"Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya.
"Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang."
"Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.
Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.
Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi.
"Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan.
"Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus.
Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa kejayaannya yang sekarang bisa ia raih. Menikah saja, karena orang tuanya yang mendesak terus menerus. Kalau tidak didesak, mungkin ia tidak akan menikah dan untungnya, laki-laki yang menjadi suaminya ini, jarang berada di rumah dan lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit tempatnya bekerja. Jadi ia bebas untuk party sesuka hati. Tanpa ada yang mengganggu dan tanpa ada yang merusak kesenangannya.
Meisya sontak terdiam kaku. Ia kembali mengingat lagi, saking terlalu buru-buru, karena takutnya ketahuan, sampai-sampai ia lupa untuk memberikan pil kontrasepsi untuk wanita yang menggantikannya malam itu. Dan sekarang, suaminya ini mengatakan, bila wanita itu sedang mengandung. Apa anak yang dia kandung itu...
Meisya mengembuskan nafas. Ia terpikirkan lagi, bila hal itu bisa saja merusak segalanya. Apa lagi ia sudah mulai nyaman, dengan laki-laki yang biarpun sibuk sekali tapi masih sering menanyakan bagaimana kabar dan apa yang sedang ia lakukan di rumah. Tidak seperti pacarnya sendiri. Yang hanya datang, untuk meminta jatah mantan. Bahkan, saat mereka masih menjalin hubungan, dia lebih cuek. Dia laki-laki yang silent treatment. Dia tidak se-penyayang suaminya yang sekarang.
Iya. Tidak bisa dibiarkan. Suaminya tidak boleh sampai tahu, bila dia akan memiliki anak dari wanita itu. Ia harus membungkam mulutnya. Ia harus menyingkirkan, siapa pun yang bisa menghancurkan ketenangan hidupnya yang sekarang.
Sementara itu di rumah Nayanika saat ini.
Wanita yang baru tiba, setelah melakukan pemeriksaan diri di rumah sakit tadi, kini nampak berjalan dengan sangat lemas. Ia masih percaya tidak percaya, dengan diagnosa dokter. Padahal, bukti sudah ada di depan mata. Hasil tes juga, sudah keluar dan bahkan, gambaran calon anaknya itu, sudah ia lihat pada layar monitor maupun pada selembar kertas, yang ia bawa-bawa di dalam tasnya.
Kenapa jadi begini? Ia benar-benar tidak mengerti, kenapa bisa-bisanya, ia malah mengandung anak dari suami orang. Suami sahabatnya sendiri. Mana tadi, mereka tidak sengaja bertemu di rumah sakit.
Sekarang harus apa? Mau diapakan anak ini?
Nayanika menelan salivanya dan saat akan membuka pintu, pintu sudah dibuka lebih dulu dari dalam rumah dan sang adik pun muncul dari sana.
"Kak? Tumben udah pulang jam segini? Baru juga jam setengah delapan. Biasanya kan, kakak pulang jam sepuluhan." Pertanyaan yang bertubi-tubi dari sang adik dan tidak mungkin juga Nayanika jawab dengan sebenar-benarnya.
"Iya. Kakak izin pulang duluan tadi. Eum, pikiran kakak nggak tenang. Mama baik-baik aja kan, Dek?" tanya Nayanika.
"Mama baik kok. Lagian, kakak kan bisa telepon Mentari, kalau emang khawatir. Lagian juga, kalau ada apa-apa, Mentari pasti telepon kakak kok."
"Iya juga ya?" ucap Nayanika, sembari mencoba untuk tersenyum, biarpun terlihat seperti dibuat-buat. "Oh iya! Ini ketopraknya," sambung Nayanika sembari memberikan bungkusan yang dibawanya kepada Mentari.
"Siomaynya nggak ada, Kak?" tanya Mentari dan Nayanika malah terlihat seperti orang yang linglung.
"Siomay?" ulang Nayanika.
"Iya. Siomay. Kan Mentari titip Siomay. Kalau nggak ada baru ketoprak. Berarti, siomaynya nggak ada ya, Kak?" tanya Mentari.
"Oh iya. Nggak ada. Em, tadi siomaynya nggak ada. Jadi, kakak beli itu."
"Oh ya udah nggak apa-apa deh," ucap Mentari seraya masuk ke dalam rumah dan langsung pergi ke dapur untuk mengambil piring maupun sendok.
"Dek, Mama dimana?" tanya Nayanika.
"Ada di kamar, Kak. Udah tidur kayaknya," jawab Mentari yang menoleh sejenak sebelum memasuki dapur.
