Share

Part 7. Hari Bahagia

Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.

•••

Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.

Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.

Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum. 

Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seorang gadis desa telah sah menjadi istri dari seorang direktur terbilang muda.

Betapa beruntungnya gadis berusia 18 tahun menikah dengan orang tampan sepertinya. Betapa beruntungnya gadis kelas menengah menikah dari keluarga kelas atas.

Dalam hati tertawa miris. Beberapa membenarkan kalimat tadi termasuk aku sendiri. Tidak ada yang berpikir betapa sengsaranya gadis berusia 18 tahun menghabiskan masa muda dengan menjadi seorang istri yang seharusnya masih bermain dengan yang lain, mengerjakan tugas dan mulai sibuk menata masa depan.

Namun, aku berbeda. Masa depan apa lagi yang akan aku tata? Apa lagi yang akan aku arahkan ke diriku? Ketika segala mimpiku direnggut oleh perjodohan ini.

"Mari duduk ke pelaminan." Lamunan tadi buyar seketika. Seorang wanita telah menjadi ibu mertuaku sendiri membantu aku berdiri lalu memperbaiki tatanan gaun besar yang meresahkan.

"Baik." Aku hanya tersenyum simpul menanggapi. Mataku ter-arah ke satu perempuan yang baru datang. Dia Nea. Sedang menatap datar tanpa berniat tersenyum sedikit saja.

Aku tersenyum pahit ke Nea agar dia juga bisa tersenyum. Aku tahu Nea marah kepadaku. Lantas tadi malam aku menantang pikiran dia dan menerima semua ini. Jujur sangat sedih ketika aku datang ke kota ini tanpa Nea. Akan tetapi perempuan itu mememberi kejutan dengan kehadirannya sekarang.

Sekarang aku dituntun duduk kepelaminan dan hanya mengikut perintah. Pasrah, yah apalagi yang harus aku lakukan ketika semuanya sudah terjadi? Tidak mungkin aku meminta pisah dihari pernikahanku bukan?

"K-kamu cantik," ucap seorang pemuda yang berdiri disampingku.

"Pakai bahasanya aja." Aku tahu Deni belum terbiasa menggunakan aku-kamu. Dan tidak akan kupaksa itu terjadi. "Terima kasih pujiannya." Tubuh tingginya membuatku terpaksa mendongak memberi senyum ke arahnya.

Aku kembali menatap sekeliling gedung dipenuhi tamu dari pemuda disampingku. Juga ada beberapa tetangga telah menyempatkan waktunya hadir dihari bahagia. Bukan hari bahagia aku melainkan hari bahagia kedua orang tuaku.

Ibu bapak menyapa tamu-tamu penuh senyuman tulus. Betapa senang mereka anak perempuan pertamanya telah menikah. Tak jauh dari pelamin aku juga melihat Lika dan Seni tengah bersenang dan berbincang hangat bersama keluarga.

Mengela napas lega melihat momen sekarang. Jika aku tidak bahagia setidaknya keluargaku bahagia. Tak apa aku menutup rapat kesedihan ini.

Mataku kembali mencari sosok Nea. Entah ke mana anak itu, aku tidak melihatnya di tempat dia menatapku tadi. Apa dia sudah pulang secepat ini?

"Hayoloh nyari aku, yaa!" Doar. Seketika jantungku terpompa begitu cepat. Suaranya tak lain dari Nea begitu mengagetkan. Tanganku langsung saja memukul lengannya. Nea terkadang menakutkan seperti saat baru datang tapi anak ini juga lebih menyebalkan.

"Ngagetin aja. Gimana kalo aku tadi teriak? Pingsan? Mau nolongin?"

"Lah, aku bodoamat. Kan ada suami kamu yang tolongin." Nea berkata santai dan sinis diakhir kalimatnya.

"Apaan sih!" ketusku langsung kujewer telinganya. Jujur saja Nea begitu cantik hari ini. Meski hanya memakai dress selutut berwarna moca sangat cocok dikulit kuning langsatnya.

"Tadi aku liat datar mulu, sekarang mood lagi," ejekku menatapnya intens takut anak ini kesurupan. Meski aku hanya bercanda. Aku tahu Nea orangnya seperti itu. Mood dia cepat berubah dan paling bagusnya Nea bisa mengontrol diri ketika emosi.

"Udah ah, lupain. Aku malas bahas itu!"

"Terus?"

"Aku tanya, apa kamu udah siap kalau nanti malam bikin anak?" Ups. Ingin sekali mengumpat saat ini. Nea sialan! Bisanya dia bertanya itu yang pastinya kujawab tidak mau lah.

Aku mempelototi Nea. "Udah sana pergi makan!" Mengusir adalah jalan tepat dari pada tinggal diatas pelamin membuatku kesal dengan pertanyaannya.

"Iyasih. Aku makan aja deh." Baru selangkah dia kembali lagi ke arahku. "Siap punya anak berapa?" Jika saja bukan hari pernikahan. Aku sudah mengejar Nea dengan sapu dan melempari sandal jepit. Gadis itu hanya tertawa, segera berlalu sebelum aku mengamuk. Oh Tuhan, aku belum sanggup dan siap punya anak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status