Share

NODA CINTA
NODA CINTA
Penulis: El Nurcahyani

Trauma Gendis

Bu Warni sedang menangis di dapur, dia tak sanggup lagi menyaksikan keadaan putrinya. Teriakan, tangisan dan pandangan hampa yang terjadi pada putrinya, seakan membuatnya ingin menyerah. Sudah dua minggu ini, tak ada perkembangan dari Gendis, putri semata wayang dari pasangan Bu Warni dan Pak Jaka.

Pengobatan medis sampai ala kampung pun sudah dilakukan. Bahkan Pak Ustaz sudah beberapa kali datang, untuk membantu menenangkan Gendis dengan doa – doa.

“Bu ... yang sabar,” ucap Pak Jaka yang menyusul istrinya ke dapur. “Jika kita lemah, siapa yang akan menguatkan Gendis?” lanjut Pak Jaka sambil mengusap-usap punggung istrinya.

Bu Warni bergeming, nasihat seperti itu sudah sering didengarnya dan tak mengubah apa pun. Sesaat kemudian, Bu Warni beranjak dari tempatnya berdiri, dia mengambil piring kemudian menaruh nasi beserta lauk di dalamnya. Kemudian pergi dari dapur meninggalkan suaminya sendiri. Sedangkan Pak Jaka, hanya menyaksikan kegiatan istrinya dengan perasaan bingung dan serba salah.

Sesungguhnya Pak Jaka sendiri sudah hampir menyerah, tapi dia tak ingin memperlihatkannya. Bagaimana jadinya jika dia pun ternyata tak tahu lagi harus berbuat apa, untuk kesembuhan putrinya. Bahkan, dia sendiri kini menjadi alasan putrinya sering berteriak dan mengamuk.

“A ...! Ergh ... ergh ...!” teriakan Gendis beserta erangan kembali  memenuhi isi rumah.

Pak Jaka yang masih berada di dapur, berlari menghampiri kamar Gendis, tapi hanya sampai di depan pintu. “Ada apa lagi?” tanya Pak Jaka heran. Sebab teriakan Gendis sebenarnya sudah tak di dengar lagi belakangan ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi jika Gendis kembali histeris.

Pak Jaka baru menyadari, di depan kamar Gendis sudah banyak orang, di antaranya dikenali oleh Pak Jaka. Tata, sahabatnya Gendis yang sering main ke rumah.

“Ini loh Pak, teman-temannya Gendis datang untuk menengok. Ibu gak tahu, ada teman lelakinya. Gendis histeris lagi jadinya,” terang Bu Warni yang keluar dari kamar Gendis, dengan piring berisi nasi masih berada di tangannya. Wajah sedih dan khawatirnya tak dapat disembunyikan dari parasnya yang masih terlihat ayu.

“Baiklah, Ibu tenang ya. Biar Bapak yang menemani teman-temannya Gendis,” ucap Pak Jaka, kemudian mempersilahkan teman-temannya Gendis yang masih pada berdiri di depan kamar putrinya, untuk duduk di ruang tamu.

Sebelumnya Bu Warni memang tidak tahu, jika di antara teman-teman Gendis ada laki-lakinya. Dia sedang fokus menyuapi Gendis, kemudian mendengar suara Tata, mengucap salam. Bu Warni merespons Tata tanpa menghiraukan pada sumber suara.

Tata adalah sahabat karib Gendis, dia suda sering berkunjung ke rumah tersebut, bahkan sering kali menginap. Jadi, Bu Warni merasa tak perlu lagi memperlakukan Tata seperti tamu. Tata pun demikian, dia masuk begitu saja langsung menuju kamar Gendis, yang terletak paling depan di rumah tersebut. Teman-teman Gendis yang lainnya hanya mengekor Tata.

Tata tidak tahu jika Gendis bukan sakit biasa. Dia juga tadi sangat terkejut ketika baru saja masuk ke kamar, Gendis langsung teriak sambil membelalakkan matanya ke arah rombongan temannya. Bantal, guling, sampai gelas yang ada di dekatnya, dilempar ke arah teman-temannya. Untung saja tidak ada yang terkena lemparan amukan Gendis.

 Namun, setelahnya Gendis menunduk dalam, menutup muka dengan menggenggam erat sweternya, dia menangis sambil mengerang. Badannya gemetar seakan menahan amarah, giginya menggigit-gigit sweternya seperti orang gemas.

Saat ini Bu Warni menenangkan Gendis yang masih menggigil, dengan tatapan lurus ke bawah, seakan sedang menghitung jumlah ubin. Sweter berbahan wol yang selalu melekat di tubuhnya, ditarik erat-erat antara kedua sisi kanan dan kirinya, hingga ke depan dada.  Sweter itu bukan model kaus, tapi seperti kemeja.

Rambutnya yang panjang sepunggung, dibetulkan  oleh Bu Warni ke belakang. Sebab acak-acakan, terkena keringat karena menangis dan Gendis yang tadi histeris mengacak rambutnya sendiri.

“Sudah, Nak ... semua baik-baik saja. Ibu ada untuk Gendis. Sudah ya ....” Kata-kata tersebut seakan sudah menjadi mantra. Selalu diucapkan ketika Gendis hilang kendali.

***

Sementara itu, gurat ketakutan jelas sekali terlukis di wajah teman-teman Gendis. Mereka tidak tahu keadaan Gendis separah ini. Mereka khawatir, jika kedatangannya dapat memperburuk kesehatan Gendis.

