Share

Gunjingan Tetangga

“Dih, apa-apaan ‘sih, Nita. Kami mencurigakan kenapa? Memangnya kami penjahat?” Beno sewot sendiri.

“Haduh ... dasar lemot. Maksud Nita, mereka mungkin saja sadar bahwa kita sengaja berhenti dan pura-pura jajan di sana. Malu dong, kelihatan banget sengaja nguping,” jelas Tata dengan menarik tangan Beno, agar meneruskan langkah mereka.

Tata dan temannya sengaja terus berjalan sampai ke ujung jalan pertigaan. Biar mereka menunggu Nita, di tempat pemberhentian angkutan umum saja. Teman-teman Gendis yang ikut menengok itu ada lima orang. Dua laki-laki dan tiga perempuan. Mereka tidak menggunakan motor, karena kebetulan tidak punya. Tidak pula ingin pinjam pada rekan kerja yang lain, karena sungkan berbasa-basi.

Sementara itu, Nita sudah berada di warung kopi. Dalam hatinya masih panik, “Aduh ... aku harus beli apa ya? Yang bisa dilayani agak lama. Masa iya harus borong jajanan banyak?” ucap Nita dalam hatinya.

Bapak-bapak pemilik warung menyapa Nita dengan menanyakan apa yang mau dibelinya. Semakin panik saja Nita, setelah ditanya seperti itu.

Sambil pura-pura melihat-lihat jajanan yang ada di hadapannya, Nita melihat sesuatu yang menurutnya tepat untuk dibeli. “Em ... Pak, itu seblak bukan ya?” tanya Nita, sambil menunjuk pada sudut tempat wadah-wadah, ciri khas makanan yang Nita maksud.

Seblak adalah jajanan ciri khas Jawa Barat, yang akhir-akhir ini sedang digandrungi kalangan remaja. Rasanya yang gurih dan pedas, membuat sensasi tersendiri bagi pencintanya.

“Iya Neng, itu seblak. Neng mau beli?” tanya Bapak pemilik warung.

“Iya Pak, saya mau. Berapaan?”

“Satu wadah gini, Rp.5000,” sahut bapak penjual, sambil menunjukkan ukuran wadah plastik mika.

“Beli tiga ya, Pak,” ucap Nita sambil mengedarkan pandang, melihat tempat yang bisa untuk duduk.

Sayang sekali, Nita tak menemukan tempat duduk yang kosong. Namun, dia memutuskan tak apa berdiri saja, yang penting bisa mendengar warga bergosip.

Sejak tadi Nita baru datang pun, sudah jelas terdengar para warga yang ada di warung tersebut, sedang memperbincangkan tentang musibah yang dialami Gendis. Banyak praduga yang dibahas.

“Dasar, tetangga tukang gosip. Ini lagi bapak-bapak, memangnya tidak ada kerjaan lain apa? Malah ikutan merumpi,” batin Nita kesal. Mereka membicarakan aib orang lain, seperti tidak ada beban. Tak segan-segan apa pun ungkapan dilontarkan, tanpa jelas diketahui kebenarannya.

Sambil mendengarkan gosip, Nita menyempatkan mengirim pesan pada Tata. Nita memberitahu agar sabar menunggu, dia memesan tiga seblak dan gosip yang dia simak rupanya sangat seru.

Perang batin terjadi pada Nita, ketika mendengar salah seorang warga menyebut bahwa Gendis bekerja menjual diri. Warga berpikir seperti itu, sebab Gendis yang sering pulang malam, terkadang sampai pulang di waktu subuh tiba.

Nita tahu kegiatan Gendis yang sesungguhnya, meski tidak banyak tahu seperti Tata sahabatnya. Ingin rasanya Nita ikut nimbrung dan meluruskan fitnah para warga. Namun, keberaniannya tak cukup.

Ada pula yang menyangka bahwa Gendis ditemukan di rumah tua itu, karena dibawa oleh makhluk halus. Semua warga Cirusuh tahu, bahwa rumah kosong itu angker. Sedangkan kejadian malam itu kebetulan malam Jumat, hampir pukul dua belas.

Warga lainnya lagi, menyangka bahwa Gendis depresi, putus dari pacarnya. Anggapan mereka pun masuk akal, sesuai bukti yang mereka lihat. Gendis sering kali pulang kerja diantar oleh seorang pria, menggunakan sepeda motor sampai di depan rumahnya. Namun, akhir-akhir ini sering jalan kaki menuju rumahnya. Berarti, Gendis pulang naik kendaraan umum sampai pertigaan jalan.

Itulah yang Nita simak, selagi menunggu pesanan makanannya jadi dibuat. Nita tak sanggup lagi mendengar ocehan mereka. Terlebih menyaksikan sendiri cara para tetangga Gendis bergosip. Ada yang sampai melotot-melotot matanya, saking semangatnya meyakinkan argumen yang dikatakan, agar orang lain percaya. Ada yang bibirnya miring-miring sinis dan kesan melecehkan. Tak sedikit pula yang beberapa kali bergidik, merendahkan Gendis dan keluarganya.

“Ih ... amit-amit ya, kelakuan Gendis gak nyangka. Anaknya kaya pendiam, jarang gaul. Kalau kejadian pada anakku udah habis ‘tuh. Malu-maluin keluarga,” ucap wanita paruh baya, berbadan kurus, dengan kerudung di kepala asal menempel.

