Berminggu-minggu berlalu, Nayanika menyibukkan diri dengan bekerja demi menghalau pikirannya tentang apa yang terjadi di malam itu serta semua keputusan yang tak ingin lagi disesali. Berusaha melanjutkan hidupnya dengan tenang.
Nayanika pergi dengan sepeda motor matic, yang dibelinya juga dari uang yang Meisya berikan untuknya. Uang tersebut cukup untuk biaya hidup juga selama beberapa bulan ke depan. Akan tetapi, untuk terus bertahan hidup dan tidak hanya menghabiskan uang yang ada saja, ia tetap harus bekerja dan sebuah cafe lah pilihannya. Selain jam kerja yang fleksibel. Ia pun juga bisa bergantian dengan sang adik, untuk menjaga ibunya di rumah.
"Nay, tolong kasih ke meja nomor lima ya," pinta salah seorang rekan kerja Nayanika.
"Iya," ucap Nayanika, sembari melipat bibirnya dengan cukup erat. Ada aroma yang tidak terlalu bersahabat, di indra penciumannya.
Nayanika bergegas dan memberikan pesanan, ke meja yang dimaksud.
"Ini pesanannya silahkan," ucap Nayanika seraya meletakkan pesanan meja itu dan kemudian segera berlari ke belakang, seraya membekap mulutnya sendiri.
"Hoek!"
Nayanika berjongkok di depan kloset. Ia memuntahkan hampir semua isi perutnya, hingga terasa lega. Namun, ditengah kelegaan itu, kepalanya mendadak pusing. Hingga ia harus segera mencari sesuatu untuk meredakannya. Nayanika keluar dari dalam toilet dan menghampiri temannya, yang sedang membuat pesanan.
"Nis, punya minyak angin nggak? Pinjem dulu dong kalau ada," ucap Nayanika.
"Di loker. Ambil aja nggak dikunci kok lokernya," jawab wanita, yang terlihat sibuk menyiapkan pesanan.
Nayanika secepatnya pergi ke loker. Ia cari nama Annisa dan membuka loker tersebut, lalu berjongkok sambil mengoles leher, pelipis kanan dan kirinya secara merata.
Rasanya tidak kuat bekerja. Ia bisa pingsan, bila terus memaksakan diri. Nayanika kembali mengoleskan minyak angin dengan lebih banyak. Supaya setidaknya, ia tidak merasa terlalu lemas begini dan masih bisa bertahan, untuk kembali bekerja lagi.
"Nay? Sakit?" tanya Andre, yang baru melihat Nayanika dari jarak satu meter saja, namun aroma minyak angin di tubuhnya tercium dengan sang cepat dan juga menyengat.
"Iya. Pusing. Enggak enak badan rasanya." Nayanika menyentuh pelipis kanan dan melakukan pijatan singkat.
"Ya udah. Izin pulang gih. Ngomong sama Bos dulu tapi."
"Ah nggak apa-apa kok. Aku masih kuat kerja!" ucap Nayanika sembari menurunkan tangannya lagi.
"Yee jangan. Nanti kalau pingsan gimana?? Udah sana, nggak apa-apa minta izin pulang. Daripada pingsan. Nggak akan ngomel kok Si Bos."
"Eum, ya udah deh." Nayanika berputar haluan tapi pemilik cafe baru turun dari lantai atas cafe ini dan hendak keluar dulu.
"Nah itu Si Bos. Bos, Naya izin pulang katanya," ucap Andre mewakili.
"Pulang? Kenapa kok pulang?"
"Si Naya sakit. Nanti kalau sampai pingsan di sini kan repot juga, Bos."
"Oh ya udah sana. Pulang dulu istirahat."
"Nggak apa-apa, Pak?" tanya Nayanika.
"Ya nggak apa-apa. Daripada kata Andre tadi, kamu malah pingsan di sini. Apa mau saya anter pulang juga?"
"Nggak nggak usah, Pak. Saya pulang sendiri bisa kok."
"Serius saya. Sekalian saya mau keluar. Nanti daripada kamu pingsan di jalan. Itu muka kamu juga keliatan pucet."
"Nggak apa-apa, Pak. Masih bisa bawa motor sendiri kok. Nanti kalau kerasa gimana-gimana, saya berhenti dulu," ucap Nayanika.
"Oh ya udah kalau gitu. Hati-hati di jalan. Andre, saya keluar sebentar ya? Kalau ada yang cari, suruh tunggu dulu."
"Iya, Bos. Siap!" ucap Andre sembari melakukan gerakkan hormat.
Pemilik cafe pergi dan Nayanika pergi ke loker untuk berganti seragam dan membawa tasnya. Dia berdiam diri di atas motor, untuk merasakan tubuhnya sendiri, kiranya kuat ataupun tidak, bila dipaksakan pergi.
Nayanika menghela napas dan memakai helmnya. Ia melaju hanya beberapa belas meter saja dan berbelok ke sebuah rumah sakit terdekat. Bila hanya ke klinik biasa, ia yakin tidak akan sembuh dengan cepat. Bila langsung pergi ke dokter rumah sakit, ia akan meminta obat yang cukup bagus, agar bisa cepat kembali sehat dan pergi bekerja lagi. Ya, biarpun agak mahal, tapi kalau langsung sembuh kenapa tidak? Kalau ada penyakit yang sekiranya serius pun, ia akan langsung tahu juga kan??
Nayanika turun dari atas motornya dan berjalan dengan agak sempoyongan. Ia berhenti dulu dan menghela napas, lalu melangkah lagi dan mendatangi bagian pendaftaran.
