Darwin.Entah bagaimana aku harus mendeskripsikan perasaanku saat ini. Semula aku berniat pulang untuk memberi kejutan pada Alana, namun ternyata justru aku yang dikejutkan. Bagaimana tidak, saat baru saja membuka pintu apartemen Alana, aku langsung disuguhkan dengan pemandangan yang memilukan. Alana, istriku sedang berada dalan cengkraman seorang lelaki. Sepertinya mereka berdua tak menyadari kehadiranku.Awalnya aku memilih ingin mengantar sendiri menu makan siang untuk Alana yang biasanya kukurimkan lewat kurir. Aku ingin mengantarkannya sendiri dan makan siang bersama Alana. Maka aku segera mengarahkan mobilku ke Kafe Jingga tadi. Namun ternyata Alana sudah pulang ke apartemen sehingga aku memilih pulang ke apartemennya membawakan menu makan siangnya.Lalu aku dikejutkan dengan apa yang kulihat. Dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan bagaimana lelaki yang ternyata mantan suami Alana itu menggerayangi tubuh istriku. Sementara kulihat, Alana sedang menutup mulutnya dengan kedu
Darwin.“Al aku mau ke kantor polisi dulu untuk mengajukan laporan atas insiden kemarin, aku juga akan mengajak beberapa orang sekuriti apartemen untuk jadi saksi,” ucapku pada Alana setelah kami berdua menikmati sarapan pagi yang kupesan melalui layanan pesan antar.Selama hamil Alana memang tak kuperbolehkan menyentuh dapur, selain karena ia memang sensitif dengan aroma yang tajam, aku juga tak mau ia kecapean. Maka jika Rita sedang izin seperti saat ini, aku lebih memilih memesan menu sarapan untuk kami berdua.“Iya,” jawabnya sambil menghirup teh manis yang kubuatkan tadi.“Kamu bikin teh manisnya pinter banget. Enak.” Alana tersenyum.“Kamu sekarang kayaknya punya kebiasaan baru deh, Al.”“Apa itu?”“Bikin aku gemes.”Lalu kami berdua tertawa. Sejak kejadian kemarin, Alana benar-benar berubah terhadapku, ia lebih bisa mengobrol dengan lepas padaku, tidak seperti sebelum-sebelumnya Alana seperti menjaga jarak denganku, kecuali untuk urusan menenangkan mualnya.Kuusap lembut sisa-s
Aku baru saja mandi air hangat ketika bell apartemenku berbunyi. Mengingat kejadian kemarin aku memilih tak membukanya. Padahal itu bisa saja Rita yang baru kembali dari kampungnya. Aku memilih menunggu Darwin yang sedang mandi di dalam kamar mandiku. Di apartemen ini, memang hanya kamar mandi yang ada didalam kamarku yang dilengkapi dengan fasilitas air hangat, sehingga Darwin selalu memilih untuk mandi di sana meski pun pakaiannya ada di kamar di sebelah kamarku.Kulirik ponselku yang berdering di atas meja. Teh Niar memanggil.“Al, kamu dimana? Kita udah mencet bell apartemenmu dari tadi tapi nggak ada yang bukain.” Suara nyaring Teh Niar langsung terdengar di telingaku.Buru-buru aku melangkah ke arah pintu dan membukanya. Benar saja, disana sudah berdiri Teh Niar dengan senyuman khasnya dan Mas Sofyan, dengan tatapan tajamnya!“Kamu nggak apa-apa, Dek? Ada yang terluka? Si brengsek itu nggak sampai melakukan kekerasan fisik padamu, kan?” Mas Sofyan langsung menginterogasi.“Eh ..
