Alana.Ternyata tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, perpisahanku dengan Mas Wildan yang tadinya kupikir akan membawa lara dalam hari-hariku ternyata tak terlalu membuatku bersedih. Keberadaanku di tengah-tengah keluargaku saat ini cukup menghiburku. Meskipun tak kupungkiri, dikala sedang sendiri aku masih kadang menangisi rumah tanggaku yang harus berakhir seperti ini. Tak apa, bukankah itu manusiawi? Rasa kehilangan pun masih sesekali kurasakan. Bagaimana pun aku dan Mas Wildan sudah cukup banyak melewati hari-hari indah bersama. Kuraih gawaiku yang dari tadi berbunyi di atas nakas. Aku memang sengaja tak menjawab telpon karena tak mengenali nomor panggilan yang masuk di ponselku. Namun karena nomor itu berkali-kali mengulangi panggilan, maka akupun menjawabnya karena penasaran.“Astaga! Alana! Akhirnya kamu angkat telpon juga. Aku udah hampir kesal nih udah nelpon berkali-kali tapi nggak diangkat.”"Maaf, ini siapa?" tanyaku. Aku merasa asing dengan suara si penelpon."Lana,
“Kamu kok bisa tau aku balik dari Bandung hari ini?” “Kamu ini, masih aja seperti dulu. Ditanya malah balik nanya,” ucapnya terkekeh.“Aku serius, Win. Harusnya kamu nggak usah repot-repot gini jemputin aku. Aku bisa--““Nafisa yang nyuruh aku, Al. Aku juga sebenarnya nggak enak, takut dikira nyari kesempatan dekat-dekat kamu. Hanya saja kata Nafisa, kali ini kamu sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemanimu.” Lagi-lagi Darwin menyela ucapanku.Aku menghela nafas dan memilih mengarahkan pandanganku ke padatnya jalanan ibukota.“Nafisa sedang nemanin anaknya di rumah sakit.” Aku terkejut, padahal aku baru saja hendak mencari ponselku dan mengirim pesan pada Nafisa.“Almira sakit? Kok Nafisa nggak ngabarin aku? Almira sakit apa?” tanyaku panik.“Udah nanyanya?” Darwin balik bertanya sambil tertawa melihat kepanikanku. Aku mencibir.“Anaknya Nafisa rawat inap sejak kemarin di rumah sakit. Kalo nggak salah demam tinggi dan muntaber. Nafisa sengaja nggak ngabarin kamu, tau k
Alana.“Win, mana nomor rekeningmu? Aku mau bayar pelunasan sewa apartemen,” ucapku pada Darwin ketika sudah berada di unit apartemen yang kusewa.Aku langsung merasa cocok dengan apartemen ini, tidak teralu luas namun rapi dan bersih, sangat pas untuk kutinggali seorang diri sementara waktu. Yang tidak kuketahui, ternyata Darwin sudah membayar lunas sewa apartemen ini untuk 6 bulan kedepan. Padahal saat berbicara di telpon kemarin, aku hanya membayar DP nya dulu pada penyewanya.“Nanti aja, Lana. Kamu nggak sedang ngusir aku, kan?”“Tck! Aku nggak mau punya utang, Win. Buruan, mana nomor rekeningnya. Lagian kenapa kamu bayar full sih. Kemarin kan sudah kubilang bayar DP dulu. Kalau misalnya aku nggak cocok gimana?”“Rasanya kok sudah lama sekali ya aku nggak dengar suara kamu panjang dan sewot gini.”“Win, aku serius!” Aku makin sewot mendengar jawaban-jawaban Darwin.“Iya ... iya,” jawabnya sambil membuka layar ponselnya. “Tuh udah aku kirim ke kamu!” lanjutnya.Aku meraih tas ku da
Seminggu setelah aku mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan bantuan Mas Pram, Mas Wildan mengirim pasan padaku.[Al, boleh ketemu?][Ada yang ingin Mas bicarakan.][Hari ini aku menerima surat panggilan dari pengadilan, Al. Akhirnya kamu benar-benar menggugat cerai. Ini surat pertama yang kuterima dengan linangan air mata.][Ada hal yang ingin kubicarakan sebelum kita bertemu di pengadilan.]Begitu sederet pesan yang dikirim Mas Wildan sejak tadi. Aku hanya membacanya, bingung harus bagaimana membalasnya. Ku-screenshot pesan-pesan dari Mas Wildan lalu kukirimkan ke Nafisa.[Suruh ke ketemuan di Kafe Jingga aja, Al. Kamu yang nentukan waktunya, nanti kabari aku, aku akan kesana juga buat jaga-jaga kalau suamimu berbuat yang tidak-tidak.] Balas Nafisa setelah membaca pesanku. [Mantan suami, Naf.] Tulisku protes.Nafisa memang sudah mulai kembali aktif di Kafe Jingga setelah baby Almira keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seper