Sudah mendapatkan nomor antrian di dokter umum. Setelah menunggu sekitar sepuluh menit, akhirnya tiba gilirannya juga. Nayanika bangkit dari kursi dan masuk ke dalam ruangan dokter.
"Selamat sore, Dok." sapa Nayanika saat melihat dokter yang duduk sambil menunggu pasien barunya.
"Selamat sore. Ayo, silahkan duduk," ucap dokter tersebut sembari tersenyum.
"Apa keluhannya?" tanya sang dokter dengan ramah.
"Pusing, Dok. Mual. Badan rasanya lemas. Terus juga, tadi sempat muntah-muntah. Apa saya keracunan makanan ya?" tanya Nayanika.
"Kalau begitu, ayo, naik dulu. Biar saya periksa dulu," ucap dokter tersebut sembari menyuruh Nayanika untuk berbaring saja.
Detak jantung mulai diperiksa dengan menggunakan stetoskop. Mulut pun diminta untuk dibuka dan dilihat dengan menggunakan senter.
"Sepertinya bukan keracunan," ucap sang dokter sembari mematikan senternya dan menyuruh Nayanika, untuk duduk lagi di kursi.
"Kalau bukan keracunan, saya sakit apa ya, dok??"
"Kapan hari pertama haid terakhir?" tanya dokter tersebut dan Nayanika sempat mengerutkan keningnya dulu.
Mendengar pertanyaan itu, Nayanika kelihatan bingung. Dia tidak mengerti untuk apa dokter menanyakan hal tersebut. Akan tetapi, kata-kata itu juga, sudah memaksa Nayanika untuk mencoba mengingat-ingat kembali, kapan dia mendapatkan menstruasi.
‘Ah, iya. Kapan aku terakhir menstruasi? Sebelum malam itu? Atau setelah malam itu?’ tanya Nayanika dalam hati.
Perubahan di wajah Nayanika yang tiba-tiba, tampak dengan jelas di mata dokter. Dokter pun tersenyum dan memahami kebingungan pasien ini.
“Maaf, Dok, saya tidak ingat,” ucap Nayanika tak yakin.
Namun, kepalanya tidak bisa membiarkannya untuk berpikir dengan tenang. Masih saja mencari-cari ingatan waktu terakhir menstruasi.
"Kalau dilihat dari pemeriksaan saya dan penjelasan Anda di awal mengenai makanan yang akhir-akhir ini Anda konsumsi, tidak ada yang salah. Saya rasa, sebaiknya Anda melakukan pemeriksaan ke bagian lain.”
“Bagian lain?” Nayanika semakin bertambah bingung dan sisi lain hati kecilnya pun sedikit merasa takut.
"Iya, bagian lain. Karena sepertinya, Anda saat ini tengah hamil," ucap dokter itu sampai Nayanika mengerjap bingung.
"Mana mungkin, Dok?" Tenggorokan Nayanika terasa tercekat. Ia ingin mengatakan, bila belum pernah menikah. Tapi baru ingat, bila memang pernah melakukannya dan itu, malah bersama dengan seorang pria beristri!
Oh ya ampun!
"Dok, dokter ini salah kan?? Saya nggak mungkin hamil, dok!" ucap Nayanika bersikukuh.
Dokter memaklumi reaksi Nayanika. Semua wanita yang hamil pertama pun pasti mengalami kebingungan hingga bereaksi seperti pasien bernama Nayanika ini.
“Kalau begitu, bagaimana kalau saya kasih rujukan ke bagian Obgyn, saya akan menyarankan dokter terbaik di rumah sakit kami. Jadi, Anda tidak perlu mengantre lebih lama.”
Nayanika tentu saja semakin gugup. Saat itu juga, pikirannya pun langsung kosong dan hanya mengangguk untuk menerima semua yang dikatakan oleh dokter.
"Kalau ternyata tidak hamil, kita akan melakukan pemeriksaan lanjutan.”
Nayanika hanya bisa mengangguk saja. Dia belum menikah, sulit untuk berkata jujur dan mengakui. Takut dihina.
"Sus, tolong antarkan ke ruangan dokter Anita ya?"
"Baik, dok. Ayo Mbak. Ikut saya," ucap Suster yang kini menggiring Nayanika, ke ruangan yang lainnya.
Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi. "Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya. Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tida
"Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah."Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu."Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari."Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika."Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam."Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak us
"Jadinya mau pesan apa??" tanya Nayanika, tanpa peduli dengan ocehan Meisya tadi."Berikan yang paling mahal dan yang paling enak!" cetus Meisya sambil meletakkan daftar menu ke atas meja dengan agak kasar."Baik. Kalau begitu, ditunggu. Akan segera kami siapkan," ucap Nayanika, yang kini pergi dari hadapan sahabatnya sendiri."Pesan apa, Nay??" tanya Andre yang sudah siap-siap di dapur, untuk membuat pesanan."Mau yang paling mahal dan paling enak katanya," ucap Nayanika."Ah? Ya apa dong??" tanya Andre, karena takut salah."Macha latte sama beef bowl kan??" ucap Nayanika."Jadi, buat itu aja??" tanya Andre lagi."Ya iya," jawab Nayanika yang pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, saat customer yang benar-benar customer sudah datang."Ini, silahkan," ucap Annisa seraya menaruh pesanan milik Meisya."Kok kamu yang antar?? Waiterss yang tadi mana??" tanya Meisya dan Nayanika yang sedang mencatat menu bagi pelanggan yang lainnya, pun langsung menajamkan indra pendengarannya, saat
Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya. Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang."Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah."Iya, dok,
Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya."Ha? Gimana?" tanya Nayanika."Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini."Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika."Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga."Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.
"Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya."Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang.""Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi."Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan."Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus. Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa k