Share

Chapter 1 : Second Time

Sudah lewat tengah malam.

Jalanan Kota Hollo terlihat begitu sepi menyisakan beberapa kendaraan yang bisa dihitung dengan jari. Mobil Audi milik  Irene Broune masih terparkir tidak jauh dari cafe tadi. Sudah sekitar dua jam ia menunggu, bahkan beberapa tokoh yang ada dijalanan Kota Hollo mulai tutup.

Ah, seharusnya pemuda itu berpikir berapa kali untuk meminum bir jika memang toleransi alkoholnya rendah, alhasil tiba-tiba pemuda itu muntah didalam mobil. Merepotkan saja!

Malam ini, ibunya tidak pulang ke rumah karena baru saja tadi pagi melakukan peresmian kantor cabangnya di Kota Hollo. Ibunya, Hanna Broune yang sudah berumur akhir tiga puluhan masih berdedikasi sebagai psikolog klinis. Sedangkan ayahnya sudah meninggal sejak empat tahun lalu akibat kecelakaan mobil.

Pemuda itu masih belum bangun padahal Irene telah selesai membersihkan luka yang ada diwajahnya. Tidak ditemukan dompet ataupun ponsel di kantong pemuda itu, sepertinya hilang dijalan atau memang bodohnya dia tidak bawa. Untuk saat ini, Irene tidak mempunyai niat membawa pemuda itu ke rumahnya.  Bagaimana jika nanti pemuda jangkung itu mengamuk atau berniat jahat padahal dia sudah menolongnya. Dia tidak bisa mengambil resiko.

"Bagaimana ini?.."

Lirihnya sembari melipat kedua tangan didepan perut. Kepalanya mendadak pusing karena jam tidurnya terganggu.

"Sssttt........"

Pemuda itu terlihat bangkit dari kursi penumpang dan memilih duduk sembari memegangi kepalanya. Sepertinya dia terlihat kesakitan sampai-sampai tidak menyadari bahwa diwajahnya terdapat banyak memar.

"Kau baik-baik saja?"

Gadis bermata biru menoleh kebelakang dari kursi supir sembari menatap pemuda itu cemas.

Mata pemuda itu memicing tajam setelah menyadari dia ada disebuah mobil padahal seingatnya tadi dia pergi ke bar kemudian menengguk beberapa botol bir. Dia mabuk lalu tidak ingat apa-apa lagi.

"Hei! Kau mau kemana?" Teriak gadis itu ketika melihat sang pemuda jangkung keluar dari belakang pintu penumpang.

Pemuda itu berjalan tertatih menghiraukan panggilan Irene berkali-kali. Ia bahkan mengabaikan seluruh rasa sakit di tubuhnya. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa dia bisa seperti ini? Lalu siapa gadis itu?

"Setidaknya jawab aku! Aku sudah menghabiskan waktuku hampir tiga jam menunggumu bangun!"

Akhirnya dengan berlari Irene bisa menjangkau langkah kaki pemuda itu. Tangannya menarik pergelangan tangan pemuda mabuk itu tetapi berhasil ditepis dengan cepat.

"Apa-apaan kau ini?"

Suara bariton milik pemuda itu terdengar dingin ditelinga Irene. Matanya bahkan menatap tajam dirinya jika dilihat dari lampu temaram jalanan yang mulai meredup. "Bastard! Aku yang menolongmu jika tidak kau pasti sudah mati mengenaskan." Irene bersumpah, dia sangat kesal sekarang.

"Lalu apa? Kau mau minta uang sebagai imbalan?"

Intonasinya masih seperti tadi begitu datar hingga Irene pikir orang ini tidak memiliki perasaan. Bagaimana seseorang bisa seflat ini daritadi bahkan ekspresinya menunjukan tidak senang.

Kemudian pemuda itu memekik keras ketika Irene berhasil menenginjak kaki kirinya.

