang sudah menyentuh pintu kamar mandi itu, lalu mendorongnya pelan-pelan, hingga tubuh Meisya yang tengah mematung itu terlihat olehnya."Sayang? Kamu sedang apa di situ?" tanya Abiyaksa yang tadinya hanya fokus pada wajah Meisya yang nampak pucat, berantakan dan juga banyak mengeluarkan keringat."Mas, perut aku sakit tadi. Terus ini, tiba-tiba begini," ucap Meisya seraya memutar bola matanya ke bawah dan melihat darah segar mengalir, dari kedua paha dan kini pelan-pelan sampai ke kakinya."Astaga, Sayang!" pekik Abiyaksa yang secepatnya mendekat tapi Meisya malah tumbang dan untungnya tertan
Nayanika berada di ruang bersalin dengan jarum infus yang sudah menancap di punggung tangan kirinya. Ia yang tengah merebahkan tubuhnya itupun sesekali mencengkram sisi tempat tidur dengan kencang, saat rasa mulasnya itu datang kembali dan lebih sering."Dek..." panggil Nayanika yang raut wajahnya kelihatan pucat pasi ini."Iya, Kak. Kenapa? Mentari ada di sini kok," timpal Mentari yang berada di sisi ranjang pasien ini."Mama gimana, Dek? Mama nggak apa-apa di rumah?" tanya Nayanika yang masih sempat-sempatnya memikirkan orang lain, daripada keadaannya sendiri. "Mama aman kok, Kak. Kakak nggak usah khawatir, Mentari udah titipin Mama ke temen sekelasnya Mentari kan tadi.""Dia bisa jaga Mama kan? Kalau nggak kamu pulang aja. Kakak nggak apa-apa sendirian di sini," ucap Nayanika sambil menggigit bibir bawahnya."Apa sih, Kak? Kakak butuh ditemenin sekarang. Kok malah nyuruh Mentari ninggalin kakak di sini. Kakak tenang aja, Mama aman kok. Temen Mentari itu baik. Dia juga cuma tinggal
"Oh, Nayanika. Kamu juga sedang periksa di sini?" sapa Abiyaksa, yang baru sadar bila Nayanika duduk sejajar dengannya dan di dekat sang istri."Iya, Mas. Mau check up rutin," jawab Nayanika."Kapan perkiraan lahirnya?" tanya Abiyaksa lagi. "Eum, kemungkinan bulan depan. Bulan depan lahirnya," jawab Nayanika."Cepat sekali ya? Nggak terasa, sudah mau lahir saja," ucap Abiyaksa."Iya. Cuma tinggal sedikit lagi," ucap Nayanika.Meisya hanya diam saja sambil terlihat acuh tak acuh. Dia sedang merasakan sensasi mual pusing dan sebagainya. Malas bicara dan juga malas sekali basa-basi. Toh wanita yang ada di sampingnya tidaklah penting dan sudah tidak lagi menjadi ancaman, karena suaminya tidak akan pernah meninggalkan seorang istri sah yang sedang mengandung darah dagingnya."Antrian nomor sembilan," panggil suster yang baru saja keluar dari dalam ruangan."Ayo, Mas. Saya duluan. Ayo, Mei," ucap Nayanika yang bersusah payah untuk bangun dari kursi dan segera berjalan masuk ke dalam ruang
Bumi: [Aku bakalan sibuk banget akhir-akhir ini, Nay. Udah mulai susun skripsi nih. Jadi jangan mikir yang macem-macem ya, kalau aku gak ada kabar dan gak dateng ke sana. Tapi kalau kamu ada perlu apa-apa, telepon aja. Ok?]Satu pesan yang masuk ke ponsel Nayanika dan dibaca bolak balik olehnya. Setelah berunding dan mendiskusikan tentang masa depan, akhirnya Bumi kembali pada rencananya diawal. Bereskan kuliah dulu. Bekerja. Baru setelah itu datang untuk meminangnya.Nayanika melakukan helaan napas yang cukup berat. Bukan batal tapi hanya ditunda. Tapi setidaknya, rasa takutnya sedikit berkurang sekarang. Tidak lagi memikirkan bagaimana nanti keluarga Bumi melihatnya. Untuk sementara bisa lega. Tetapi nanti tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, ia mau jalani saja yang ada dulu sekarang. Fokus kepada anaknya ini dan kepada waktu kelahiran anaknya nanti.[Iya. Semangat skripsinya. Semoga berhasil tanpa banyak revisi.]Pesan yang Nayanika kirimkan untuk membalas pesan Bumi. Lalu kemu







