Nyi Asrita kembali memunggungi Nay. Tampaknya dia pun sedang mempersiapkan sesuatu. "Aku tidak mau merepotkanmu, Nay." Lagi-lagi Nyi Asrita beralasan. "Alasanmu saja!" Nay mulai tak bisa menahan dirinya. "Akhirnya kita bertemu Rasendriya!" Nay menghantam tubuh Nyi Asrita dengan energi penuh."Hanya itu Nayara?" Tubuh Nyi Asrita tidak terdorong sedikit pun. "Mau mencoba lagi?" Dia menantang Nay. "Sombongnya kau!" Sekali lagi Nay menghujamkan serangan, dia tetap bergeming.Wira dan Gantari hanya bersiaga di belakang Nay. Belum ada perintah dari Nay untuk mereka bertindak. "Sekarang giliranku boleh?" Rasendriya bertanya dengan nada mengejek."Coba saja kalau bisa!" Nay mengaktifkan energi selubung dirinya. Dia sudah membuka energi untuk menyerap kekuatan lawan. Terlihat Rasendriya menarik tusuk konde dari kepala Nyi Asrita yang rambutnya digelung ukel. Nay tahu kekuatan dari tusuk konde itu tidak bisa dianggap enteng. Senjata pamungkas Nyi Asrita adalah benda tersebut. Nay dengan
Rencananya malam ini Nay ingin menginap di panti saja. Namun, kamar-kamar di panti sudah terisi penuh oleh anak-anak yang terus bertambah setiap bulannya. Ruang tambahan di samping panti juga belum selesai dikerjakan. Bahkan beberapa di antara mereka harus tidur dengan kasur lipat yang dibentangkan di lantai. “Nay, pulang saja ya, Bu. Kalau ada apa-apa langsung telepon. Nay akan terus aktifkan HP. Nay pamit ya, Bu.” Nay mencium tangan Bu Mien dan mencium kedua pipinya. “Hati-hati di jalan, Nay,” pesan bu Mien. “Iya, Bu," sahut Nay tersenyum.Nay meninggalkan panti hampir jam sepuluh malam. Dengan motor hitam kesayangan yang selalu setia menemani. Kali ini ia memilih untuk lewat jalan kecil di perkampungan warga. Sudah sering Nay melewati tempat itu. Beberapa orang yang tinggal di situ juga mengenalnya. Apalagi yang sering kumpul main gaple di warung kopi dekat komplek. Rem motor Nay berdecit. Dia menginjaknya terlalu kuat. Seorang anak kecil tiba-tiba muncul dan membentangkan tang
Alarm di ponsel Nay berbunyi. Dia Menyipitkan mata melihat jarum jam di dinding kamarnya. Jam tiga dini hari. Seingatnya tidak ada ia mengaktifkan alarm jam segini di ponselnya. Tangan Nay meraba nakas di samping tempat tidur. Menjangkau ponsel yang masih berbunyi. Nay menggerutu, lalu mematikan alarmnya. Bila sudah terbangun seperti ini dia akan kesulitan untuk tidur lagi. Nay menggeliat. Menyibakkan selimut lalu berjalan malas menuju sofa di depan teve. Rasa kantuk masih menggelayut tapi mata enggan terpejam. Berbincang dengan Wira dan Gantari sepertinya pilihan terbaik.Belum Nay memanggil mereka, suara Agnimaya lebih dulu terdengar di telinganya. Portal dunia bawah mulai terbuka. Kali ini dia tidak datang dengan wujud naganya. Kalau boleh memilih Nay lebih suka melihat Agnimaya sebagai naga ketimbang melihatnya sebagai raksasa. “Ada apa, Agni? Tidak sedang bertugas kah?” tanya Nay. “Kalau aku sampai datang ke hadapanmu itu selalu berarti ada tugas dari Raja Affandra.”“Ada apa
Hutan ini sangat lebat dan rapat. Jalan menuju mata air, di samping kanan kirinya berjejer pohon besar dengan daun yang sangat lebat. Jarak antar pohon yang tak lebih dari panjang tubuh manusia, sehingga cahaya sangat sedikit masuk ke dalam hutan. Wira membentuk bola energi berwarna putih, untuk memberikan penerangan sepanjang jalan yang mereka lalui. Bola energi itu mengambang di depan mereka. “Wira memang bisa diandalkan.” Nay memuji penjaganya itu. “Selalu juga begitu, Nay.” Wira menjawab datar. “Wira, kenapa sih? Kok mukanya begitu. Gak ada senyum-senyumnya dari tadi.”“Apa kau tidak merasa aneh, Agnimaya meminta kita pergi sendiri? Katanya dia belum pernah datang ke sini. Lalu kenapa dia suruh kita jalan lurus saja?” “Pasti dia sudah dapat informasi mengenai hal ini, Wira.”“Semoga benar adanya seperti itu. Bukan untuk menjebak kita di dalam hutan ini.”Nay terdiam, perkataan Wira barusan bisa saja benar. Kenapa Agni tidak menemani mereka sampai ke mata air? Pikiran Nay mula
