Share

Chapter 2 : A Freaky Young Man

Beradaptasi dengan lingkungan baru mungkin tidak begitu mudah bagi Irene. Gadis berusia dua puluh dua tahun itu terus saja menatap keluar jendela kamarnya berharap badai salju segera usai. Hari ini dirinya berencana pergi ke Art Gallery untuk mempersiapkan pameran yang akan diadakan minggu nanti. Sepertinya dia akan terlambat buktinya lima belas menit lalu, rekan kerjanya memberitahu bahwa teman-temannya yang lain sudah berkumpul disana.

Sialnya dia tidak melihat perkiraan cuaca hari ini, ibunya bahkan sudah pergi ke kantor terlebih dahulu saat fajar belum menyingsing. Kalau dia tidak datang hari ini ke lokasi pameran, dia sendiri jadi tidak enak sebab dua hari yang lalu sudah absen karena membantu sang ibu mengurusi kantor baru.

Setelah beberapa saat pikirannya berkecamuk, ia kemudian memutuskan untuk mengendarai mobilnya menuju Art Gallery Kota Hollo di tengah badai yang sedang berlangsung padahal sudah ada larangan untuk tidak mengendarai mobil. Tetapi sialnya, saat pertengah jalan tiba-tiba mobil yang ia kendarai mogok.

"Shit! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Frustasinya sambil mencoba menyalakan mobilnya beberapa kali, dirinya bahkan tidak mengerti tentang mesin mobil sama sekali selain hanya bisa menyetir.

"Halo! Peter, aku sepertinya akan sedikit terlambat." Lirihnya setelah sambungan ponselnya terhubung.

"Kau dimana?"

"Di pertengahan jalan. Mobilku tiba-tiba saja mogok."

Terdengar helaan napas kasar dari seseorang di seberang sana. "Sudah aku bilang untuk tidak usah datang hari ini apalagi diluar sana sedang ada badai."

"Ya! Mana bisa seenaknya begitu."

"Aku akan kesitu, kirim saja lokasinya."

"Tidak perlu, aku bisa menunggu mobil lain yang lewat disekitar sini. Aku akan menumpang." Ujarnya.

"Jangan! Bagaimana jika mobil yang kau tampangi ternyata ada orang jahat di dalamnya."

Irene mendengus kesal sepertinya Peter terlalu banyak mengkhawatirkan dirinya. "Ya! Kau paranoid sekali" Ujarnya.

"Lebih baik kau urusi saja persiapan pameran Minggu depan dan bilang juga kepada yang lainnya kalau aku akan terlambat. Aku akan memikirkan caranya sendiri untuk sampai kesitu." Kemudian gadis itu langsung memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.

Dari luar jendela salju turun dengan lebat bahkan jalanan di depannya tidak bisa dia lihat dengan jelas. Sejak tadi belum ada satupun kendaraan yang lewat lagipula hanya orang bodoh yang keluar saat badai salju sedang berlangsung. Jadi anggap saja dia juga salah satu orang bodoh karena nekat keluar rumah disaat sekarang ini.

Memutuskan keluar dari mobil sambil memasukan kedua tangannya kedalam mantel coklat yang ia pakai. Lalu membuka kap mobil guna memperbaiki kabel mana yang putus tetapi masih tidak berhasil. Angin berhembus begitu kencang membawa butiran salju hingga berhasil membuat kakinya kebas karena kedinginan.

"Bagaimana ini..." Lirihnya begitu frustasi.

Kemudian pandangannya teralihkan ketika mendapati dari kejauhan ada mobil terlihat melaju ke arahnya. Oke, Irene harus segera menghentikan mobil itu jika tidak ingin berlama-lama disini. Beberapa kali tangannya melambai sambil berteriak meminta tolong supaya pengemudi mobil bisa melihat ada orang didepannya. Sampai akhirnya ia berhasil, mobil itu kemudian berhenti didepan mobilnya yang mogok.

Jemarinya kemudian mengetuk kaca gelap dipintu pengemudi mobil itu beberapa kali sampai kacanya terbuka. "Bisa tolong aku, Sir? Mobilku tiba-tiba saja mogok di sini." Tanya Irene ramah.

Namun, tiba-tiba gadis itu terkejut ketika mengetahui bahwa Reveline Smith yang ada didalam mobil itu seorang diri. Ah, kenapa dia tidak ingat bahwa dirinya sempat melihat mobil yang Reviline gunakan terparkir di bagasi mobil milik pemuda itu. Pantas saja tadi ia begitu familiar ketika melihat mobil itu melaju ke arahnya.

"K-kau..."

Tatapan pemuda itu masih terlihat arogan dengan aura dingin yang begitu kental. Menatap Irene sebentar lalu memilih membuka kunci pintu mobilnya. Irene kemudian hendak membuka pintu penumpang tetapi segera dihalau oleh Reviline.

"Duduk didepan." Suruh pemuda itu.

