POV MegantaraApa aku sedang memuji diriku sendiri dengan menyebut dokter tampan? Narsisisme kah aku? Ah, sudah lah, setidaknya Anyelir tahu kalau aku memang tampan. Tapi untuk apa coba?"Megan, ini ponsel kok ada 3, kamu dagang online?" tanya Mama keluar dari kamar. Memeriksa ponsel yang aku gunakan untuk membuat group abal-abal. Ya, mana mungkin dokter buat group seperti ini. Aku hanya ingin memastikan kondisi Anyelir. Aku tahu kondisinya tidak baik. Yang aku harapkan adalah Anyelir dan bayinya selamat. Entah apa yang mengisi otakku, aku masih saja tidak bisa mengabaikannya meski sekarang keadaannya tidak lagi sama. "Ini ponsel untuk kerjaan aja, Ma, satu untuk rumah sakit. Satu untuk kampus.""Kampus?""Iya, Ma.""Maksudnya?""Iya, gitu.""Jangan bilang kamu ngajar?""Emang boleh?" "Nggak.""Ya udah, berarti enggak." "Megan! jangan bikin mama bingung, deh." "Enggak ... Mama dandan cantik mau kemana?" ucapku mengalihkan pembicaraan. "Eh, mama mau beli kue, besok mama mau pulang
"Oh, maksud saya ini, lo. Kue klepon. Ya, ini." Kutunjuk satu kue yang ada pada contoh gambar."Oh, iya, berapa, Dok?""Dua box besar. Ya kan, Ma?"Mama menghembuskan napas kasar. "Kamu lupa, Papa nggak suka gula jawa?" "Hah?""Jadi, Mbak, anak saya pesen klepon dua box. Saya pesen kue lemper sama talam, masing-masing dua box sedang saja, tolong ditotal sekalian," kata Mama mengambil alih, Anyelir dengan sigap mencatat. Kemudian mengambil kalkulator yang ada di meja kasir."Megan, jangan bikin malu Mama, kamu salah tingkah. Katanya mau move on!" "Maaf." "Jadi semua total 500 ribu. Bisa dibayar waktu pengambilan atau DP dulu juga nggak papa." Anyelir kembali dengan tagihan ditangannya, aku pun mengambilnya dengan cepat. Lalu kuberikan 5 lembar uang kertas seratus ribuan."Saya bayar saja, besok saya ambil jam 9, bisa? Karena pesawat Mama saya pagi," ujarku menentukan waktu."Pagi sekali, sebentar saya tanya ....""Anye, Via menghubungi." Seorang wanita paruh baya datang dari pintu b
Pagi ini sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku terlebih dahulu mengambil pesanan kue di tempat Anyelir. Sedang Mama sudah mulai siap-siap."Ma, Megan ambil kue," pamitku mengetuk pintu kamar Mama."Ya, langsung pulang, jangan godain istri orang," teriak Mama dari dalam kamar tanpa membuka pintu memberi peringatan. Aku berdecak, seperti itukah aku di mata Mama? Aku masih waras. Tak mungkin merusak rumah tangga orang, meski hatiku benar-benar ingin bersamanya. Sekitar pukul setengah 9 aku sudah sampai di toko kue Lestari. Pembeli terlihat sudah memadati toko tersebut. Benar, toko ini memang sangat ramai, bahkan sudah antri sepagi ini. Sampai aku pun harus mengantri di barisan para pembeli. Kuedarkan pandangan, tak kulihat Anyelir ada di barisan karyawan atau meja kasir. Hanya ada beberapa karyawan yang melayani pembeli dan satu orang kasir. Ibunya pun tak terlihat.Beberapa orang ada yang langsung saja masuk ke belakang dan pulang membawa kotak kue. Aku semakin bingung."Mas, mas yang
POV ANYELIRVia menghubungi, mengatakan bahwa Papa masuk rumah sakit lahi akibat gula darah dan tensinya kembali tinggi. Aku sudah mengatakan tidak bisa datang, aku sudah menutup segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka. Tapi Via terus memaksa karena Papa terus menanyakan aku. Via bingung harus menjawab apa. Via berharap dengan kedatanganku akan membuat Papa lebih cepat membaik dan pulih. Sekuat tenaga aku menolak, akhirnya aku harus mengalah karena Mama memohon, menangis tersedu di seberang sana. Mana aku tega, akhirnya aku dengan ditemani Mbak Mei harus datang. Ya, mereka membawa ke rumah sakit tempat Mbak Mei bekerja. Dengan membawa Papa ke rumah sakit yang lebih besar mereka berharap Papa akan lebih cepat sembuh. Aku tegaskan pada hatiku, aku melakukan ini hanya karena rasa sosial dan tak ada hubungannya dengan Mas Bian.Mbak Mayang aku suruh pulang saja setelah mengantar karena besok dia shift pagi. Kalau menginap di sini pasti tak bisa istirahat, sama halnya denganku. Pa
Perlahan aku membuka mata, ruangan serba putih terlihat begitu aku tersadar. Samar-samar aku juga melihat seorang pria berbaju putih pula sedang memeriksa infus. Setelah mataku terbuka sempurna, ternyata yang aku lihat adalah Dokter Megan dan dia sedang berdiri di sampingku memegang pengatur tetesan infus sambil sesekali melihat pada jam tangan yang ia kenakan."Saya kenapa?" tanyaku lirih, kepalaku berat begitu aku tersadar bahwa infus yang diperiksa itu ada pada tanganku."Sudah bangun? Jangan banyak gerak dulu, Mbak Anye tadi pingsan di belakang sana. Untung ada yang lewat, jadi bawa ke sini," jelas Dokter Megan padaku. Rupanya aku sudah tumbang hanya karena melihat Luna datang bukan hanya sebagai wanita yang dicintai suamiku saja melainkan sebagai istri sah suamiku."Tadinya saya mau ngasih tau keluarga Mbak Anye, tapi belum sempet," sambungnya. Mendengarnya, seketika aku tersadar dan teringat akan Ibu."Dokter tidak menghubungi ibu saya, kan?" tanyaku khawatir."Belum.""Belum?"
