Share

5. LELAKI BERGIGI MANCUNG

"Halo? Saya sudah di depan rumah kamu, saya lupa tanya, namamu siapa?" ucap Kahfi setelah dia baru saja memarkirkan kendaraannya di seberang ruko tempat tinggal Sitta.

"Nama gue Sitta," jawab Sitta di seberang yang saat itu sedang mengenakan hijab panjang milik sang ibunda. Sitta baru saja mengambil hijab milik Ranti yang tergantung di jemuran karena dia tak berani masuk kamar ibunya untuk sekadar meminjam hijab panjang.

Ibunya itu jika sudah marah, agak menakutkan. Dia tak banyak bicara seperti ibu-ibu kebanyakan yang bawel, tapi lebih pada diam dan mengacuhkan keberadaan Sitta.

Mau Sitta bicara apa pun, selama Sitta belum minta maaf dan menyesali perbuatannya, Ranti tetap tak akan menimpali ucapan sang anak gadisnya itu.

Bahkan jika Sitta mogok makan seharian, Ranti tetap tak perduli. Alhasil, Sitta yang kelaparan harus menunggu Ranti tidur di malam hari, barulah dia mengendap-endap ke dapur untuk mencari makanan.

"Nama lo sendiri, siapa?" tanya Sitta balik dengan nada ketus.

"Wuih, santai Mba, nggak usah pake otot kalau ngomong. Tanya baik-baik emang nggak bisa?" balas Kahfi yang jadi sewot.

"Mba-mba, sejak kapan gue jadi Mba lo? Lo sama gue itu udah pasti umurnya tuaan lo!" ucap Sitta lagi dengan suaranya yang terdengar nyaring dan menyakitkan telinga.

"Nah, itu tau kalau gue lebih tua, harusnya lo bisa bicara lebih sopan dong ke gue?" Pada akhirnya, Kahfi yang emosi malah ikut-ikutan bicara dengan kata "lo-gue" pada Sitta. Sepertinya, wanita macam Sitta memang tidak bisa diajak bicara secara baik-baik.

"Mulut-mulut gue, ya suka-suka gue dong mau ngomong kayak gimana?" lagi, Sitta kembali nyolot. Sama sekali tak merasa bersalah atas sikap kasarnya tadi terhadap Kahfi.

"Kenapa gue jadi makin penasaran ya sama lo?" ucap Kahfi kemudian. Entah kenapa, sikap kasar Sitta di telepon saat ini membuat Kahfi jadi semakin bersemangat untuk mengerjai wanita itu.

"Yaudah, gue udah siap nih, cepet jemput," ucap Sitta setelahnya.

Kahfi hendak menutup teleponnya namun suara Sitta yang berteriak di seberang membuatnya urung menekan tombol off.

"Nama lo siapa?" tanya Sitta saat itu.

"Kahfi."

Hingga setelahnya, percakapan mereka pun berakhir sampai di situ.

"Gue jemput tuh cewek dulu ya Bang, lo tunggu aja di sini. Oh ya, nama tuh cewek Sitta, inget," beritahu Kahfi sebelum lelaki itu keluar dari mobil.

Menoleh ke kanan dan ke kiri, Kahfi menyebrang jalan menuju ruko di hadapannya.

Memasuki ruko di lantai satu yang merupakan toko laundry, kedatangan Kahfi disambut oleh wanita sebayanya yang merupakan karyawan toko Laundry tersebut.

"Mau Laundry, Pak?" tanya sang karyawan.

"Oh, nggak. Saya ke sini mau ketemu Sitta. Sittanya ada?" tanya Kahfi pada si karyawan tersebut.

"Oh Sitta, sebentar ya, saya tanya bos saya dulu," jawab sang karyawan seraya berlalu dari hadapan Kahfi.

Kahfi pun menunggu dengan sabar di bangku tunggu, dan tak lama kemudian, Ranti keluar dari ruangannya untuk menemui sang tamu.

Kerutan di kening keriputnya, menandakan bahwa Ranti sedang mencoba mengingat-ingat siapa Kahfi sebenarnya, hingga akhirnya, sebuah senyuman lebar yang merekah di wajah Ranti menunjukkan bahwa dia telah ingat siapa Kahfi sebenarnya.