Dengan berat hati, Irene duduk disamping kursi pengemudi yang Reviline duduki. Hingga beberapa saat setelah mobil milik pemuda itu melaju suasananya begitu canggung. Tidak ada suara selain suara mesin mobil. Keduanya bahkan hanya berdiam diri dengan kesibukannya masing-masing, sejak tadi Irene hanya bisa menatap ke arah luar jendela.

Ia sendiri bingung mengapa dipertemukan lagi dengan pemuda Smith yang begitu menyebalkan. Padahal dirinya sudah berjanji tidak ingin berurusan lagi dengan Reveline tetapi yang ada sekarang dirinya malah satu mobil dengan pemuda sialan itu. Sikapnya bahkan masih saja menyebalkan. Jika saja ada kendaraan lain yang lewat disekitar sini, Irene tidak mungkin mau menumpang kepada pemuda sialan itu.

Irene sendiri heran kenapa Reviline berkeliaran saat badai salju sekarang ini bukannya malah memilih untuk berdiam diri dirumah saja. Ah, ingatkan dia bahwa pemuda disampingnya ini memang benar-benar bodoh. Pemuda itu cocok sekali untuk mendapatkan predikat orang paling bodoh di dunia. Irene kemudian memfokuskan kembali dirinya untuk tidak menghiraukan pemuda disampingnya.

"Bodoh! Kau ingin kita hanya berkeliling disekitar sini saja!"

"Hah?..."

Tatapan Irene kemudian mengarah kepada pemuda yang masih fokus menyetir itu.

Reviline menghela napas kasar "Kau pikir aku supirmu. Jadi kemana tujuanmu, Nona?"

Irene mual sendiri mendengar pemuda itu menyebutnya dengan manis, sampai gadis itu memutar bola matanya malas. "Art Gallery Kota Hollo." Jawab gadis itu seadanya.

Irene kembali mengalihkan pandangannya ke arah depan "Lalu, aku sendiri heran kenapa kau keluar disaat badai salju. Kau akan pergi ke suatu tempat juga?"

"Tentu saja lalu untuk apa aku harus repot-repot keluar rumah kalau tidak ada urusan diluar." Ujar pemuda itu kesal. "Kau pikir aku mengikutimu, begitu?"

"Ya! mana ada seperti itu. Aku kan tadi hanya bertanya bukan menyimpulkan sesuai apa yang kau bicarakan."

Saat ini Irene merasa sebal sekali tapi hanya bisa meremas kedua telapak tangannya sendiri. Padahal dia bisa saja langsung memukul muka tampan milik pemuda sialan itu sampai dia mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Tapi harus ia tahan karena pemuda itu sudah mau memberinya tumpangan kalau tidak mungkin dia bisa mati kedinginan disana.

"Menurut perspektifku itu sama saja." Suara bariton terdengar ditelinga Irene.

"Kalau begitu benar, kau memang mengikutiku sampai kesini." Tanya Irene.

Padangan keduanya kemudian tanpa sengaja bertemu membuat Irene tidak nyaman. Ada perasaan aneh ketika dirinya menatap pemuda itu, darahnya tiba-tiba berdesir begitu saja. Lalu dengan terburu-buru gadis itu mengalihkan pandangannya kedepan.

"Stupid!..."

Sekitar satu jam berkendara akhirnya mereka sampai di depan Art Gallery dengan selamat. Jam menunjukan angka dua siang jadi masih ada waktu sekitar lima jam lagi untuk menyiapkan segala persiapan pameran.

Sebelum turun dari mobil, Irene kembali melihat ke arah pemuda Smith itu. "Thanks Sir, sudah mau menolongku."

Tetapi kembali lagi Reviline enggan melihat ke arah gadis itu. "Anggap saja hutangku waktu itu lunas."

"Aku tidak mengerti." Kening Irene berdenyit bingung.

"Malam itu kau sudah menolongku. Jadi anggap saja semuanya selesai." Auranya masih begitu dingin. Dari sini Irene bisa melihat vein ditangan kekarnya yang masih memegang kemudi. "Aku tidak mau berhutang budi kepada orang lain karena suatu saat orang itu pasti akan meminta sesuatu sebagai balasannya." Ujarnya lagi.

Irene mendengus kesal. "Jadi kau menolong dengan tidak suka rela? Seharusnya tidak perlu kau lakukan jika begitu. Lagipula, orang sepertimu sepertinya tidak tahu betul bagaimana ketulusan seseorang." Gadis itu kemudian memutuskan keluar dari mobil.

"Oh ya, untuk yang tadi. Aku tarik lagi ucapan terimakasihku. Sekarang kira impas bukan?" Ucap Irene. "Jadi untuk kedepannya, tidak usah menolongku lagi." Lanjutnya begitu dingin lalu menutup pintu mobil dengan kasar

Kali ini, dia tidak mau direndahkan lagi.

