Share

Penghambat

Bu Warni kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa suguhan. Wajah ayu yang selalu dihias senyum, memberi kesan ramah dan nyaman bagi orang-orang yang berinteraksi dengannya.

Seperti halnya saat ini, sebenarnya Dodi merasa gugup dan takut. Takut salah bicara memberi kesaksian kejadian malam nahas itu. Soalnya Dodi pernah memiliki pengalaman, bersama teman-temannya menolong orang kecelakaan. Bukannya pihak keluarga korban berterima kasih, malah Dodi dan teman-temannya terkena tuduhan.

Zaman sekarang memang susah sekali membedakan antara mencurigai dan hati-hati. Saking hati-hatinya jadi hilang kepercayaan terhadap orang lain.

“Eh ... Supena sudah datang? Ini silakan diminum dulu, sambil nunggu bapak datang,” ucap Bu Warni sambil menyodorkan dua cangkir kopi, dan sepiring pisang goreng. “Ini ada pisang goreng, masih hangat, silakan jangan malu-malu,” ucap Bu Warni kembali.

Walau keluarga Pak Jaka termasuk keluarga yang sederhana, bahkan sangat pas-pasan, tapi mereka selalu mengutamakan untuk memperlakukan tamunya dengan baik. Mereka selalu sedia air mineral ukuran gelas, yang disimpan di ruang tamu. Walau masih dalam kardus di bawah meja tamu, agar mudah menyuguhkan. Tidak seperti di rumah orang lain, yang menyimpan air mineral di atas meja tamu dengan rak cantik. 

Kedatangan Supena dan Dodi juga memang sudah direncanakan oleh pasangan suami istri tersebut. Sehingga Bu Warni tadi sengaja berbelanja pisang ke pasar. Akan malu rasanya, jika mereka mengundang tamu, akan tetapi tidak dijamu dengan baik.

“Nah ... sudah ada Supena sudah lama?” tanya Pak Jaka yang baru keluar hadir dari arah dapur, dia melangkah sambil mengancingkan pakaian kokonya. Rupanya dia baru mandi dan salat asar, karena waktu memang menunjukkan pukul empat sore.

Setelah menjabat tangan Supena, Pak Jaka duduk pada sofa kecil, yang cukup untuk satu orang. Sedangkan Supena dan Dodi posisinya berada di arah depan Pak Jaka, pada sofa panjang.

Setelah berbasa-basi, beramah-tamah untuk mengakrabkan terlebih dahulu, agar suasana tidak tegang, barulah Pak Jaka mulai menceritakan maksud dan tujuannya mengundang Supena dan Dodi, Walau sebenarnya mereka sudah tahu.

“Bu, mungkin saatnya panggil Gendis kemari,” perintah Pak Jaka pada sang istri.

Bu Warni kemudian  memenuhi perintah suaminya. Dia beranjak dari duduknya, pergi ke belakang untuk memanggil Gendis.

Bu Warni terkejut mendapati Gendis tak ada di depan televisi. Selama ini Gendis tak pernah pergi ke mana pun,  dia ke luar kamar kalau mau mandi atau nonton televisi saja. Mengapa reaksi Bu Warni berlebihan ketika tidak melihat keberadaan Gendis? Sebab satu-satunya jalan jika ingin ke luar rumah, hanya pintu depan. Lalu, ke mana Gendis?

Terbersit juga di benak Bu Warni, kalau-kalau Gendis sembunyi. Dia mencari ke dapur, ke kamaranya, sampai kolong-kolong barang di rumah yang memungkinkan bisa untuk sembunyi.

“Bu ...!” seru Pak Jaka dari ruang tamu. Bu Warni peka, suaminya meminta untuk segera membawa Gendis..

Namun, Bu Warni tak merespons panggilan suaminya. Bu Warni canggung jika harus berteriak, sebab ada tamu. Dia terus melanjutkan mencari Gendis. “Astagfirullah ... rumah sekecil ini, di mana kamu, Nak ...,” lirih Bu Warni, sambil celingak-celinguk mencari keberadaan putrinya.

Sesaat kemudian, Bu Warni mendengar suara benda seperti terbentur kayu. Bu Warni langsung sigap, memutar otak kira-kira benda kayu mana yang memungkinkan terjadi bunyi seperti tadi. Jika hanya sebuah kayu jatuh ke lantai, bunyinya akan lebih nyaring. Sedangkan alas dapur rumah Bu Warni masih tanah, satu-satunya benda kayu di rumah itu adalah lemari barang di ruang tv.

Bu Warni segera kembali ke ruang televisi. Tak susah mencari lama, sebab tak ada barang lain yang terbuat dari kayu, selain lemari barang untuk penyekat ruang tamu dan tempat tv itu sendiri.

“Astagfirullah ... Gendis ...! Sedang apa kamu di sini, Nak?” tanya Bu Warni, sambil membantu Gendis ke luar dari sana.

“Kaki Gendis, Bu ...,” ucap Gendis lirih, sambil meringis, memijit-mijit bagian pergelangan kaki dan area dengkul.

