Share

BAB 7 ACUH

setahun telah berlalu, pernikahan yang kami jalani seakan hambar. sikap suamiku yang semakin dingin membuatku, semakin merasa bersalah. kucoba untuk memperbaiki semua, agar suami memaafkanku. namun tetap saja, sikapnya semakin hari semakin membuatku tak berharga sebagai istrinya.

kebetulan hari ini suamiku libur kerja, nampak ku lihat ia sedang duduk disofa sambil memainkan handphone nya.

ku hampiri ia dengan niat hati ingin mencoba mencairkan suasana hati kami yang sudah lama membeku. semenjak kejadian malam pertama, tak pernah lagi bercanda romantis, kadang hanya saling diam-diaman saja, hanya berbicara seperlunya.

" abaang,... kita jalan-jalan yuk sayang, uci udah lama ga jalan-jalan sama abang, bosan rasanya di rumah terus, abang kan udah libur kerjanya". ujarku manja sambil memeluk lengan suamiku.

" maaf abang ga bisa, besok harus lembur" jawab nya , sambil menepis pelukan tanganku dari lengannya. ia beranjak menuju kekamar tidur dan berpindah tempat dengan melanjutkan main hp nya.

Deg... sakit...

tertampar rasanya, atas penolakannya. seketika dada terasa sesak, ku coba tarik nafas panjang untuk melonggarkan dadaku yang sesak, atas perlakuannya itu. penolakan yang selalu aku alami selama ini, terus berulang-ulang, seakan aku tak berharga dimatanya.

seakan tak menyerah tetapku perjuangkan agar hati suami yang sangat aku cintai itu menjadi luluh.

ku langkahkan kaki menuju dapur, sambil mempersiapkan hidangan makan malam dimeja makan. kusiapkan dua centong kecil nasi dan sayur rawon, yang masih hangat di piringnya, dan segelas air minum tak lupa juga beserta kerupuk. ku letakkan 1 botol obat magh di samping gelas air minumnya.

memang sejak lajang suamiku sudah menderita sakit magh, sehingga pola makannya harus benar-benar aku jaga.

" abaang sayang, malam ini uci masak rawon kesukaan abang, kita makan dulu yuk.. nanti maghnya kambuh kalo abang nda segera makan" ucapku yang berdiri di depan pintu kamar sambil menyunggingkan senyuman manis. niat hati ingin makan bersama di meja makan, tapi jika aku duduk di meja makan ia pasti lebih memilih makan diluar dibanding duduk satu meja denganku.

ucapku tak di gubris, dia mendengar tapi tidak didengar. aku heran kenapa ia begitu tahan dengan diam seperti itu. bahkan aku seperti hantu yang tak nampak di matanya.

dada rasanya sudah membatu menahan bengkaknya rasa kesal dengan tingkahnya. kembali ku ke atas meja mengambil piring, mengambil sesendok nasi dan kutuangkan sayur rawon di piringku serta gelas berisi air putih. ku lajukan kakiku menuju kursi sudut didapur belakang.

dapur rumah kami memiliki tembok sekat antara kabinet dapur dan meja makan, aku tepat duduk di ujung kabinet tempat aku biasa duduk menunggu masakanku matang.

aku mengalahkan egoku demi kekasih hatiku, walaupun kadang terasa sakit. aku masih sabar agar ia tetap memakan masakanku dibanding makan diluar rumah, setidaknya ada penghargaan sedikit walaupun aku tak dianggap olehnya.

dari balik tembok ku perhatikan nampak suamiku menuju meja makan dan duduk menghadap nasi yang sudah ku sediakan. ia makan sendiri tanpa melirik sedikitpun ke arahku yang sendirian disini.

ya Allah..

dadaku rasanya dongkol..

sambil menepukkan telapak tangan di dada.

tak terasa air mataku luruh membasahi pipi, nasi yang aku kunyah seakan tak sanggup aku telan. tenggorokan rasanya menyempit, mata terasa panas. air mataku membanjiri piring yang aku pengang. rasanya memilukan. aku bak sampah yang tidak berharga dimata orang yang aku cinta.

--------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status