"Aku pikir kita menyelesaikannya begitu cepat. Meleset dari target kita sebelumnya persiapannya bahkan sudah hampir rampung. Besok hanya tinggal memajang beberapa lukisan yang hari ini sudah diseleksi."

Pemuda tinggi dengan penampilan casual dan rambut hitam yang ditata rapih itu sedang memperbaiki letak lukisan yang terdapat di dinding. Kulitnya tan dengan proposi badan khas orang Asia.

"Kau benar, Peter."

Peter Adam, salah satu rekan Irene yang berprofesi sebagai pelukis juga. Mereka bertemu empat tahun lalu diacara lelang lukisan karya salah satu teman mereka yang namanya sudah tersohor di segala penjuru negeri, Vin Coff.

"Aku suka ini, abstrak. Kau cocok sekali dengan alirannya." Puji Peter ketika melihat lukisan milik Irene sedangkan gadis itu hanya tersenyum menanggapinya.

"Apa yang kau pikirkan ketika melukis ini?" Pemuda tan itu menatap Irene dari samping, menatap heran menunggu jawaban dari gadis disebelahnya.

Memilih berdehem sebentar. "Hari dimana aku melukis ini, aku bertemu seseorang. Dia begitu gelap, arogan, agresif kemudian manipulatif. Aku masih belum bisa menemukan sisi baik dari dirinya tetapi aku pikir ada alasan dari semua yang ada pada dirinya. Dia terlalu abstrak."

Peter terdiam sebentar, mencerna perkataan gadis berambut pirang disampingnya. "Jadi karena orang itu. Apa kau menyukainya?" Tanyanya pelan.

Irene menatap Peter. "Kau bercanda?" Lalu gadis itu tertawa sebentar. "Tentu saja tidak. Bagaimana bisa aku menyukai seseorang yang baru tiga kali aku temui lagipula aku tidak suka dengan sikap semena-menanya." Ujarnya sambil melipat kedua tangannya didepan perut.

"Lalu, ada alasan lain untuk itu?" Tanya Peter hati-hati.

"Tentu saja. Sebagai seorang seniman, aku tidak ingin hanya melukis apa yang aku sukai saja. Mungkin dengan melukis objek yang tidak aku sukai membuat hatiku rileks."

Pukul tujuh malam, persiapan untuk pameran hari ini mereka sudahi dan dilanjutkan besok hari. Irene menatap sepatunya dengan wajah datar sembari sesekali meniup-niupkan telapak tangannya yang terbalut sarung tangan lalu ia tempelkan dimukanya sendiri.

"Apa tidak merepotkan?" Tanya Irene ketika Peter baru saja keluar dari pintu utama Art Gallery.

Pemuda tan itu tersenyum "Tidak, Irene. Lagipula aku ingin tahu rumah barumu dimana."

Keduanya lalu masuk kedalam mobil hitam milik Peter, untung saja badai salju sudah selesai sejak dua jam lalu hingga beberapa truk pengeruk salju terlihat sedang bekerja dijalanan. Hingga satu jam kemudian keduanya sampai di depan rumah Irene.

"Mampir saja dulu." Ajak Irene setelah keduanya keluar dari dalam mobil.

"Lain kali saja. Aku masih harus mengurusi sesuatu di hotel." Jawab Peter seraya menyuruh Irene masuk ke dalam rumah.

"Apa kau tidak mau tinggal di rumahku saja untuk sampai pameran selesai?" Tanya Irene. "Disini masih ada kamar kosong."

Pemuda itu lalu tersenyum hingga menampilkan dimple disebelah pipi kirinya. Ah, manis.

"Tidak usah repot-repot. Aku sudah terbiasa tinggal di hotel ketika ada pameran di luar kota." Jawab Peter.

"Ah, salamkan pada bibi Hana kalau dia harus menjaga kesehatannya dimusim dingin seperti sekarang." Lanjutnya.

Irene lalu tersenyum. Ya, Peter dan ibunya memang sudah sangat akrab untuk itu Peter sering datang berkunjung ke rumahnya dulu sebelum mereka pindah ke Kota Hollo.

"Thanks, Peter. Ingat! Jangan kebut-kebutan seperti tadi ketika mengendarai mobil. Kau berhasil membuatku spot jantung tahu." Ledek Irene lalu keduanya tertawa bersama.

"Of course, Sis! Cepat masuk, aku tidak ingin dimarahi bibi Hana karena membiarkan anaknya membeku di udara dingin malam ini."

Irene lalu melambaikan tangannya ke arah kaca spion ketika mobil yang dikendarai Peter pergi. Beberapa saat kemudian, ketika dirinya hendak masuk kedalam rumah gadis itu melihat Reviline sedang menatap dirinya dari dalam jendela kamar rumah diseberang sana. Akan tetapi saat Reviline menyadari Irene ikut menatap kearahnya, ia kemudian menutup gorden jendelanya dengan terburu-buru. Gadis itu menggelengkan kepalanya melihat tingkah pemuda Smith itu.

Pemuda aneh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status