“Pak, maafkan kami. Sungguh kami tidak tahu jika akan terjadi seperti ini,” ucap salah satu dari mereka.

Pak Jaka belum mengeluarkan suaranya sama sekali, hal itu menambah rasa bersalah dan ketegangan pada teman-teman Gendis. Mereka saling memandang, seakan mencari jawaban yang tersirat dari mimik masing-masing. Mereka pun saling mengedikan bahu, tanda tak tahu apa yang harus diperbuat.

“Diminum dulu, Nak,” ucap Pak Jaka, sambil mengeluarkan air mineral ukuran gelas, dari dalam kardus di bawah meja.

“I-iya, terima kasih, Pak,” jawab salah satu di antara teman-temannya Gendis, sambil membantu menata minuman tersebut untuk masing-masing temannya.

“Kalian tak usah merasa gimana-gimana, begitulah memang keadaan Gendis. Dia sebenarnya tidak sakit seperti yang kalian kira. Bapak pun bingung menjelaskannya dari mana,” Pak Jaka memulai pembicaraannya, dengan nada tak ada gairah sama sekali.

“Lantas, Gendis sakit apa sebenarnya, Pak? Em ... maaf, jika pertanyaan saya kurang tepat,” tanya pria yang memiliki rambut ikal, dan badan sedikit tambun itu.

Pak Jaka, menghela nafasnya. Kemudian menggeleng lesu, “Bapak juga belum tahu yang sebenarnya. Warga hanya menemukan Gendis di rumah kosong di depan jalan sana,” ucap Pak Jaka.

Teman-teman Gendis hanya dapat mengangguk-angguk memahami keadaan Pak Jaka. Mereka pun semakin bingung mau berbasa-basi apa lagi, takut salah bicara. Kini teman-teman Gendis bertatap bertukar pandang, mereka memberi kode untuk berpamitan saja.

“Em ... Pak, maaf jika kedatangan kami mengganggu kondisi Gendis. Kami doakan semoga Gendis cepat pulih. Sepertinya kami harus pamit, Pak,” ucap salah satu di antara teman Gendis, degan sedikit terbata-bata.

Tata mewakili pertama yang berpamitan pada Pak Jaka. "Pak, ini ada titipan dari teman-teman kami di toko," ucap Tata, seraya menyodorkan amplop berwarna coklat. Kemudian menjabat tangan Pak Jaka. 

“Loh, kenapa buru-buru sekali? Dan ... ini kenapa harus repot-repot?” tanya Pak Jaka, sambil merespons jabatan tangan Tata.

“Iya, Pak. Itu hanya sedikit dari kami, semoga Bapak berkenan menerimanya. Dan ... kebetulan kami masih ada jam kerja, kemari karena mengambil jam istirahat,” jelas Tata.

“Oh, begitu ... baiklah. Terima kasih ya, sudah nengokin Gendis,” ucap Pak Jaka, sambil menyambut jabatan tangan yang lainnya. Kemudian mengantar teman-teman Gendis sampai teras rumah.

***

Sementara itu, di perjalanan menuju tempat kerja. Tata dan teman-temannya membahas tentang keadaan Gendis. Mereka penasaran dengan apa yang tadi diceritakan Pak Jaka. Berbagai sangkaan pun terbersit di benak mereka.

Tata beserta teman-temannya itu masih berjalan kaki menuju pertigaan jalan raya. Sebab jalan yang melalui rumah Gendis, tidak dilalui angkutan umum. Padahal jalannya sudah beraspal, namun masih berlaku untuk jalan kampung biasa, belum ramai kendaraan yang melintas ke wilayah tersebut.

Mereka sibuk berbincang menebak-nebak kemungkinan yang terjadi, tanpa sengaja mereka mendengar perbincangan beberapa orang warga, di sebuah warung kopi yang mereka lalui.

“Wajarlah, Gendis itu wanita tidak baik. Pulang larut malam, kadang besoknya baru pulang,” ucap wanita yang menggendong anak kecil.

Tata langsung menghentikan langkahnya dan memberi kode pada teman-temannya agar berhenti.

“Ada apa sih, Ta?” tanya teman prianya keheranan.

Keberadaan Tata dan teman-temannya sudah melalui warung kopi tadi. Sebenarnya mereka tak bermaksud menguping, makanya berlalu begitu saja. Namun, Tata merasa penasaran dengan apa yang tidak sengaja didengarnya.

Tata menaruh jari telunjuknya, di depan bibirnya yang sedikit dimajukan, “Ssst ... kalian dengar barusan dari warung kopi itu?” tanya Tata pada teman-temannya.

“Dengar apa?” tanya cowok berambut ikal.

“Eh iya, aku sepertinya tadi mendengar tentang Gendis. Katanya dia ....” Teman Gendis berkerudung ini langsung menutup mulutnya tak percaya. “Masa iya sih! Gendis seperti itu?” ujarnya sedikit terkejut.

“Beno, kamu ke warung kopi itu sana! Pura-pura beli apa, kek,” perintah Tata. Beno adalah cowok yang berambut ikal dan tambun itu. 

“Ih, masa Aku. Aku kan cowok, enggak ah,” tolak Beno dengan sedikit memundurkan langkahnya.

“Ah ... udah-udah, aku saja.  Kalian tunggu jangan di sini, mencurigakan,” ucap Nita dengan segera berlalu pergi menuju warung kopi tadi.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status