Share

Interogasi Wisesa

“Esa ...,” ucap sang Ibu, menyentuh pundak Wisesa pelan. Bu Yeni kini sudah berada dekat dengan putranya. “Kamu gak mendengar Ibu memanggil dari tadi?” tanya Bu Yeni dengan lembut. 

Wisesa hanya mengangguk. Sesekali tangannya melempar beberapa makanan ayam. Tatapannya masih fokus lurus seperti semula.

“Kamu dipanggil Bapak, Nak,” lanjut sang ibu.

“Ya, Esa ke sana sebentar lagi,” jawab Wisesa dengan tanpa semangat.

Bu Yeni mengusap pundak putranya, dengan menghela nafas berat. Kemudian pergi dengan membawa rasa sedih yang tak jelas apa. Bu Yeni bingung untuk mengajak putranya itu bicara yang sebenarnya. Sebab Wisesa selalu menjawab tidak ada apa-apa. Sedangkan bahasa tubuh yang ditunjukkan berbeda.

Pak Nana sudah menunggu putra sulungnya di ruang tamu. Melihat kedatangan istrinya, Pak Nana menanyakan keberadaan putranya. Bu Yeni pun memberitahukan bahwa Wisesa sebentar lagi datang.

“Ada apa, Pak,” tanya Wisesa yang baru saja datang.

“Sini Nak, duduk!” pinta Pak Nana.

Wisesa mematuhi perintah bapaknya, dia duduk pada sofa dekat Pak Nana sebelah depan, agak ke samping. Sedangkan Bu Yeni pergi ke belakang, mempersiapkan camilan yang di pesan suaminya.

Hari ini sengaja dipersiapkan Pak Nana untuk berbicara serius dengan Wisesa. Akhir-akhir ini Wisesa berubah sangat pendiam, malah terlihat murung. Sejatinya, putra Pak Nana itu memang tidak banyak tingkah sebagai pemuda seusianya.

Untuk ukuran pemuda seusia Wisesa, wajar jika masih suka bergaul main-main, nongkrong sekedar mencari hiburan. Bahkan biasanya setiap malam minggu, Wisesa suka gabung dengan temannya di pos ronda. Namun, sudah tiga kali malam minggu, Wisesa lebih suka menghabiskan di rumah, tepatnya di kamar.

Wisesa yang sehari-harinya bekerja di pasar menggantikan ayahnya, sebagai pedagang sayuran. Biasanya pulang setelah lewat asar, tapi akhir-akhir ini diperhatikan pukul dua siang sudah di rumah. Bahkan pernah, baru saja zuhur sudah pulang.

“Nak, Bapak mau bicara sangat serius. Bapak harap, kali ini kamu berterus terang. Kami orang tua, peka akan perubahan anak-anaknya. Maka dari itu, jangan menutupi apa pun dari kami,” ucap Pak Nana, dengan tenang menyelami wajah Wisesa yang sedikit menunduk.

Darah Wisesa berdesir, perasaan merinding menghinggapi, terutama di daerah tengkuknya terasa angin seakan semilir, setelah mendengar permintaan bapaknya. Kebingungan mulai membuat Wisesa tegang, memancing keringat dingin.

Pak Nana menghela nafas dalam, dengan sabar dia menunggu putranya berbicara. “Nak ...,” ucap Pak Nana kembali, sebagai penegasan bahwa jawaban Wisesa sangat ditunggu.

Mereka saling diam cukup lama. Dalam benak Pak Nana, obrolan kali ini harus berhasil. Banyak sekali akibat dari perubahan putranya itu. Mungkin oleh Wisesa tak terasa, sebab kesadarannya mungkin sedang tidak normal.

Sebenarnya, pelanggan Pak Nana di pasar banyak yang mengeluh. Sebab sayuran yang dijual kini kurang segar dan sering kali Wisesa salah menghitung jumlah belanjaan para pembeli. Biasanya Pak Nana menerima sayuran dari para petani, yang datang sore hari, untuk dijual esok pagi. Lebih tepatnya dini hari. Sebab dari pukul tiga, biasanya jongko sudah siap.

Wisesa sering pulang masih siang, sehingga para petani sayuran yang akan mengirim barang, tidak jadi dan diberikan ke jongko orang lain. Pernah suatu ketika ditegur oleh Pak Nana, tapi Wisesa bilang itu bisa diatur. Dia bisa berbelanja di pasar induk, sebelum jongko dibuka. Biar sekalian katanya, semua barang ada di pasar induk.

Pada akhirnya Pak Nana menurut saja, mempercayakan jongkonya pada putranya itu. Belajar mengatur usaha dengan caranya. Meskipun, kualitas barang dari pasar induk berbeda, dengan dari petani langsung. Sesekali Pak Nana masih ke pasar, untuk sekedar lihat perkembangan dan bertemu pelanggan. Sebelum benar-benar nanti jongko sayur itu, dipercayakan sepenuhnya pada Wisesa.

Belum lagi perihal adik-adik Wisesa yang menjadi takut dengan Kakaknya. Sering terkena bentakan Wisesa tak jelas. Mungkin saja Wisesa sedang melamun, tak fokus, adiknya bertanya atau ingin sekedar berbincang, Wisesa refleks membentak sebab merasa terganggu. Kesehatan Bu Yeni juga hampir terganggu, tak semangat makan, tidur pun terpikir perubahan Wisesa yang murung terus. 

“Nak ... Bapak bukan paranormal yang mampu mengetahui maksud dari diammu. Sampai kapan kamu membuat kami menebak-nebak?” Kali ini ucapan Pak Nana sedikit ada tekanan.

