Darwin.Aku memilih pulang ke rumahku dulu, untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian sebelum menjemput Jessy. Saat sedang mandi dan mengguyur tubuhku di bawah shower kamar mandiku, aku baru menyadari jika di bagian dada dan leherku ada beberapa tanda merah berkas gigitan Alana semalam. Aku tersenyum sendiri, Alana benar-benar melakukan yang terbaik semalam, bahkan sampai meninggalkan bekas seperti ini di tubuhku. Kuusap bekas-bekas perbuatan Alana dengan senyum yang terus terkulum kemudian menyelesaikan mandiku dan bersiap menjemput putriku Jessy.Aku menunggu di lobby hotel dan mengabari pada Inge bahwa aku sudah berada di lobby. Tak lama kemuadian gadis kecil dengan rambut panjang yang dikuncir dua berlari dengan senyum lebarnya berlari dari arah lift yang baru saja terbuka lalu menghambur ke pelukanku. Aku segera membungkukkan tubuhku menyambut tubuh mungil putriku kesayanganku.“Papaaaa!!” seru Jessy menghambur ke dalam dekapanku.“Ah, anak Papa sudah gede rupanya. Papa kange
“Ini kan jalan ke arah rumahmu, Mas. Kenapa nggak langsung ke hotel aja sih?” tanya Inge saat kami sudah pulang dari taman hiburan. Jessy sendiri sudah tertidur lelap di jok kursi belakang karena kecapean setelah menikmati berbagai wahana di taman hiburan.“Rumah kita, Nge.” Aku meluruskan.“Tapi kan ....”“Itu rumah kamu dan Jessy juga, Nge,” sahutku sebelum wanita itu meneruskan kalimatnya. “Lagian kenapa kamu malah milih nginap ke hotel, sih.”Inge tak menjawab, seperti biasanya wanita itu memilih tak meneruskan perdebatan. Aku menoleh sekilas padanya.Inge Paramita, wanita yang kunikahi sekitar 3 tahun lalu. Aku tak pernah menjalin hubungan dengan gadis manapun setelah hubunganku dengan Alana berakhir. Setelah pulang dari Jepang dan mengetahui jika Alana sudah menikah, aku memilih menghabiskan waktuku dengan bekerja. Mendirikan perusahaan di bidang IT bersama Harry dan 2 temanku lainnya yang berkewarganegaraan Jepang. Kami berempat dulu juga sama-sama bekerja di Jepang sampai kemu
“Aku bingung bagaimana menjelaskan padamu, Nge. Please, jangan menatapku seperti itu, aku masih pria baik-baik, Nge. Ini ... ini hanya sedikit kesalahan kemarin. Huhh ... begini, Nge. Semalam adalah kali pertama aku melakukan hal itu lagi setelah denganmu, dan ... hhhhh ... itupun terjadi karena ... karena kecelakaan.” Mas Darwin berusaha menjelaskan dengan terbata-bata dan diselingi hembusan nafas kasarnya.“Mas, anggap aku ini temanmu. Kita bisa bersahabat meskipun kita sudah berpisah. Demi Jessy, Mas. Aku mohon jangan ada kebohongan. Aku sangat berharap kamu bisa jadi ayah yang baik dan membanggakan bagi Jessy. Pun jika akhirnya kamu sudah menemukan wanita lain untuk menyandingmu, aku hanya ingin mengenalnya dan memastikan Jessy berada pada orang yang tepat. Agar jika kelak aku pergi, aku bisa pergi dengan tenang,” ucapku lirih, stetes bening berhasil lolos dari sudut mataku. Membahas tentang Jessy akan selalu membuatku seperti ini.Mas Darwin kembali menghela nafas kasar sebelum a
Terakhir kali, sebelum aku memutuskan untuk pulang ke Surabaya. Aku bertekad untuk memberikan pelayanan yang berbeda pada pria yang sudah memberiku seorang putri cantik itu. Maka, aku sengaja mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit dan juga obat perangsang sebelum melakukannya. Itu adalah kali pertama sekaligus kali terakhir aku menyaksikan kepuasan batin dari seorang Darwin Rahardian terhadapku. Pria itu mendekapku dengan peluh yang masih bercucuran deras di sekujur tubuhnya.“Terima kasih, Nge,” ucapnya sambil mengecup bibirku.Aku tersenyum. ‘Aku hanya ingin meninggalkan kesan terbaik sekali saja dalam hubungan ini, Mas,’ batinku. Aku ingin Mas Darwin mengingat saat ini, saat terakhir kali pria itu menyentuhku. Karena setelah ini aku sudah punya rencana lain untuk hidupku kedepan.Diam-diam aku mengajukan gugatan cerai padanya. Mas Darwin tak pernah mau hadir dalam proses persidangan, membuat prosesnya sedikit mengalami hambatan. Kemudian saat akan berangkat untuk melakukan kemoter
