Share

7. HABIS KESABARAN

"Sitta?" pekik Arka kaget bukan main.

Awalnya Arka tidak engeuh bahwa wanita berhijab yang berpapasan dengannya di jalan itu adalah Sitta sahabatnya, jika bukan karena Dinda yang memberitahunya.

Sementara Sitta, yang memang berharap Arka dan Dinda tak melihatnya merasa lega begitu dia berhasil melewati dua sejoli yang sedang kasmaran itu.

Namun, sial bagi Sitta saat ini ketika Arka malah mengejarnya dan menghadang langkah Sitta di depan.

"Jadi bener lo Sitta?" ucap Arka dengan wajah serius, setengah kaget bercampur tak percaya.

Tatapan Arka lekat menelusuri penampilan Sitta dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Lo kenapa, Ta? Kenapa seminggu ini ngindarin gue terus? Lo juga nggak bales-bales sms gue dan nggak angkat telepon gue? Lo nggak masuk sekolah, gue pikir lo sakit, tapi pas gue ke rumah, nyokap lo malah ngusir gue." Cecar Arka panjang lebar.

Sitta mengulum bibir, merasa tak enak, malu, sedih sekaligus kesal. Semua perasaan itu bercampur aduk dalam benak Sitta saat ini, hingga membuatnya kebingungan dalam menentukan sikap.

"Ya lo tau kan emang nyokap gue dari dulu nggak suka sama lo, maklumin aja. Lagian siapa juga yang suruh lo ke rumah gue?" Balas Sitta pada akhirnya.

Kahfi dan Epen tampak diam memperhatikan dua remaja di hadapannya yang sedang adu mulut itu, sesekali tatapan Kahfi malah beradu pandang dengan sosok Dinda yang juga diam-diam mencuri pandang ke arahnya.

Kahfi jelas tidak tahu apa yang terjadi di sini dan siapa sebenarnya lelaki ini, dia sama sekali tidak perduli. Itulah sebabnya, Kahfi memilih diam saja. Hitung-hitung hiburan menyaksikan adegan drama kacangan para ABG labil ini.

"Gue ke rumah lo karena gue khawatir, Ta. Kok lo malah nyolot sih? Emang gue salah apa sama lo?" Balas Arka tak terima.

"Nggak, lo nggak salah apa-apa kok. Gue aja yang lagi pengen menyendiri. Yaudah, gue cabut ya, masih ada urusan, yuk," Sitta pun memilih untuk beranjak dari hadapan Arka dan Dinda sebelum rasa sakit hatinya bertambah parah dan membuatnya terlihat bodoh.

Saat itu, Sitta justru menggandeng lengan Kahfi untuk pergi bersamanya, bukan lengan Epen

Sitta masih waras untuk tidak mempermalukan diri di hadapan Arka apalagi Dinda jika mereka sampai tahu dirinya baru saja ketemuan dengan lelaki aneh bin ajaib macam Epen.

Itulah sebabnya, Sitta menjadikan Kahfi sebagai tamengnya. Toh, Arka dan Dinda tak akan tahu kalau lelaki yang dia gandeng sebenarnya hanya seorang supir.

Epen yang tertinggal oleh Sitta dan Kahfi jelas langsung mengejar.

Sementara Arka malah terdiam dengan perasaannya yang berkecamuk hebat.

Ada segelintir perasaan tak biasa yang Arka rasakan di hatinya saat melihat penampilan Sitta dengan hijab panjang dan gamis indahnya itu.

Di mata Arka, Sitta terlihat berbeda.

Cantik, manis, anggun...

Dan yang membuat perasaan Arka semakin tak karuan adalah dengan keberadaan sosok lelaki dewasa berwajah tampan itu.

Siapa lelaki itu?

Kenapa dia bisa ada bersama Sitta?

Ada hubungan apa di antara mereka?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang seketika muncul begitu saja dalam benak seorang Arka.

"Yang, yang?"

Panggilan Dinda di sisinya membuat lamunan Arka tentang Sitta dan Kahfi pun buyar.

"Ayo, katanya mau main ayunan?" ajak Dinda setelahnya, seraya menarik lengan Arka untuk ikut bersamanya.

Sebelum beranjak dari tempatnya berdiri, kepala Arka sempat kembali menoleh ke belakang. Sayangnya, dia sudah tak lagi mendapati keberadaan Sitta dan dua lelaki yang pergi bersama Sitta tadi.

Kenapa perasaan gue jadi begini sih?

Gumam Arka membatin.

Ini benar-benar aneh.

*****

Siang bolong dengan panasnya terik matahari yang menyengat kulit, Kahfi, Sitta dan Epen tampak menikmati santap siang mereka di bawah rindangnya pohon beringin yang ada di kawasan pemakaman.

Sitta yang meminta pada Kahfi untuk lekas pergi dari taman itu dan mencari tempat lain untuk mereka makan.

Alhasil, di sinilah kini mereka berada.

Di salah satu kawasan pemakaman umum di pusat Jakarta.

Sitta sendiri yang memilih kawasan ini untuk beristirahat.

"Emang, lelaki tadi siapa sih?" tanya Epen memecah keheningan.

"Temen sekolah," jawab Sitta acuh tak acuh. Sitta makan begitu lahap, dengan kuah bakso super pedas di mangkuknya. Saking pedasnya bakso yang dia makan, Sitta sampai berkeringat dengan kelopak matanya yang memerah dan berair.