Alana.“Jadi tadi ngobrolin apa dengan Mas Sofyan?” Aku kembali mengajukan pertanyaan yang sama ketika kami berdua sudah berbaring di tempat tidurku.“Ngobrolin tentang kita, Al. Aku sudah berjanji pada keluargamu untuk tidak menyentuhmu sebelum mengucapkan ijab kabul sekali lagi padamu.”“Tapi bukankah kita sudah menikah?”“Pernikahan kita bukanlah pernikahan biasa, Al. Kita menikah demi memperjelas status dari bayi yang sedang berada dalam rahimmu. Untuk memastikan bahwa aku adalah ayah dari bayi itu, bahwa aku adalah orang yang akan bertanggungjawab padanya dan padamu selama mengandungnya, juga agar kamu tidak menanggung malu sendirian atas kesalahan yang telah kita lakukan. Hanya sebatas itu. Aku harus menikahimu sekali lagi setelah bayi itu lahir jika ingin benar-benar hidup sebagai sepasang suami istri pada umumnya. Itupun jika kamu masih bersedia untuk kunikahi kembali setelah bayi kita lahir.”“Mengapa seperti itu? Kamu tau dari mana semua itu?”“Kita sudah berbuat dosa, Al. A
Setiap hari aku memilih datang ke Kafe Jingga dengan diantar Darwin. Sebenarnya ada Rita yang menemaniku di apartemen. Namun berada di sana masih selalu membuatku trauma dengan kejadian seminggu yang lalu saat Mas Wildan menerobos masuk ke dalam apartemenku. Maka, setiap hari aku lebih nyaman berada di Kafe Jingga sambil memikirkan beberapa terobosan baru untuk memajukan kafe.“Mbak Alana, di luar ada yang nyari Mbak.” Handi tiba-tiba saja muncul di depan pintu ruanganku.“Nyariin aku? Siapa ya, Han?”“Saya nggak kenal, Mbak. Saya juga baru pertama kali melihatnya.”“Laki-laki atau perempuan. Han?”“Perempuan, Mbak, bawa bayi.”Perempuan? Bawa bayi? Aku sama sekali tak punya bayangan tentang orang yang dimaksud oleh Handi.“Suruh masuk ke sini aja, Han. Sekalian suruh anak-anak bikinin minum, ya.”“Baik, Mbak.”Aku masih memikirkan kira-kira siapa tamu yang mencariku ketika wanita itu muncul di depan pintu.“Lilis!!!”“Assalamualaikum, Mbak Al,” sapanya.“Walaikumsalam, silahkan masuk
Alana.“Siapa perempuan tadi, Al?” tiba-tiba saja Nafisa sudah berdiri di depan pintu saat aku masih melamun memikirkan semua kata-kata Lilis tadi.“Eh, Naf. Kapan tiba?”“Siapa perempuan tadi? Kulihat ia keluar dari ruangan ini terburu-buru. Wajahnya seperti sedang kesal.”“Dia Lilis, Naf. Istrinya Mas Wildan.”“Sudah kuduga! Aku sempat melihat wajah anak yang digendongnya tadi. Mirip banget sama mantan suamimu. Oh, jadi wanita itu yang membuatmu menggugat cerai Mas Wildan? Terus ngapain dia kemari? Mau nyari gara-gara lagi?”“Isss ... nanya kok kayak kereta api, Naf,” protesku.“Dia kesini untuk memintaku mencabut laporan kepolisian terhadap suaminya,” lanjutku.“Terus kamu mau kabulkan apa maunya?”Aku menggeleng. “Darwin yang melaporkannya, Naf. Bukan aku. Kurasa akan sulit membujuk Darwin untuk mencabut laporannya.”“Baguslah!” Nafisa menghempaskan tubuhnya di sofa.“Tapi aku kasihan pada mereka, Naf. Menurut Lilis, Mas Wildan diberhentikan secara tidak hormat dari perusahaan kar
“Terima kasih,” ucapku padanya dengan isyarat bibir. Sekali lagi ia membalasnya dengan kedipan matanya. Rasanya ingin sekali aku berlari padanya lalu memeluknya erat, tapi itu tak mungkin kulakukan di hadapan Ayah dan Ibu, juga Mas Sofyan dan Teh Niar.“Kamu pesan makanan?” tanyaku pada Darwin ketika kulihat beberapa orang dengan baju seragam berlogo katering terkenal mondar mandir menyiapkan prasmanan di taman yang terletak di samping rumah.“Iya, Al. Aku mengundang teman-teman dan karyawan kantorku untuk makan siang di sini. Nafisa dan semua karyawan Jingga juga sudah kuundang.”Aku kembali menatap takjub padanya. “Kenapa nggak ngasih tau aku? Kamu banyak sekali membuat kejutan hari ini.”“Aku nggak mau kamu capek, Al. Jadi aku menyiapkan semuanya tanpa memberitahumu.” Ia merengkuh bahuku lalu memelukku. Aku menyandarkan kepalaku di bahunya sambil memperhatikan para petugas katering yang masih sibuk mondar-mandir.“Kalau begitu aku masuk dulu, ya. Aku mau mandi dan berganti pakaian
Darwin.Di hari kepindahan kami dari apartemen yang disewa Alana, aku sengaja memberi kejutan pada Alana dengan mendatangkan seluruh keluarganya dari Bandung. Hal itu sengaja kulakukan agar Alana langsung merasa betah di rumah yang baru kubeli ini. Apalagi, aku memang tak melibatkan Alana ketika mencari dan memilih rumah ini. Aku hanya tak ingin wanita hamil itu kecapean.Tak kusangka usahaku mendatangkan keluarga Alana demi melihat ia senang berhasil. Alana terkejut dan berkaca-kaca saat mengetahui Ayah dan Ibunya serta Mas Sofyan dan anak isterinya sudah ada di rumah baru kami. Aku bisa melihat bagaimana tatapan mata berterima kasih dari Alana ketika menatapku. Namun sayangnya, keluarga Alana tak bisa menginap. Dari awal memang Mas Sofyan sudah mengatakan bahwa sorenya mereka akan segera kembali ke Bandung karena Ibu Alana besok dijadwalkan untuk kontrol kesehatan beliau ke rumah sakit.Acara makan siang yang kupersiapkan tanpa sepengetahuan Alana juga berjalan dengan lancar. Aku m