"You bitch!" Teriak pemuda itu marah sembari memegangi kaki kirinya yang sepertinya retak.

"Aku tidak sematrealistis itu. Kau pikir aku wanita pekerja seks komersial yang setiap selesai dengan tugasnya selalu meminta bayaran. Lagi! Harusnya aku tidak menolongmu ketika kau dihajar kedua pria tadi."

Irene kemudian berlari ke arah mobil dengan cepat meninggalkan pemuda itu yang masih terlihat kesakitan.

Persetan!

"Irene, jaket siapa yang ada di kamarmu? Sepertinya mommy tidak pernah melihatnya."

Tanya sang ibu ketika Irene mengambil minuman didalam freezer. Rasanya tenggorokannya membutuhkan minuman segar dipagi hari, tangannya dengan sigap mengambil Coca Cola. Sedangkan ibunya sedang sibuk berkutat didapur menyiapkan omelette untuk sarapan pagi mereka berdua.

"Tidak tahu, aku menemukannya dikursi cafe kemarin malam."

Irene baru ingat, malam itu si pemuda sialan meninggalkan jaket denimnya di kursi penumpang. Sebenarnya dia berencana membuangnya tetapi sampai sekarang ia lupa.

Hanna Broune menghela napas kasar melihat kelakuan anaknya. "Sudah mommy bilang untuk tidak minum soda dipagi hari. Kau masih saja keras kepala!"

Irene hanya tertawa ketika ibunya mulai mengomel tentang dampak buruk minuman soda bagi pencernaannya dipagi hari. Ibunya sudah sering menasehatinya tapi dia memang keras kepala.

Beberapa saat kemudian setelah mereka menyelesaikan sarapannya. Ibunya menyuruh Irene mengantarkan sebuah pudding strawberry untuk tetangga didepan rumahnya sebagai salam perkenalan karena memang sejak awal mereka belum menyapa tentangga rumahnya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya dirumah lalu Irene bergegas pergi menuju rumah tetangganya. Hari ini salju tidak turun tetapi menyisakan gumpalan salju dijalanan. Ia harus ekstra hati-hati ketika melangkahkan kakinya dijalan agar tidak terjatuh.

Setelah beberapa saat kaki jenjangnya berhasil mencapai pagar depan rumah tetangganya. Jika diamati dari jarak dekat bangunan tiga lantai didepannya begitu megah dengan ukiran klasik khas eropa. Bahkan dari bagasi rumah terdapat beberapa mobil klasik seperti Mini Morris tahun 1979 sampai Holden Kingswood hingga mobil keluaran terbaru. Sepertinya tetangganya berasal dari keluarga terpandang di Kota Hollo.

"Dingin sekali..."

Lirih Irene sambil menekan bel pintu didepannya. Belum ada sahutan dari sang pemilik rumah sampai ketiga kali baru seorang wanita tua berumur lima puluhan keluar dari balik pintu. Wajahnya masih terlihat cantik walaupun sudah terdapat beberapa kerutan disekitar wajahnya.

"Selamat pagi nyonya. Maaf telah menggangu." Sapa gadis itu sembari memperlihatkan senyumnya.

"Ah, selamat pagi!" Wanita itu memperhatikan Irene dari atas sampai bawah. Tentu saja karena ia belum pernah melihatnya sebelumnya. " Apa kau yang membeli rumah keluarga Rose diseberang sana?"

"Benar, nyonya. Sudah seminggu keluarga kami tinggal di rumah yang dilelang nyonya Rose."

Gadis itu kemudian memberikan kotak berisi puding strawberry yang kemudian diterima dengan senang hati oleh wanita itu.

"Tadi pagi ibuku membuat pudding strawbery khusus untukmu nyonya. Aku harap nyonya suka."

"Ah, tidak usah terlalu formal begitu. Aku sudah menjadi wanita tua jadi panggil nenek Ellen saja. Ayo masuk kedalam terlebih dahulu."