Nayanika masuk ke kamar yang sang ibu. Dia duduk di sisi ranjang sambil memperhatikan sang ibu, yang tengah berbaring di atas tempat tidur. Sejak stroke yang sang ibu derita. Bicara saja tidak bisa. Bahkan, bagian kaki maupun tangannya itu pun kaku. Seharian hanya berdiam diri di kursi roda ataupun di atas ranjang saja.
"Ma... Naya." Nayanika melipat bibirnya. Ia berhenti berucap. Ia hentikan untuk mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya kini. Padahal, ia butuh teman untuk bercerita, untuk meluapkan segala rasa, yang rasanya teramat menyesakkan dadanya. Tapi diungkapkan pun, sang ibu pasti akan shock juga. Suaminya dipenjarakan saja, beserta segala harta yang akhirnya disita, malah membuatnya jadi tak berdaya begini. Apa lagi, ditambah anak sulungnya malah hamil dengan suami orang. Akan separah apa nanti, kondisi ibunya ini?
Sudahlah. Simpan saja sendiri. Tahan saja di dalam hati. Biar pun rasanya sangat mengikat dadanya dan bahkan membuat ia serasa kesulitan untuk bernafas.
Nayanika naik ke atas tempat tidur dan mendekap tubuh ibunya. Jadi ingin kembali ke masa kecil. Masa dimana tidak ada beban pikiran sedikit pun.
Semakin dewasa, beban pikirannya terasa semakin berat saja. Belum lagi, cobaan yang datangnya malah bertubi-tubi. Hingga membuatnya harus berusaha untuk mewaraskan diri.
Nayanika pejamkan matanya. Ia ingat-ingat kembali, masa-masa kecil yang begitu membahagiakan, bersama dengan kedua orang tuanya dan sebentar lagi, ia juga akan menjadi orang tua. Orang tua tunggal lebih tepatnya. Karena tidak mungkin baginya, untuk meminta pertanggungjawaban dari seorang laki-laki beristri. Apa lagi istrinya adalah teman sendiri.
Biarlah. Biar ia besarkan anak ini sendirian. Meskipun tanpa seorang ayah sekalipun. Anak ini tidak meminta untuk ada. Tidak meminta juga untuk dilahirkan ke dunia. Tetapi, ia adalah wanita yang beruntung, bisa mengemban amanah ini kan? Meskipun ia tahu, tidak akan mudah, di tengah stigma masyarakat nantinya. Tapi ia akan menjadi ibu seperti Mamanya ini, yang memberikan limpahan kasih sayang untuk anak-anaknya. Ia akan menjadi seorang ibu, yang menyayangi darah dagingnya sendiri, dengan sepenuh hati.
"Ma, Naya sayang Mama," ucap Nayanika sembari memperat sedikit dekapannya.
Hubungan orang tua yang hangat dan akan ia berikan juga, untuk anaknya kelak. Segala resiko itupun, akan ia hadapi, biarpun hanya seorang diri. Tidak apa-apa. Ia pasti bisa melewati badainya. Meskipun harus sampai hancur porak-poranda sekalipun. Ia tidak Setega itu, untuk melenyapkan sosok yang tidaklah tahu apa-apa ini. Biar dia tetap di dalam rahimnya. Biarkan dia tumbuh dengan sehat dan lahir dengan selamat. Meski resikonya tidaklah main-main.
Keesokan harinya.
"Dek, kakak berangkat yah?" pamit Nayanika, di depan pintu rumahnya.
"Iya, Kak. Hati-hati di jalan. Jangan lupa ketopraknya ya, Kak? Cabenya lima!"
"Nanti kamu sakit perut," ucap Nayanika.
"Nggak, Kak. Kemarin ketopraknya kurang pedes. Mentari mau yang pedes pake banget," timpal sang adik.
"Iyaa. Ya udah. Tapi jangan salahin kakak lho ya, kalau perut kamu sakit," ucap Nayanika.
"Iya, kak. Nggak akan kok."
"Ya udah. Kakak berangkat sekarang. Nanti telat. Kamu jangan lupa kunci pintunya," pesan Nayanika.
"Iya, Kak. Siap."
Nayanika berjalan ke sepeda motor matic miliknya dan berjalan ke arah pintu pagar, ia dorong pagar tersebut dan mengeluarkan motornya dulu, baru menutup lagi pintu pagarnya ini.
Nayanika menaiki motornya dan sudah berjalan beberapa meter. Sampai akhirnya, suara klakson mobil kencang dan diikuti mobil yang memepetnya itu, terpaksa membuat Nayanika menepi sesaat.