"Kahfi? Kamu Kahfi, kan?" Sapa Ranti yang kini sudah berdiri di hadapan Kahfi.

Berdiri menyambut Ranti lalu mencium takzim punggung tangan Ranti, Kahfi mengangguk dan mengiyakan ucapan dari wanita yang dia ketahui adalah sahabat karib ibundanya itu.

"Tumben kamu ke sini? Biasanya Laras," ucap Ranti lagi.

"Iya Tante, Kahfi ke sini mau ketemu Sitta," ucap Kahfi memberitahu niatannya semula.

Lagi, Ranti tampak terkejut mendapati fakta bahwa Sitta dan Kahfi saling mengenal satu sama lain. Tapi, kenapa selama ini Sitta tidak pernah cerita padanya tentang Kahfi?

"Kahfi mau minta izin ajak Sitta keluar makan siang," tambah Kahfi lagi. "Mudah-mudahan sih Tante mengizinkan," Kahfi tertawa kikuk sementara Ranti seperti masih tak mempercayai ini semua.

Secara, selama ini, yang Ranti tau, satu-satunya lelaki yang dekat dengan Sitta hanyalah Arka. Remaja begajulan yang selalu membawa pengaruh negatif untuk putrinya itu.

Dan mengetahui bahwa ternyata Sitta dan Kahfi saling kenal satu sama lain, Ranti jelas merasa begitu senang.

Sangat-sangat senang.

Sebab, yang Ranti tahu, Kahfi ini adalah anak yang baik dan berbakti. Kahfi lelaki yang taat beribadah dengan segudang prestasi yang dimilikinya. Bahkan sekarang, Kahfi menjadi penerus perusahaan keluarganya.

Di usianya yang masih begitu muda, Kahfi ini jelas sangat sempurna sebagai seorang lelaki. Tampan, mapan, baik, dan pastinya dia paham agama karena kedua orang tuanya yang selalu memuji-muji Kahfi di hadapan Ranti selama ini.

Ibu mana yang tidak senang melihat sang putri tercintanya itu memiliki teman dekat seperti Kahfi.

Sepertinya, Ranti harus segera memberitahu tentang hal ini pada Laras, sahabatnya yang merupakan ibunda Kahfi sendiri.

"Tante pasti memberi izin dong, masa nggak. Sebentar ya, Tante panggilkan Sitta dulu di atas," ucap Ranti yang dengan tergesa berjalan menuju lantai dua rukonya untuk memanggil Sitta.

Dan belum sempat tangan Ranti meraih kenop pintu kamar sang anak untuk membukanya, pintu kamar tersebut sudah lebih dulu dibuka dari arah dalam.

Bukan hanya Sitta yang terkejut mendapati keberadaan sang ibu yang berdiri tepat di depan pintu kamarnya, Ranti justru terlihat lebih terkejut mendapati penampilan Sitta yang sangat berbeda siang ini.

"Sitta?" Gumam Ranti seperti bermimpi, melihat Sitta berpenampilan layaknya seorang ustadzah, meski Ranti tahu bahwa hijab dan gamis yang Sitta kenakan saat itu adalah miliknya. "Kamu..."

Ranti masih terlalu speechless dengan ini semua, hingga tubuhnya malah membeku di depan pintu, bahkan dia sampai kesulitan untuk berkata-kata, saking takjubnya.

"Sitta mau pergi sama Kahfi, Bun," ucap Sitta membuyarkan keterkejutan Ranti.

"Oh, i-iya, itu Kahfi sudah menunggu kamu di bawah," jawab Ranti terbata masih belum mempercayai ini semua.

Perubahan Sitta jelas membuat hati Ranti semakin dipenuhi oleh kebahagiaan. Dan alasan mengapa Sitta tiba-tiba jadi seperti ini, pastinya dikarenakan pengaruh dari Kahfi.

"Sitta pinjem baju sama kerudungnya ya, Bun," ucap Sitta lagi seraya berlalu dari hadapan Ranti.

Tak mau ketinggalan, Ranti pun lekas mengekor langkah sang anak di belakang. Mereka menuruni tangga bersama-sama.

Langkah demi langkah yang Sitta ambil seolah bersaing dengan degup jantungnya yang semakin menggila.