Alana.Hari ini aku membuat janji dengan seseorang yang akan membeli rumah lamaku dan Mas Wildan. Dari kemarin Handi sudah beberapa kali menelpon menanyakan kapan dan di mana aku bisa bertemu dengan orang itu. Namun entah mengapa aku selalu menundanya. Bukan karena belum mau menjual rumah itu, tapi aku enggan untuk menghubungi Mas Wildan untuk mengabarinya. Meskipun Mas Wildan sudah mengatakan menyerahkan rumah itu padaku, tapi rasanya tak etis jika rumah itu berpindah tangan begitu saja tanpa kukabarkan padanya. Apalagi bisa saja masih ada barang-barang Mas Wildan di rumah itu.Ponselku berdering. Aku yakin itu pasti Handi yang menelpon, karena tak ada yang tau nomor baruku selain Nafisa, Handi dan keluargaku di Bandung.[Mbak, siang ini jadi kan ketemu di Jingga?] tanya Handi.[Mbak usahakan ya. Ndi.][Kalau bisa jangan ditunda-tunda lagi, Mbak. Saya jadi nggak enak sama orangnya, takutnya dikira saya nipu.][Iya, maaf ya, Ndi. Beberapa hari ini Mbak kurang enak badan. Pokoknya Mbak
Ternyata Handi memang benar-benar bisa diandalkan dalam urusan jual beli rumah. Terbukti tak memakan waktu lama, sertifikat rumah dan surat-surat pengalihan kepemilikan dan balik nama sudah beres. Handi sudah punya rekanan notaris yang sering bekerja sama dengannya dalam hal jual beli barang. Maka uang dalam jumlah besar pun sudah masuk ke dalam rekeningku. Aku bernafas lega, paling tidak satu urusan lagi sudah terselesaikan dengan mulus tanpa hambatan.“Handi, tolong buatin Mbak teh hangat ya, nanti antar saja ke dalam,” pintaku pada Handi. Entah kenapa kepalaku tiba-tiba saja terasa pening. Memang sejak beberapa hari belakangan aku sering sekali merasa pusing dan tak berselera makan. Aku hanya menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran sepanjang hari sambil menonton drama Korea kesukaanku.“Tumben mintanya teh hangat, Mbak. Bukan kopi kental seperti biasanya?” tanya Handi memasang ekspresi heran.“Nggak ... nggak ... teh hangat aja ya, Ndi.”Aneh, aku tiba-tiba saja merasa mual menden
Nafisa.Sebenarnya hari ini aku tak berniat datang ke Kafe Jingga. Sudah hampir sebulanan ini tepatnya sejak vonis cerainya diputuskan pengadilan, Alana juga tak muncul ke sana. Namun hari ini, ketika aku baru pulang dari Bandara untuk mengantarkan kerabat Mas Pram yang akan kembali ke Makassar, tiba-tiba saja aku merasa kebelet ingin buang air kecil. Karena kebetulan jalur yang kulalui melewati Kafe Jingga, maka aku memutuskan untuk mampir sebentar ke sana menunaikan hajatku.Sepintas lalu saat membelokkan mobilku ke parkiran kafe, aku seperti melihat mobil Alana melaju kencang, baru saja keluar dari parkiran kafe.“Eh, Mbak Nafisa. Baru aja Mbak Al nya pulang,” ucap Tika saat aku menyapanya lalu kami berbalas salam.“Alana? Jadi benar tadi dia ke sini? Tumben!” jawabku.“Iya, Mbak. Baru aja Mbak Al nya pulang. Sepertinya tadi ada janji dengan Kak Handi di sini.”Aku teringat urusan jual-beli rumahnya dengan Handi. “Sekarang Handi nya mana?” tanyaku.“Tuh lagi di ruangan Mbak Nafisa
Tiba-tiba saja aku mencium aroma menyenangkan dari sampingku, segera kuendus dari mana asal aroma itu. Jas? Tanpa banyak pikir aku segera meraih jas yang tergeletak di sampingku dan menutupkannya ke hidungku agar tak tercium lagi bau menyengat yang membuat perutku kembali mual.“Itu jas yang ada di dalam papper bag di mobilmu tadi, Al. Aku memakaikannya tadi saat mengantarmu ke sini untuk menghangatkan tubuhmu.”Jas di dalam paper bag? Ah, aku ingat! Ini jas milik Darwin yang waktu itu ditolaknya saat aku ingin mengembalikannya. Tapi aku sudah tak peduli lagi, setidaknya jas ini bisa membuat rasa mualku mereda. Bahkan saat Nafisa menawarkan teh hangat padaku, aku sudah bisa meminumnya sampai habis. Perlahan-lahan tubuhku merasa sedikit segar setelah menghabiskan segelas teh manis hangat tadi.“Al, boleh aku tanya sesuatu?”Aku mengangguk, namun sedikit heran meliat wajah Nafisa yang terlihat tegang. Nafisa menghela nafasnya.“Aku tadi melihat beberapa alat tes kehamilan di dalam toile