Irene menganggukan kepalanya sembari mengikuti nenek Ellen dari belakang. Sebenarnya ia ingin cepat-cepat pergi darisini tetapi ia malah memilih masuk karena tidak enak dengan keramahan nenek Ellen. Lagi, wanita itu begitu berbaik hati menghidangkan sebuah coffe bersama dengan kue jahe untuknya.

Hanya membutuhkan waktu sebentar saja Irene bisa akrab dengan nenek Ellen. Yang ia ketahui, nenek Ellen tinggal sendirian ketika suami meninggal akibat serangan jantung sedangkan anak perempuan satu-satunya juga meninggal karena kecelakaan tragis. Tetapi sejak sang anak meninggal, cucunya memilih tinggal bersamanya dari tujuh tahun yang lalu. Sehari-harinya Ma'am Ellen bekerja di tokoh bunga milik keluarganya sedangkan cucunya berprofesi sebagai photographer. 

Hingga beberapa saat kemudian,  seseorang datang menuruni tangga pandangan Irene teralihkan mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.

Seketika gadis bermata biru terang itu terkejut mendapati pemuda mabuk yang kemarin malam dia selamatkan ada di depannya dengan menggunakan hoodie berwarna putih. Pemuda itu bahkan tampak terkejut juga ketika mengenali wajah gadis didepannya, ia ingat kejadian dimalam saat menemukan dirinya berada didalam mobil gadis didepannya.

Tunggu, apa dia yang Irene lihat ketika malam pertama salju turun? Dia cucu nenek Ellen? Pikiran Irene terus berspekulasi tentang pemuda di depannya tetapi memang benar pemuda itu yang menjadi tetangganya.

"Dia cucuku, Reviline Smith."

Dunia memang begitu sempit sampai harus menemukannya kembali dengan pemuda bernama Reviline Smith itu. Entah kebetulan atau memang sebuah takdir mengingat kelakuan pemuda didepannya ini membuatnya menyalahkan takdir.

"Namaku Irene Broune. Aku yang baru saja menempati rumah didepan sana. Aku harap kita bisa berteman baik."

Reviline memilih menengguk segelas coklat panas buatan neneknya lalu kembali pergi ke lantai atas. Ia sama sekali tidak berniat membalas sapaan Irene padahal gadis itu dengan baik tidak memberitahu kejadian malam itu kepada neneknya.

"Dia memang seperti itu. Pribadinya memang dingin kepada orang lain berbeda jauh saat dia masih kecil." Helaan napas terdengar dari nenek Ellen. Ada kesedihan yang tersirat didalamnya.

Irene Broune hanya terdiam sembari mengamati punggung Reviline yang mulai menjauh.

Reviline menatap kepergian Irene dari balkon kamarnya. Ia masih ingat dengan ucapan gadis itu sebelum pergi meninggalkannya di malam itu. Harusnya dia berterima kasih padanya karena sudah berbaik hati menolongnya walaupun dia tidak mengingat apa-apa.

Pemuda itu sudah tidak punya siapa-siapa kecuali sang nenek yang sedari kecil merawatnya setelah ibunya meninggal. Trauma masa lalu membuatnya menjadi pribadi yang tidak mudah didekati oleh orang-orang. Walaupun sudah beberapa kali neneknya membawanya ke Psikiater tapi tetap saja tidak ada perubahan pada dirinya.

Dunia begitu kejam baginya. Jika diberikan pilihan, ia lebih memilih meninggalkan duluan daripada menjadi pihak yang ditinggalkan. Orang-orang yang ia cintai meninggalkannya dengan sebuah luka yang menganga begitu lebar hingga berakhir menjadi pesakitan.

Hawa dingin begitu menyengat kulitnya ketika uap dingin berhasil keluar bersamaan dengan helaan napasnya. Tanpa ia sadari telapak tangannya berubah kemerahan karena terlalu lama diluar ruangan.

"Viline...."