Wisesa peka dengan perubahan intonasi bicara bapaknya. Dia mulai berdeham pelan, berusaha menetralkan kegugupan dan rasa bersalahnya.

“Pak ... maaf, jika gara-gara Esa, ibu sama Bapak menjadi repot. Esa mau merantau saja, Esa mau benar-benar belajar mandiri,” lirih Esa, dengan kepala masih sedikit menunduk. Kedua tangannya mengatup dan diselipkan di kedua pahanya.

“Apak, Nak? Ibu tidak setuju. Kenapa tiba-tiba membahas merantau?” tiba-tiba Bu Yeni menyela. Dia baru datang dari dapur dengan nampan berisi makanan dan kopi untuk suaminya.

Bu Yeni kini duduk di samping suaminya. Setelah itu, kembali mengungkapkan rasa tidak setujunya. Bu Yeni merasa, bahwa Wisesa akan menghindari mereka dari todongan pertanyaan. 

 “Jangan uji kesabaran kami, Nak .... Kamu sudah dewasa, berpikir jernihlah. Jika di antara kita ada masalah, selesaikan sama-sama, kita ini keluarga.” Suara Bu Yeni mulai bergetar. Dia takut anaknya benar-benar pergi.

“Benar, Nak. Sampai kapan menghindar? Jika benar kamu memiliki masalah berat, semakin kamu tutupi akan semakin berat. Apakah kamu anggap, masalah ini lambat laun akan hilang ditelan waktu? Nggak, Nak. Perasaan waswas semakin menghantui, meski Bapak gak tahu masalah apa yang sedang kamu hadapi,” imbuh Pak Nana, berusaha sabar dan pelan menasihati Wisesa.

Wisesa sedang menyelami nasihat dari orang tuanya. Posisinya yang tak berubah sejak tadi, semakin ditekuk kepalanya lebih dalam. Apa yang dikatakan Bapaknya terasa sekali sebagai tamparan. Wisesa merasakan hari-harinya semakin berat, gelisah, khawatir, hilang fokus, benar-benar kacau pokoknya.

Wisesa, pemuda berusia 25 tahun ini memang tak banyak tingkah. Namun, perasaannya tetaplah normal sebagai laki-laki dewasa, yang memiliki hawa nafsu, tetapi bagi Wisesa nafsu nomor sekian. Dia bisa meredam keinginannya bergaul, sok keren, sok asyik di tongkrongan, bahkan pacaran pun pernah hanya sekali. Setelah putus yang pertama kalinya, dia tak ingin main-main lagi dalam menjalani hubungan asmara.

Dalam pergaulannya, Wisesa hanya sesekali berkumpul dengan teman-teman sekampungnya. Hal itu hanya untuk menghargai posisi Bapaknya, di kampung Cirusuh sebagai ketua RT. Dia juga tak ingin disebut sombong. Namun, Wisesa lebih kepada menyimak obrolan teman-temannya, jika sedang berkumpul. Merespons hanya sesekali jika dirasa sangat perlu.

Tiba-tiba saja tubuh Wisesa bergetar, pundaknya semakin tinggi menciut, kedua tangan yang sejak tadi berada di kedua pahanya semakin merapat. Lamat-lamat terdengar suara isak, membuat Pak Nana dan Bu Yeni terkejut.

“Nak ...?” Bu Yeni panik. Beranjak dari duduknya, dengan terburu-buru menghampiri putranya. Dipeluknya Wisesa dengan posisinya yang berdiri, terpancinglah tangis Bu Yeni. “Jangan buat Ibu takut! Ada apa Esa ...!” Bu Yeni histeris.

“Ssst, Bu ... jangan keras-keras,” ucap Pak Nana, yang kini duduknya bergeser lebih dekat pada posisi Wisesa.

Dengan tangis histeris, Bu Yeni tak dapat mengontrol kepanikannya. “Anak kita, Pak ...! Kenapa ini? Esa ... bilang pada Ibu, ada apa?” setengah berteriak, Bu Yeni semakin mengeratkan pelukannya pada Wisesa. Diusapnya pundak, punggung, sampai berkali-kali diciuminya pucuk kepala putranya. Bu Yeni baru pertama kali lihat Wisesa menangis, semenjak dia tumbuh menjadi dewasa. Betapa tidak panik?

Kedua adik Wisesa yang sejak tadi hanya bisa berdiam di kamar, sebab paham situasi sedang tegang, antara kakak dan orang tuanya. Mereka kini keluar kamar, ingin tahu apa yang terjadi. Teriakan Bu Yeni, menimbulkan rasa takut dan khawatir pada Ingrid dan Rendi, adik kakak yang usianya hanya beda satu tahun itu.

“Udah Bu ...  udah. Duduk sini, tenang dulu. Biarkan Esa meluapkan beban hatinya terlebih dahulu,” ucap Pak Nana, sambil meraih tangan istrinya perlahan, agar mau duduk di sebelahnya.

Wisesa seketika bersimpuh di depan Ibunya, serta ditaruh kepalanya di atas pangkuan sang Ibu. Dengan menggenggam kedua tangan Bu Yeni, Wisesa menumpahkan rasa bersalahnya, di tengah suara tangis yang belum mereda, “Hiks... maafkan Wisesa Bu, Pak ... Esa udah salah. Esa udah membuat malu ....”

Bu Yeni dan Pak Nana saling pandang, mereka tak paham dengan apa yang dikatakan putranya. Pak Nana kemudian mengusap-usap punggung Wisesa, berusaha memberikan ketenangan. Begitu pun dengan Bu Yeni, terus mengusap kepala Wisesa. Walau hatinya hancur melihat putranya tak berdaya, tetapi Bu Yeni harus tetap tegar untuk mengutarakan putranya.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status