Share

Malam Nahas

Sepasang suami istri sedang merasa waswas menghadapi tamu yang tak kunjung pamit, sebab waktu sudah semakin sore. Bu Warni bingung cara membuat Bu Diah segera menyelesaikan urusannya. Sedangkan Pak Jaka juga bingung, harus berbasa-basi apa lagi dengan Dodi dan Supena.

“Bagaimana Pak Jaka? Apakah saya sudah bisa menceritakan perihal yang Bapak minta? Maaf, soalnya hari mulai gelap,” ucap Supena, yang sedari tadi hanya diam menyimak.

“Bagaimana ini? Kenapa kebetulan sekali, Bu Diah kemari. Ah ... sudahlah, memang harusnya seperti ini mungkin. Tanpa Bu Diah seorang kompor pun, namanya kejadian di kampung, pasti menyebar juga. Entah bagaimana caranya,” batin Pak Jaka.

“E ... i-iya Boleh. Maaf ya, sebenarnya ... itu ...,” lirih Pak Jaka, sambil menunjuk ke arah belakang dirinya duduk, tepatnya ke arah ruang televisi.

Kemudian Pak Jaka memberi kode dengan mengatupkan semua jari tangan di hadapannya, lalu digerakkan buka tutup. Seperti mulut yang sedang bicara.

Dodi dan Supena akhirnya paham, kenapa dari tadi Pak Jaka malah mengobrol ke sana ke mari. Memang sudah pada tahu sekampung Cirusuh, tentang mulut embernya Bu Diah. Apalagi, berita yang menyebar sering kali lebih heboh dari sebenarnya. Banyak sekali bumbu-bumbu ditambahkan agar lebih mantap untuk jadi bahan gosip.

“Bu, ini 'loh Dodi sudah nungguin,” Pak Jaka sengaja mengingatkan istrinya, padahal itu hanya sandiwara. Berharap Bu Diah peka bahwa Bu Warni sedang sibuk.

“Iya, Pak. Sebentar lagi!” seru Bu Warni dari ruang teve. Bu Warni pun agak melirik ke arah Bu Diah. Namun, tidak ada reaksi yang diharapkan. Bu Diah masih santai dengan mengamati baju yang ada di tangannya.

“Astagfirullah ... Bu Diah ini ....!” geram Bu Warni dalam hati.

Pak Jaka berdiri dari duduknya, dia menghampiri Gendis untuk mengingatkan bahwa hari ini Gendis harus siap diajak mengobrol bersama. Sesuai janjinya tempo hari.  

Gendis yang memang sudah mulai tenang, dapat diajak komunikasi dengan baik, dia mengangguk dan mengekor Pak Jaka ikut ke depan. Pak Jaka juga sengaja melakukan hal itu, biar Bu Diah merasa bahwa kedatangan dirinya memang dalam waktu yang tidak tepat.

Pak Jaka membawa kursi lain, sebab sofa yang tadi untuk dirinya duduk, sekarang ditempati Gendis.

Bu Diah, sedikit melirik-lirik ke arah ruang tamu. Sesekali sambil mengajak bicara Bu Warni, pura-pura sibuk. “Oh ya, Bu. Saya juga mau jahit baju lagi, yang model seperti ini ‘loh,” ucap Bu Diah, yang kemudian menunjukkan sebuah model pakaian dari galeri ponselnya.

Bu Warni mau tidak mau merespons Bu Diah dengan memaksakan senyum dan respons yang hangat, bertolak belakang dengan hatinya yang sudah gemas ingin segera Bu Diah pergi.

Sedangkan di ruang tamu, Pak Jaka mulai membahas tentang kejadian yang menimpa Gendis. Sebelumnya Pak Jaka juga memperkenalkan kembali siapa Dodi dan Supena, pada Gendis. Bukan Gendis tidak mengenal mereka, tapi hanya untuk mengetahui apakah Gendis sudah benar-benar bisa diajak komunikasi dengan baik atau tidak.

Walau pun Gendis hanya merespons dengan anggukkan, Pak Jaka merasa lega. Berarti keadaan Gendis memang sudah semakin baik.

“Silakan Nak Dodi, Supena, siapa yang akan bercerita. Dimulai saja,” ucap Pak Jaka.

Dodi dan Supena saling memandang, seakan mencari kesepakatan, siapa yang akan bercerita. Kemudian Supena menyodorkan tangannya dengan telapak tangan terbuka ke arah Dodi, pertanda ia mempersilakan agar Dodi saja yang bercerita.

“Ekhem ...,” Dodi berdeham, sebelum memulai ceritanya. “Pak Jaka, saya yang akan bercerita tentang kejadian itu. Gendis semangat! Kita harus membuat terang kasus ini,” Dodi mencoba support Gendis.

