Share

Perlahan Terbuka

Bu Yeni berpindah tempat duduk ke samping kanan Pak Nana. Kini posisi mereka cukup berhadapan, sebab Pak Nana masih membelakangi Wisesa. Disentuhnya tangan lelaki yang sudah menemani hidupnya, selama 26 tahun itu. Dengan lembut Bu Yeni mengusap punggung tangan Pak Nana yang masih terasa kekar, walau kulit sudah mulai terlihat keriput.

Dengan sangat hati-hati, Bu Yeni memulai pembicaraan. Diawali dengan menatap wajah Pak Nana, lekat. “Pak ... tenangkan dulu emosi Bapak,” ucap Bu Yeni dengan mengusap perlahan dada Pak Nana. “Esa memang bersalah, tetapi kita jangan gegabah mengambil keputusan,” lanjut Bu Yeni sedikit ragu berkata, takut sang suami tidak menerima nasihatnya.

“Masih untung tangan ini tak mendarat di pipi dia! Bapak udah gatel,” geram Pak Nana, sambil meremas-remas tangannya.

“Ssst ... istighfar, Pak ...,” ucap Bu Yeni kembali.

Bu Yeni terus mencoba membujuk Pak Nana agar tidak terfokus pada kesalahan Wisesa. Memang benar, pemerkosaan adalah tindakan kriminal dengan hukuman yang cukup berat. Akan tetapi, di sini ada pihak keluarga korban yang bisa diajak berunding.

Bu Yeni menyarankan, agar masalah ini diselesaikan dahulu secara kekeluargaan. Meski kemungkinan kecil, pihak keluarga korban akan menerima itikad baik dari keluarga Wisesa. Namun tak ada salahnya dicoba.

Meski Pak Nana dapat mendengarkan dengan baik, nasihat yang dilontarkan oleh sang istri, tapi gemuruh emosi di hati belum reda. Namun, Bu Yeni begitu peka di saat Pak Nana mulai naik kembali amarahnya. Bu Yeni dapat mengetahui kemarahan suaminya, dari gerak tangan yang tak henti sesekali dikepalnya, kadang kencang hingga terlihat gemetar dan kemudian melonggar.

Di saat Pak Nana mengencangkan kepalan tangannya, dengan nafas mulai terdengar berat, di situlah Bu Yani mengusap tangan Pak Nana satu lagi, yang terus berada dalam genggaman Bu Yeni. Berharap sebuah sentuhan mampu menenangkan amarah Pak Nana.

“Lalu siapa yang akan pergi ke rumah gadis itu?” tanya Pak Nana, dengan intonasi suara datar serta kaku.

“Tentu saja kita bertiga, dong, Pak,” jawab Bu Yeni dengan sangat lembut nada suaranya. Menjaga suasana hati Pak Nana, agar tidak terpancing kembali emosinya.

Benar saja, tiba-tiba Pak Nana berdiri, tubuhnya berbalik menghadap Wisesa. Saking cepatnya reaksi Pak Nana, sampai-sampai Bu Yeni terkejut, membuat dadanya gemetar. Bukan terkejut hanya karena Pak Nana yang tiba-tiba berdiri, tapi disebabkan juga karena tangan Bu Yeni yang dientakkan oleh suaminya.

Dengan ekspresi melotot seakan bola mata hendak keluar, telunjuk tangan lurus di depan wajah Wisesa, tangan satu lagi bertolak pinggang, Pak Nana memaki putranya. Hingga akhirnya sebuah tamparan hampir mendarat juga di wajah Wisesa.

“Bapak ...!” suara serempak beberapa orang berhasil menghentikan tindakan Pak Nana.

Bu Yeni memeluk Pak Nana dari belakang dengan berusaha menarik mundur, agar tangan yang sudah diangkat tidak sampai mendarat pada Wisesa. Sedangkan Ingrid dan Rendi, berhambur ke arah Wisesa. Mereka memeluk kakaknya, menghalangi dari amukan sang Bapak.

Inggrid dan Rendi ikut menangis dengan memeluk Wisesa, begitu pun Wisesa yang membalas pelukan kedua adiknya. Walau isak tangis tak terdengar, tapi mata merah dan suara parau Wisesa membuktikan dia menangis pedih. Seorang lelaki memang tak mudah mengeluarkan air mata, tapi perasaan sedih tetaplah sama.

Bu Yeni meminta  Ingrid dan Rendi untuk menemani Wisesa, sedangkan dia sendiri membawa Pak Nana pergi ke kamar, walau dengan susah payah membujuk. Apalagi Bu Yeni merasa kalah tenaga dari sang suami. Takut pula suaminya lebih emosi, karena merasa diatur-atur.

“Inggrid, Ren, maafkan Kakak ya. Kamu tahu yang terjadi, kan? Jangan dicontoh kelakuan Kakak yang sangat-sangat buruk ini,” ucap Wisesa, sambil membelai kepala kedua adiknya. Suaranya bergetar, menanggung beban tanggung jawab di depan kedua adiknya.

