Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.
•••
Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.
Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.
Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum.
Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seorang gadis desa telah sah menjadi istri dari seorang direktur terbilang muda.
Betapa beruntungnya gadis berusia 18 tahun menikah dengan orang tampan sepertinya. Betapa beruntungnya gadis kelas menengah menikah dari keluarga kelas atas.
Dalam hati tertawa miris. Beberapa membenarkan kalimat tadi termasuk aku sendiri. Tidak ada yang berpikir betapa sengsaranya gadis berusia 18 tahun menghabiskan masa muda dengan menjadi seorang istri yang seharusnya masih bermain dengan yang lain, mengerjakan tugas dan mulai sibuk menata masa depan.
Namun, aku berbeda. Masa depan apa lagi yang akan aku tata? Apa lagi yang akan aku arahkan ke diriku? Ketika segala mimpiku direnggut oleh perjodohan ini.
"Mari duduk ke pelaminan." Lamunan tadi buyar seketika. Seorang wanita telah menjadi ibu mertuaku sendiri membantu aku berdiri lalu memperbaiki tatanan gaun besar yang meresahkan.
"Baik." Aku hanya tersenyum simpul menanggapi. Mataku ter-arah ke satu perempuan yang baru datang. Dia Nea. Sedang menatap datar tanpa berniat tersenyum sedikit saja.
Aku tersenyum pahit ke Nea agar dia juga bisa tersenyum. Aku tahu Nea marah kepadaku. Lantas tadi malam aku menantang pikiran dia dan menerima semua ini. Jujur sangat sedih ketika aku datang ke kota ini tanpa Nea. Akan tetapi perempuan itu mememberi kejutan dengan kehadirannya sekarang.
Sekarang aku dituntun duduk kepelaminan dan hanya mengikut perintah. Pasrah, yah apalagi yang harus aku lakukan ketika semuanya sudah terjadi? Tidak mungkin aku meminta pisah dihari pernikahanku bukan?
"K-kamu cantik," ucap seorang pemuda yang berdiri disampingku.
"Pakai bahasanya aja." Aku tahu Deni belum terbiasa menggunakan aku-kamu. Dan tidak akan kupaksa itu terjadi. "Terima kasih pujiannya." Tubuh tingginya membuatku terpaksa mendongak memberi senyum ke arahnya.
Aku kembali menatap sekeliling gedung dipenuhi tamu dari pemuda disampingku. Juga ada beberapa tetangga telah menyempatkan waktunya hadir dihari bahagia. Bukan hari bahagia aku melainkan hari bahagia kedua orang tuaku.
Ibu bapak menyapa tamu-tamu penuh senyuman tulus. Betapa senang mereka anak perempuan pertamanya telah menikah. Tak jauh dari pelamin aku juga melihat Lika dan Seni tengah bersenang dan berbincang hangat bersama keluarga.
Mengela napas lega melihat momen sekarang. Jika aku tidak bahagia setidaknya keluargaku bahagia. Tak apa aku menutup rapat kesedihan ini.
Mataku kembali mencari sosok Nea. Entah ke mana anak itu, aku tidak melihatnya di tempat dia menatapku tadi. Apa dia sudah pulang secepat ini?
"Hayoloh nyari aku, yaa!" Doar. Seketika jantungku terpompa begitu cepat. Suaranya tak lain dari Nea begitu mengagetkan. Tanganku langsung saja memukul lengannya. Nea terkadang menakutkan seperti saat baru datang tapi anak ini juga lebih menyebalkan.
"Ngagetin aja. Gimana kalo aku tadi teriak? Pingsan? Mau nolongin?"
"Lah, aku bodoamat. Kan ada suami kamu yang tolongin." Nea berkata santai dan sinis diakhir kalimatnya.
"Apaan sih!" ketusku langsung kujewer telinganya. Jujur saja Nea begitu cantik hari ini. Meski hanya memakai dress selutut berwarna moca sangat cocok dikulit kuning langsatnya.
"Tadi aku liat datar mulu, sekarang mood lagi," ejekku menatapnya intens takut anak ini kesurupan. Meski aku hanya bercanda. Aku tahu Nea orangnya seperti itu. Mood dia cepat berubah dan paling bagusnya Nea bisa mengontrol diri ketika emosi.
"Udah ah, lupain. Aku malas bahas itu!"
"Terus?"
"Aku tanya, apa kamu udah siap kalau nanti malam bikin anak?" Ups. Ingin sekali mengumpat saat ini. Nea sialan! Bisanya dia bertanya itu yang pastinya kujawab tidak mau lah.
Aku mempelototi Nea. "Udah sana pergi makan!" Mengusir adalah jalan tepat dari pada tinggal diatas pelamin membuatku kesal dengan pertanyaannya.
"Iyasih. Aku makan aja deh." Baru selangkah dia kembali lagi ke arahku. "Siap punya anak berapa?" Jika saja bukan hari pernikahan. Aku sudah mengejar Nea dengan sapu dan melempari sandal jepit. Gadis itu hanya tertawa, segera berlalu sebelum aku mengamuk. Oh Tuhan, aku belum sanggup dan siap punya anak.
Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.•••Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk."Hari yang sangat melelahka
Masih bisa terhindar, entah untuk hari esok.•••Aku mengatur napas pelan-pelan dan mulai berusaha menetralkan diri. Sangat bingung dalam keadaan sekarang. Bersyukur dia tidak memaksaku untuk melakukan hubungan intim. Meskipun melakukannya dalam hubungan suami istri adalah hal yang wajar.Beberapa menit kemudian aku sedikit mendengar dengkuran pelan darinya. Mungkin dia juga sangat kelelahan hari ini. Pelan-pelan aku turunkan tangan dari perut kecilku. Setelah itu bangun diam-diam agar dia tidak menyadari.Mengusap dada saat berhasil lolos dari kasur tadi. Aku segera berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Tak lupa menggosok gigi meski tadinya sudah. Setelah gosok gigi, aku menatap cermin besar di sana lalu kembali mencuci muka.
Menyusuaikan diri pada lingkungan baru tidaklah mudah.•••Setelah kejadian semalam tanpa sengaja mama dan papa mertua mendatangi kamar kami dengan raut wajah begitu panik. Dari ketukan pintu saja bisa menjelaskan mereka khawatir. Aku tidak sadar akan membangunkannya malam-malam akibat suaraku begitu keras.Saat terdengar ketukan pintu Deni langsung saja meninggalkan aku sedang berada dibawahnya. Segera kuperbaiki posisi pakaian dan rambut berantakan akibat meronta begitu keras saat dipelukannya. Namun, kekuatan perempuan seperti diriku kalah dengan Deni.Kami begitu terkejut mendapati pria dan wanita di mana kulit-kulitnya mulai termakan usia. Mereka langsung bertanya ada apa antara kami? Samar-samar aku melihat Deni hanya tersenyum jail sampai dereran giginya terlihat. Jujur saja aku
Semua akan baik-baik saja.•••Mama dan papa mertua pamit ketika barang kami sudah masuk ke rumah baru. Setelah mobil mereka menghilang dari penglihatan. Aku kemudian masuk rumah mengekor dibelakang punggung Deni penuh kecemasan bukan kebahagiaan.Betapa terkejutnya aku saat pertama kali menginjakkan kaki. Rumah sangat bersih dan sudah terisi barang layaknya rumah pada umumnya. Rumah minimalis berdesain mewah. Entah berapa banyak lagi uang yang dikeluarkan Deni membeli ini dan seisinya."Sini aku tunjukin seisi rumah." Aku hanya mengangguk lanjut mengekor dibelakangnya.Pandangan pertama ketika masuk dihadapkan ruang tamu. Setelah itu ada rak buku, televisi dan satu sofa panjang untuk bersantai sekaligus menjadi ruang kelurga.Dekat sofa ada pintu kamar. "Kamar kit
Perlakuan atas ketidak biasaan membuatku risih akan itu. ••• Suara alarm membangunkan aku setelah begadang karena terjaga. Melihat jam tertera sudah menunjukkan pukul 05.07 menit, berarti tidurku hanya satu jam lebih empat puluh menit. Menghela napas lega ketika melihat Deni masih terlelap dalam tidur dengan membelakangiku. Perlahan aku turun dari ranjang, sangat pelan agar dia tidak terbangun. Masuk ke dalam toilet berniat menggosok gigi dan mengambil air wudhu melangsungkan salat sendiri. Yah, seharusnya Deni menjadi imamku tapi dia lebih memilih tertidur. Setelah itu aku memakai kerudung. Melihat Deni masih terlelap. Entah apa yang harus kupanggilkan biar dia terjaga dari tidurnya. "
Menyesuaikan diri dari awal tidaklah mudah.•••Ketukan pintu dari rumah terdengar. Aku menghentikan tangan mendesain pada kertas putih yang aku minta dari ibu membawakannya. Alhasil ibu memasukkan beberapa alat tulis digunakan mendesain dalam koper.Merapikan secepat mungkin lalu memasukkan ke dalam kotak dan menyelupkan di bawah kasur. Setelah itu aku terburu-buru membuka pintu di mana Deni sudah menunggu."Mari masuk," kataku tanpa senyuman dan hanya menatapnya sekilas. Aku berlalu saat dia masuk, di mana dia duduk di kursi ruang tamu membuka sepatunya."Rhena," panggilnya membuat langkahku terhenti."Iya, apa?" tanya ku begitu polos."Ambil tasku ini dan bawa ke kamar, letakkan di meja," suruh dia langsung saja kuangguki dan mengambil tas hitam b
Lagi-lagi perlakuan kecil membuatku terlena .•••Aku terbangun di jam yang sama seperti hari kemarin. Setelah menunaikan kewajiban dengan salat subuh, segera menuju dapur berniat membuat sarapan. Perihal membersihkan rumah urusan nanti.Sebenarnya kecewa saat Deni
Pada kenyataan, rahasia ini akan terbongkar juga.•••Jam menunjukkan pukul satu lewat lima menit dan Deni tak kunjung datang. Aku pikir Deni hanya berpura-pura saja ingin mengantar atau hanya sekadar cari empati. Jika saja membiarkan aku keluar sendiri pasti sudah tiba di kafe lebih awal.Aku kembali mengintip dijendala dekat pintu, tak ada tanda-tanda dia akan datang. Tiba-tiba saja deringan HP menghentikan aku mondar-mandir tidak jelas. Aku tersenyum melihat siapa yang menelponku."Halo, Rhena!""Haiii.""Lo udah di mana? Gue di sini sudah nungguin lo nggak datang-datang!""Maaf, ini masih nunggu seseorang nganterin.""Naik taxi nggak bisa?""Nggak bisa, taxi jarang lewat komplek ini dan