Diam-diam, Kahfi yang duduk di sisi Sitta, berhadapan dengan Epen yang sejak tadi terus memperhatikan Sitta pun mengerti bahwa sepertinya, Sitta sedang patah hati.

Hanya saja, Kahfi tak mau ikut campur urusan orang sehingga memilih untuk diam saja.

"Yakin cuma temen? Bukan gebetan? Kayaknya ada yang lagi patah hati nih," ejek Epen lagi sambil cengar-cengir sendiri.

Sitta menghentikan sejenak aktifitas makan memakannya. Entah kenapa, ucapan Epen kali ini membuat emosi Sitta yang memang belum stabil seketika memuncak.

Sitta yang marah tanpa sebab yang jelas lantas membanting sendok dan garpu yang dia pegang ke mangkuk baksonya, seraya berdiri.

"Heh, mau dia temen gue atau pacar gue, nggak ada urusannya juga sama lo, kan? Kenapa sih, lo kepo banget sama urusan orang? Urusin dulu tuh gigi lo, sebelum lo ikut campur urusan orang! Ta*!"

Sitta pun pergi begitu saja usai dia membentak Epen dengan kalimat kasarnya itu. Namun, langkahnya itu keburu dihentikan Kahfi yang lantas menarik pergelangan tangan Sitta menuju mobil.

Lokasi pemakaman itu memang sepi.

Tapi, sesepi-sepinya tempat itu, tetap saja masih ada orang lain di sana yang menyaksikan keributan yang Sitta timbulkan tadi.

Meski dalam keadaan kewalahan memegangi tangan Sitta yang mencoba berontak, Kahfi masih sempat mengeluarkan uang seratus ribuan dari saku kemejanya dan melemparnya pada Epen agar Epen membayar bakso mereka.

Usai membayar baksonya, Epen lantas berlari ke arah mobil di mana Kahfi dan Sitta sudah lebih dulu masuk.

Saat ini, posisi Sitta duduk berubah. Dia duduk di sisi Kahfi di depan kemudi, sementara Epen duduk di jok belakang sendiri.

Situasi panas membara kian terasa begitu Epen menutup pintu mobilnya, karena dilihatnya saat itu, Kahfi dan Sitta sedang bertengkar hebat.

"Gue nggak perduli sama urusan pribadi lo ya, tapi gue cuma minta lo hargai orang lain. Jangan seenaknya membentak, mencaci dan ngatain orang dengan kata-kata kasar! Inget, lo itu perempuan dan apa gunanya hijab yang lo pakai kalau sikap lo justru bertolak belakang sama penampilan lo, hah?" Omel Kahfi yang sudah tak tahan lagi untuk tetap memendam kekesalannya pada Sitta akibat perlakuan Sitta terhadap Epen tadi.

"Heh, lo itu cuma supir! Nggak ada hak untuk ceramahin gue, ya?" Balas Sitta tanpa rasa takut. "Lagian, lo nggak ada urusan sama gue. Berani-beraninya lo kasar sama gue, narik-narik gue paksa ke mobil! Ngaca woi!"

Menghela napas berat, Kahfi sadar, emosi tak akan menyelesaikan masalah. Hingga akhirnya, dia mencoba meredam emosinya untuk kemudian bicara dengan nada rendah di sisi Sitta.

"Sekarang, gue mau lo minta maaf ke Bos gue," perintah Kahfi saat itu.

Sitta meliriknya sinis seraya melipat kedua tangannya di depan dada. "Ogah! Siapa lo berani merintah gue?" Tantangnya saat itu.

"Udah-udah, Pen. Biarin aja. Gue nggak apa-apa kok. Maklumin aja, masih bocah. Jadi, kita yang tua ngalah deh," sahut Epen di belakang mencoba meredakan suasana panas di dalam mobil.

"Sialan, lo ngatain gue bocah? Gue udah punya KTP tau," lagi, Sitta kembali nyolot ke Epen.

"Gue nggak akan nganterin lo pulang sebelum lo minta maaf ke Bos gue," lagi, Kahfi mengulang ucapannya. Dia tak mau mengalah kali ini.

"Oke, gue bisa pulang sendiri!" Ucap Sitta yang memang keras kepala.

Detik itu juga, Sitta keluar dari mobil Kahfi dan pergi meninggalkan pemakaman menuju jalan raya.

"Nggak dikejar woy?" Tanya Epen yang seketika jadi cemas.

"Nggak, ngapain. Biarin aja dia pulang sendiri. Kan udah gede, udah punya KTP, ya kali nyasar," jawab Kahfi santai yang lantas menghidupkan mesin mobil dan melajukan kendaraan mewahnya itu meninggalkan pemakaman.

Ketika mobil Kahfi melintas di hadapannya, Sitta yang masih berdiri di pinggir jalan raya langsung melengos.

Hingga saat mobil mewah itu benar-benar pergi menjauh meninggalkannya seorang diri, kedua bahu Sitta pun mencelos.

Dia benar-benar bingung.

Jarak dari lokasi pemakaman ini dengan kediamannya jelas sangat jauh.

Sementara dirinya kini tak memegang uang sepeser pun.

Awas aja lo gigi tonggos, supir belagu!

Tunggu pembalesan gue!

Argghhhhh!

Sitta hanya bisa menjerit frustasi dalam hati, mengingat nasib sial bertubi-tubi yang harus dia alami hari ini.

Jika tahu pada akhirnya harus begini, Sitta tak akan mau diajak bertemu oleh lelaki buruk rupa bin mes*m bernama Kahfi itu.

Sialan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status