Rendi seorang siswa SMP kelas sembilan, yang kini berada dalam pelukan Wisesa sebelah kiri. Sedangkan Ingrid siswi sekolah menengah pertama, kelas delapan. Mereka memang sekolah di tempat yang sama. Anak-anak Pak Nana termasuk akur terhadap saudaranya, mereka jarang sekali berselisih seperti saudara lain pada umumnya. Maka, ketika salah satu di antara mereka terkena masalah, atau mengalami kesedihan, mereka saling mendukung, saling menyemangati.

Sebijaknya sisi dewasa pada manusia, tetap saja jika mendapatkan masalah besar, akan merasa syok dan emosi terpancing tidak terkontrol. Begitu pun reaksi wajar yang terjadi pada Pak Nana saat ini. Tidak mudah bagi Bu Yeni untuk membuat suaminya berpikir dan mengambil keputusan secara baik untuk semua pihak.

Namun, dengan seiring waktu, Pak Nana dapat dengan tenang menyikapi masalah yang terjadi pada putranya. Tak lepas dari kesabaran seorang istri, keputusan pun dapat diambil dengan banyak pertimbangan matang.

Pada akhirnya, setelah beberapa hari berlalu, sesuai kesepakatan yang telah dirundingkan kembali,  Wisesa dan kedua orang tuanya akan berkunjung ke rumah gadis itu. Namun, perihal waktu masih belum ditentukan.

Wisesa meminta pengertian dari Ibu dan Bapaknya, untuk menunggu dirinya benar-benar siap. Jika dipaksakan atau direncanakan harus sesuai waktu yang ditentukan, Wisesa merasa panik dan takut tak bisa menerima kenyataan. Jika seandainya nanti setelah berada di rumah gadis itu, kemungkinan di luar dugaan terjadi. 

Bu Yeni dan Pak Jaka berusaha menjadi orang tua yang bijak. Mereka harus mendukung putranya di saat merasa hilang jati diri. Mendukung bukan berarti membenarkan kesalahan, tapi Wisesa juga butuh dorongan kekuatan dari orang terdekatnya, agar bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya secara dewasa. 

***

SATU BULAN KEMUDIAN

Gendis sedang menonton televisi ditemani sekantung camilan, yang dipeluknya. Sepertinya terlihat semakin membaik, dari raut wajah yang mulai segar dan sorot mata lebih bersinar. Bu Warni berada di samping Gendis, sambil membuka beberapa jahitan baju, yang akan dirombak.

Bu Warni adalah seorang penjahit pakaian, walau saat ini sudah tidak sebanyak dahulu pelanggannya. Sebab penjual pakaian sudah sangat beragam, dengan pilihan harga dan model lebih menarik selera. Terlebih online shop, meskipun citranya kadang buruk, sebab barang pada gambar yang ditawarkan tidak sesuai aslinya. Akan tetapi, masih banyak konsumen on line yang pintar dalam memilih online shop dengan pelayanan tidak mengecewakan.

Akan tetapi, walau usaha menjahit Bu Warni tak seramai dahulu, dia masih menerima jasa rombak pakaian, bahkan membuat baju pun masih bisa sebenarnya. Seperti saat ini, Bu Warni sedang mengecilkan pakaian salah satu tetangganya, sambil menemani Gendis bersantai di depan televisi.

Mungkin sudah hampir satu minggu, Gendis mulai ke luar kamar. Sesekali Bu Warni atau Pak Jaka memancing dengan pertanyaan kejadian malam nahas yang menimpa Gendis. Gendis sudah tak histeris lagi, jika kedua orang tuanya membahas kejadian tersebut, tetapi reaksinya akan tiba-tiba diam.

Bahkan kegiatan Gendis menonton acara televisi pun, hanya untuk hiburan agar pikirannya tidak terlalu kosong. Terbukti selama Gendis menyaksikan acara televisi, dia tak bereaksi apa pun. Entah acara sedih, komedi, atau hal-hal mengagumkan seperti acara sulap. Itu membuktikan, kesadarannya belum sepenuhnya normal.

“Assalamualaikum ...! Bu! Ini ada tamu,” panggil pak Jaka yang baru datang pulang menarik becak.

Bu Warni yang mendengar suara suaminya langsung menghampiri, setelah menaruh pekerjaannya.

“Eh ... ada Jang Dodi,” sapa Bu Warni, menyodorkan kedua tangan yang dikatupkan untuk bersalaman. “Ibu ambil air minum dulu ya,” pamit Bu Warni kemudian.

 Dodi hanya senyum-senyum sungkan, menerima keramahan Bu Warni. Sebenarnya dia sengaja diundang oleh Pak Jaka ke rumahnya.

Untuk Dodi sendiri, ini kedua kalinya ia masuk ke rumah Gendis, setelah tragedi malam itu saat ia menolong Gendis, membopongnya.

“Bapak tinggal dulu ya, sambil nunggu Supena datang. Bapak mau bersih-bersih dulu, gerah,” pamit Pak Jaka, kemudian pergi ke belakang.

Sebenarnya Gendis tahu dengan kedatangan Dodi, sebab ruang tamu dan ruang televisi hanya disekat lemari perabot. Namun, seperti itulah Gendis sekarang, dia sudah tak seramah dulu. Diamnya saat ini adalah dunianya. Bahkan dia juga tahu tujuan Dodi datang.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status