Mobil itu pun berhenti di depan dan keluarlah wanita, yang semalam menghubunginya, hanya untuk menanyakan alamat rumah.
"Mei," ucap Nayanika, sembari membuka helmnya dan menaruhnya di spion motor.
"Nay, kita perlu ngomong. Penting," ucap Meisya.
"Tapi, Mei. Aku kerja. Ini mau berangkat."
"Cuma sebentar. Ayo, ikut aku ke mobil," ajak Meisya dan mau Nayanika pun mengikuti sahabatnya ini, ke dalam mobilnya.
Nayanika duduk di samping kursi kemudi dan Meisya, yang duduk di kursi kemudi itu pun, mulai menatap Nayanika dengan sangat intens.
"Kenapa? Kamu mau ngomong apa, Mei?" tanya Nayanika, yang sudah sangat terburu-buru. Tetapi, Meisya malah memandanginya lekat-lekat, terutama, di bagian perut Nayanika yang masih terlihat rata.
"Siapa ayahnya, Nay?" tanya Meisya, dengan tatapan tajam dan sorot mata yang intens kepada sahabatnya ini.
"Ha? Ayah? Ayah siapa maksudnya, Mei?" tanya Nayanika sembari mengerutkan keningnya sendiri.
"Yang di perut! Yang ada di perut kamu itu anaknya siapa!?" tegas Meisya, hingga ekspresi wajah Nayanika berubah dalam sekejap dan dia pun, bergegas berpaling muka, agar sepasang bola matanya tidak bertemu dengan milik Meisya.
"Kok diam? Kenapa diam hm?" cecar Meisya.
"Apa maksud kamu. Aku nggak ngerti," jawab Nayanika sembari melakukan hembusan nafas.
"Nggak ngerti? Kamu hamil kan? Ayo ngaku! Jangan ngelak, Nay. Mas Abi cerita, kalau dia habis liat kamu di rumah sakit. Terus bawa-bawa hasil USG. Kalau bukan punya kamu, masa punya nyokap. Atau mungkin punya adek kamu Mentari? Rasanya malah nggak mungkin. Yang udah nggak perawan itu kan kamu!" cetus Meisya tanpa perasaan.
Cecaran Meisya dan agak membuat Nayanika sakit hati. Memangnya siapa, yang membuat keadaannya jadi begini? Eh sekarang, dia malah playing victim!
"Jadi beneran hamil, atau nggak?" tegas Meisya.
Nayanika mengedipkan matanya dengan perlahan dan melakukan helaan nafas lagi. Namun yang kali ini lebih panjang dan terasa lebih berat.
"Iya. Aku hamil," jawab Nayanika dengan sorotan matanya, yang pergi ke bawah dan ke arah perutnya sendiri.
Meisya buru-buru menarik tasnya dari kursi belakang dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang lumayan tebal, lalu melemparkannya ke atas pangkuan Nayanika.
"Gugurin!" perintah Meisya.
Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi. "Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya. Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tida
"Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah."Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu."Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari."Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika."Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam."Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak us
"Jadinya mau pesan apa??" tanya Nayanika, tanpa peduli dengan ocehan Meisya tadi."Berikan yang paling mahal dan yang paling enak!" cetus Meisya sambil meletakkan daftar menu ke atas meja dengan agak kasar."Baik. Kalau begitu, ditunggu. Akan segera kami siapkan," ucap Nayanika, yang kini pergi dari hadapan sahabatnya sendiri."Pesan apa, Nay??" tanya Andre yang sudah siap-siap di dapur, untuk membuat pesanan."Mau yang paling mahal dan paling enak katanya," ucap Nayanika."Ah? Ya apa dong??" tanya Andre, karena takut salah."Macha latte sama beef bowl kan??" ucap Nayanika."Jadi, buat itu aja??" tanya Andre lagi."Ya iya," jawab Nayanika yang pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, saat customer yang benar-benar customer sudah datang."Ini, silahkan," ucap Annisa seraya menaruh pesanan milik Meisya."Kok kamu yang antar?? Waiterss yang tadi mana??" tanya Meisya dan Nayanika yang sedang mencatat menu bagi pelanggan yang lainnya, pun langsung menajamkan indra pendengarannya, saat
Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya. Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang."Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah."Iya, dok,
Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya."Ha? Gimana?" tanya Nayanika."Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini."Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika."Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga."Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.
"Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya."Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang.""Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi."Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan."Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus. Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa k