Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa.
"Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.
Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama.
"Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya.
"Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.
Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa pelayan mulai menata kamar itu sekali lagi. Membubuhkan helaian bunga lily putih di sepanjang ranjang.
"Kau membawa siapa, Will?" tanya Judish yang baru selesai mandi. Pria jangkung itu teman William. Matanya mencuri pandang pada seorang gadis yang diletakkan di sofa empuk ruang utama.
Sedikit menelisik atau bahkan mengingat-ingat sesuatu. Judish mencoba mendekati Boo, gadis yang terlelap nyaman itu. Namun, masih beberapa langkah lagi, William menahan tubuhnya.
"Dia Boo, kerabat jauhku. Ia akan tinggal di sini sesuai wasiat ayahnya."
Lumayan manis
Judish kembali mendekati Boo yang bahkan tak terusik sejak tadi. Mungkin gadis ini mati suri sejak dalam perjalanan, pikirnya.
Bibir mungil itu sekali-kali akan mengatup, membuka dan jemarinya akan menggaruk rambutnya yang gatal. Hal ini tak luput dari pandangan Judish, si pria manis berlesung pipi.
"Manis sekali gadis ini," ucap Judish yang kemudian membenarkan helaian rambut gadis itu yang menutupi wajahnya.
"Kau tak tahu saja mulutnya kalau mengoceh. Persis seperti Mrs. Dora," sungut William saat mengingat percakapan mereka dalam mobil tadi.
Memang benar William mengetahui bahwa Boo sangat tak suka padanya. Namun, sekali lagi ia mengindahkannya. Baginya Boo hanya salah paham saja.
"Mati kau, Will..."
Keduanya saling pandang. Memperhatikan Boo yang mulai bergerak resah dalam tidurnya. Gadis itu bahkan menghentak-hentakan kakinya hingga sepatu kets miliknya terlempar jauh.
"Dia bahkan mengumpatimu dalam tidur. Wah, sepertinya memang dia benci kau, Will."
William hanya mendengkus kecil. Ia bahkan tak keberatan jika Boo membencinya. Asal, gadis itu bersamanya hingga nanti.
"Kalian sedang apa?" itu Charlie, si kelinci begundal. Ini bukan hanya sebutan saja. Nyatanya memang ia manusia setengah kelinci.
Pria kecil itu melompat-lompat dengan telinga panjangnya yang ikut bergerak lucu."Char, kita mendapat tamu yang cantik. Kau pasti akan suka," ujar Judish semangat. Ia bahkan menarik lengan Charlie cepat.
Charlie yang tak nyaman dengan bentuk kelincinya, mengubah tubuhnya kembali seperti manusia biasa dengan keadaan shirtless.
Oh, maafkan begundal satu ini. Ia memang suka telanjang."Bukankah dia itu anak kecil yang kau gendong itu, Will? Anak si tukang suruh itu, 'kan?" tanya Charlie begitu ia ingat sesuatu hal yang berkaitan dengan Boo. Wajah gadis itu memang tak asing baginya.
Apalagi saat kecil, gadis itu pernah menarik kedua telinga panjangnya hingga Charlie menangis pedih. Bulu-bulu sekitar telinganya rontok banyak. Ia kini mulai kesal karena telah mengingatnya kembali.
Gadis begundal, lihat saja nanti. Aku akan menarik rambut panjangmu juga sampai kau botak!
"Bawa dia jauh-jauh dariku. Hush! Aku takut telingaku ditarik lagi." Charlie kemudian mengusap-usap sayang kepalanya.
"Bisa ku pastikan ia bahkan tak ingat padamu, Char. Boo yang sekarang adalah gadis yang berbeda. Aku harap kau bisa melupakan kejadian waktu itu. Maafkan dia, ya?" pinta William sambil mengusak rambut tebalnya.
"Tapi... Aku tetap saja harus waspada. Siapa tau nanti dia akan berulah lagi," ucap Charlie takut.
"Sudahlah. Lebih baik kau bawa Boo ke kamarnya, Will. Lihatlah, ia tak leluasa bergerak di sofa itu," titah Judish yang sejak tadi mengamati gerak-gerik Boo. Gadis itu menggaruk tubuhnya keras sekali.
"Baiklah. Aku akan menggendongnya ke dalam. Smenetara itu, Judish, tolong tidurlah dengan Charlie. Sepertinya ia begitu ketakutan melihat Boo."
Benar saja saat Judish tengok ke sisi kanannya, Charlie masih merengut dan mukanya memerah. Isakannya juga samar-samar mulai terdengar.
"Hey sudahlah. Nanti pagi aku ingin kau dan gadis itu berbaikan. Malam ini kau bisa tidur denganku."
Mendengar hal itu, Charlie langsung merubah raut wajahnya. Pupilnya membesar dan gigi kelincinya menyembul.
"Asik, aku tidur dengan Judish. Nanti sebelum tidur kita main monopoli dulu, bagaimana?"
"Terserah saja. Ayo ke kamarku. Selamat malam Ketua Will," pamit keduanya bebarengan.
¶¶___________________________________________¶¶
William menoleh pada Boo. Ia mencoba menyelipkan lengannya di belakang tubuh gadis itu. Mencoba menyeimbangkan beratnya yang ditumpu kedua lengan itu dengan baik.
Detik berikutnya, Boo telah berada dalam bridal style.
Mereka bergerak masuk ke kamar baru Boo.Kamar yang telah lama tak ditempati siapa pun di sana. Tempat yang selalu sunyi dan gelap.Kini semua telah dilenyapkan. Kesuraman tak nampak lagi setelah Pelayan Song memerintahkan beberapa maid merapihkan serta membuat warna kamar itu menjadi hidup.
Diletakannya perlahan tubuh Boo yang langsung tergulung dalam selimut.
"Ku harap kalian cukup tenang. Jangan membuat ulah pada malam ini. Hanya amati dia sepuasmu. Mengerti?"
Semuanya mengangguk setuju dalam kegelapan. Walau begitu, William mengetahui bahwa semuanya telah mendengar perintahnya tadi. Maka dengan segera, ia melewati kamar itu dan menutupnya perlahan.
Mengetahui Ketua Will telah menjauh, bisik-bisik mulai terdengar dan makin kencang.
"Jangan dorong aku, bag!"
" Kau menginjak kakiku."
"Tubuhku robek lagi."
"Jangan berisik kalian, nanti gadis itu bangun dan kita akan kena marah Ketua Will!"
"Aku bahkan tak peduli. Gadis itu harus tahu kita di sini."
"Nanti saja setelah ia mengamati sekitar. Sekarang, jauhkan bola mata kalian semua dan pergi ke tempat masing-masing!"
"Jika aku masih mendengar suara satu saja, maka—"
"...Ah, baiklah."
"Tapi sungguh. Sepertinya aku pernah melihat gadis itu."
"Diamlah. Atau nanti Paman Kaki Emas marah lagi."
Semua mulai sunyi kembali. Hanya terdengar suara detik jam menyebalkan yang mengganggunya.
Boo, gadis itu bahkan sejak tadi telah terbangun. Ia mendengar semua saat di sofa tadi. Bahkan ucapan-ucapan dari kamarnya pun sialnya ia dengar.
Ia memejam erat. Mencoba berpikir baik. Ia sungguh tak ingin berhubungan dengan mereka lagi sejak dua belas tahun lalu. Baginya, mereka tak nyata. Mereka mungkin di sihir iblis sehingga berceloteh ke sana- ke mari.
Ia sungguh tersiksa saat Mrs. Fan mengeringkan tubuhnya yang basah. Bersenandung lirih dalam malam. Suaranya nyaris melengking di tengah-tengah dan akan merintih saat ujung kalimatnya.
"Tidurlah kembali, Boo dan selamat datang...."
Sial, ia ketahuan masih terjaga. Memang Mrs. Fan tahu bau tubuh orang terjaga. Bahkan, ia tahu bau ketakutan yang Boo sembunyikan rapat dalam pelukannya.
"Berhentilah memanggil namaku!" balas Boo sengit.
Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa p
Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu."Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam."Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja."Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.
ValdishSejak Boo memberikan hadiah pada Valdish, pria itu terus mengekorinya. Ia mengucapkan terima kasih lagi malam ini. Tentu saja gadis itu merasa tak nyaman. Sebab, jika dipikir lagi, Valdish sepertinya telah salah paham. Ia menjelaskan bahwa hadiah itu dari seseorang bernama Alexa. Namun, pria itu tak percaya.Sampai akhirnya Valdish meminta Boo pergi bersamanya ke hutan. Kebetulan hari ini ia tak menemui Azua karena pria itu tengah berada di luar. Tak ada kecurigaan awalnya. Meski hatinya mengatakan jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Valdish menggenggam jemarinya erat saat mereka melewati bagian timur hutan. Gadis itu terpana melihat sesuatu yang bercahaya mengelilinginya. Kegelapan dalam hutan seakan lenyap begitu saja.“Kau menyukainya? Ini kerabat dekat flowerblast. William membawa mereka kemari.”Boo terus terkesima saat melihat seekor rusa. Warnanya yang merah kecoklatan, seakan terlindungi. Rusa itu terus be
Hari ini terik sekali. Boo, Christ, Valdish dan Charlie masih berkutat dengan ujian tengah mereka. Rasanya seperti neraka. Mrs. Zoe terus mengawasi dengan ketat. Bahkan tak ada murid yang berani membuka suara. Sebab, jika terlihat gerakan mencurigakan, wanita itu tak segan mengambil kertas ulangan dengan paksa.Kali ini Mrs. Zoe melewati bangkunya dan Valdish. Mengentakkan sepatu pantofelnya nyaring. Tinggal satu soal lagi yang harus Boo kerjakan. Ia sedikit melirik kertas Valdish yang telah terisi hampir seluruhnya. Sulit sekali. Padahal pria itu telah membuka lebar kertas miliknya dan bergumam pelan. “Cepatlah salin,” ujarnya begitu perlahan sambil mengamati guru mereka yang untungnya telah berada di bangku lainnya.Boo segera menyalin jawaban di soal terakhir. Ia tak lupa mengatakan terima kasih. Valdish yang gemas, mengusak surai panjangnya. Ah, pria itu tampan sekali.“Mrs. Zoe, aku telah selesai,” ucap Valdish yang kemudian bangkit
Boo meringis kesakitan saat Azua membersihkan sisa luka yang mengering di tubuhnya. Beberapa menit setelah gadis itu limbung, tiga jamur yang menggigitnya telah dimasukkan ke dalam kantung khusus penahan makhluk. Lukanya cukup dalam bagi manusia lemah. Azua sampai harus repot memindahkan tubuh gadis itu ke tempat tidurnya. Ia sibuk meracik ramuan penyembuh. Sesekali melirik ke arah Boo. Sungguh gadis lemah yang malang, pikirnya. Azua berpikir untuk melatih gadis itu agar kebal saat diserang para makhluk. Sudah jelas jika enam hari ke depan, ia akan menghadapi berbagai makhluk yang akan digunakan sebagai ramuannya. Azua bisa saja melakukannya sendiri. Bahkan jika dipikir, lebi cepat ia lakukan tanpa bantuan seseorang. Namun, melihat gadis itu hampir sekarat karena gigitan anak jamur, rasanya ada simpati yang muncul. Ia harus melindungi gadis ini. Ramuan penyembuh racikannya telah dibuat sempurna. Di
Boo ditemukan seekor rubah merah yang kebetulan tengah melintas. Rubah itu kemudian mengubah dirinya menjadi manusia. Ada rasa penasaran saat mencium aroma tubuh gadis ini. Tercium aroma citrus yang segar menguar dari tubuh Boo. Rubah itu terus mendekat hingga menghirup ceruk leher gadis itu. "Hentikan dan bawa gadis itu ke tempatku!" seru Azua yang datang dari arah sebrang. Rubah itu terlihat ketakutan. Ia segera membawa gadis itu menuju tempat tuannya. Azua, pria yang merupakan penguasa dalam hutan mengikutinya dalam diam. Ada semacam tali transparan yang mengkilat di sekitar pondok Azua. Ia sengaja memantrainya agar tak ada makluk yang dapat masuk, kecuali manusia. Maka, setelah berada di sekitar tali pembatas, rubah itu memberikan Boo dalam dekapan Azua. Kemudian, ia kembali ke bentuk semula. "Tuan, gadis itu siapa?" tanya rubah sambil terus memperhatikan Boo dari dekat. Azua mengernyit tak suka, "Pergil