Sebab, ini kali pertama Sitta pergi keluar bersama lelaki lain selain Arka dan anak-anak genk motornya. Hanya berdua pula.

"Bun," panggil Sitta sebelum mereka muncul di balik dinding menuju ruangan di mana Kahfi menunggu.

"Apa?" tanya Ranti yang jadi ikut menghentikan langkahnya karena lengannya yang tiba-tiba ditahan oleh Sitta.

"Mukanya Kahfi gimana menurut Bunda, jelek nggak sih?" bisik Sitta takut-takut.

"Hush, kamu kalau ngomong ngaco deh, wong Kahfi itu ganteng begitu kok, memang kamu baru ketemuan kali ini sama dia?"

Sitta berdehem untuk merilekskan diri atas kegugupan yang melandanya saat ini. "Nggak sih, Sitta udah sering ketemu, cuma mau minta pendapat Bunda aja." Jawab Sitta yang terpaksa berbohong agar Ranti tak curiga.

"Yaudah, sana cepet temuin Kahfi, kasian dia nungguin lama," Ranti menggamit lengan Sitta hingga wajah keduanya pun kini muncul dari balik dinding dan berjalan menuju di mana Kahfi duduk.

Sitta masih menundukkan kepala, masih ragu untuk menatap ke depan di mana Kahfi kini berada.

Berbeda halnya dengan Kahfi, yang tanpa sadar langsung berdiri dengan tatapan lekat dan lurus ke arah Sitta dan Ranti di sana.

Jadi, Sitta berhijab?

Kayaknya cantik sih, manis, kalem dan anggun juga dari penampilannya.

Tapi kok, kayak nggak sinkron gitu sama ucapan dia yang kasar ke gue?

Beneran dia Sitta?

Gumam Kahfi membatin dengan keraguan besar yang bersarang di dadanya.

Saat itu, Kahfi dan Sitta pun berpamitan pada Ranti untuk pergi, sementara Ranti tampak melepas kepergian sang putri dengan senang hati.

Kini, Sitta sudah berada di seberang jalan menuju lokasi di mana Kahfi memarkirkan mobil.

Sitta terus berusaha menyembunyikan senyum bahagia setelah tahu bahwa lelaki bernama Kahfi itu jauh lebih tampan dari yang dia kira sebelumnya.

Hingga Kahfi membuka pintu mobil bagian belakangnya dan mempersilahkan masuk. Hal itu jelas membuat Sitta terheran-heran.

"Lo pakai supir?" tanya Sitta sebelum masuk ke mobil.

"Ya, saya supirnya," jawab Kahfi dengan nada meyakinkan.

Sitta tampak kebingungan. Sampai akhirnya, seorang lelaki lain melongokkan kepalanya ke arah pintu di mana Sitta berdiri.

Gigi tonggosnya tampak mendominasi senyum lebar yang dia perlihatkan pada Sitta.

"Hai, Sitta? Salam kenal, ini aku Kahfi."

What? Apa maksudnya?

Pekik Sitta membatin dengan wajah syok bercampur bingung.

"Maaf ya, saya sudah berbohong sama kamu dan ibu kamu tadi. Sebenarnya, saya ini cuma supir. Nama saya Epen, dan dia, Kahfi yang asli, majikan saya yang mau mengajak kamu ketemuan."

Mendengar penjelasan yang diucapkan lelaki tampan berkemeja putih di sisinya itu, seketika kepala Sitta memberat dengan tungkai kakinya yang melemah seperti tak bertulang.

Hampir saja Sitta terjatuh jika lelaki tampan yang mengaku supir itu tak lekas menangkap tubuhnya.

Ya Allah, mimpi apa gue semalem, diajak ketemuan sama lelaki jadi-jadian kayak dia, mending gue jalan ama supirnya aja deh ketauan, nggak malu-maluin!

Huft sial banget gue!

Gumam Sitta membatin saat dirinya kini sudah duduk di jok mobil bagian belakang, tepat di sisi lelaki yang mengaku bernama Kahfi.

Lelaki berkulit gosong, dengan gigi mancungnya yang tampak mengerikan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Jee Esmael
Hahahahahhaha
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status