Pak Jaka yang berada di samping Gendis, mengusap lengan putrinya itu. Gendis kemudian mengangguk, merespons semangat dari Dodi.

Bertepatan Dodi mau memulai ceritanya. Terdengar suara ponsel berdering, rupanya itu milik Bu Diah. Setelah dia menerima panggilan tersebut kemudian berpamitan pulang pada Bu Warni. Rupanya itu dari suaminya yang meminta Bu Diah untuk segera pulang.

Bu Warni mengantar kepergian Bu Dihan sampai pintu ke luar. Terlihat sekali Bu Diah seakan enggan untuk pulang, dia tersenyum sebentar ke ara Pak Jaka, sambil mengangguk tanda pamit. Disempatkan juga melihat ke arah Supena dan Dodi.

Setelah kepergian Bu Diah, Bu Warni gabung bersama Pak Jaka dan kedua tamunya. “Maaf ya, Nak Dodi, Supena, jadi nunggu lama. Silakan lanjut,” ucap Bu Warni yang kini duduk di sebelah Warni. Bertukar tempat dengan Pak Jaka. Yang kini Pak Jaka duduk di sofa kecil dekat pintu ke luar.

“Baiklah Pak Jaka, Bu Warni, saya akan menceritakan kejadian nahas malam itu. Insya Allah, saya bercerita apa adanya, tidak dikurangkan atau dilebihkan,” ucap Dodi, sebelum pada inti ceritanya.

Dodi mulai menceritakan kejadian yang berawal dari dia dan teman-temannya sedang melakukan ronda keliling, tiga Minggu yang lalu. Tepatnya malam Jumat, saat gerimis tipis melengkapi udara dingin orang-orang yang meronda malam itu.

Sesuai jadwal kegiatan ronda RT 22/04 kampung Cirusuh, hari kamis – malam Jumat-- adalah tugas ronda bagi Dodi, Supena dan kawan-kawan. Pada pukul 11 malam, mereka mulai keliling kampung putaran pertama.

Ketika rombongan Dodi sampai di wilayah rumah kosong, yang selama ini dianggap angker oleh warga, mereka merasakan ada yang aneh. Walau malam itu cukup gelap, namun mereka merasakan ada bayangan dari dalam rumah kosong tersebut. Sebab, tepat di dekat rumah kosong itu ada lampu marka jalan, yang cahayanya cukup memberikan penerangan.

Dodi dan teman-temannya mengamati rumah kosong itu. Dengan mengendap serta waspada, takutnya yang mereka datangi adalah bahaya yang dapat mencelakakan. Semakin dekat pada rumah kosong itu, semakin terdengar suara gesekan benda, dan seperti ada suara yang melenguh.

Pak Jaka menyela Dodi yang masih menceritakan kejadian itu. “Jadi, kamu dan rekan mencurigai rumah kosong itu, bukan karena suara tangisnya, Gendis?”

“Bukan, Pak. Kami tidak mendengar tangisan sama sekali,” jawab Supena.

Pak Jaka mangut-mangut dengan tatapan mengarah pada Gendis. Sedangkan Bu Warni melingkarkan tangannya pada bahu Gendis, sesekali mengusap, memberi ketenangan.

Kemudian Dodi melanjutkan kembali ceritanya. Saat kelompok ronda sampai di dalam rumah kosong, di antara mereka mungkin ada yang menyenggol benda, mungkin saja kayu yang terjatuh. Kemudian melihat sekelebat orang berlari ke arah belakang rumah kosong itu.

Dua orang dari kelompok ronda tersebut niatnya mau mengejar sosok yang kabur itu. Namun, Supena berseru melihat keadaan Gendis yang tak berdaya. Sepertinya Gendis memang menangis, tapi karena keadaannya sangat lemah, hampir tak terdengar suara tangisannya.

“Gofar, sarung ...!” seru Supena.

Gofar dan satu temannya yang belum jauh mengejar orang itu, berhenti seketika. Mereka bingung antara lanjut mengejar pelaku, atau kembali ke TKP karena panggilan Supena. Akhirnya mereka balik arah.

“Ada apa Supena?” tanya Gofar dengan nafas tersengal.

“Matikan senternya,” perintah Dodi yang posisinya membelakangi Gendis.

Saat Dodi masih bercerita tentang malam nahas itu, tiba-tiba Gendis terisak semakin mengeratkan pelukan, dia memiringkan badan pada ibunya. Bu Warni memeluk Gendis, mencium pucuk kepala putrinya. Bu Warni merasakan luka Gendis yang kembali menganga mengingat kembali kejadian pahit itu. Namun, Gendis mencoba tegar, sebab ingin menuntaskan kasusnya.

Dodi pun jadi ikut diam, dia belum berani melanjutkan ceritanya, sebelum melihat Gendis agak tenang.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status