“Sama Teh. Makanya saya sering bilang ke si Desi, kalau pulang kerja malam, tunggu dijemput bapaknya. Jangan mau dianterin cowok, mentang-mentang gratis. Jadi kaya murahan gitu, dibonceng siapa aja mau,” tambah seorang ibu yang sedang menyuapi anak kecil.

Nita hanya melirik sesekali, dia sudah gerah sekali dengan gunjingan para warga. Padahal Gendis yang dibicarakan, tapi Nita ikut nggak terima. Karena yang dibicarakan mereka itu berlebihan. Bahkan setahu Nita, Gendis itu nggak punya pacar dan memang pendiam. Jika kerja tak banyak bicara, jika lagi istirahat ramai-ramai, Gendis paling anteng.

“Ini Neng, seblaknya sudah jadi,” ucap Bapak pemilik warung, sambil menyodorkan pesanan Nita.

“Oh, iya Pak. Ini uangnya. Terima kasih Pak,” ucap Nita, memberikan uang pas dan langsung pergi. Dia tak ingin berlama-lama lagi di sana. Sudah cukup panas telinganya, mendengar obrolan miring warga.

Nita bergegas menuju tempat Tata dan teman-temannya menunggu. Sepanjang jalan, dia terpikir dengan apa yang terjadi pada Gendis. Malang sekali nasib temannya itu. Yang tak habis pikir oleh Nita, kejadian yang Gendis alami tak jelas penyebabnya kenapa. Dalam hati Nita, jika dirinya yang berada di posisi Gendis, mungkin tak akan sanggup. Terlebih kalau sampai Gendis mendengar gosip para warga, mungkin semakin tertekan, stres, benar-benar ujian berat buat hidup Gendis.

Dari kejauhan sudah terlihat Tata dan teman-teman lainnya, sedang menunggu kedatangan Nita. Kebetulan Tata sedang memandang ke arah Nita, yang masih berjalan kearahnya. Kemudian Tata menghampiri Nita, dia tak sabar ingin tahu berita apa yang didapatkan oleh temannya itu.

“Bagaimana, Nit? Sukses?” tanya Tata dengan wajah semringah.

Nita hanya mengangguk, raut wajahnya terlihat kecut. Tata merasa heran dengan ekspresi Nita, dia bisa menebak, pasti baru saja mendapatkan hal buruk. Tata yang tadinya ingin langsung bertanya bagaimana ceritanya, kini niatnya diurungkan. Biarkan saja menunggu suasana hati Nita membaik.

Sampailah pada kumpulan teman lainnya, mereka pun memberondong Nita dengan berbagai pertanyaan. Namun, Tata memberi kode agar mereka pada diam, jangan dulu banyak pertanyaan.

“Kayanya, gak baik ‘deh bicara di sini,” ucap Nita, nada bicaranya seperti orang lemas.

Tata sudah paham akan reaksi Nita, pasti berita buruk. Namun, bagi Beno dan lainnya, mereka saling tatap merasa penasaran.

“Ya udah, gimana kalau nanti setelah pulang kerja, kita ke taman aja dulu. Sambil ngobrol, bisa santai juga menikmati sore,” saran Tata, yang kemudian disetujui teman-temannya.

Teriakan kernet angkutan umum, membuyarkan kekhawatiran pada Tata dan temannya. Mereka kemudian naik angkutan tersebut, di dalam angkot tak ada yang bersuara sedikit pun. Mereka menikmati perjalanan, dengan suasana kota Sukabumi yang cukup padat menjelang sore.

***

Di tempat yang berbeda, seorang pemuda dengan penampilan kaus oblong warna abu, celana panjang katun hitam, sedang memberi makan ayam di pekarangan yang teduh dengan pepohonan. Posisinya yang duduk pada sebuah saung bambu, dengan kaki menjuntai kadang digoyang-goyangkan, sebab duduk pada bangku bambu yang sedikit tinggi.

Angin semilir mengibas-ngibaskan rambutnya yang hitam, lurus, halus, sehingga seperti terkesan berponi ala-ala aktor Korea. Wisesa, pemuda berusia dua puluh lima tahun, yang sehari-harinya berjualan sayuran di pasar. Dia sedang menikmati hari sorenya, bersama riuhnya suara ayam-ayam, yang berebut mematuk makanan.

Tak sadar beberapa kali Wisesa dipanggil ibunya. Namun, tetap bergeming, tatapannya fokus tertuju pada ayam-ayam yang tak pernah berhenti mematuk. Akan tetapi jika diamati, sorot mata Wisesa tak bergairah, tatapan kosong, mungkin saja pikirannya juga sedang berkelana.

Keadaannya yang terlihat lesu, tak menghilangkan gurat wajahnya yang manis. Wajah ciri khas pria Sunda kebanyakan. Kebetulan kulit Wisesa bersih, meski tak putih, bisa dikata sawo matang. Hidung yang sedikit mancung, bentuk mata tegas, alis cukup lebat, dan bentuk bibir standar berwarna terang. Sebab Wisesa tak merokok, sehingga warna bibirnya tidak gelap, atau bisa dikatakan hitam.

Menambahkan kesan manis dari Wisesa adalah, dia memiliki tahi lalat di dekat pangkal alisnya, seperti orang India jika menggunakan titik di kening. Namun, tahi lalat yang di miliki Wisesa posisinya tidak tepat berada di tengah.

Saking fokusnya dengan lamunannya, Wisesa tak menyadari, jika ada seseorang yang sedang menghampirinya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status