[Iya, Nye. Jangan lupa jaga kesehatan.] Balas Ibu."Mbak, Mbak saudaranya Dokter Megan, ya?" tanya suster yang menemaniku itu, sontak membuatku meninggalkan layar ponsel dan beralih menatap suster tersebut."Saudara? Saya pasiennya.""Oh, kirain saudaranya, habis Dokter Megan terlihat perhatian sekali. Pasang infus sendiri nggak minta bantuan kami. Padahal itu tugas kami. Pilih kamar ini untuk Mbak juga beliau sendiri. Terus sampai datang ke dapur rumah sakit, minta dimasakkan menu khusus tanpa a,b,c secara pribadi," terangnya panjang lebar."Maksudnya?""Iya tadi suruh cleaning service beli ikan di depan sana. Terus bawa ikan ke dapur minta tolong secara pribadi dimasakkan sesuai permintaan dokter. Baru kali ini dapur rumah sakit disambangi dokter yang terkenal tampan namun belum pernah mereka lihat itu. Heboh lah tadi di sana.""Lah, ini bukan jatah dari sini?""Yah, Mbak. Mana ada jatah makan rumah sakit ikan salmon. Ini bukan hotel atau rumah sakit sultan yang menyediakan jatah i
"Maaf, Mas," batinku saat kulihat Luna membawa Mas Bian dan mereka sempat berdebat di sini tadi. Pihak rumah sakit pun mendengar dan akhirnya mereka mengusir Mas Bian dan Luna demi untuk menjaga ketenangan pasien yang lain. Ya, aku terpaksa harus menghubungi Luna karena hanya dia lah yang bisa membawa Mas Bian pergi dari sini. Kubaringkan tubuhku saat kulihat jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kembali, pikiran ini datang, pikiran terhadap Mas Bian yang sempat mengusikku, yaitu tentang apa yang diinginkan Mas Bian. Meski yang kuharap pikiran negatifku terhadapnya itu jangan sampai terjadi, nyatanya semua benar adanya. Dengan lugas Mas Bian mengatakan tidak ingin melepasku.Melihat kebencian Luna padaku dan pada hubunganku dengan Mas Bian, rasanya mustahil saja jika kami dipersatukan, apa lagi harus berbagi suami. Lagi pula mana ada wanita yang mau berbagi suami, kalaupun ada pasti di dalam sana sejatinya terluka dan tersiksa. Setiap orang mempunyai hati, jika ada yang bilang hatiny
"Maaf, apa saya ganggu, Sus, Mbak Anye?" Tanpa kami sadari Dokter Megan sudah berdiri di ambang pintu bersama asisten yang terlihat tergopoh-gopoh mengikutinya di belakang, syukurlah, dari pengamatanku mereka baru sampai, berarti tidak mendengar masalah yang aku bahas dengan Mbak Mayang."Dok, sudah mau maghrib, ni," ucap asistennya pada dokter Megan yang terlihat sudah sangat buru-buru. Dari perkiraanku, dokter Megan sudah semena-mena dan memaksa asistennya untuk over time. Pasti. "Batu jam 5, Sus. Masih satu jam.""Rumah saya jauh.""Nanti saya antar.""Haaah ... benarkah, naik mobil sport?" "Hem."Mendengar perdebatan antara dokter dan asistennya itu maka aku dan Mbak Mayang menyempatkan kesempatan itu, dengan cepat kami menghapus air mata kami kemudian Mbak Mayang segera beranjak."Masih mau lanjut? Kalau lanjut saya akan kembali nanti.""Menurut Mbak, dia sedang bertanya atau menyindir? Atau menertawakan?" bisikku pada Mbak Mayang."Haih, Anye ngaco. Diem. Eh, Dok, silahkan