Wildan.Kulangkahkan kakiku menginggalkan ruangan Alana di Kafe Jingga. Pendengaranku masih sempat menangkap Alana menggumam lirih diiringi isak tangisnya ketika aku berpamitan padanya setelah menyerahkan surat sertifikat rumah padanya. Namun, aku enggan untuk menoleh kembali. Aku tau, keputusan Alana sudah bulat untuk bercerai dariku. Tak dapat lagi kupertahankan atau kuyakinkan wanita itu dengan kata-kata rayuanku.Sekilas kulihat Nafisa melihat ke arahku ketika aku melangkah menuju pintu depan kafe. Aku pun memilih tak menoleh pada Nafisa. Aku yakin kondisiku saat ini sedang terlihat kacau. Maka segera kulangkahkan kakiku menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilku.Kuhela nafas panjang sambil mengcengkram setir mobilku. Mengapa tak henti-hentinya rasa sesal ini menyesakkan dadaku? Padahal aku sadar, akulah yang membuat Alana pergi. Betapa bodohnya aku, bagaimana mungkin seorang istri yang cerdas seperti Alana menerima tindakanku yang menikah diam-diam di belakangnya. Bahkan punya a
Hari ini aku harus menghadiri sidang putusan atas gugatan cerai Alana di Pengadilan Agama. Ya, setelah melalui serangkaian persidangan dan juga mediasi yang menemui jalan buntu karena Alana tetap ngotot berpisah, akhirnya hari ini aku akan benar-benar bercerai sah dari Alana.Aku tak menyangka Alana membeberkan semua bukti chat yang ditemukannya waktu itu di laptopku pada saat sidang. Alana benar-benar mempersiapkan semua buktinya dengan rapi. Meskipun wanita itu harus kembali menangis dalam persidangan saat membeberkan bagaimana awalnya dia menemukan bukti-bukti kebohongan dan pengkhiatanku.Aku hanya terdiam terpaku saat itu, aku baru menyadari bahwa aku sungguh telah melukai hati Alana begitu dalam. Ternyata sederet chat dan status whatsappku yang mengabarkan kebahagiaaku atas kelahiran Bagas putra pertamaku dan Lilis sungguh telah mencabik-cabik perasaan Alana. Hal itu membuatku sadar bahwa betapa sebenarnya Alana sangat mencintaiku, sehingga pengkhiatanan dan kebohonganku tentang
Alana.Hari ini adalah hari dimana sidang putusan atas gugatan ceraiku pada Mas wildan digelar. Ada perasaan lega dalam hatiku karena akhirnya hari ini status perpisahanku akan disahkan secara hukum. Namun di sisi lain, ada sebersit perasaan sedih mengingat pernikahan yang sudah kujalani selama 5 tahun akan benar-benar berakhir.Aku sengaja tak mengabari keluargaku di Bandung mengenai jadwal sidang putusan hari ini. Aku hanya tak mau lagi menyusahkan orangtuaku. Biarlah kuurus sendiri proses sidang ini, tentunya dengan bantuan Nafisa dan Mas Pram, suaminya, sebagai pengacaraku.“Hai! Gimana kabarmu, Al.” Aku spontan menoleh ke arah suara, di mana Mas Wildan sedang tersenyum kikuk padaku. Lelaki itu memakai stelan hitan-hitam. Aku sedikit terperangah oleh penampilannya yang terlihat seperti sedang berkabung, ditambah lagi dengan kacamata hitam yang dikenakannya.“Hai juga, Mas. Kabarku baik,” jawabku singkat.Semua berlalu begitu cepat hingga akhirnya status Hakim pun mengesahkan perce
Suara deburan ombak yang sesekali diselingi dengan suara burung-burung camar yang terbang melintas membuat hatiku sedikit tenang. Sudah satu jam lebih aku duduk di sini, di tepi pantai yang begitu damai, pantai ini memang tersembunyi sehingga tidak terlalu banyak orang yang mengunjunginya. Entah bagaimana tadi aku berkendara sehingga tiba-tiba saja sudah berada di tempat ini.Aku sedikit bergidik ketika mengingat bagaimana tadi aku mengendarai mobilku tanpa arah, tanpa konsentrasi, tanpa mempedulikan lagi keselamatanku sendiri. Namun, ternyata Allah masih melindungiku. Hingga akhirnya aku bisa berada di sini, menikmati suara ombak. Rasa sesak yang tadi memenuhi dadaku sudah mulai berangsur-angsur hilang setelah aku terdiam di sini. Sungguh, pengakuan Mas Wildan tadi benar-benar memukul telak harga diri dan kepercayaan diriku. Bagaimana mungkin lelaki yang pernah berstatus suamiku itu begitu tega melakukan kejahatan seperti itu padaku?Ternyata aku tak mengenal siapa Mas Wildan meskipu