Panggil neneknya yang baru saja masuk kedalam kamarnya membawa potongan pudding Strawbery yang diberikan Irene Broune.

Pemuda itu memutuskan kembali kedalam kamarnya. Neneknya duduk di kursi dekat tempat tidurnya sembari menatap sendu kearah cucunya.

"Sedang apa kau diluar sana? Lihat,  telapak tanganmu jadi merah seperti ini." Neneknya begitu khawatir mendapati telapak tangan Reviline sangat dingin. "Apa kau lama berdiri diluar sana?"

"Tidak perlu khawatir, Nek. Aku tidak papa. Tadi ada seekor burung yang datang ke balkon kamarku jadi aku memotretnya." Pemuda itu tersenyum samar walaupun hanya ditujukan kepada neneknya.

"Jangan mengulanginya lagi! Nenek takut kau demam atau terserang flu.

Reviline hanya mengangguk lalu memilih duduk ditempat tidurnya berhadapan dengan sang nenek. Pemuda itu kemudian memakan pudding strawbery yang dibawakan oleh neneknya.

"Nenek mendapatkannya dari tetangga kita tadi. Mereka baru pindah seminggu yang lalu ke rumah disebrang sana." Tutur sang nenek.

"Sepertinya gadis itu orang yang baik."

Setelah beberapa saat lalu ia kembali dari rumah tetangganya yang ternyata pemuda sialan itu cucu dari nenek Ellen. Dia jadi tidak bisa memfokuskan dirinya untuk menyelesaikan lukisan didepannya. Padahal minggu ini ia dan teman-temannya akan mengadakan pameran di Art Gallery yang terdapat di Kota Hollo.

Irene menggeram perlahan ketika gradasi warnanya dilukisannya tidak sesuai yang ia harapkan, sedikit kacau. Pekerjaannya tidak mungkin bisa dia selesaikan sekarang karena pikirannya berisi pemuda bernama Reviline Smith.

Salahkan saja pemuda itu yang berhasil memberikan pengaruh besar bagi dirinya. Auranya masih sama saat pertama kali keduanya bertemu, Reviline Smith begitu sangat dingin. Ada dinding kokoh yang membentengi dia dari orang lain membuat dirinya sulit sekali didekati. Bahkan pemuda itu masih menunjukkan wajah datarnya sejak pertama bertemu.

"Shit! Bagaimana aku bisa memikirkan pemuda sialan itu."

Oke! Dia butuh sesuatu yang bisa mendingkan otaknya. Memilih menonton film action atau mendengarkan musik mungkin bisa membuatnya pikirannya jernih kembali. 

Untuk saat ini ia benci Reviline Smith dengan pemikirannya tentang pemuda itu. 

Tiba-tiba saja handphonenya berdering, dengan cepat dia mengambilnya dari kantong celana. 

"Hallo, Peter!" 

Terdengar suara berisik dari seberang sana.

"Hallo... Irene! Kemana saja kau ini, kenapa hari ini aku tidak melihatmu disini?" 

Irene mendengus "Sudah aku bilang kepada Bella, hari ini aku tidak bisa datang karena ada urusan. Apa dia tidak menyampaikannya padamu?" Tanya gadis itu. 

"Tidak! Dia diam saja. Kenapa kau tidak memberitahu ku secara langsung saja." 

Irene lalu memilih merebahkan tubuhnya di tempat tidur. "Memangnya kenapa? Aku pikir Bella cemburu karena kau begitu perhatian kepadaku makanya dia tidak memberitahukannya." Ledeknya. 

"Kau gila!" Ujar Peter diseberang sana. Irene hanya tertawa mendengar gerutuan pria itu dari telepon. 

"Oke, aku akan datang nanti." 

Peter terkekeh sebentar "Baiklah, kau janji!" 

"Iya! Kau ini seperti ibuku saja." Gerutunya sebelum mematikan sambungan telepon. 

Ah, hari ini menyebalkan sekali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status