“Lagian ngapain kamu masuk lemari, 'sih, Nak .... Kakimu pasti kram, pegel, lemari ini kan sempit,” nasihat Bu Warni, sambil membantu Gendis keluar dari lemari itu.

“Assalamualaikum ...!” seru seseorang dari luar rumah. 

Bu Warni menoleh pada sumber suara, rupanya ada Bu Diah datang. Segera dia pergi menghampiri Bu Diah yang masih berada di depan pintu.

Bu Diah rupanya mau mengambil baju yang tiga hari lalu dirombak pada Bu Warni. Bu Warni mengajaknya untuk masuk saja. Walau sedikit sungkan, karena Bu Diah melihat sedang ada tamu di rumah Bu Warni.

Dengan senyum ramah Pak Jaka mempersilakan Bu Diah untuk masuk. Pak Jaka mengerti, jika Bu Diah merasa takut mengganggu dengan kedatangannya.

“Permisi ...,” ucap Bu Diah, sedikit membungkukkan badannya, ketika melalui keberadaan Pak Jaka, Dodi dan Supena.

“Astagfirullah ... Gendis, Ibu pikir kamu sudah ke luar,” Bu Warni tak habis pikir melihat Gendis masih meringkuk di dalam lemari, dengan keadaan pintunya masih terbuka.

“Hiks ... susah lepas Bu ...,” rengek Gendis yang menggerak-gerakkan kakinya, tersangkut pada kayu bingkai pintu lemari itu.

Lemari tersebut memang kecil, dengan lebar seukuran televisi tabung 21” dengan tinggi hanya 50cm. Sehingga, badan Gendis benar-benar pas masuk di dalamnya, dengan kaki ditekuk sebisanya. Entah bagaimana awal mula, sehingga Gendis bisa memasukkan badannya di sana. "Bisa masuk, tapi ke luar tak bisa," batin Bu Warni.

Gendis langsung memeluk Ibunya dengan isak tangis, dia lega akhirnya bisa keluar dari lemari karena ulahnya. Dia merasakan panik yang amat sangat, ketika di dalam lemari, takut tidak bisa ke luar lagi.

“Sudah ... sini duduk dulu.” Bu Warni memapah gendis untuk duduk, kemudian diberinya air mineral.

Bu Warni meminta Gendis untuk tenang, “Nak ... itu ada Bu Diah. Ibu mau ngobrol sama Bu Diah sebentar, ya ...,” ucap Bu Warni sambil mengelus rambut Gendis, yang kini sedikit basah terkena keringat yang membanjir barusan.

Gendis hanya mengangguk, dengan menggenggam gelas berisi air minumnya dengan kedua tangan di depan dadanya.

"Apkah mentalnya juga kena? Gendis jadi seperti orang berkebutuhan khusus," batin Bu Diah, dengan tatapan tak lepas mengamati perilaku Gendis.

“Ini Bu, Bajunya dilihat dulu. Kalau-kalau ada yang kurang cocok,” ucap Bu Warni sambil menyerahkan bungkusan koran.

“E-eh, iya. Saya lihat dulu ya, Bu Warni,” jawab Bu Diah dengan tergagap. Dia sedang fokus memperhatikan kondisi Gendis.

“Bu ....!” seru Pak Jaka.

Bu Warni mendengar panggilan Pak Jaka, segera dia menghampirinya. Kemudian sedikit berjongkok di samping Pak Jaka. “Iya, Pak?” lirihnya.

“Bu Diah, masih lama?” bisik Pak Jaka, sangat dekat di telinga Bu Warni.

“Semoga tidak, Pak. Dia hanya mau ambil baju jahitan saja,”

“Baiklah, cepat selesaikan urusan Ibu dengan Bu Diah. Ibu tahu sendiri, kan? Dia bagaimana.”

Bu Warni hanya mengangguk, merespons pernyataan suaminya barusan. Kemudian Bu Warni menemui Bu Diah kembali, dengan harapan baju pesanannya cocok, dan Bu Diah segera pulang.

Warga Cirusuh sudah tak aneh dengan kelakuan Bu Diah, tukang gosip. Sehingga Pak Jaka enggan melanjutkan pembicaraannya dengan Dodi dan Supena. Pak Jaka mengajak mereka ngobrol hanya basa-basi saja, tentang urusan laki-laki dan pergaulan remaja saat ini. 

Namun, sudah cukup lama Pak Jaka menunggu Bu Diah pulang, tak kunjung juga terlihat tanda-tanda Bu Diah akan pamit.

Bu Warni yang menghadapi Bu Diah pun, gelisah. Bu Diah mengecek pakaian hasil jahitan Bu Warni sangat detail. Sampai sempat meminta ada yang harus dirombak ulang, sebab katanya kurang cocok. Padahal Bu Warni sudah membuatnya sesuai model pada gambar, persis.

"Bagaimana aku harus membuat Bu Diah segera pulang? Hari sudah semakin sore. Kasihan Dodi dan Supena jika terlalu lama menunggu," batin Bu Warni.

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status