Seiring menghilangnya lintah-lintah itu suasana hutan semakin terang. Wira sudah tidak lagi menggunakan bola energinya. Apa yang dilihat Nay adalah apa yang dipikirkannya. Di samping kanan-kiri jalan Nay membayangkan tumbuhan mawar berwarna-warni, kicau burung yang bersahutan dan kupu-kupu terbang bebas mengikuti mereka. Hutan itu terlihat indah dan tidak suram lagi. Nay berteriak. Kakinya seperti mengenai sebuah batu besar. “Ada anergi pelapis, Nay.”“Iya, Wira. Mata air di bawah sana terlindungi energi besar. Kita sudah tidak jauh lagi. Kau bisa melihatnya bukan?”“Iya, ceruk air di bawah itu sangat jernih dan tenang.”“Selubungnya sangat luas dan menjulang. Seperti kubah yang menaunginya.”“Aku akan memeriksanya dari atas.” Wira langsung melesat ke udara. “Setinggi ini, Nay.” Wira memberitahu Nay yang masih mendongak memperhatikannya. Dengan aba-aba tangan, Nay meminta Wira turun. “Kau dengar itu, Wira?” “Ada sesuatu yang datang, Nay,” jawab Wira. “Sepertinya tidak hanya satu
“Iya, Agni. Energiku sudah kembali. Tidak ada lagi rasa sakitnya.” Nay bangkit lalu berdiri sejajar dengan Agnimaya. “Minum airnya, Nay.”“Tidak perlu Agni, aku sudah menghisapnya dari punggungku. Airnya telah mengalir ke semua bagian tubuhku.”“Sekarang kau sudah kebal terhadap racun makhluk-makhluk Rimba Arana. Sebaiknya kita langsung pergi meninggalkan tempat ini, sebelum penguasa rimba tahu kau yang menghancurkan kubahnya.” Wira dan Nay naik ke tubuh Agnimaya. Mereka meninggalkan Rimba Arana. Nay sempat menoleh ke belakang, dilihatnya sepasang makhluk yang digambarkan Agnimaya memandangi mereka dengan tatapan penuh amarah. "Kita akan bertemu nanti," gumam Nay membalas tatapan mereka. ***Pesan WA sudah dikirimkan ke Rey, memintanya untuk memberikan informasi pada polisi perihal kematian Amir dan adiknya. Nay berharap polisi akan meluncur ke TKP pagi ini juga. Pintu apartemen Rey masih tertutup. Belum terdengar suara dari dalam. Dia berdiri di depan pintunya sambil menimbang-n
"Gak diapa-apain. Cuma aku plester saja mulutnya. Gak usah bingung kalau plesternya gak kelihatan." Nay terkekeh. "Aku ingin menanyakan beberapa hal padanya, tapi sebaiknya tidak di sini. Nanti, setelah selesai urusanku, aku serahkan dia padamu. Tapi tolong nanti jangan menyela.""Oke. Siap!"Wira melepaskan kunci energi di kaki paman Amir. Sedangkan di tangannya tetap dibiarkan. Dion menggiring pria itu ke tembok pembatas kebun pisang dan kompleks perumahan di sebelahnya. Jaraknya hanya beberapa meter dari garis polisi tempatnya berdiri tadi. Di situ tidak ada orang berkerumun. Dion mengintruksikan beberapa polisi untuk menyingkir sementara. Entah apa yang dia bisikkan pada rekan-rekannya itu. Nay menempelkan tubuh laki-laki itu pada dinding. Dia mengunci tubuhnya. Kunci di mulutnya Nay buka. Napasnya terengah-engah. Kuncian energi Nay membuatnya hanya mampu bernapas sedikit dari hidung. "Bagaimana rasanya tidak bisa bicara? Enak?" "Kenapa Neng perlakukan saya seperti ini?" "Masi
"Katanya jam tujuh, sekarang sudah hampir jam setengah delapan," ucap Rey ketika Nay membukakan pintu. "Gak sabar amat." Nay mencebik. "Ya, iyalah, lapar tau," sahut Rey mencubit pipi Nay. "Itu sudah siap semua. Kau bawa saja, Rey. Nanti aku menyusul." Nay memberikan box yang sudah disiapkannya pada Rey. Kemudian masuk lagi ke apartemennya. Ia hendak berganti baju.Nay menata makanan di meja makan yang tidak seberapa besar dengan empat kursi mengelilinginya. Rey duduk di kursi paling ujung di sisi kiri. Memandangi Nay sambil sesekali menggodanya."Sudah cocok jadi istri Pak Polisi ya, Bu," kata Rey menopang dagunya memandangi Nay."Tapi Pak Polisi belum bilang apa-apa. Entah kapan dia mau melamar saya." Nay menjawab dengan mimik muka serius. "Ibu mau kalau Pak Polisi lamar sekarang juga?""Tergantung, Pak Polisi yang mana? Yang ini atau yang itu.""Kalau Pak Polisi yang ini, diterima gak, Bu lamarannya?" "Enggak!" Nay terkekeh. "Udahan bercandanya. Katanya lapar. Makan dulu kita.